- Beranda
- Stories from the Heart
Cerita Kepala Kedua [20++]
...
TS
Kepalakedua
Cerita Kepala Kedua [20++]
Quote:
Buat orang-orang berumur dua puluhan yang mungkin lagi meragukan banyak kenyataan, tulisan ini aku persembahakan.
Spoiler for Cover:
Quote:
![Cerita Kepala Kedua [20++]](https://s.kaskus.id/images/2019/06/23/10623014_20190623090827.jpeg)
00: Dari Nol Ya!
Quote:
Di kamar kos yang minim fasilitas, aku duduk-duduk di kasur sambil baca buku paling menyedihkan di dunia; buku tabungan. Apa yang diceritakan di sana bikin aku menjerit, "YASALAAAM INI SALDO APA KODE POS?" Begitulah rasanya bangun tidur waktu hidup lagi tokai-tokainya. Dan itulah, satu dari sekian risiko mengejar passion dan mengikuti kata hati yang jarang diceritakan orang. Kata hati nggak pernah salah, cuma ya... sering juga bikin masalah.
Gimana caranya bayar kosan bulan depan?
Bakal cukup nggak ya buat makan?
Aing udah seperempat abad anjir masa gini-gini aja!
Aku mengangkat diri terus diam di depan lemari baju yang ada kacanya. Lumayan lama juga ya nggak melihat diri sendiri. Aku jadi pangling sama dia yang aku lihat di kaca. "Hei bro! Gagal lagi bro? Udah kerasa belum sakitnya? Hehe." Itu senyuman penuh ejekan, "kalem dulu, kalem."
Aku nunduk terus usap-usap wajah yang nggak seberapa indah, "capek juga ya ngejar-ngejar yang terbang." Keluhku.
"Kamu mah cuma denger kata orang sih, bermimpilah setinggi-tingginya. Giliran aing yang bilang kalau mau setinggi itu harus siap jatuh sesakit itu juga... nggak mau dengar." Suaranya meninggi.
"Maaf atuh anjir..." Balasku.
Demi mencari hiburan, aku membuka ponsel. Biasanya aku lihat-lihat Instagram. Aku suka Instagram, satu orang yang sama mukanya bisa beda-beda. Keren banget nggak sih...
Hari itu rasanya lain, nggak ada kesenangan kayak biasanya. Buka-buka dunia sosial maya bikin aku merasa semakin buruk. Aku berasumsi kalau semua orang punya hidup yang oke kecuali aku.
"Nggak gitu atuh anjir!" Dia bersuara agak keras. "Kamu nggak bisa megang kendali sama apa yang terjadi di luar sana. Kamu cuma bisa megang kendali sama apa yang di dalam situ." Dia menunjuk dadaku.
"Tapi..."
"Jangan lihat ke luar terus! Lihat ke dalam... ada aku."
***
Daripada tambah pusing, mending aku mandi aja. Terus ke luar cari udara segar yang sebenarnya nggak segar-segar amat. Mana ada udara segar di tengah kota Bandung yang lagi macet-macetnya. Di Lembang sana baru ada. Aku makan siang terus nongkrong di pinggir jalan Cihampelas. Banyak orang lalu lalang. Wajar, hari minggu waktunya orang-orang pada bersosialisasi. Jadi pada keluar rumah, biar kelihatan punya teman.
Duduk sendiri, mengamati orang-orang sekitar sini. Kalau diamati, rasa di wajahnya beda-beda. Aku jadi bertanya-tanya, mereka pada ngapain sih di sini? Pada bahagia nggak sih mereka itu? Lihat bapak-bapak tukang parkir itu? Iya, yang lagi ketawa lepas sama rekan sejawatnya. Mereka hore-hore di pinggir jalan, bukan tempat ngopi estetik.
Dia punya mimpi nggak sih? Coba samperin terus tanya baik-baik, "Jadi tukang parkir itu cita-cita Pak? Ini ngejar passion ya Pak?"
Nggak, kemungkinan dia cuma bertahan hidup aja dan terlihat baik-baik aja. Aku penasaran bagaimana cara dia memaknai hidup, ya? Aku mau tahu cara dia menambal segala kekurangan di hidupnya dan mengisi segala kekosongan di hatinya.
Dia nggak nongkrong di cafe kekinian.
Dia nggak sibuk mikirin gaya berpakaian.
Dia nggak peduli sama drama di dunia maya.
Di sini, dia bercanda sama teman-temannya. Menikmati yang seadanya, terus tertawa selepas-lepasnya. Keren ya, ringan dan menyenangkan. Lukanya tertutup rapi, tapi ketegarannya telanjang.
Pernyataan:
Aku yang lagi sejatuh ini masih punya banyak hal yang lebih baik dari dia.
Pertanyaan:
Apa itu berarti seharusnya aku punya banyak alasan buat lebih bahagia?
Aku penasaran bapak-bapak itu waktu masih muda mimpinya apa? Waktu remaja, aku punya mimpi mau bangun rumah sebelum umur 25. Sekarang udah lewat, "Udah 25 lebih kenapa belum punya rumah?"
"Hei!" Dia bersuara lagi, "itu harapan mulai berubah jadi tuntutan anjir! Jangan gitu!"
"Tapi..."
"Dengar!" Dia bersuara lebih keras, "kamu itu masih mampu bayar kos setiap bulan dan sama sekali nggak ada yang salah dengan itu. Emang belum ada rumah kayak yang kamu mimpikan, tapi... itu nggak apa-apa!"
"Nggak apa-apa ya?"
"Iyalah nggak apa-apa. Jangan sampai apa yang kamu harapkan bikin kamu benci sama apa yang jadi kenyataan."
"Emang aing seburuk itu ya? Sampai harus segagal ini?"
"Nggak buruk dan nggak gagal juga sih sebenarnya." Suaranya melunak, "yang bikin rasanya nggak enak itu karena kamu menggantungkan harapan dan kebahagiaan ke sesuatu di luar kendali."
"Masa sih?"
"Nggak sadar? Kan aing udah bilang berkali-kali anjir!" Suaranya meninggi lagi, "kamu berharap produk yang kamu jual laku keras karena kamu bakal bahagia karena itu. Padahal, semua itu di luar kendali kamu."
"..."
"Apa yang ada di dalam kendali? Segala hal yang kamu usahakan, sekecil-kecilnya. "
"...tapi nggak ada hasilnya." Aku menyimpulkan.
"Nggak apa-apa, nggak semuanya harus berhasil. Nggak semuanya harus menang, nggak semuanya harus sekarang. Seharusnya kamu cukup berharap jadi orang yang selalu mau berusaha apapun yang terjadi dan bahagia karena kamu mau menerima lelahnya."
"Iya, aku cuma agak malu. Aku pernah memimpikan sosok aku seindah-indahnya, ternyata aku belum seindah itu. Beda sama merek—"
"Hei." Dia menyanggah, "hidup itu bukan kompetisi, tapi dokumentasi. Semua yang indah nggak datang secepatnya, tapi setepatnya. Kamu mau orang yang cepat atau orang yang tepat?"
Hehe.
Aku agak senang menyadari itu. Kayak disiram air dingin pas cuaca lagi panas-panasnya.
"Aku nggak tahu harus ngapain lagi." Aku berterus terang.
"Kamu itu punya selalu punya tugas besar loh!"
"Apa?"
"Bikin kenangan."
"..."
"Hayu anjir bikin kenangan, biar nggak malu-maluin anak cucu."
"Oke hayu."
Matahari udah mau pamit, sebaiknya aku pulang ke kosan. Rasanya jadi agak ringan. Mungkin benar, ada yang salah. Ada yang belum baik dan harus diperbaiki. Aku mau menguasai dunia, tapi cukup duniaku aja. Bukan lagi dunia mereka, kegedean.
"Hei, terima kasih buat hari ini." Suara itu menenangkan, suara yang selama ini dengan sengaja aku abaikan. Suara kepala kedua yang aku yakin semua orang punya. "Besok coba lagi. Masih bisa jatuh dan bangkit lagi."
"..."
"Kalau hari ini belum jadi apa-apa, nggak apa-apa."
Baru mau tidur, ponsel bunyi. Ada chat dari seseorang.
'Aa apa kabar?
'
Anjir, pakai nanya kabar segala. Terus kalau aku bilang kabarku buruk dia mau apa?
'Kabarnya buruk, Neng. Keputusan yang aku anggap benar ternyata salah anjir. Kamu mau peluk aku nggak, Neng? Kayak dulu...'
Hapus... hapus... jangan gini balasnya!
'Baik, Neng.'
Bohong kecil gini nggak apa-apa kan? Semua orang pernah kan?
'Minggu depan aku ke Bandung ketemuan boleh nggak?'
Seandainya aku lagi punya sesuatu buat dibanggakan, pasti bakal aku iyakan.
Seandainya aku udah jauh lebih baik dari kali terakhir kita ketemu, pasti bakal aku iyakan.
Seandainya... ah nanti ajalah balasnya, tidur dulu aja.
Gimana caranya bayar kosan bulan depan?
Bakal cukup nggak ya buat makan?
Aing udah seperempat abad anjir masa gini-gini aja!
Aku mengangkat diri terus diam di depan lemari baju yang ada kacanya. Lumayan lama juga ya nggak melihat diri sendiri. Aku jadi pangling sama dia yang aku lihat di kaca. "Hei bro! Gagal lagi bro? Udah kerasa belum sakitnya? Hehe." Itu senyuman penuh ejekan, "kalem dulu, kalem."
Aku nunduk terus usap-usap wajah yang nggak seberapa indah, "capek juga ya ngejar-ngejar yang terbang." Keluhku.
"Kamu mah cuma denger kata orang sih, bermimpilah setinggi-tingginya. Giliran aing yang bilang kalau mau setinggi itu harus siap jatuh sesakit itu juga... nggak mau dengar." Suaranya meninggi.
"Maaf atuh anjir..." Balasku.
Demi mencari hiburan, aku membuka ponsel. Biasanya aku lihat-lihat Instagram. Aku suka Instagram, satu orang yang sama mukanya bisa beda-beda. Keren banget nggak sih...
Hari itu rasanya lain, nggak ada kesenangan kayak biasanya. Buka-buka dunia sosial maya bikin aku merasa semakin buruk. Aku berasumsi kalau semua orang punya hidup yang oke kecuali aku.
"Nggak gitu atuh anjir!" Dia bersuara agak keras. "Kamu nggak bisa megang kendali sama apa yang terjadi di luar sana. Kamu cuma bisa megang kendali sama apa yang di dalam situ." Dia menunjuk dadaku.
"Tapi..."
"Jangan lihat ke luar terus! Lihat ke dalam... ada aku."
***
Daripada tambah pusing, mending aku mandi aja. Terus ke luar cari udara segar yang sebenarnya nggak segar-segar amat. Mana ada udara segar di tengah kota Bandung yang lagi macet-macetnya. Di Lembang sana baru ada. Aku makan siang terus nongkrong di pinggir jalan Cihampelas. Banyak orang lalu lalang. Wajar, hari minggu waktunya orang-orang pada bersosialisasi. Jadi pada keluar rumah, biar kelihatan punya teman.
Duduk sendiri, mengamati orang-orang sekitar sini. Kalau diamati, rasa di wajahnya beda-beda. Aku jadi bertanya-tanya, mereka pada ngapain sih di sini? Pada bahagia nggak sih mereka itu? Lihat bapak-bapak tukang parkir itu? Iya, yang lagi ketawa lepas sama rekan sejawatnya. Mereka hore-hore di pinggir jalan, bukan tempat ngopi estetik.
Dia punya mimpi nggak sih? Coba samperin terus tanya baik-baik, "Jadi tukang parkir itu cita-cita Pak? Ini ngejar passion ya Pak?"
Nggak, kemungkinan dia cuma bertahan hidup aja dan terlihat baik-baik aja. Aku penasaran bagaimana cara dia memaknai hidup, ya? Aku mau tahu cara dia menambal segala kekurangan di hidupnya dan mengisi segala kekosongan di hatinya.
Dia nggak nongkrong di cafe kekinian.
Dia nggak sibuk mikirin gaya berpakaian.
Dia nggak peduli sama drama di dunia maya.
Di sini, dia bercanda sama teman-temannya. Menikmati yang seadanya, terus tertawa selepas-lepasnya. Keren ya, ringan dan menyenangkan. Lukanya tertutup rapi, tapi ketegarannya telanjang.
Pernyataan:
Aku yang lagi sejatuh ini masih punya banyak hal yang lebih baik dari dia.
Pertanyaan:
Apa itu berarti seharusnya aku punya banyak alasan buat lebih bahagia?
Aku penasaran bapak-bapak itu waktu masih muda mimpinya apa? Waktu remaja, aku punya mimpi mau bangun rumah sebelum umur 25. Sekarang udah lewat, "Udah 25 lebih kenapa belum punya rumah?"
"Hei!" Dia bersuara lagi, "itu harapan mulai berubah jadi tuntutan anjir! Jangan gitu!"
"Tapi..."
"Dengar!" Dia bersuara lebih keras, "kamu itu masih mampu bayar kos setiap bulan dan sama sekali nggak ada yang salah dengan itu. Emang belum ada rumah kayak yang kamu mimpikan, tapi... itu nggak apa-apa!"
"Nggak apa-apa ya?"
"Iyalah nggak apa-apa. Jangan sampai apa yang kamu harapkan bikin kamu benci sama apa yang jadi kenyataan."
"Emang aing seburuk itu ya? Sampai harus segagal ini?"
"Nggak buruk dan nggak gagal juga sih sebenarnya." Suaranya melunak, "yang bikin rasanya nggak enak itu karena kamu menggantungkan harapan dan kebahagiaan ke sesuatu di luar kendali."
"Masa sih?"
"Nggak sadar? Kan aing udah bilang berkali-kali anjir!" Suaranya meninggi lagi, "kamu berharap produk yang kamu jual laku keras karena kamu bakal bahagia karena itu. Padahal, semua itu di luar kendali kamu."
"..."
"Apa yang ada di dalam kendali? Segala hal yang kamu usahakan, sekecil-kecilnya. "
"...tapi nggak ada hasilnya." Aku menyimpulkan.
"Nggak apa-apa, nggak semuanya harus berhasil. Nggak semuanya harus menang, nggak semuanya harus sekarang. Seharusnya kamu cukup berharap jadi orang yang selalu mau berusaha apapun yang terjadi dan bahagia karena kamu mau menerima lelahnya."
"Iya, aku cuma agak malu. Aku pernah memimpikan sosok aku seindah-indahnya, ternyata aku belum seindah itu. Beda sama merek—"
"Hei." Dia menyanggah, "hidup itu bukan kompetisi, tapi dokumentasi. Semua yang indah nggak datang secepatnya, tapi setepatnya. Kamu mau orang yang cepat atau orang yang tepat?"
Hehe.
Aku agak senang menyadari itu. Kayak disiram air dingin pas cuaca lagi panas-panasnya.
"Aku nggak tahu harus ngapain lagi." Aku berterus terang.
"Kamu itu punya selalu punya tugas besar loh!"
"Apa?"
"Bikin kenangan."
"..."
"Hayu anjir bikin kenangan, biar nggak malu-maluin anak cucu."
"Oke hayu."
Matahari udah mau pamit, sebaiknya aku pulang ke kosan. Rasanya jadi agak ringan. Mungkin benar, ada yang salah. Ada yang belum baik dan harus diperbaiki. Aku mau menguasai dunia, tapi cukup duniaku aja. Bukan lagi dunia mereka, kegedean.
"Hei, terima kasih buat hari ini." Suara itu menenangkan, suara yang selama ini dengan sengaja aku abaikan. Suara kepala kedua yang aku yakin semua orang punya. "Besok coba lagi. Masih bisa jatuh dan bangkit lagi."
"..."
"Kalau hari ini belum jadi apa-apa, nggak apa-apa."
Baru mau tidur, ponsel bunyi. Ada chat dari seseorang.
'Aa apa kabar?
'Anjir, pakai nanya kabar segala. Terus kalau aku bilang kabarku buruk dia mau apa?
'Kabarnya buruk, Neng. Keputusan yang aku anggap benar ternyata salah anjir. Kamu mau peluk aku nggak, Neng? Kayak dulu...'
Hapus... hapus... jangan gini balasnya!
'Baik, Neng.'
Bohong kecil gini nggak apa-apa kan? Semua orang pernah kan?
'Minggu depan aku ke Bandung ketemuan boleh nggak?'
Seandainya aku lagi punya sesuatu buat dibanggakan, pasti bakal aku iyakan.
Seandainya aku udah jauh lebih baik dari kali terakhir kita ketemu, pasti bakal aku iyakan.
Seandainya... ah nanti ajalah balasnya, tidur dulu aja.
Hei
Manusia,
Yang ada apa-apa
Yang bukan siapa-siapa
Yang belum ke mana-mana
Nggak apa-apa
Nggak apa-apa
Nggak apa-apa.
Manusia,
Yang ada apa-apa
Yang bukan siapa-siapa
Yang belum ke mana-mana
Nggak apa-apa
Nggak apa-apa
Nggak apa-apa.
Spoiler for INDEX:
00: Mulai Dari Nol!
01: Inovasi Dari Sini
02: Pesan Dari Hujan
03: Mimpiku yang Ada Kamunya
04: Teori Bintang Jatuh
Quote:
Halo Masgan dan Mbaksis sekalian


Mau numpang nulis cerita di sini ya
Kalau boleh, tinggalin jejaknya ya
Biar saya kenal masnya dan mbaknya sebagai manusia bukan cuma data hehe
Selamat menikmati! Maaf versi yang kemarin direvisi, yang ini lebih enak dibaca soalnya.


Mau numpang nulis cerita di sini ya
Kalau boleh, tinggalin jejaknya ya
Biar saya kenal masnya dan mbaknya sebagai manusia bukan cuma data hehe
Selamat menikmati! Maaf versi yang kemarin direvisi, yang ini lebih enak dibaca soalnya.
Diubah oleh Kepalakedua 02-07-2019 09:56
anton2019827 dan 35 lainnya memberi reputasi
34
13.4K
Kutip
65
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
Kepalakedua
#5
01: Inovasi Dari Sini
01: Inovasi Dari Sini
Quote:
Tahu bagian paling susah dari kegagalan? Menerimanya. Susah banget anjir aslinya! Mengakui kalau aku ini ternyata nggak sehebat itu. Tapi, itu hal pertama yang harus aku lakukan. Supaya aku bisa berbenah, cari tahu apa yang salah. Aku buka ponsel, buka instagram. Dengan berat hati, aku unfollow akun-akun yang nggak terlalu berguna. Terus aku follow akun-akun yang sekiranya bakal kasih sesuatu buat aku.
Waktu lagi rapi-rapi instagram, aku nggak sengaja lihat sebuah poster. Acara kumpul-kumpul yang bahas dunia digital. Aku belum pernah ikut acara kayak begitu sebelumnya. Paling cuma cari bahan secara online kalau mau tahu sesuatu.
"Udah coba ajalah, emang apa ruginya sih? Nggak mahal kok!"
"Malu anjir, nanti di sana aku nggak kenal siapa-siapa."
"YA MAKANYA KENALAN!"
Ah iya, apa yang harus ditakutkan?
***
Di sinilah aku berada, sebuah tempat kekinian daerah Dago. Waktu aku datang, udah lumayan ramai. Jadi, aku antri buat daftar ulang. Di depanku ada satu cewek yang kayaknya seumuran.
"Atas nama Mbak Payung, ya?" Ini nama samaran buat dia, orangnya agak cantik soalnya.
"Ini atas nama Mas Elegan?" Ini nama samaran buat aku, nggak ada alasan khusus.
Kami diminta langsung masuk ke tempat acara. Aku jalan samping-sampingan sama Mbak Payung.
"Kenalan euy, kenalan!"
Anjir! Okelah, aku akan melakukan sesuatu yang nggak pernah aku lakukan sebelumnya. Mumpung kami duduk sebelahan, aku memberanikan diri mengulurkan tangan.
"Saya Adit, Mbak."
"Oh, halo... gue Payung. Nggak usah formal gitu kali."
"Oke Payung!" Aku mengangguk.
Anjir, aku kenalan sama cewek! Sebuah prestasi! Ternyata nggak semenakutkan itu. Dulu aku selalu takut kenalan sama cewek. Makanya, meskipun sering ketemu cewek-cewek yang menarik... mereka tetap jadi orang asing.
"Lo sering ikut beginian?" Tanya dia, ya ampun suara merdu banget. Padahal, dia nggak nyanyi!
"Ini kali pertama sih."
"Sama."
Obrolan berhenti karena acara mau mulai. Setelah acara dibuka, narasumber pertama langsung naik. Mas-mas keren yang berjasa bikin hidup banyak orang jadi lebih mudah karena aplikasi yang dia bikin. Dia cerita soal inovasi. Dia juga menekankan betapa pentingnya sebuah perubahan supaya tahan menghadapi perkembangan jaman.
Di akhir sesi, dia membuka sebuah diskusi. Dia minta beberapa peserta yang ditunjuk buat bicara soal inovasi dan perubahan. Peserta pertama yang ditunjuk bilang kalau dia kalau dia lagi berusaha berinovasi dalam bidang pertanian karena Bapaknya petani. Peserta kedua bercerita kalau dia juga lagi berusaha berinovasi di bidang pendidikan. Dia mau bikin metode belajar yang menyenangkan buat anak-anak sekolah. Keduanya dapat tepuk tangan dan masukan.
"Coba Mas yang pakai kemeja abu-abu!" Kata narasumber.
Oh, itu aku
"Mas mau berinovasi dalam bidang apa, Mas?"
"Inovasi itu berarti melakukan sesuatu yang berbeda, demi sebuah perubahan, yang mengarah pada kebaikan. Gitu bukan sih mas?" Aku malah balik bertanya dulu.
"Ya, bisa diartikan seperti itu." Dia mengangguk sambil tersenyum bijak.
"Berinovasi ya..."
"Iya Mas."
Hening, seisi ruangan menunggu jawabanku.
"Saya mau berinovasi dalam bidang... bilang kangen."
Mendadak ruangan itu riuh oleh tawa, termasuk narasumbernya, dan mbak Payung yang duduk di sebelah.
"Kenapa Mas?" Dia bertanya sambil agak senyum-senyum menahan tawa.
"Ya, karena sebelumnya saya nggak berani bilang kangen. Saya kira inovasi harus dimulai dari sini, dari dalam diri sendiri. Jadi, ke depannya... kalau kangen saya akan bilang terus terang."
Ruangan itu riuh lagi, tepuk tangan dan tawa campur jadi satu.
"Terima kasih jawabannya, Mas." Dia kasih aku acungan jempol, entah apa artinya.
***
Acara selesai, ternyata seru juga. Kenapa sebelumnya aku males datang ke acara kayak begini ya? Aku dapat banyak kenalan baru, ilmu baru, dan... Payung baru, ehm. Apa yang spesial dari acaranya? Pulangnya, aku nggak langsung pulang. Aku melipir ke cafe dekat situ... sama Mbak Payung.
"Lo dari Jakarta sendirian?" Aku berbasa-basi waktu kami baru duduk dan baca menu, "biasanya cewek bergerombol!"
"Temen-temen gue udah jadi mamah muda semua." Dia jawab sambil baca-baca menu, "mereka bergerombol ke acara yang temanya ibu dan anak, gue nggak bisa ikutan."
Dia masih sibuk baca menu, tapi kerasa nggak sih? Kayak ada sakit-sakitnya. Nggak sengaja, aku lihat jari manisnya. Ada segaris putih bekas cincin. Tahu kan kalau lama pakai cincin suka ada bekasnya? Nah, itu.
Kami makan malam dengan sunyi. Selama itu aku berusaha mikirin topik obrolan. Bagaimanapun dia orang asing, nggak lucu juga kalau aku langsung melempar topik yang serius. Kami pesan kopi, ice americano buat dia dan aku... lupa namanya apa. Espresso pakai gula cair, terus dikasih perasan lemon. Enak, loh!
"Lo pernah nggak sih ngerasa optimis, punya keyakinan kalau jalan yang lagi lewatin sekarang bakal bawa lo menuju kebahagiaan yang lo mimpikan?" Dia bertanya sambil mengaduk kopinya sebelum menyesapnya.
"Lo abis batal nikah ya?"
"UHUK! UHUK!" Dia menyeka mulutnya pakai tisu, "anjrit lo kok langsung tembak gitu sih? Hahaha suka bener ya orangnya."
"Jari manis lo cerita cukup banyak."
Dia melirik jari manisnya sambil tersenyum... ah anjir, perih kalau ingat senyumnya yang ini. Asli kayak orang yang udah diserang abis-abisan sampai nggak bisa berbuat apa-apa... dan cuma bisa senyum pasrah.
"Cowok ini..." Dia masih menatap jari manisnya, "masa-masa paling indah di hidup gue itu masa-masa gue sama dia. Makanya gue rela kasih seluruh bagian terbaik diri gue buat dia."
"..." Aku nggak jawab, biar dia cerita dulu.
"...tapi luka paling dalam yang gue punya sekarang, luka dari dia."
"Kayaknya dari dulu ada bagian diri lo yang merasa kalau suatu saat, ada kemungkinan cowok itu bakal melukai lo... tapi lo nggak mau dengar."
"..."
"Gue juga sama, gue orang yang nggak mau dengar kemungkinan itu. Karena itu buruk dan gue nggak suka. Tapi sekarang, nggak lagi. Gue akan membiarkan kepala kedua gue bersuara."
Dia menatap aku sambil tersenyum, "kepala kedua? gue suka itu."
"Asal nyebut aja sih gue." Aku garuk-garuk kepala yang nggak gatal.
"Gue suka sama jawaban lo soal inovasi."
"Sorry, gue emang sebodoh dan secemen itu."
"Hei, gue serius. Itu bukan sarkasme kali." Dia tersenyum jahil, "gue kayak dapat aha moment pas dengar jawaban lo. Lo udah sering berinovasi dong kalau gitu?"
"Nggak sering sih, akhir-akhir ini aja." Aku berterus terang, "mau gue kasih lihat sekarang?"
"Bisa? Gimana caranya?"
"Lo itu tipe gue banget, dan kenalan sama lo itu pencapaian baru buat gue."
"Wow."
Aku menatap lurus ke matanya. Perasaanku berantakan nggak karuan, ini terlalu di luar kebiasaan. Nggak apa-apa, aku harus mecobanya. Apa sih kemungkinan terburuknya? Disiram ice americano. Aku siap menerima itu kalau seandainya terjadi.
"Kalau yang tadi itu inovasi, emang sebelumnya kayak gimana?"
"Ya, mau chat aja gue bakal mikir ratusan kali. Satu pesan yang dia baca itu hasil revisi belasan kali. Kelamaan, ditikung deh akhirnya. Itu sering terjadi. Makanya mantan gue itu-itu aja, nggak nambah."
Dia tertawa renyah.
"Gue juga mau berinovasi ah sekarang." Katanya, terdengar antusias. "Kita tukeran kontak yuk?"
Wow, aku tertawa kecil, nggak nyangka diserang setelak itu. Cewek seindah dia mana mungkin pernah minta kontak duluan sama cowok. Aku percaya itu inovasi, dan dia harus menekan gengsi.
"Nggak mau ah." Aku menjawab tanpa ragu, "gue nggak mau kita cuma jadi sebatas teman biasa. Sekarang, gue belum siap buat hubungan yang lebih serius. Jadi, sebaiknya gue nggak memulai apa-apa dulu."
"Sial, pertama nyoba langsung ditolak!"
Kami tertawa berdua.
"Gue mau selesai dengan diri sendiri dulu" Aku menjelaskan apa adanya.
"Iya sih, luka gue juga belum kering semua." Balasnya, "nanti kalau kita ketemu lagi dengan keadaan yang jauh lebih baik dari hari ini..."
"Gue bakal cari lo, terus nyoba deketin lo sebaik-baiknya." Aku memotong ucapannya.
Dia tersenyum... indah. Itu adalah senejis senyuman yang merepotkan; Gampang diingat, susah dilupakan.
Waktu sampai di kosan, perasaanku jadi jauh lebih baik. Hari ini, aku berani keluar dari kebiasaan. Semua yang aku takutkan sebelumnya bisa aku lawan pelan-pelan. Rasanya... aneh, tapi menyenangkan. Sebelumnya aku nggak suka acara kayak gitu, ngapain? Kan bisa google kalau mau belajar. Ternyata sesuatu yang nggak aku sukai itu belum tentu buruk. Buat orang kenalan sama cewek mungkin terkesan biasa. Buat aku, nyamperin cewek terus kenalan itu... mengerikan. Perubahan kecil ini...
"Hei, sekecil-kecilnya... ada baiknya. Jangan menyepelekan diri sendiri gitu! Besok lagi, ya."
"Oke siap!"
"Ini kenangan yang bagus, ingat kan... setiap hari, kita harus bikin kenangan?"
Hehe.
Waktu lagi rapi-rapi instagram, aku nggak sengaja lihat sebuah poster. Acara kumpul-kumpul yang bahas dunia digital. Aku belum pernah ikut acara kayak begitu sebelumnya. Paling cuma cari bahan secara online kalau mau tahu sesuatu.
"Udah coba ajalah, emang apa ruginya sih? Nggak mahal kok!"
"Malu anjir, nanti di sana aku nggak kenal siapa-siapa."
"YA MAKANYA KENALAN!"
Ah iya, apa yang harus ditakutkan?
***
Di sinilah aku berada, sebuah tempat kekinian daerah Dago. Waktu aku datang, udah lumayan ramai. Jadi, aku antri buat daftar ulang. Di depanku ada satu cewek yang kayaknya seumuran.
"Atas nama Mbak Payung, ya?" Ini nama samaran buat dia, orangnya agak cantik soalnya.
"Ini atas nama Mas Elegan?" Ini nama samaran buat aku, nggak ada alasan khusus.
Kami diminta langsung masuk ke tempat acara. Aku jalan samping-sampingan sama Mbak Payung.
"Kenalan euy, kenalan!"
Anjir! Okelah, aku akan melakukan sesuatu yang nggak pernah aku lakukan sebelumnya. Mumpung kami duduk sebelahan, aku memberanikan diri mengulurkan tangan.
"Saya Adit, Mbak."
"Oh, halo... gue Payung. Nggak usah formal gitu kali."
"Oke Payung!" Aku mengangguk.
Anjir, aku kenalan sama cewek! Sebuah prestasi! Ternyata nggak semenakutkan itu. Dulu aku selalu takut kenalan sama cewek. Makanya, meskipun sering ketemu cewek-cewek yang menarik... mereka tetap jadi orang asing.
"Lo sering ikut beginian?" Tanya dia, ya ampun suara merdu banget. Padahal, dia nggak nyanyi!
"Ini kali pertama sih."
"Sama."
Obrolan berhenti karena acara mau mulai. Setelah acara dibuka, narasumber pertama langsung naik. Mas-mas keren yang berjasa bikin hidup banyak orang jadi lebih mudah karena aplikasi yang dia bikin. Dia cerita soal inovasi. Dia juga menekankan betapa pentingnya sebuah perubahan supaya tahan menghadapi perkembangan jaman.
Di akhir sesi, dia membuka sebuah diskusi. Dia minta beberapa peserta yang ditunjuk buat bicara soal inovasi dan perubahan. Peserta pertama yang ditunjuk bilang kalau dia kalau dia lagi berusaha berinovasi dalam bidang pertanian karena Bapaknya petani. Peserta kedua bercerita kalau dia juga lagi berusaha berinovasi di bidang pendidikan. Dia mau bikin metode belajar yang menyenangkan buat anak-anak sekolah. Keduanya dapat tepuk tangan dan masukan.
"Coba Mas yang pakai kemeja abu-abu!" Kata narasumber.
Oh, itu aku
"Mas mau berinovasi dalam bidang apa, Mas?"
"Inovasi itu berarti melakukan sesuatu yang berbeda, demi sebuah perubahan, yang mengarah pada kebaikan. Gitu bukan sih mas?" Aku malah balik bertanya dulu.
"Ya, bisa diartikan seperti itu." Dia mengangguk sambil tersenyum bijak.
"Berinovasi ya..."
"Iya Mas."
Hening, seisi ruangan menunggu jawabanku.
"Saya mau berinovasi dalam bidang... bilang kangen."
Mendadak ruangan itu riuh oleh tawa, termasuk narasumbernya, dan mbak Payung yang duduk di sebelah.
"Kenapa Mas?" Dia bertanya sambil agak senyum-senyum menahan tawa.
"Ya, karena sebelumnya saya nggak berani bilang kangen. Saya kira inovasi harus dimulai dari sini, dari dalam diri sendiri. Jadi, ke depannya... kalau kangen saya akan bilang terus terang."
Ruangan itu riuh lagi, tepuk tangan dan tawa campur jadi satu.
"Terima kasih jawabannya, Mas." Dia kasih aku acungan jempol, entah apa artinya.
***
Acara selesai, ternyata seru juga. Kenapa sebelumnya aku males datang ke acara kayak begini ya? Aku dapat banyak kenalan baru, ilmu baru, dan... Payung baru, ehm. Apa yang spesial dari acaranya? Pulangnya, aku nggak langsung pulang. Aku melipir ke cafe dekat situ... sama Mbak Payung.
"Lo dari Jakarta sendirian?" Aku berbasa-basi waktu kami baru duduk dan baca menu, "biasanya cewek bergerombol!"
"Temen-temen gue udah jadi mamah muda semua." Dia jawab sambil baca-baca menu, "mereka bergerombol ke acara yang temanya ibu dan anak, gue nggak bisa ikutan."
Dia masih sibuk baca menu, tapi kerasa nggak sih? Kayak ada sakit-sakitnya. Nggak sengaja, aku lihat jari manisnya. Ada segaris putih bekas cincin. Tahu kan kalau lama pakai cincin suka ada bekasnya? Nah, itu.
Kami makan malam dengan sunyi. Selama itu aku berusaha mikirin topik obrolan. Bagaimanapun dia orang asing, nggak lucu juga kalau aku langsung melempar topik yang serius. Kami pesan kopi, ice americano buat dia dan aku... lupa namanya apa. Espresso pakai gula cair, terus dikasih perasan lemon. Enak, loh!
"Lo pernah nggak sih ngerasa optimis, punya keyakinan kalau jalan yang lagi lewatin sekarang bakal bawa lo menuju kebahagiaan yang lo mimpikan?" Dia bertanya sambil mengaduk kopinya sebelum menyesapnya.
"Lo abis batal nikah ya?"
"UHUK! UHUK!" Dia menyeka mulutnya pakai tisu, "anjrit lo kok langsung tembak gitu sih? Hahaha suka bener ya orangnya."
"Jari manis lo cerita cukup banyak."
Dia melirik jari manisnya sambil tersenyum... ah anjir, perih kalau ingat senyumnya yang ini. Asli kayak orang yang udah diserang abis-abisan sampai nggak bisa berbuat apa-apa... dan cuma bisa senyum pasrah.
"Cowok ini..." Dia masih menatap jari manisnya, "masa-masa paling indah di hidup gue itu masa-masa gue sama dia. Makanya gue rela kasih seluruh bagian terbaik diri gue buat dia."
"..." Aku nggak jawab, biar dia cerita dulu.
"...tapi luka paling dalam yang gue punya sekarang, luka dari dia."
"Kayaknya dari dulu ada bagian diri lo yang merasa kalau suatu saat, ada kemungkinan cowok itu bakal melukai lo... tapi lo nggak mau dengar."
"..."
"Gue juga sama, gue orang yang nggak mau dengar kemungkinan itu. Karena itu buruk dan gue nggak suka. Tapi sekarang, nggak lagi. Gue akan membiarkan kepala kedua gue bersuara."
Dia menatap aku sambil tersenyum, "kepala kedua? gue suka itu."
"Asal nyebut aja sih gue." Aku garuk-garuk kepala yang nggak gatal.
"Gue suka sama jawaban lo soal inovasi."
"Sorry, gue emang sebodoh dan secemen itu."
"Hei, gue serius. Itu bukan sarkasme kali." Dia tersenyum jahil, "gue kayak dapat aha moment pas dengar jawaban lo. Lo udah sering berinovasi dong kalau gitu?"
"Nggak sering sih, akhir-akhir ini aja." Aku berterus terang, "mau gue kasih lihat sekarang?"
"Bisa? Gimana caranya?"
"Lo itu tipe gue banget, dan kenalan sama lo itu pencapaian baru buat gue."
"Wow."
Aku menatap lurus ke matanya. Perasaanku berantakan nggak karuan, ini terlalu di luar kebiasaan. Nggak apa-apa, aku harus mecobanya. Apa sih kemungkinan terburuknya? Disiram ice americano. Aku siap menerima itu kalau seandainya terjadi.
"Kalau yang tadi itu inovasi, emang sebelumnya kayak gimana?"
"Ya, mau chat aja gue bakal mikir ratusan kali. Satu pesan yang dia baca itu hasil revisi belasan kali. Kelamaan, ditikung deh akhirnya. Itu sering terjadi. Makanya mantan gue itu-itu aja, nggak nambah."
Dia tertawa renyah.
"Gue juga mau berinovasi ah sekarang." Katanya, terdengar antusias. "Kita tukeran kontak yuk?"
Wow, aku tertawa kecil, nggak nyangka diserang setelak itu. Cewek seindah dia mana mungkin pernah minta kontak duluan sama cowok. Aku percaya itu inovasi, dan dia harus menekan gengsi.
"Nggak mau ah." Aku menjawab tanpa ragu, "gue nggak mau kita cuma jadi sebatas teman biasa. Sekarang, gue belum siap buat hubungan yang lebih serius. Jadi, sebaiknya gue nggak memulai apa-apa dulu."
"Sial, pertama nyoba langsung ditolak!"
Kami tertawa berdua.
"Gue mau selesai dengan diri sendiri dulu" Aku menjelaskan apa adanya.
"Iya sih, luka gue juga belum kering semua." Balasnya, "nanti kalau kita ketemu lagi dengan keadaan yang jauh lebih baik dari hari ini..."
"Gue bakal cari lo, terus nyoba deketin lo sebaik-baiknya." Aku memotong ucapannya.
Dia tersenyum... indah. Itu adalah senejis senyuman yang merepotkan; Gampang diingat, susah dilupakan.
Waktu sampai di kosan, perasaanku jadi jauh lebih baik. Hari ini, aku berani keluar dari kebiasaan. Semua yang aku takutkan sebelumnya bisa aku lawan pelan-pelan. Rasanya... aneh, tapi menyenangkan. Sebelumnya aku nggak suka acara kayak gitu, ngapain? Kan bisa google kalau mau belajar. Ternyata sesuatu yang nggak aku sukai itu belum tentu buruk. Buat orang kenalan sama cewek mungkin terkesan biasa. Buat aku, nyamperin cewek terus kenalan itu... mengerikan. Perubahan kecil ini...
"Hei, sekecil-kecilnya... ada baiknya. Jangan menyepelekan diri sendiri gitu! Besok lagi, ya."
"Oke siap!"
"Ini kenangan yang bagus, ingat kan... setiap hari, kita harus bikin kenangan?"
Hehe.
Spoiler for Tantangan:
Kepada siapapun yang baca cerita ini.
Berani berinovasi nggak? Yang gampang-gampang aja dulu.
Bangun pagi, lari pagi, atau... bilang kangen sama mantan gitu.
Coba deh, terus rasain sendiri, rasanya gemes-gemes nagih gitu.
Berani berinovasi nggak? Yang gampang-gampang aja dulu.
Bangun pagi, lari pagi, atau... bilang kangen sama mantan gitu.
Coba deh, terus rasain sendiri, rasanya gemes-gemes nagih gitu.
Diubah oleh Kepalakedua 23-06-2019 22:46
aripindoank dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas