TS
OWNER
vitawulandari
Kompilasi STOMP (Story Of Military and Policehood)
Thread ini digunakan sebagai tempat kumpulan cerpen STOMP (Story Of Military & Policehood)
Selamat Menulis
Quote:
- Thread ini digunakan sebagaibwadah bagi kaskuser yang ingin membuat karangan cerita pendek seputar Militer dan/atau Kepolisian.
- Cerpen boleh kisah nyata, fiksi atau kisah nyata yang difiksikan
- Cerpen yang diposting wajib mengandung unsur-unsur militr dan/atau kepolisian didalamnya.
- Genre, alur, dan tema cerpen bebas sepanjang memenuhi kriteria pada aturan nomor 3
- Penggunaan grafik, gambar, ilustrasi atau dekorasi diperbolehkan.
Cerpen maksimal 20.000 karakter (1 postingan saja) - Satu user ID boleh memposting lebih dari 1 cerpen, dengan syarat judul dan isi ceritanya harus berbeda
- Dilarang memasukkan unsur SARA atau provokasi dalam cerita, atau hal-hal yang dinilai mendiskreditkan pihak-pihak tertentu
- Cerpen yang diposting harus hasil karya original. Jika mengutip karya orang lain didalamnya, wajib menyertakan sumbernya.
- Dilarang chit chat apalagi junk
- Posting cerita mohon gunakan SPOILER
- Dilarang mengomentari cerpen peserta lainnya
- Pelanggaran berupa sanksi delete post dan/atau banned
Selamat Menulis
Diubah oleh vitawulandari 08-08-2019 08:23
swiitdebby dan 9 lainnya memberi reputasi
10
16.1K
Kutip
58
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Militer
20KThread•6.9KAnggota
Tampilkan semua post
OWNER
stuka1788
#6
[STOMP] Hari Itu...
Spoiler for :
Hari Itu...
Ketel mendidih, menyemburkan uapnya hingga tinggi ke langit-langit dapur, memanggil dengan pekikannya yang melengking keras. Aku pun dengan segera menggerakkan kaki tuaku tergopoh-gopoh menghampirinya. Langkahku sudah tak secepat dulu lagi, namun setidaknya kakiku ini masih sanggup membawaku bepergian, apalagi hanya sekadar menyeberang ruangan.
Aku mematikan kompor, kemudian mengambil ketel dan menuangkan isinya yang masih berkepul uap ke dalam cangkir kaleng motif loreng hijau putih yang sebelumnya sudah kuberikan kopi tubruk tanpa gula. Air yang semula berwarna bening menggelegak dan menghitam, kemudian uapnya menyebarkan aroma wangi kopi ke seluruh ruangan. Di meja itu pula, masih hangat, adalah tahu tempe goreng dengan nasi putih pada cething, siap untuk disantap pada pagi ini.
"Bu! Bune!"
"Ya, Pak, sebentar!"
Aku meletakkan ketel pada tempatnya, kemudian segera berlari menyambut panggilan suamiku yang ada di kamar. Di kamar yang bergaya Jawa ini, dengan perabot yang sebagian besar masih terbuat dari kayu utuh, bukan olahan serbuk gergaji sebagaimana perabotan sekarang, suamiku tengah berpantas diri di depan cermin lemari berbentuk lonjong. Tanpa disuruh lagi, aku segera bergerak ke depannya dan mengikat dasinya.
"Sudah rapi belum, Bu?"
"Sudah, Pak."
"Bapak ndak mau berantakan pas ketemu ama temen-temen."
"Oalah, Pak, sampeyan itu udah paling rapi seangkatan, aku yakin temen-temen sampeyan yang bakal iri."
"Siapa dulu istrinya."
Suamiku pun mencium pipiku dengan bibirnya yang keriput.
"Sudahlah, Pak, malu, udah usia segini juga."
"Biar ndak kalah ama yang muda-muda, Bu."
"Ya sudah cepetan, ntar upacaranya keburu mulai."
Ya, usia kami berdua memang sudah lanjut. Suamiku bernama Diman, usianya sudah 93 tahun. Aku sendiri hanya beberapa tahun di bawahnya. Kami menikah pada tahun 1950, setahun setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia. Ya, suamiku turut berjuang pula saat masa-masa perang kemerdekaan.
Aku kemudian memakaikannya jas veteran dan topi mut warna kuning yang selalu bangga dia kenakan. Biasanya setelah ini dia akan bercerita sedikit soal pertama kali dia masuk ke Heiho di zaman Jepang, dan bertemu dengan teman-temannya, seperti Joseph, Letnan Dayat, Sobir, Mardjo, Saidi, Kuncung, Bandot, dan yang lain lagi. Kemudian cerita sering diikuti dengan betapa kerasnya gojlokan dari komandan Jepang mereka, Nakamura Taichou, dan betapa mereka hampir saja dikirim ke Malaya atau Burma kalau Jepang belum keburu menyerah.
Setelah menyantap sarapan dan menyeruput kopi kental, Pak Man, begitu aku memanggilnya, mengambil tongkat jalan kesayangannya yang sudah kusam, dan tak lupa pula membawa sebuah set papan catur dari kayu yang sebagian catnya sudah terkelupas.
"Nanti mau maen skak lagi, Pak?"
"Iya, tahun lalu kan si Joseph kalah, nah, dia pengen revans ama Bapak."
"Balik maleman lagi jadi?"
"Ya tergantung ntar selesainya, Bu."
"Jangan kemaleman, inget umur, Pak."
Pak Man hanya mengangguk saja. Walau begitu, aku sadar bahwa tidak mungkin untuk menghentikannya pulang malam bila sudah menyangkut soal kawan-kawan seperjuangannya. Mereka sudah melewati masa-masa di Heiho, bergabung ke BKR, semua dilakukan bersama-sama. Si orang yang bernama Joseph itu, Pak Man pernah bercerita bahwa dia yang selalu mengangkat semangat saat pasukan mereka terpojok dalam kontak senjata dengan pasukan NICA. Salah satu cerita yang kuingat adalah ketika si Joseph berkata seperti ini di saat pasukan mereka dihujani berondongan peluru Belanda:
"Heh, kamu bilang 'Allahu Akbar', beta bilang 'Hidup Tuhan Yesus'. Sudah dibantu sama dua Tuhan kenapa kita masih takut maju, heh?"
Pak Man selalu saja terpingkal-pingkal saat mengingatnya, dengan mata yang kemudian menerawang penuh kerinduan.
Baru setelah Pak Man berangkat, aku terduduk sambil mengingat kembali segala sesuatunya. Pernikahanku selama berpuluh tahun dengan Pak Man, dia selalu menjadi suami dan ayah yang baik, dan satu hal yang sering kuperhatikan adalah tak seperti mantan pejuang yang lain, dia tak pernah bercerita panjang lebar mengenai pengalamannya selama perang kemerdekaan, bahkan saat anak atau cucu kami memintanya. Padaku, dia hanya bercerita singkat-singkat saja, lalu berhenti saat aku menjadi terlalu penasaran. Aku tidak pernah menuntutnya atau menyalahkannya untuk itu. Walau aku dan anak serta cucu kami adalah bagian kehidupannya setelah masa perang, kawan-kawan seperjuangannya tampaknya lebih memberikan kesan yang mendalam pada Pak Man, mungkin jauh lebih erat daripada dengan darah dagingnya sendiri.
Terkadang saat mereka berkumpul, mereka bisa bercerita panjang lebar, dan Pak Man akan menjadi lebih sumringah, juga lebih gayeng saat berada bersama mereka. Aku pernah sekilas mendengar mengenai Letnan Dayat, yang pernah menantang berkelahi seorang sersan Jepang hingga dihukum cambuk karena tak tega anggotanya diperlakukan semena-mena oleh sersan itu. Lalu ada Sobir dan Mardjo, yang dengan berani masuk ke gudang senjata Kempetai untuk merampas senjata-senjata bagi para pejuang. Pak Man juga bercerita soal dia, Saidi, Kuncung, dan Bandot, yang terpaksa "menginap" di got saluran air persawahan, sambil pesawat-pesawat Belanda bersliweran di atas mereka. Kadang saat tanah bergetar akibat truk atau tank Belanda lewat, mereka berdoa dengan khusyuk dalam hening, tubuh menggigil ketakutan, gentar bila sewaktu-waktu ada tentara Belanda yang iseng masuk ke relung got tempat keempat orang ini bersembunyi. Belum lagi cerita-cerita soal kawan mereka yang gugur, seperti seorang bernama Komar, yang membawa ranjau darat menerjang ke roda rantai tank Belanda yang menyerang.
Aku sendiri tak pernah berdiam di tempat saat mereka bercerita. Entah kenapa saat itu aku merasa seperti terasing di dunia mereka dan tak berhak untuk mendengar cerita-cerita mereka. Walau begitu, tak jarang pula dunia itu menyeruak masuk ke dunia kami, ketika tiba-tiba Pak Man terbangun di tengah malam dengan keringat dingin, napas tersengal, dan raut wajah ketakutan sambil berteriak "Belanda datang... Belanda datang..." Namun setiap kali kutanya kembali beliau memilih bungkam, dan baru bisa bercerita lepas kepada teman-temannya yang memang mengalami pahit getir peperangan bersamanya.
Terkadang hal-hal semacam itu yang membuatku iri, tak bisa memasuki dunia di mana Pak Man dan teman-temannya berada. Upacara 17 Agustus, Hari Pahlawan, atau HUT TNI adalah tanggal-tanggal yang selalu dinantikan oleh Pak Man, karena pada tanggal-tanggal itu pula mereka semua akan bertemu dan saling melepas kangen sambil bertukar cerita lama yang tak pernah bosan dituturkan. Aku pernah beberapa kali ikut Pak Man upacara, namun selalu merasa terasing di kemudian waktu, sehingga aku lebih sering menunggu di rumah. Satu hal yang kuperhatikan adalah bahwa Pak Man maupun teman-temannya sangat bersemangat untuk datang, bahkan upacara tahun kemarin, Letnan Dayat memaksakan untuk datang, walau harus memakai kursi roda dan tangan dipasang infus, dan malam sebelumnya masih mondok di rumah sakit. Keinginan mereka untuk terus bertemu tak bisa dihalangi oleh apa pun juga.
Tapi yah, mau bagaimana lagi. Di satu sisi Pak Man sudah membuktikan diri sebagai suami dan ayah serta kakek yang baik bagi dunia kami; berbeda dari masa mudanya yang penuh peperangan, sebagai kepala keluarga, dia selalu bertutur lembut dan tak pernah sekalipun mengangkat tangannya, ditambah senyum yang selalu tersungging, membuat hati semua orang merasa nyaman. Sehingga aku pun harus bisa rela dan maklum saat dia menepi ke dunianya sendiri bersama teman-temannya. Lagi pula, dunia nostalgia itu adalah satu-satunya yang mereka punya, dunia di mana mereka masih muda, kuat, dan berjaya, serta tak takut akan apa pun, menghadapi teror yang mungkin tak akan pernah terbersit dalam pikiran anak muda yang tak mengalami masa-masa itu.
Kemudian siang itu, aku baru saja selesai mengucap salam dan mengakhiri sholat Dzuhur ketika pintu depan diketuk perlahan. Siapa gerangan yang bertamu siang-siang begini?
"Ya, sebentar!"
Aku buru-buru berjalan, masih tanpa melepas mukenaku, untuk membukakan pintu depan. Aku terkejut, karena di sana ada Pak Man, namun keadaannya berbeda sekali dengan saat beliau berangkat tadi pagi. Wajahnya kuyu, bahunya terkulai lemas, dan kulihat tangannya yang memegang tongkat agak gemetaran. Papan catur yang tadi dia bawa pun tak terlihat keberadaannya. Pak Man masuk ke dalam rumah tanpa bicara apa-apa, namun dengan raut muka menahan sesuatu yang amat besar.
"Koq sudah pulang, Pak?"
Pak Man hanya memberi gerakan tangan tidak jelas sebelum berjalan terus dan masuk ke dalam kamar. Kenapa Pak Man yang biasanya ceria, apalagi di hari ini, bisa menjadi selemas itu? Dia tampak jauh lebih tua daripada usianya saat ini.
Aku segera saja melepas mukenaku, lalu menuangkan air putih dari kendi tanah liat ke gelas. Pak Man tak pernah suka air dari kulkas. Aku pun membawakannya ke kamar saat kulihat Pak Man berada di ranjang dengan badannya disandarkan pada dinding dan matanya menatap kosong.
"Diminum dulu, Pak."
Pak Man diam saja, tapi mengambil gelas dengan tangan gemetaran sehingga aku harus membantu memeganginya karena takut gelasnya jatuh. Setelah minum beberapa teguk, barulah Pak Man menghembuskan napas panjang dan kulihat raut mukanya sudah tak setegang tadi.
Pelan-pelan, aku pun memberanikan diri untuk bertanya.
"Kenapa koq pulang cepat, Pak? Apa Bapak sakit?"
Pak Man menatapku dengan tatapan mata nanar dan berkaca-kaca.
"Bapak tadi datang ke tempat upacara, Bu. Bapak duduk, menunggu temen-temen Bapak datang. Lama sekali, Bapak duduk, menunggu, upacara selesai lama, dan Bapak masih menunggu..."
Tiba-tiba napasku serasa berhenti, membayangkan apa yang akan Pak Man katakan selanjutnya.
"Tapi mereka tidak datang, Bu!"
Seketika itu juga pecahlah tangis Pak Man. Aku masih terdiam terkaku, mencoba mencerna situasinya. Mereka selalu datang ke upacara walau dalam kondisi seberat atau sesakit apa pun, hanya demi bertemu teman-temannya. Dan bila saat ini mereka semua tidak datang, hanya ada satu kemungkinan yang ada...
Aku langsung memeluk Pak Man, dan Pak Man membenamkan mukanya di dalam pundakku, menangis sekeras-kerasnya dan sejadi-jadinya. Aku membiarkannya menangis sambil mengelus pelan pundaknya tanpa berkata-kata, karena ini adalah air mata yang telah dia tahan selama 70 tahun lebih.
TAMAT
Diubah oleh vitawulandari 22-06-2019 02:48
bramsdracula dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Kutip
Balas