- Beranda
- Stories from the Heart
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
...
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:

Cover:

NB: Sorry Bad Editing
Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter
Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita
Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.
Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.
Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.
Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.
Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.
Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.
Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.
Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.
Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.
Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.
Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.
Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.
***
Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.
“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.
“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.
“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.
Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.
Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.
Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.
Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.
“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.
“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.
“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.
“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.
“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”
Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.
“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.
Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.
“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.
Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.
Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.
***
Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.
Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,
“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.
“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.
Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.
“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.
Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.
Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.
“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.
“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.
“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.
“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.
“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.
Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.
Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.
Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.
Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.
“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.
“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.
‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.
Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.
Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
sandriaflow
#80
Chapter 20: Note about Someone
Tiara, Tiara, dan Tiara. Nama itulah yang selalu memenuhi kotak masuk di smartphone-ku diantara sekian nama yang tak pernah kuacuhkan. Nama yang juga memenuhi pikiranku, terkunci rapat selama ratusan jam sejak saat dimana ia mengembalikan buku itu kepadaku. Ratusan kata-kata singkat ia kirimkan kepadaku, kata yang sesungguhnya biasa namun dalam perspektif orang yang sedang jatuh cinta menjadi luar biasa. Aku sendiri pun bertanya, Apakah yang kurasakan ini bisa disebut cinta? Padahal yang terjadi, hubunganku dan dia hanyalah sebatas jalinan kontak di dunia digital, tanpa adanya tatap muka. Lewat medium itulah, perasaanku secara bertahap terasa berbeda dari sebelumnya.
Aku tak pernah membuat satupun kenangan nyata dengannya, kecuali jutaan detik yang kuhabiskan untuk tersenyum membalas satu persatu pesan yang ia kirimkan kepadaku. Kebahagiaanku cukup hanya dengan membalas pesan itu serta memandang paras ayu yang seringkali ia pampang di media sosialnya. Gaya bahasanya yang lugu, membuat jari jemariku betah menanggapinya dengan gaya bahasaku sendiri yang terkadang terbawa arus kedalam dunianya.
Angan-angan, itulah pengandaian yang hanya mampu kulakukan. Kisahku ini lebih menarik jika bukan didunia nyata. Mungkin kisahku ini begitu hidup jika kuproyeksikan dalam imajinasi liar didunia parallel atau mungkin didunia dongeng. Dunia dimana manusia bisa membuat alur cerita cinta begitu sempurna tanpa ada goresan luka dengan beragam pengkhianatan.
Dunia dimana gelak tawa dan rangkaian jalinan cinta terukir secara terstruktur menyesuaikan kehendak si pengkhayal. Hanya ada dua insan, diantara ribuan mawar yang merekah serta kicau burung riuh rendah sedang bersenandung menambah nuansa. Ketika siang hari awan dan mentari tersenyum iri dengan kedua orang yang saling jatuh cinta itu. Ketika malam menjemput, ada bulan dan bintang-gemintang yang turut cemburu menyaksikan.
Aku tak bisa menjelaskan ceritaku dengannya secara runtut layaknya cerita cinta anak remaja yang menantikan akhir bahagia. Aku tak bisa merangkaikan kisah ini seperti film dimana aku bisa memeluknya erat, memegang tangannya tulus, berpuisi indah serta mencium bibir lembutnya. Itu hanya dalam imajinasi sempitku dan mungkin juga bisa terjadi jika cerita ini kufiksikan. Sayangnya, aku tak tertarik untuk itu, Tiara bukan orang yang demikian. Ia adalah seorang wanita yang berprinsip dan punya pedoman agama. Terkadang, aku tertawa sendiri ketika ia membangga-banggakan status jomblonya kepadaku. Aneh, tapi itulah yang menjadi keunikan dia.
Beragam hal ia bicarakan denganku lewat salah satu media sosial. Ia ceritakan kisah-kisah hidupnya, tentang impiannya, juga tentang dirinya secara deskriptif. Begitupun sebaliknya, seperti halnya dua orang sahabat yang telah mengenal sejak lama, aku begitu mempercayainya. Dengannya aku berani mengumbar mimpiku, mengumbar angan-anganku, kisah-kisahku yang tak semua orang tahu. Masa laluku dengan beragam kisah cintaku yang pupus, dia tahu tentangku.
Aku masih ingat, ketika dia bimbang belum mendapatkan unversitas. Dia ceritakan kerisauannya, kusimak kata demi kata yang ia berikan. Kubalas dengan sedikit nasihat bahkan lelucon basi yang ternyata membuat ia tertawa. Semua ini terasa seperti kebetulan walaupun sebenarnya itu adalah garisan dari Tuhan. Sekarang aku ikut bersyukur karena dia telah diterima di salah satu universitas Islam di Yogyakarta. Senyuman kebahagiaanya masih terngiang jelas kala itu lewat foto yang ia unggah.
Tak jarang aku meminta dia untuk mengirimkan catatan suara kepadaku. Mencari sesuatu yang berbeda karena terlanjur bosan dengan hurufhuruf bisu. Suaranya yang halus senantiasa kuingat dan terputar otomatis ketika kuingat kilas wajah cantiknya. Kadang juga, dia memintaku untuk menyanyikan sebuah lagu. Lewat lagu-lagu itulah aku dapat mengungkapkan perasaanku untuknya.
Dulu, dia hanyalah orang asing. Sosok yang hanya bisa kulihat sebatas punggung, sebatas bayang-bayang yang tak pernah kusangka akan memberikan segores tinta dalam lembaran kehidupanku ini. Sosok yang tak pernah sekalipun kuharapkan untuk menyelamatkanku dari jurang masa lalu. Namun, itulah yang terjadi sekarang. Dia sekarang ada didekatku bukan lagi bayangan.
Aku tak tahu apa yang dipikirkannya, pun apa yang ada dalam hatinya. Rumit jika harus dijelaskan dengan rumus matematika, ini perasaan bukan logaritma. Bukan pula soal sains alam semesta yang sistematis. Ini hanya tentang perasaan seseorang yang tak bisa dicerna logika. Aku sadar bahwa aku bukanlah malaikat yang begitu dekat dengannya dan bisa membaca apa isi hatinya. Aku hanya manusia biasa yang bisa menerka, kecuali jika ia berkenan jujur tentang sesungguhnya. Nyatanya tidak, tebakan-tebakanku tak mampu mencapai satu konklusi utuh. Aku tetap tak tahu perasaannya untukku.
Kehadirannya sekarang memiliki arti tersendiri dalam sepotong hati yang pernah terluka ini. Tanpa dia mungkin hari-hariku terasa membosankan. Sekali lagi dia membuat hidupku berwarna setelah sekian lama hitam putih. Dia lukis mahakarya seni yang luar biasa didalam hati yang usang ini menjadi lebih baru. Perlahan sosoknya mulai merekat kedalam diriku, dan tanpa kusadari dia telah menjadi bagian penting dalam hidupku sekarang.
Mungkin Tuhan terlalu baik denganku telah berkenan mengirimkan orang sebaik Tiara kedalam hidupku. Aku tak punya hak untuk menganggap bahwa Tiara seutuhnya milikku. Aku tahu aku mencintainya, tapi aku bukan siapa-siapa baginya. Kapan saja dia bisa pergi dari kehidupanku untuk mengejar kehidupan baru. Hal yang mungkin dan pasti. Berbeda halnya jika dua cincin melingkar di antara jari manis kami berdua sebagai simbol ikatan sakral pemersatu dua insan. Sayang, meskipun aku pernah bermimpi demikian, itu tak mungkin terjadi saat ini. Masih banyak mimpi-mimpi yang harus kami berdua kejar, masih banyak orang-orang diluar sana yang harus kami temui. Jika memang berjodoh, kami akan bertemu dan kembali di titik yang sama.
Aku berterimakasih untuknya dan untuk segalanya. Terimakasih atas kehadirannya yang mampu menarikku dari bayang-bayang luka masa laluku. Terimakasih atas jutaan detik yang telah ia luangkan untukku dahulu, sekarang, dan detik-detik selanjutnya. Terimakasih telah memberikan warnawarna indah layaknya kebun tulip yang menawan.
Akankah cerita ini sama nantinya, aku tak punya jawaban. Biarlah mengalir ibarat sungai yang mengalir deras menuju samudra luas. Meskipun aku tak pernah membuat kenangan berarti bersamanya, cerita ini akan tetap kukenang dalam imajinasi di alam dongeng yang kuciptakan, hanya ada aku dan dia.
Harapan ini kubiarkan tetap terpasak dalam hati hingga lepas dengan sendirinya. Aku berdoa, semoga alurnya nanti bukan berujung kekecewaan. Jika memang harus terpisah semoga itu menjadi perpisahan yang baik.
19/07/2016- Catatan Hati tentang Seseorang
Tiara, Tiara, dan Tiara. Nama itulah yang selalu memenuhi kotak masuk di smartphone-ku diantara sekian nama yang tak pernah kuacuhkan. Nama yang juga memenuhi pikiranku, terkunci rapat selama ratusan jam sejak saat dimana ia mengembalikan buku itu kepadaku. Ratusan kata-kata singkat ia kirimkan kepadaku, kata yang sesungguhnya biasa namun dalam perspektif orang yang sedang jatuh cinta menjadi luar biasa. Aku sendiri pun bertanya, Apakah yang kurasakan ini bisa disebut cinta? Padahal yang terjadi, hubunganku dan dia hanyalah sebatas jalinan kontak di dunia digital, tanpa adanya tatap muka. Lewat medium itulah, perasaanku secara bertahap terasa berbeda dari sebelumnya.
Aku tak pernah membuat satupun kenangan nyata dengannya, kecuali jutaan detik yang kuhabiskan untuk tersenyum membalas satu persatu pesan yang ia kirimkan kepadaku. Kebahagiaanku cukup hanya dengan membalas pesan itu serta memandang paras ayu yang seringkali ia pampang di media sosialnya. Gaya bahasanya yang lugu, membuat jari jemariku betah menanggapinya dengan gaya bahasaku sendiri yang terkadang terbawa arus kedalam dunianya.
Angan-angan, itulah pengandaian yang hanya mampu kulakukan. Kisahku ini lebih menarik jika bukan didunia nyata. Mungkin kisahku ini begitu hidup jika kuproyeksikan dalam imajinasi liar didunia parallel atau mungkin didunia dongeng. Dunia dimana manusia bisa membuat alur cerita cinta begitu sempurna tanpa ada goresan luka dengan beragam pengkhianatan.
Dunia dimana gelak tawa dan rangkaian jalinan cinta terukir secara terstruktur menyesuaikan kehendak si pengkhayal. Hanya ada dua insan, diantara ribuan mawar yang merekah serta kicau burung riuh rendah sedang bersenandung menambah nuansa. Ketika siang hari awan dan mentari tersenyum iri dengan kedua orang yang saling jatuh cinta itu. Ketika malam menjemput, ada bulan dan bintang-gemintang yang turut cemburu menyaksikan.
Aku tak bisa menjelaskan ceritaku dengannya secara runtut layaknya cerita cinta anak remaja yang menantikan akhir bahagia. Aku tak bisa merangkaikan kisah ini seperti film dimana aku bisa memeluknya erat, memegang tangannya tulus, berpuisi indah serta mencium bibir lembutnya. Itu hanya dalam imajinasi sempitku dan mungkin juga bisa terjadi jika cerita ini kufiksikan. Sayangnya, aku tak tertarik untuk itu, Tiara bukan orang yang demikian. Ia adalah seorang wanita yang berprinsip dan punya pedoman agama. Terkadang, aku tertawa sendiri ketika ia membangga-banggakan status jomblonya kepadaku. Aneh, tapi itulah yang menjadi keunikan dia.
Beragam hal ia bicarakan denganku lewat salah satu media sosial. Ia ceritakan kisah-kisah hidupnya, tentang impiannya, juga tentang dirinya secara deskriptif. Begitupun sebaliknya, seperti halnya dua orang sahabat yang telah mengenal sejak lama, aku begitu mempercayainya. Dengannya aku berani mengumbar mimpiku, mengumbar angan-anganku, kisah-kisahku yang tak semua orang tahu. Masa laluku dengan beragam kisah cintaku yang pupus, dia tahu tentangku.
Aku masih ingat, ketika dia bimbang belum mendapatkan unversitas. Dia ceritakan kerisauannya, kusimak kata demi kata yang ia berikan. Kubalas dengan sedikit nasihat bahkan lelucon basi yang ternyata membuat ia tertawa. Semua ini terasa seperti kebetulan walaupun sebenarnya itu adalah garisan dari Tuhan. Sekarang aku ikut bersyukur karena dia telah diterima di salah satu universitas Islam di Yogyakarta. Senyuman kebahagiaanya masih terngiang jelas kala itu lewat foto yang ia unggah.
Tak jarang aku meminta dia untuk mengirimkan catatan suara kepadaku. Mencari sesuatu yang berbeda karena terlanjur bosan dengan hurufhuruf bisu. Suaranya yang halus senantiasa kuingat dan terputar otomatis ketika kuingat kilas wajah cantiknya. Kadang juga, dia memintaku untuk menyanyikan sebuah lagu. Lewat lagu-lagu itulah aku dapat mengungkapkan perasaanku untuknya.
Dulu, dia hanyalah orang asing. Sosok yang hanya bisa kulihat sebatas punggung, sebatas bayang-bayang yang tak pernah kusangka akan memberikan segores tinta dalam lembaran kehidupanku ini. Sosok yang tak pernah sekalipun kuharapkan untuk menyelamatkanku dari jurang masa lalu. Namun, itulah yang terjadi sekarang. Dia sekarang ada didekatku bukan lagi bayangan.
Aku tak tahu apa yang dipikirkannya, pun apa yang ada dalam hatinya. Rumit jika harus dijelaskan dengan rumus matematika, ini perasaan bukan logaritma. Bukan pula soal sains alam semesta yang sistematis. Ini hanya tentang perasaan seseorang yang tak bisa dicerna logika. Aku sadar bahwa aku bukanlah malaikat yang begitu dekat dengannya dan bisa membaca apa isi hatinya. Aku hanya manusia biasa yang bisa menerka, kecuali jika ia berkenan jujur tentang sesungguhnya. Nyatanya tidak, tebakan-tebakanku tak mampu mencapai satu konklusi utuh. Aku tetap tak tahu perasaannya untukku.
Kehadirannya sekarang memiliki arti tersendiri dalam sepotong hati yang pernah terluka ini. Tanpa dia mungkin hari-hariku terasa membosankan. Sekali lagi dia membuat hidupku berwarna setelah sekian lama hitam putih. Dia lukis mahakarya seni yang luar biasa didalam hati yang usang ini menjadi lebih baru. Perlahan sosoknya mulai merekat kedalam diriku, dan tanpa kusadari dia telah menjadi bagian penting dalam hidupku sekarang.
Mungkin Tuhan terlalu baik denganku telah berkenan mengirimkan orang sebaik Tiara kedalam hidupku. Aku tak punya hak untuk menganggap bahwa Tiara seutuhnya milikku. Aku tahu aku mencintainya, tapi aku bukan siapa-siapa baginya. Kapan saja dia bisa pergi dari kehidupanku untuk mengejar kehidupan baru. Hal yang mungkin dan pasti. Berbeda halnya jika dua cincin melingkar di antara jari manis kami berdua sebagai simbol ikatan sakral pemersatu dua insan. Sayang, meskipun aku pernah bermimpi demikian, itu tak mungkin terjadi saat ini. Masih banyak mimpi-mimpi yang harus kami berdua kejar, masih banyak orang-orang diluar sana yang harus kami temui. Jika memang berjodoh, kami akan bertemu dan kembali di titik yang sama.
Aku berterimakasih untuknya dan untuk segalanya. Terimakasih atas kehadirannya yang mampu menarikku dari bayang-bayang luka masa laluku. Terimakasih atas jutaan detik yang telah ia luangkan untukku dahulu, sekarang, dan detik-detik selanjutnya. Terimakasih telah memberikan warnawarna indah layaknya kebun tulip yang menawan.
Akankah cerita ini sama nantinya, aku tak punya jawaban. Biarlah mengalir ibarat sungai yang mengalir deras menuju samudra luas. Meskipun aku tak pernah membuat kenangan berarti bersamanya, cerita ini akan tetap kukenang dalam imajinasi di alam dongeng yang kuciptakan, hanya ada aku dan dia.
Harapan ini kubiarkan tetap terpasak dalam hati hingga lepas dengan sendirinya. Aku berdoa, semoga alurnya nanti bukan berujung kekecewaan. Jika memang harus terpisah semoga itu menjadi perpisahan yang baik.
19/07/2016- Catatan Hati tentang Seseorang
0