- Beranda
- Stories from the Heart
[TAMAT] Always Be My Baby
...
TS
saleskambing
[TAMAT] Always Be My Baby
![[TAMAT] Always Be My Baby](https://s.kaskus.id/images/2019/03/21/8577467_201903211113170946.png)
Mulustrasi, sumber
Tokoh dan karakter di cerita ini diambil dari cerita ini, boleh dibaca dulu biar tau, tapi lebih baik nggak usah.
Spoiler for Part 1:
Aku menurunkan bocah kecil ini dari gendongan, sedikit berjongkok agar bisa merapikan setelan seragamnya yang agak sedikit berantakan, lalu mulai memandangnya, persis seperti apa yang sedang dilakukan oleh orang tua lain yang juga ada di sini.
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
***
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
***
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
Quote:
You'll always be apart of me
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
🎶 Always Be My Baby - David Cook
Diubah oleh saleskambing 19-11-2025 13:09
jenggalasunyi dan 58 lainnya memberi reputasi
55
57.9K
Kutip
335
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
saleskambing
#110
Part 4
Mr. Loverman - Ricky Montgomery
Spoiler for :
Pernikahan adalah sebuah ikatan suci, yang menyatukan dua anak manusia yang (mungkin) memiliki banyak perbedaan. Berbeda gender, berbeda latar belakang, dan mungkin juga menyatukan dua anak manusia yang memiliki sifat dan karakter yang saling bertolak belakang.
Begitupun dengan yang kita alami, sebelum resmi menikah aku dan Dhara adalah dua orang yang amat sangat berbeda, dilihat dari sisi manapun. Meski kita juga sudah paham watak dan karakter masing masing karena sudah saling mengenal untuk waktu yang lama.
Secara penampilan, kita nampak begitu berbeda karena aku mungkin terlihat biasa saja, sementara Dhara bisa saja terlihat begitu menawan bagi siapapun yang melihat. (setidaknya ini adalah impresi awal saat pertama kali kalian bertemu dengan sosok Dhara, sebelum perangai absurd dan sifat ajaibnya perlahan terkuak dan bikin kalian geleng-geleng kepala). Sifat dan karakter kita berdua juga jauh dari kata mirip. Aku mungkin bisa bersikap lebih tenang, lebih kalem, dan lebih santai. Jauh berbeda dengan Dhara yang memang dari dulu punya sifat manja, bawel, cerewet, egois, galak, ngambekan, suka menang sendiri, cantik, imut, gemesin, dan juga keras kepala.
Saat sudah menikah, sifat kita yang bisa dibilang saling bertolak belakang ini juga tidak jarang menjadi pemicu perselisihan dan perdebatan. Aku mungkin bisa sedikit mengalah agar perdebatan kita tidak berakhir dengan hal hal yang justru tidak kita inginkan. Tetapi tetap saja, perselisihan perselisihan semacam itu terus saja terjadi, menerjang bahtera rumah tangga kita. Dan aku masih saja terus mengalah, sekedar tidak ingin membuat arwah ratu pantai selatan yang bersemayam didalam tubuh istriku itu mendadak berontak dan murka.
Salah satu perbedaan sifat yang membuat kita sering berdebat adalah cara kita mendidik dan memperlakukan buah hati kita, Irfan Junior. Sebagai sosok seorang ayah yang tampan sekaligus pengertian, aku lebih suka memperlakukan bocah kecil itu seperti teman. Aku lebih suka menasehatinya dengan cara bercanda daripada memberitahu atau memarahinya secara langsung. Aku juga lebih sering mengalah dan menuruti kemauannya daripada harus melarangnya, mengingat dulu saat aku masih kecil, aku harus sering sering menahan diri saat melihat teman temanku punya banyak mainan karena sedikit banyak aku sadar, bahwa orang tuaku bukan sosok yang punya kemampuan berlebih secara materi. Aku jarang sekali memarahinya, atau secara terang terangan langsung menghakimi kesalahannya. Yaah bisa dibilang, aku adalah sosok ayah sekaligus suami yang diidam idamkan oleh anak dan ibu manapun.
Sementara Dhara, wanita cantik yang seharusnya punya sifat lembut sebagaimana layaknya seorang perawat itu malah terkesan seperti 'nggak sabaran' dalam hal menghadapi anak kecil seperti Irfan. Aku tidak tahu apakah dia juga memperlakukan pasien pasiennya seperti ini atau tidak, tetapi beberapa kali aku mendapati Dhara sedang memperlakukan Irfan tidak selayaknya bocah berusia lima tahun pada umumnya.
Aku sebenarnya tidak bermaksud untuk menghakiminya, karena kita berdua juga masih sama sama belajar untuk menjadi orang tua yang baik, dan aku yakin apa yang dia lakukan juga demi kebaikan putra kita satu satunya itu. Tetapi tetap saja, setiap kali aku mengatakan kalau tidak seharusnya dia bersikap seperti itu pada bocah sekecil Irfan, yang terjadi justru adalah sebuah perdebatan yang akhirnya harus kembali membuat aku mengalah. Mengalah pada ego dan sifat keras kepalanya yang entah dia dapat darimana. Padahal kalau dilihat lihat dan dipikir pikir, harusnya kan aku yang dituntut untuk lebih 'keras kepala'. Meski peruntukannya jelas untuk 'kepala' dan situasi yang lain sih.
Seperti yang terjadi hari ini, aku yang sedang capek capeknya karena baru saja ikut kerja bakti mengecor teras mushola langsung disambut oleh tangisan Irfan saat baru saja menginjakkan kaki di lantai rumah. Dan biasanya, saat Irfan sudah mewek gara gara berantem sama bundanya, maka yang kebagian repot adalah aku.
"Hoaaa.. ayaah.. bunda nakal yaah, huhuhu.. "
Dia langsung berlari menghampiriku, wajahnya yang biasanya nampak menggemaskan kini terlihat memerah dan sudah basah oleh air mata. Aku kemudian mulai mengusap usap rambut dan kepalanya, sekedar mencoba untuk membuatnya lebih tenang. Cobaan untuk ayah dan suami idaman sepertiku ternyata berat juga, pulang kerumah bukannya disambut oleh senyum istri sambil bilang "ayaah, ayah pasti capek ya. Mandi dulu gih, abis itu makan. Bunda udah masakin makanan kesukaan ayah tuh.. " Eh malah harus nenangin bocah nangis.
"eh, jagoan ayah kenapa nangis? Udah yaa, cup cup. Masa laki laki nangis sih.. "
"huaaa.. bunda nakal yaaah.. huhuhu.. "
"sst.. udah ya, jangan nangis lagi, malu kalo diliat orang. Sekarang bilang, diapain kamu sama bunda? Biar nanti ayah marahin, masa jagoan ayah dibikin nangis gini sih.. "
"huhuhu.. Irfan dijewer yaah, terus dimarahin gara gara gangguin bunda.. " Ucapnya masih sesenggukan. Sementara aku masih mencoba meredakan tangisnya. "Tapii, emang ayah berani marahin bunda? "
"hehe, maksud ayah nanti bunda ayah kasih tau, nggak baik sering sering marahin anak. Apalagi yang gantengnya nurun dari ayah gini.. " Ucapku meralat, lalu tertawa sambil menoel hidungnya. "yaudah, sekarang bunda kamu mana? "
"hiks.. hiks.. itu yaah, didalem. Lagi senam.. "
Aku kemudian mulai meninggalkan Irfan, lalu berjalan kedalam untuk menemui Dhara yang sedang melakukan apa yang biasa dia sebut dengan 'me time' nya itu. Kalau sudah sibuk dengan sesuatu, kadang dia memang sering lupa situasi. Sampai membiarkan bocah kecil ini nangis sendirian. Sesuatu yang mungkin tidak akan terjadi dalam kondisi normal, karena aku juga tahu sebenarnya dia juga amat sayang pada putra semata wayangnya ini.
Aku tiba di tempat dimana Dhara sedang ber-aerobik ria, saat dia tengah beristirahat sambil meluruskan kakinya. Tanpa membuang banyak waktu, aku kemudian berjalan menghampirinya, tepat saat dia sedang meraih botol berisi air minum yang ada didepannya.
"buun, lain kali kalau ngasih tau anak itu mbok ya jangan gitu.. " Ucapku membuka obrolan. "anak kita kan masih kecil, nggak perlu lah sampe main fisik segala.. "
Aku berkata dengan nada dan intonasi yang kubuat selembut mungkin, meski niatku jelas untuk memberitahu Dhara bahwa apa yang baru saja dia lakukan itu kurang tepat, tapi aku juga harus menjaga agar siluman ular putih yang bersemayam didalam jiwanya tidak berontak. Aku harus tetap membuatnya mengerti tanpa harus membuat dia tersinggung. Dan setelah beberapa saat melihat ekspresinya, sepertinya usahaku sedikit membuahkan hasil.
"hmm.. gitu. "
Dhara hanya bergumam pelan, lalu meneguk air minumnya. Aku mulai memperhatikan sosoknya saat itu, mengenakan sport bra dan legging ketat berwarna hitam yang nampak kontras dengan warna kulitnya, rambut dikuncir kuda yang memperlihatkan sebagian lehernya yang bersih dan jenjang, plus kulit bersihnya yang nampak sedang bercucuran keringat semakin membuatnya terlihat 'menantang'. Apalagi saat aku melihat gerakan bibirnya yang nampak begitu sensual saat meneguk air minum, membuat aku seketika menelan ludah dan berharap bahwa ujung botol itu bisa diganti dengan ujung bibirku. Ah, mau nasehatin istri sendiri napa malah mendadak jadi horny gini sih.. "
Setelah meneguk sebotol air yang terlihat cukup menyegarkan (namun tak se-menyegarkan wajahnya) itu, Dhara mulai kembali bersuara. Sementara aku, aku hanya bisa memandangnya seperti orang bodoh yang baru saja jadi korban gendam.
"yaudah deh.. " Ucapnya sembari tersenyum centil. "ayah sayaaang, maafin bunda yaa. Sikap bunda ke Irfan tadi emang udah kelewatan. Ga seharusnya bunda tadi jewer dia.. "
".. " Meski masih sedikit bingung dan heran karena nggak biasanya dia bersikap seperti ini, aku justru tetap diam sembari terus menatapnya.
"tapi janji deh, abis ini bunda ga akan kaya gitu lagi ke Irfan, bunda akan nyoba buat jadi ibu yang baik buat Irfan. Ayah percaya kan? "
".. "
"yaah.. " Ucapnya perlahan, masih dengan gayanya yang jauh berbeda dari biasanya. Aku yang tadi sudah mempersiapkan segala macam argumen andai kita benar-benar berdebat malah seolah 'ngeblank' dan bengong mirip kebo dicucuk idungnya. "kok ayah diem aja sih, ga mau maafin bunda ya? "
"eh..i.. i. iya bun, a.. ayah percaya kok.. " Lagi lagi aku hanya bisa mengangguk bodoh tanpa sepenuhnya sadar dengan apa yang baru saja sudah terjadi. "ayah juga udah maafin bunda kok, bahkan sebelum bunda minta maaf.. "
"uuh ayaah, pengertian banget sih.. " Dia mencubit pelan pipiku, sesuatu yang semakin membuatku terlihat seperti orang bodoh. "Naah kalo gituu, sekarang bunda mau lanjut 'workout' dulu. Ayah mau kan nemenin Irfan main sebentar? "
"i.. iya bun.. Irfan biar sama ayah aja. " Jawabku sambil mengangguk. "yaudah bunda lanjutin aja.. "
Tanpa banyak berkata-kata lagi, aku langsung balik kanan dan kembali berjalan menghampiri Irfan yang masih ada didepan. Berjalan sembari merutuki sifat bodohku yang selalu saja muncul disaat yang tidak tepat seperti ini. Semoga aja dia nggak makin nangis andai tahu kalau lagi lagi ayahnya yang tampan ini tidak punya cukup keberanian untuk sekedar 'menasehati' bundanya yang kelewat cantik namun super licik itu.
"gimana yah? " Tanyanya to the point saat aku sudah ada dihadapannya. Sementara aku mulai memasang tampang sok 'cool' seperti biasa, seolah aku bisa mengatasi semuanya.
"udaah kamu tenang aja.. " Jawabku. "bunda udah ayah marahin sama ayah kasih tau kok. Ga akan berani marahin apalagi jewer kamu lagi pokoknya. Udah ya jangan nangis lagi, sekarang ikut ayah yuk.. "
"beneran yah? " Tanyanya polos, namun terlihat sedikit ada keraguan diwajahnya.
Aku kemudian menggendong Irfan, lalu mulai kembali berjalan keluar karena tadi didapur aku sama sekali tidak melihat ada makanan yang bisa dipakai untuk mengganjal perutku. Dan kebetulan, aku juga ingat kalau dirumah orangtuaku saat ini sedang ada acara syukuran. Jadi daripada aku masak mie instan (lagi, seperti biasanya), mending aku 'numpang' makan disana.
Begitu sampai di sana, Irfan langsung nemplok di gendongan eyang putri-nya. Meski terlihat sedikit kepayahan saat harus menggendong bocah lima tahun yang lumayan bongsor seperti Irfan, tapi ibuku (yang lebih suka kupanggil dengan sebutan emak) itu nampak selalu excited tiap kali menggendong cucu satu-satunya itu. Inget saat aku masih seumuran Irfan katanya. Yaah sekalian ngetes sendi, otot, sama tulang tulangnya mungkin.
"Irfan Minii.. Iih cucu eyang udah gedee.. Bentar lagi ngasih buyut nih buat eyang.. " Ucap emak sambil menciumi pipi bocah itu.
"namanya Irfan junior maak, bukan Irfan mini." Ucapku meralat. Memang bukan sekali dua kali ini emak salah menyebut nama anakku. Tapi untungnya aku sudah cukup maklum dengan kondisi itu, yaah namanya juga orang tua. "Kalo dia Irfan mini, berarti bapaknya Irfan jumbo dong.. "
"yaah itu deh pokonya.. " Ucap emak nggak mau ambil pusing. "Kamu sih, ngasih nama anak pake disama samain segala. Ga kreatif banget.. "
"hehe, biar niru bapaknya mak.. "
"halah.. emak aja kapok punya anak kaya kamu.. "
Emak hanya melengos mendengar kata kataku, lalu bergegas membawa Irfan masuk. Aku kemudian mulai ikut berjalan memasuki rumah sederhana berarsitektur Jawa yang dulu juga menjadi tempat tinggalku ini.
"oi mas, mbak.. pada ngumpul disini juga ternyata.."
Didalam ternyata sudah ada mas Hafiz (kakak sepupuku) yang sedang asik menonton televisi. Dia juga datang bersama istrinya, mbak Lydia yang terlihat sedang sibuk menggoreng sesuatu. Aku terus berjalan kedalam, kearah galon air sambil pura pura mengambil air minum. Entah kenapa aku malah lebih memperhatikan istri kakak sepupuku sendiri ini. Tali celemek berwarna putih yang melingkar di leher dan pinggangnya sempat membuatku salah fokus. Sempat juga membuatku ingin menghampirinya lalu memeluknya dari belakang sambil berbisik "sayaang, hari ini kamu masak apa? "
Tetapi untungnya akal sehatku masih lebih dominan daripada pikiran kotorku, jadi setelah itu nggak ada kejadian yang mirip dengan apa yang biasa kalian jumpai di forum sebelah.
"hei kopral Irfan.. " Mbak Lydia kemudian menyapaku. "kok sendirian aja sih, komandan Rara mana?" Sial, sempat sempatnya dia menyindir ku.
"masih ada urusan dia mbak, paling kalo sempet ntar nyusul kesini.. " Jelasku, tentu tanpa memberitahu keadaan sebenarnya. Tengsin dong kalau dia tahu aku sedang 'ngemong' Irfan sementara Dhara lagi asik aerobik-an. "wih lagi goreng apaan nih, udah bisa masak emang? " Lanjutku sedikit menggodanya, karena setahuku dia juga sama 'cupu' nya seperti Dhara soal skill masak memasak.
"haha, ya bisalah. Emangnya istri kamu tuh, goreng telur aja hebohnya setengah mati.. "
"haha, tapi dia jago tuh bikin anak yang tampan dan rupawan kaya Irfan Junior.. " Ucapku jumawa.
"Tapi dia juga ga jago tuh milih suami.. "
"hahaha, sama dong kaya mbak Lydia.. " Sahutku sambil ngakak. "cakep cakep tapi dapet suami lecek, mirip duit serebuan kembalian angkot gini.."
"ahahaha.. "
"hahaha, kurang ajar kamu njul.. " Mas Hafiz yang daritadi nggak ikut nimbrung tiba tiba nyaut. Sementara aku mulai beranjak kearahnya untuk ikut duduk disebelahnya.
Aku mulai ikut menonton TV, sembari 'ngemil' kacang goreng buatan emak yang disajikan dimeja, aku juga larut dalam obrolan ringan dengan pasangan suami istri ini, pasangan yang dulu juga sempat kujadikan patokan tentang apa itu relationship goals berkat kisah yang sudah mereka ceritakan kepadaku. Yaah meski sebenarnya aku juga merasa kasian pada mbak Lydia sih. Cantik cantik tapi dapet misua yang tampangnya kelewat merakyat kaya mas Hafiz.
Nggak berapa lama kemudian, emak yang sedang menyuapi Irfan juga ikut nimbrung diruang tengah.
"kamu ini gimana sih faan, udah jam segini anak masih belum dikasih makan. " Ucap emak kepadaku, sementara Irfan terlihat begitu bersemangat menyambut suapan demi suapan berisi sayur bayam yang dulu juga sering menjadi menu makanku sehari hari itu. Emak ternyata daridulu juga nggak berubah, ada lauk enak enak tapi nyuapin anak tetep pake sayur bayem. Dikira aku dan Irfan ini titisan popeye apa gimana sih..
"ya Irfan nggak tau mak.. " ucapku sambil mengangkat bahu. "ini aja Irfan bawa kesini karena dirumah malah berantem sama bundanya.. "
"kan udah emak bilangin faan, kamu itu imam keluarga. Mbok ya jangan takut takut sama istri sendiri.. "
"bukan takut maak, Irfan cuma nggak suka ribut aja.. "
"halah ngeles aja.. " Sergah emak. "Lihat nih anak kamu, perutnya sampe kempes gini kaya ban kurang angin. Ga kasian apa.. "
Aku hanya diam saja mendengar kata kata emak, sementara mbak Lydia dan mas Hafiz yang juga masih ada disini nampak sedang menahan senyum melihat aku sedang 'disemprot' abis abisan oleh emak.
Tak ingin berlama lama mendengar 'wejangan' emak, aku kemudian berjalan kedapur untuk segera mengambil makan. Keasikan ngobrol sama godain mbak Lydia jadi lupa sama tujuan awal aku datang kesini.
Namun sebelum aku sempat memasukkan suapan nasi ke mulut, ponsel yang ada disaku celanaku terasa bergetar, menandakan ada sebuah pesan yang masuk.
Aku sebenarnya berniat untuk mengabaikan pesan itu, mengingat perutku yang sudah tidak mau diajak berkompromi. Tetapi aku juga sedikit penasaran dengan siapa yang 'tumben tumbenan' mengirimi ku SMS seperti ini, karena orang yang kukenal biasanya langsung menelepon ku. Yaah semoga saja bukan SMS penipuan atau SMS dari provider.
Menunda untuk melahap suapan pertama dari nasi soto yang terlihat begitu menggoda ini, aku kemudian mulai meraih ponsel jadul yang ada disaku celanaku. Dan cukup terkejut hingga membuatku sedikit tersedak meski sebenarnya aku sama sekali belum mengunyah apapun saat tau siapa yang mengirim SMS ini. Aku berulang kali membaca pesannya, pesan singkat yang hanya terdiri dari lima kata itu sukses membuat hatiku berdebar debar. Sekali lagi, secara perlahan aku kembali membaca pesannya..
From : Tukang Ojek Depan Gang
Faan, kamu lagi sibuk ga?
Dan tanpa harus kutulis disini, kalian pasti sudah tau balasan seperti apa yang kukirimkan padanya..
Begitupun dengan yang kita alami, sebelum resmi menikah aku dan Dhara adalah dua orang yang amat sangat berbeda, dilihat dari sisi manapun. Meski kita juga sudah paham watak dan karakter masing masing karena sudah saling mengenal untuk waktu yang lama.
Secara penampilan, kita nampak begitu berbeda karena aku mungkin terlihat biasa saja, sementara Dhara bisa saja terlihat begitu menawan bagi siapapun yang melihat. (setidaknya ini adalah impresi awal saat pertama kali kalian bertemu dengan sosok Dhara, sebelum perangai absurd dan sifat ajaibnya perlahan terkuak dan bikin kalian geleng-geleng kepala). Sifat dan karakter kita berdua juga jauh dari kata mirip. Aku mungkin bisa bersikap lebih tenang, lebih kalem, dan lebih santai. Jauh berbeda dengan Dhara yang memang dari dulu punya sifat manja, bawel, cerewet, egois, galak, ngambekan, suka menang sendiri, cantik, imut, gemesin, dan juga keras kepala.
Saat sudah menikah, sifat kita yang bisa dibilang saling bertolak belakang ini juga tidak jarang menjadi pemicu perselisihan dan perdebatan. Aku mungkin bisa sedikit mengalah agar perdebatan kita tidak berakhir dengan hal hal yang justru tidak kita inginkan. Tetapi tetap saja, perselisihan perselisihan semacam itu terus saja terjadi, menerjang bahtera rumah tangga kita. Dan aku masih saja terus mengalah, sekedar tidak ingin membuat arwah ratu pantai selatan yang bersemayam didalam tubuh istriku itu mendadak berontak dan murka.
Salah satu perbedaan sifat yang membuat kita sering berdebat adalah cara kita mendidik dan memperlakukan buah hati kita, Irfan Junior. Sebagai sosok seorang ayah yang tampan sekaligus pengertian, aku lebih suka memperlakukan bocah kecil itu seperti teman. Aku lebih suka menasehatinya dengan cara bercanda daripada memberitahu atau memarahinya secara langsung. Aku juga lebih sering mengalah dan menuruti kemauannya daripada harus melarangnya, mengingat dulu saat aku masih kecil, aku harus sering sering menahan diri saat melihat teman temanku punya banyak mainan karena sedikit banyak aku sadar, bahwa orang tuaku bukan sosok yang punya kemampuan berlebih secara materi. Aku jarang sekali memarahinya, atau secara terang terangan langsung menghakimi kesalahannya. Yaah bisa dibilang, aku adalah sosok ayah sekaligus suami yang diidam idamkan oleh anak dan ibu manapun.
Sementara Dhara, wanita cantik yang seharusnya punya sifat lembut sebagaimana layaknya seorang perawat itu malah terkesan seperti 'nggak sabaran' dalam hal menghadapi anak kecil seperti Irfan. Aku tidak tahu apakah dia juga memperlakukan pasien pasiennya seperti ini atau tidak, tetapi beberapa kali aku mendapati Dhara sedang memperlakukan Irfan tidak selayaknya bocah berusia lima tahun pada umumnya.
Aku sebenarnya tidak bermaksud untuk menghakiminya, karena kita berdua juga masih sama sama belajar untuk menjadi orang tua yang baik, dan aku yakin apa yang dia lakukan juga demi kebaikan putra kita satu satunya itu. Tetapi tetap saja, setiap kali aku mengatakan kalau tidak seharusnya dia bersikap seperti itu pada bocah sekecil Irfan, yang terjadi justru adalah sebuah perdebatan yang akhirnya harus kembali membuat aku mengalah. Mengalah pada ego dan sifat keras kepalanya yang entah dia dapat darimana. Padahal kalau dilihat lihat dan dipikir pikir, harusnya kan aku yang dituntut untuk lebih 'keras kepala'. Meski peruntukannya jelas untuk 'kepala' dan situasi yang lain sih.
Seperti yang terjadi hari ini, aku yang sedang capek capeknya karena baru saja ikut kerja bakti mengecor teras mushola langsung disambut oleh tangisan Irfan saat baru saja menginjakkan kaki di lantai rumah. Dan biasanya, saat Irfan sudah mewek gara gara berantem sama bundanya, maka yang kebagian repot adalah aku.
"Hoaaa.. ayaah.. bunda nakal yaah, huhuhu.. "
Dia langsung berlari menghampiriku, wajahnya yang biasanya nampak menggemaskan kini terlihat memerah dan sudah basah oleh air mata. Aku kemudian mulai mengusap usap rambut dan kepalanya, sekedar mencoba untuk membuatnya lebih tenang. Cobaan untuk ayah dan suami idaman sepertiku ternyata berat juga, pulang kerumah bukannya disambut oleh senyum istri sambil bilang "ayaah, ayah pasti capek ya. Mandi dulu gih, abis itu makan. Bunda udah masakin makanan kesukaan ayah tuh.. " Eh malah harus nenangin bocah nangis.
"eh, jagoan ayah kenapa nangis? Udah yaa, cup cup. Masa laki laki nangis sih.. "
"huaaa.. bunda nakal yaaah.. huhuhu.. "
"sst.. udah ya, jangan nangis lagi, malu kalo diliat orang. Sekarang bilang, diapain kamu sama bunda? Biar nanti ayah marahin, masa jagoan ayah dibikin nangis gini sih.. "
"huhuhu.. Irfan dijewer yaah, terus dimarahin gara gara gangguin bunda.. " Ucapnya masih sesenggukan. Sementara aku masih mencoba meredakan tangisnya. "Tapii, emang ayah berani marahin bunda? "
"hehe, maksud ayah nanti bunda ayah kasih tau, nggak baik sering sering marahin anak. Apalagi yang gantengnya nurun dari ayah gini.. " Ucapku meralat, lalu tertawa sambil menoel hidungnya. "yaudah, sekarang bunda kamu mana? "
"hiks.. hiks.. itu yaah, didalem. Lagi senam.. "
Aku kemudian mulai meninggalkan Irfan, lalu berjalan kedalam untuk menemui Dhara yang sedang melakukan apa yang biasa dia sebut dengan 'me time' nya itu. Kalau sudah sibuk dengan sesuatu, kadang dia memang sering lupa situasi. Sampai membiarkan bocah kecil ini nangis sendirian. Sesuatu yang mungkin tidak akan terjadi dalam kondisi normal, karena aku juga tahu sebenarnya dia juga amat sayang pada putra semata wayangnya ini.
Aku tiba di tempat dimana Dhara sedang ber-aerobik ria, saat dia tengah beristirahat sambil meluruskan kakinya. Tanpa membuang banyak waktu, aku kemudian berjalan menghampirinya, tepat saat dia sedang meraih botol berisi air minum yang ada didepannya.
"buun, lain kali kalau ngasih tau anak itu mbok ya jangan gitu.. " Ucapku membuka obrolan. "anak kita kan masih kecil, nggak perlu lah sampe main fisik segala.. "
Aku berkata dengan nada dan intonasi yang kubuat selembut mungkin, meski niatku jelas untuk memberitahu Dhara bahwa apa yang baru saja dia lakukan itu kurang tepat, tapi aku juga harus menjaga agar siluman ular putih yang bersemayam didalam jiwanya tidak berontak. Aku harus tetap membuatnya mengerti tanpa harus membuat dia tersinggung. Dan setelah beberapa saat melihat ekspresinya, sepertinya usahaku sedikit membuahkan hasil.
"hmm.. gitu. "
Dhara hanya bergumam pelan, lalu meneguk air minumnya. Aku mulai memperhatikan sosoknya saat itu, mengenakan sport bra dan legging ketat berwarna hitam yang nampak kontras dengan warna kulitnya, rambut dikuncir kuda yang memperlihatkan sebagian lehernya yang bersih dan jenjang, plus kulit bersihnya yang nampak sedang bercucuran keringat semakin membuatnya terlihat 'menantang'. Apalagi saat aku melihat gerakan bibirnya yang nampak begitu sensual saat meneguk air minum, membuat aku seketika menelan ludah dan berharap bahwa ujung botol itu bisa diganti dengan ujung bibirku. Ah, mau nasehatin istri sendiri napa malah mendadak jadi horny gini sih.. "
Setelah meneguk sebotol air yang terlihat cukup menyegarkan (namun tak se-menyegarkan wajahnya) itu, Dhara mulai kembali bersuara. Sementara aku, aku hanya bisa memandangnya seperti orang bodoh yang baru saja jadi korban gendam.
"yaudah deh.. " Ucapnya sembari tersenyum centil. "ayah sayaaang, maafin bunda yaa. Sikap bunda ke Irfan tadi emang udah kelewatan. Ga seharusnya bunda tadi jewer dia.. "
".. " Meski masih sedikit bingung dan heran karena nggak biasanya dia bersikap seperti ini, aku justru tetap diam sembari terus menatapnya.
"tapi janji deh, abis ini bunda ga akan kaya gitu lagi ke Irfan, bunda akan nyoba buat jadi ibu yang baik buat Irfan. Ayah percaya kan? "
".. "
"yaah.. " Ucapnya perlahan, masih dengan gayanya yang jauh berbeda dari biasanya. Aku yang tadi sudah mempersiapkan segala macam argumen andai kita benar-benar berdebat malah seolah 'ngeblank' dan bengong mirip kebo dicucuk idungnya. "kok ayah diem aja sih, ga mau maafin bunda ya? "
"eh..i.. i. iya bun, a.. ayah percaya kok.. " Lagi lagi aku hanya bisa mengangguk bodoh tanpa sepenuhnya sadar dengan apa yang baru saja sudah terjadi. "ayah juga udah maafin bunda kok, bahkan sebelum bunda minta maaf.. "
"uuh ayaah, pengertian banget sih.. " Dia mencubit pelan pipiku, sesuatu yang semakin membuatku terlihat seperti orang bodoh. "Naah kalo gituu, sekarang bunda mau lanjut 'workout' dulu. Ayah mau kan nemenin Irfan main sebentar? "
"i.. iya bun.. Irfan biar sama ayah aja. " Jawabku sambil mengangguk. "yaudah bunda lanjutin aja.. "
Tanpa banyak berkata-kata lagi, aku langsung balik kanan dan kembali berjalan menghampiri Irfan yang masih ada didepan. Berjalan sembari merutuki sifat bodohku yang selalu saja muncul disaat yang tidak tepat seperti ini. Semoga aja dia nggak makin nangis andai tahu kalau lagi lagi ayahnya yang tampan ini tidak punya cukup keberanian untuk sekedar 'menasehati' bundanya yang kelewat cantik namun super licik itu.
"gimana yah? " Tanyanya to the point saat aku sudah ada dihadapannya. Sementara aku mulai memasang tampang sok 'cool' seperti biasa, seolah aku bisa mengatasi semuanya.
"udaah kamu tenang aja.. " Jawabku. "bunda udah ayah marahin sama ayah kasih tau kok. Ga akan berani marahin apalagi jewer kamu lagi pokoknya. Udah ya jangan nangis lagi, sekarang ikut ayah yuk.. "
"beneran yah? " Tanyanya polos, namun terlihat sedikit ada keraguan diwajahnya.
Aku kemudian menggendong Irfan, lalu mulai kembali berjalan keluar karena tadi didapur aku sama sekali tidak melihat ada makanan yang bisa dipakai untuk mengganjal perutku. Dan kebetulan, aku juga ingat kalau dirumah orangtuaku saat ini sedang ada acara syukuran. Jadi daripada aku masak mie instan (lagi, seperti biasanya), mending aku 'numpang' makan disana.
Begitu sampai di sana, Irfan langsung nemplok di gendongan eyang putri-nya. Meski terlihat sedikit kepayahan saat harus menggendong bocah lima tahun yang lumayan bongsor seperti Irfan, tapi ibuku (yang lebih suka kupanggil dengan sebutan emak) itu nampak selalu excited tiap kali menggendong cucu satu-satunya itu. Inget saat aku masih seumuran Irfan katanya. Yaah sekalian ngetes sendi, otot, sama tulang tulangnya mungkin.
"Irfan Minii.. Iih cucu eyang udah gedee.. Bentar lagi ngasih buyut nih buat eyang.. " Ucap emak sambil menciumi pipi bocah itu.
"namanya Irfan junior maak, bukan Irfan mini." Ucapku meralat. Memang bukan sekali dua kali ini emak salah menyebut nama anakku. Tapi untungnya aku sudah cukup maklum dengan kondisi itu, yaah namanya juga orang tua. "Kalo dia Irfan mini, berarti bapaknya Irfan jumbo dong.. "
"yaah itu deh pokonya.. " Ucap emak nggak mau ambil pusing. "Kamu sih, ngasih nama anak pake disama samain segala. Ga kreatif banget.. "
"hehe, biar niru bapaknya mak.. "
"halah.. emak aja kapok punya anak kaya kamu.. "
Emak hanya melengos mendengar kata kataku, lalu bergegas membawa Irfan masuk. Aku kemudian mulai ikut berjalan memasuki rumah sederhana berarsitektur Jawa yang dulu juga menjadi tempat tinggalku ini.
"oi mas, mbak.. pada ngumpul disini juga ternyata.."
Didalam ternyata sudah ada mas Hafiz (kakak sepupuku) yang sedang asik menonton televisi. Dia juga datang bersama istrinya, mbak Lydia yang terlihat sedang sibuk menggoreng sesuatu. Aku terus berjalan kedalam, kearah galon air sambil pura pura mengambil air minum. Entah kenapa aku malah lebih memperhatikan istri kakak sepupuku sendiri ini. Tali celemek berwarna putih yang melingkar di leher dan pinggangnya sempat membuatku salah fokus. Sempat juga membuatku ingin menghampirinya lalu memeluknya dari belakang sambil berbisik "sayaang, hari ini kamu masak apa? "
Tetapi untungnya akal sehatku masih lebih dominan daripada pikiran kotorku, jadi setelah itu nggak ada kejadian yang mirip dengan apa yang biasa kalian jumpai di forum sebelah.
"hei kopral Irfan.. " Mbak Lydia kemudian menyapaku. "kok sendirian aja sih, komandan Rara mana?" Sial, sempat sempatnya dia menyindir ku.
"masih ada urusan dia mbak, paling kalo sempet ntar nyusul kesini.. " Jelasku, tentu tanpa memberitahu keadaan sebenarnya. Tengsin dong kalau dia tahu aku sedang 'ngemong' Irfan sementara Dhara lagi asik aerobik-an. "wih lagi goreng apaan nih, udah bisa masak emang? " Lanjutku sedikit menggodanya, karena setahuku dia juga sama 'cupu' nya seperti Dhara soal skill masak memasak.
"haha, ya bisalah. Emangnya istri kamu tuh, goreng telur aja hebohnya setengah mati.. "
"haha, tapi dia jago tuh bikin anak yang tampan dan rupawan kaya Irfan Junior.. " Ucapku jumawa.
"Tapi dia juga ga jago tuh milih suami.. "
"hahaha, sama dong kaya mbak Lydia.. " Sahutku sambil ngakak. "cakep cakep tapi dapet suami lecek, mirip duit serebuan kembalian angkot gini.."
"ahahaha.. "
"hahaha, kurang ajar kamu njul.. " Mas Hafiz yang daritadi nggak ikut nimbrung tiba tiba nyaut. Sementara aku mulai beranjak kearahnya untuk ikut duduk disebelahnya.
Aku mulai ikut menonton TV, sembari 'ngemil' kacang goreng buatan emak yang disajikan dimeja, aku juga larut dalam obrolan ringan dengan pasangan suami istri ini, pasangan yang dulu juga sempat kujadikan patokan tentang apa itu relationship goals berkat kisah yang sudah mereka ceritakan kepadaku. Yaah meski sebenarnya aku juga merasa kasian pada mbak Lydia sih. Cantik cantik tapi dapet misua yang tampangnya kelewat merakyat kaya mas Hafiz.
Nggak berapa lama kemudian, emak yang sedang menyuapi Irfan juga ikut nimbrung diruang tengah.
"kamu ini gimana sih faan, udah jam segini anak masih belum dikasih makan. " Ucap emak kepadaku, sementara Irfan terlihat begitu bersemangat menyambut suapan demi suapan berisi sayur bayam yang dulu juga sering menjadi menu makanku sehari hari itu. Emak ternyata daridulu juga nggak berubah, ada lauk enak enak tapi nyuapin anak tetep pake sayur bayem. Dikira aku dan Irfan ini titisan popeye apa gimana sih..
"ya Irfan nggak tau mak.. " ucapku sambil mengangkat bahu. "ini aja Irfan bawa kesini karena dirumah malah berantem sama bundanya.. "
"kan udah emak bilangin faan, kamu itu imam keluarga. Mbok ya jangan takut takut sama istri sendiri.. "
"bukan takut maak, Irfan cuma nggak suka ribut aja.. "
"halah ngeles aja.. " Sergah emak. "Lihat nih anak kamu, perutnya sampe kempes gini kaya ban kurang angin. Ga kasian apa.. "
Aku hanya diam saja mendengar kata kata emak, sementara mbak Lydia dan mas Hafiz yang juga masih ada disini nampak sedang menahan senyum melihat aku sedang 'disemprot' abis abisan oleh emak.
Tak ingin berlama lama mendengar 'wejangan' emak, aku kemudian berjalan kedapur untuk segera mengambil makan. Keasikan ngobrol sama godain mbak Lydia jadi lupa sama tujuan awal aku datang kesini.
Namun sebelum aku sempat memasukkan suapan nasi ke mulut, ponsel yang ada disaku celanaku terasa bergetar, menandakan ada sebuah pesan yang masuk.
Aku sebenarnya berniat untuk mengabaikan pesan itu, mengingat perutku yang sudah tidak mau diajak berkompromi. Tetapi aku juga sedikit penasaran dengan siapa yang 'tumben tumbenan' mengirimi ku SMS seperti ini, karena orang yang kukenal biasanya langsung menelepon ku. Yaah semoga saja bukan SMS penipuan atau SMS dari provider.
Menunda untuk melahap suapan pertama dari nasi soto yang terlihat begitu menggoda ini, aku kemudian mulai meraih ponsel jadul yang ada disaku celanaku. Dan cukup terkejut hingga membuatku sedikit tersedak meski sebenarnya aku sama sekali belum mengunyah apapun saat tau siapa yang mengirim SMS ini. Aku berulang kali membaca pesannya, pesan singkat yang hanya terdiri dari lima kata itu sukses membuat hatiku berdebar debar. Sekali lagi, secara perlahan aku kembali membaca pesannya..
Quote:
From : Tukang Ojek Depan GangFaan, kamu lagi sibuk ga?
Dan tanpa harus kutulis disini, kalian pasti sudah tau balasan seperti apa yang kukirimkan padanya..
Quote:
I'm Mr. Loverman
And I miss my lover, man
I'm Mr. Loverman
Oh, and I miss my lover
And I miss my lover, man
I'm Mr. Loverman
Oh, and I miss my lover
Mr. Loverman - Ricky Montgomery
Diubah oleh saleskambing 19-12-2024 10:33
jenggalasunyi dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas
Tutup