- Beranda
- Stories from the Heart
Tanah Pemakaman (Zombie Apocalypse Survival)
...
TS
irazz1234
Tanah Pemakaman (Zombie Apocalypse Survival)
Met pagi momodku tercinta dan met pagi juga kaskuser semua.
Kali ini gw mau bikin cerita yang bertema Horror Survival Zombie Apocalypse.
Tema cerita yang cukup jarang ada di Kaskus SFTH
Oh iya, gw juga sempet bikin cerita yang bertema sama di sini (masih on going). Jadi sambil nunggu apdetan, kalian bisa juga ikut baca thread gw yang lain
Dunia Para Monster (Zombie Apocalypse Story)
Bagi mereka yang bosan dengan tema cinta-cintaan, boleh mantengin thread gw yang satu ini
Anyway, selamat membaca
Chapter 0 : Prologue
Chapter 1 : A Brave New World
Chapter 2 : Hard Road Ahead
Chapter 3 : Old Friend
Chapter 4 : A Bargain
Chapter 5 : Family Ties
Chqpter 6 : Carry Me Home
Chapter 7 : See No Evil
Chapter 8 : Crossing Over
Chapter 9 : Unto Himself
Chapter 10 : The Doctor Is Out
Chapter 11 : Home Sweet Home
Chapter 12 : Mindless Over Matter
Chapter 13 : Awakening
Chapter 14 : Home, Sweet Home
Chapter 15 : This Is My Country
Chapter 16 : A Small World
Chapter 17 : A Moving Day
Kali ini gw mau bikin cerita yang bertema Horror Survival Zombie Apocalypse.
Tema cerita yang cukup jarang ada di Kaskus SFTH
Oh iya, gw juga sempet bikin cerita yang bertema sama di sini (masih on going). Jadi sambil nunggu apdetan, kalian bisa juga ikut baca thread gw yang lain

Dunia Para Monster (Zombie Apocalypse Story)
Bagi mereka yang bosan dengan tema cinta-cintaan, boleh mantengin thread gw yang satu ini

Anyway, selamat membaca

Spoiler for INDEX STORY:
Chapter 0 : Prologue
Chapter 1 : A Brave New World
Chapter 2 : Hard Road Ahead
Chapter 3 : Old Friend
Chapter 4 : A Bargain
Chapter 5 : Family Ties
Chqpter 6 : Carry Me Home
Chapter 7 : See No Evil
Chapter 8 : Crossing Over
Chapter 9 : Unto Himself
Chapter 10 : The Doctor Is Out
Chapter 11 : Home Sweet Home
Chapter 12 : Mindless Over Matter
Chapter 13 : Awakening
Chapter 14 : Home, Sweet Home
Chapter 15 : This Is My Country
Chapter 16 : A Small World
Chapter 17 : A Moving Day
Diubah oleh irazz1234 16-06-2019 09:37
nomorelies dan 12 lainnya memberi reputasi
13
6.7K
Kutip
46
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
irazz1234
#24
Chapter 15 : This Is My Country
Spoiler for :
-cringg-
"Semuanya jadi $24.60, Bu." Kata petugas kasir, seorang kakek dengan senyumnya yang menawan.
Maddie mengangguk cepat dan menyerahkan uangnya, tidak ingin menatap wajah kakek itu lama-lama. Wanita itu berada di dalam sebuah mini market di kota Vancouver. Sudah lebih dari sebulan berlalu semenjak ia dan kekasihnya, Tyler, dan temannya, Joe, berhasil melintasi perbatasan Kanada. Sebuah petualangan yang amat berat dan panjang, dan pada akhirnya, setengah dari anggota kelompok tidak berhasil bertahan, mereka dibunuh oleh tentara yang melindungi wilayah perbatasan Kanada.
Memang itulah tujuan utamanya.
Joe menyebutnya kekalahan yang dapat dimaklumi. Jika tentara tidak menemukan seseorang setelah mereka berupaya menembus pagar perbatasan, mereka akan segera memanggil bantuan dan memeriksa seluruh hutan, dan semua orang akan tertangkap. Joe bilang semuanya akan maklum, bahwa adiknya yang kurus dan cengeng saat kedua orangtua mereka mati, akan setuju dengan tindakannya.
Dan akhirnya Joe hidup normal seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Setelah mendapatkan identitas palsu serta sejumlah uang yang ia kirimkan ke kenalannya di wilayah utara sesaat setelah wabah ini menyebar, mereka bertiga memulai hidup baru. Kehidupan yang tidak bisa dinilai dengan sejumlah uang.
Tapi untuk Maddie, kehidupan ini jauh dari normal yang pernah ia bayangkan. Bukan hanya sekali ia harus menundukkan kepala dan tidak mampu menatap wajah orang-orang di sekitarnya. Tidak ada satu malam pun yang terlewatkan tanpa memikirkan kematian orang-orang itu, permohonan belas kasihan, jerit kesakitan mereka saat butiran peluru menembus tubuh.
***
"Anda baik-baik saja, Bu?"
Suara seorang pria tua menyadarkannya kembali kepada kenyataan. Pria itu menyodorkan kertas tagihan dan beberapa uang receh. "Kembalian anda." Ucapnya, dengan senyum ramahnya yang sama.
Maddie mengambil kembaliannya, mengangkat belanjaannya, dan segera pergi. Saat baru saja membuka pintu, ia mendengar pria itu berbicara padanya, "semoga bayi di perut anda baik-baik saja."
Air mata menetes di pipi Maddie. Disini, saat ini, ia ingin sekali membuat pengakuan, menceritakan semuanya pada pria tua yang ramah itu, seorang kakek bernama Nathaniel Arthur, yang memiliki satu orang cucu. Ia ingin sekali bercerita padanya bahwa ia adalah seorang pengungsi dari 'Tanah Pemakaman', dan ia harus membunuh tiga orang tak bersalah untuk mendapatkan kebebasan yang dimilikinya saat ini. Ia ingin sekali dihukum atas segala perbuatan jahatnya.
Daripada melakukan hal itu, ia malah melakukan hal yang sering dilakukannya selama ini, menggumamkan ucapan terima kasih yang singkat, dan bergegas pergi.
Tangan wanita itu mengelus perutnya, yang telah membesar selama empat Minggu terakhir. Bayinya, yang ia selamatkan dengan mengorbankan tiga nyawa lain. Apakah anak ini akan mengerti? Akankah bayi ini mengerti pengorbanan yang dilakukan untuk menyelamatkan nyawanya? Apakah ia nanti akan tetap mencintainya dan memanggilnya ibu? Atau apakah anaknya nanti akan mengutuknya dan memanggilnya pembunuh?
Mungkin saja, kalau itu memang yang terbaik. Pikirannya terus berkecamuk dalam perjalanan pulang ke rumah.
***
Saat itu sedang musim panas di Vancouver, pada pertengahan bulan Juli, sudah lebih dari tiga bulan semenjak wabah virus menyebar. Meskipun musim panas, tapi udara tetap kering dan dingin. Ia telah mengantisipasi cuaca panas yang akan dirasakan saat ia dulu tinggal di Detroit, syukurlah hawa panas itu tidak ada di kota ini. Jalanan sangat ramai hari ini, orang-orang tersenyum dan menyapa saat ia berjalan. Maddie hanya menggumam menjawab sapaan dari orang-orang, matanya terus melihat ke jalan dengan kepala tertunduk. Bukan karena ia punya masalah berat. Kartu identitas miliknya merupakan tiruan yang sempurna, tidak dapat dibedakan dengan yang di keluarkan oleh pemerintah. Meskipun semua itu menghabiskan seluruh tabungannya, namun ia memilih menjadi miskin di negara ini, daripada menjadi kaya di 'tanah pemakaman'.
Matanya melirik ke poster yang di pasang oleh kepolisian. Poster itu meminta warga penduduk Kanada untuk melapor jika ada yang melihat warga negara Amerika, hadiah cukup besar akan diberikan jika ada yang berhasil membawanya ke kantor polisi. Hukuman untuk melewati perbatasan secara ilegal adalah hukuman mati, atau lebih buruk, dikembalikan ke negara asalnya.
Bersama dengan dokumen kependudukan yang lain, ia dan kawan-kawan juga telah mengubah penampilan. Maddie sekarang menjadi wanita berambut pendek berwarna pirang dengan bekas luka di wajah. Tyler memanjangkan rambutnya dan mengenakan kacamata palsu. Joe menggunduli rambutnya dan memelihara jenggot. Butuh waktu agar terbiasa dengan penampilan barunya, dan terkadang Maddie kesulitan menemukan suaminya saat mereka sedang bepergian.
Maddie berjalan sambil melamun dan secara tidak sadar menubruk orang yang ada di depannya. Kantong belanjaannya terjatuh dan isinya bertumpahan di jalan. Ia menatap orang yang baru saja di tabraknya, ia pun terkejut dan membeku.
Pria muda gagah, berusia sekitar dua puluh lima tahun. Rambutnya dipotong pendek, gaya militer. Wajah pria itulah yang membuatnya membeku di tempat seperti batu.
Pria yang waktu itu berjaga di perbatasan.
"Maafkan saya." Ucap pria itu, tersenyum ramah, lalu membungkuk dan membantu Maddie mengumpulkan barang belanjaannya yang berserakan. "Untung tidak ada barang yang rusak atau tumpah."
Pria itu mengangkat tas belanjaan dan menyerahkannya ke Maddie yang masih terdiam membeku dan tak beranjak dari tempatnya. Lebih tepatnya dia tidak sanggup bergerak. Setelah kejadian pada malam itu, ia terus bermimpi buruk tentang kejadian ini, hari dimana penyamarannya akan terbongkar. Pria muda itu menatap Maddie dengan khawatir.
"Apakah anda baik-baik saja, Bu?" Tanya pria itu dengan khawatir. "Wajah Anda terlihat pucat. Apakah anda sedang sakit?"
Pikirannya berkecamuk dilanda kepanikan, ia berbalik dengan cepat dan berlari. Pria itu berteriak memanggilnya, namun ia tak mendengar. Yang ia dengar hanyalah suara tembakan senjata, serta suara teriakan tiga orang yang ketakutan, jiwa orang-orang yang ia tinggalkan pada malam itu. Hanya saja kali ini ialah yang menjadi sasaran tembakan, ia dan bayinya. Bukan tentara yang sedang menembakinya, melainkan Joe, Tyler, Eric, Sean, dan Jessica. Ekspresi wajah mereka terlihat bengis dan penuh dendam saat mereka menghamburkan peluru berkaliber besar pada tubuhnya. Eric, Sean, dan Jessica meneriakinya pembunuh dan pengkhianat berulangkali.
Orang-orang di sekitarnya bergeser memberikan jalan saat Maddie berlari menyusuri jalanan. Beberapa orang memanggilnya, sebagian lagi hanya menyaksikan saat wanita muda itu berlari seperti dikejar setan.
Diliputi kepanikan, ia hanya mendengar suara tembakan dan tuduhan orang-orang, yang nyawanya telah ditukar dengan kebebasan yang ia miliki sekarang.
***
Malam telah tiba ketika akhirnya Maddie berhenti berlari karena kelelahan. Ia berhenti di dekat sebuah stasiun kereta tua, beberapa kilometer dari apartemen yang ia tinggali bersama Tyler dan Joe. Rasa takut masih menyelimutinya, dan meskipun agak tidak masuk akal, tapi ia yakin bahwa tentara yang ia tabrak sedang berada di rumahnya sekarang. Joe dan Tyler mungkin sudah mati, dan dirinya adalah seorang penjahat buron sekarang. Ia tidak bisa pulang ke rumah. Ia tidak ingin pulang ke rumah.
Suara batu yang bergemeletak di rel mengagetkannya dan ia berbalik. Pelatihan waktu training di kepolisian mengendalikannya, ia segera berjongkok dengan menggenggam batu, kondisinya sedang dalam mode waspada. Ia tidak ingin mengalah begitu saja tanpa perlawanan.
Tapi bukan seorang polisi atau tentara yang menunggunya, melainkan seorang bocah laki-laki, berusia tidak lebih dari dua belas tahun, yang sedang berbaring di bawah kereta. Bajunya terlihat lusuh dan kotor, wajahnya tirus dan ia terlihat kelaparan. Maddie mendekati anak itu, insting bertahan hidupnya mengambil alih. Bocah itu telah melihatnya, dan ia akan memberitahu orang-orang tentang keberadaannya. Ini tidak bisa dibiarkan. Bocah itu melihat batu di tangannya dan merinding ketakutan.
Entah karena bayangan tentang adiknya yang telah lama mati atau bukan, yang jelas pikiran logis dan rasional dalam benaknya mulai mengendalikan rasa panik, dan Maddie menjatuhkan batunya, dan ia jatuh berlutut. Benaknya baru aja menyadarkannya bahwa ia baru saja akan membunuh seorang anak kecil, astaga!
Anak kecil itu melangkah mundur, dan mencari jalan keluar, dan Maddie tiba-tiba menerjang ke depan dan mencengkram kedua lengan anak itu dengan kencang. "Tidak apa. Jangan takut. Aku tak akan menyakitimu." Ucapnya sambil menahan anak itu agar tidak meronta-ronta.
Bocah laki-laki itu berhasil meloloskan diri, dan berlari bersembunyi di balik sebuah gerbong kereta. Maddie mengikutinya, tidak ingin kehilangan bocah laki-laki itu. Meski cukup cepat, tapi anak kecil itu tidak terbiasa dengan keadaan sekitarnya, dan ia pun akhirnya tersudut.
Maddie mendekatinya perlahan dan mengangkat kedua tangannya untuk menunjukkan bahwa ia tidak bersenjata. "Tenang saja. Aku tidak akan menyakitimu." Ia menjaga suaranya agar tetap terdengar pelan dan tenang.
"Itulah yang tentara itu katakan pada kami. Tidak akan apa-apa katanya. Mereka bilang hanya ingin membawa kami pulang ke rumah."
Maddie menangkap sebuah kilatan cahaya, dan terlihat sebuah pisau kecil dibalik tangan anak itu. Wajahnya masih terlihat ketakutan, namun ia yakin bahwa bocah ini tidak akan segan menggunakan pisaunya jika memang diperlukan.
"Kenapa tentara itu ingin membawamu?" Tanya Maddie, menjaga jarak dari anak itu.
"Aku bukan berasal dari sini." Jawab anak itu sambil tetap menyembunyikan pisaunya. Ibuku, ayahku, adikku, dan aku, berasal dari Atlanta. Ketika orang-orang mati itu muncul, ayah membawa kami ke perbatasan. Dia memberikan nama palsu pada kami, agar kami dapat lewat. Tapi kemudian tentara datang dan bilang kalau kami tidak boleh berada disini. Mereka membawa kami pergi, dan... Dan... "
"Apa, sayang? Apa yang mereka lakukan padamu?"
"Mereka membunuhnya!" Teriak bocah itu, air mata yang menetes membawa serta debu yang menempel di pipinya. Memperlihatkan bahwa anak ini sudah terlalu lama dalam pelarian. "Mereka menembak ayahku, ibuku, dan Carla. Tapi aku lari, aku berhasil kabur."
Maddie melangkah pelan mendekati anak itu sambil mengangkat kedua tangan. "Tidak apa-apa, sayang. Aku sama sepertimu. Aku dan teman-temanku juga berasal dari Amerika. Aku juga harus merubah penampilan agar tidak tertangkap oleh mereka."
Anak laki-laki itu menggelengkan kepala. "Kau bohong. Tentara itu juga mengatakan hal yang sama denganmu, tapi aku tahu dia berbohong. Dia ingin membunuhku."
Maddie sebenarnya tahu jawaban tentang pertanyaan ini, namun ia tetap mengatakannya. "Apa yang terjadi?"
"Dia sebenarnya orang yang baik, sama baiknya sepertimu, tapi aku tahu bahwa ia sedang berbohong." Jawab anak lelaki itu, air matanya berhenti mengalir, kesedihannya telah menguap. "Dia bilang akan membelikan ku es krim jika aku mau mengikutinya pergi. Ku bilang, aku mau. Dia adalah pria baik, namun sayang, dia cukup bodoh."
Anak itu tersenyum saat mengingat kembali kejadiannya. Maddie merasa ketakutan, tiba-tiba bulu kuduknya merinding, ia tidak ingin berada disini sekarang. Maddie merasa rumahnya yang dipenuhi zombie jadi terasa nyaman dibandingkan dengan berada disini. Tentara itu, pria yang ia tubruk di jalan, ada dimana ia sekarang?
Bocah lelaki itu melanjutkan ceritanya. "Sebelum kami pergi, kubilang padanya bahwa aku ingin mengajak adikku, ia juga suka eskrim. Pria itu tersenyum dan bertanya dimana adikku berada. Aku menunjuk ke arah sebuah gang kecil, dan ia berteriak memanggil-manggil adikku yang telah mati."
"Ku tebas kakinya dengan pisau hingga ia jatuh berlutut, lalu ku tusuk lehernya hingga pisau menembus." Ucap bocah itu sambil menunjukkan pada Maddie gerakan saat pria itu kehilangan nyawanya. "Lalu ia berdeguk sedikit dan tidak mengatakan apa-apa lagi setelahnya."
Itulah saat dimana Maddie melihat bekas darah di pisau, hingga ke gagangnya. Tangan bocah itu juga terlihat bernoda gelap, bekas darah yang menempel di kulit.
Cerita sadis bocah itu berakhir, ia berjalan mundur dan membungkuk, seperti seorang aktor yang dengan sukses menampilkan aksinya di atas panggung, dan penonton akan berdiri sambil bertepuk tangan karenanya. Tidak ada rasa takut, benci, atau marah, di wajah bocah itu. Hanya menampakkan wajah dingin dan penuh perhitungan, mungkin karena telah ditempa oleh keadaan dunia yang baru ini. Ia terlihat menunduk di balik kereta, dan menghilang.
Kata-kata terakhirnya seolah menggantung di udara.
"Jika aku melihatmu lagi, akan kupastikan kau akan berharap lebih baik mati dimakan zombie."
Maddie tidak bergerak. Tidak ada bagian dari tubuhnya yang ingin mengikuti bocah itu. Ia telah melihat ke dalam mata bocah itu, dingin seperti es. Ia mendengar di suaranya yang datar, tanpa emosi, layaknya sebuah boneka yang tak berjiwa. Dia bukanlah seorang anak kecil yang ketakutan. Dia sudah pernah membunuh, dan tidak akan pernah menyesal jika harus melakukannya lagi.
Ada suara aneh pada kata-kata perpisahannya yang terakhir. Anak ini tidak takut membunuh, dan bukan karena ia tidak memiliki rasa penyesalan saat pisaunya menembus daging dan tangannya berlumuran darah yang hangat.
Bukan karena tidak adanya rasa penyesalan, bukan.
Itu adalah suara yang menunjukkan kesenangan.
***
Malam sudah amat larut ketika Maddie akhirnya berhasil sampai di rumah. Joe dan Tyler masih terlihat hidup dan baik-baik saja. Tidak ada tentara yang menghancurkan pintu depan rumahnya. Tidak ada penangkapan di depan publik. Semuanya baik-baik saja.
Sejujurnya, semua pikiran tentang tentara yang mengeksekusi mati mereka telah lenyap dari pikirannya. Jika saja apartemennya dikepung oleh tentara yang mengejarnya pun, ia tidak akan menyadarinya. Yang ia lihat hanyalah seorang anak kecil, dengan pisau di tangan, tatapan matanya yang dingin, saat dengan entengnya ia bercerita tentang kematian seseorang yang telah dibunuhnya.
Tyler mencoba memeluknya, berkata betapa senangnya ia dapat melihat istrinya lagi, dan bertanya darimana saja ia pergi. Namun Maddie malah berlari ke dalam kamarnya dan berbaring di kasur, sambil menangis pilu. Dunia macam apa ini, yang telah merubah seorang anak kecil menjadi pembunuh berdarah dingin? Berapa banyak yang anak kecil itu telah bunuh untuk dapat bertahan hidup? Berapa banyak yang dirinya sendiri telah bunuh?
Apakah ini yang namanya bertahan hidup? Membunuh agar dapat melihat esok hari?
kudo.vicious dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Kutip
Balas