noldeforestasiAvatar border
TS
noldeforestasi
RI Darurat Kekacauan Data Pangan



Semua orang tahu, debat itu butuh data, informasi itu butuh data, argumentasi juga perlu data. Tapi kalau data yang menjadi acuan resmi menyimpang jauh dari fakta yang sebenarnya, justru kesemrawutan lah yang akan terjadi.

Kondisi inilah yang kira-kira saat ini terjadi dengan data-data pertanian dan pangan. Sangat mengkhawatirkan penyimpangan data-data tersebut. Bagi para analis kekacauan data pertanian dan pangan sekarang ini bisa jadi yang paling buruk.

Mari kita ambil contoh data  luas lahan sawah baku secara nasional. Data citra satelit resolusi tinggi yang diperoleh dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dan diolah oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) menunjukkan luasan lahan sawah baku saat ini di angka 7,1 juta hektar.  Sementara itu, data Kementan per September 2018 menunjukkan data luas lahan sawah sebesar 8,18 juta hektar.

Menjadi masalah ketika Kementan menghitung data produksi beras. Tentu akan terjadi jurang margin yang demikian lebar. Dan hal tersebut akhirnya terbukti. Data produksi beras nasional pada tahun lalu versi Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi beras hingga akhir 2018 berada di angka 32,42 juta ton. Proyeksi tersebut terpaut sangat jauh hingga 32% dari estimasi Kementan pada awal tahun yang mencapai 46,5 juta ton.

Disparitas margin sebesar itu bisa-bisanya terjadi di tubuh pemerintah. Bayangkan jika hal semacam itu terjadi di lembaga survei pemilu misalnya. Kalau selisihnya sampai sebesar itu sudah pasti yang bersangkutan langsung membubarkan diri karena saking malunya!

Kalau data produksi dan beras nasional sudah jauh dari faktanya, entah siapa yang benar, sudah pasti berpengaruh jumlah surplus produksi dan ujung-ujungnya berimbas pada berapa besar impor yang diperlukan untuk menutupi kekurangan pada tahun berjalan. Tak heran kesemrawutan impor, tidak hanya untuk beras, kerap kali terjadi dan terjadi lagi seakan-akan tanpa solusi.



Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengatakan, perbedaan data komoditas pangan antara satu institusi dengan institusi lainnya seakan-akan sudah mengakar di negeri ini. Perbaikan data pangan wajib menjadi prioritas pemerintah.

Menurutnya, persoalan antara Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog), Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementan terkait data, terjadi karena perbedaan tugas dan kewenangan. Sementara itu kebijakan impor diputuskan dalam rapat koordinasi yang melibatkan ketiga institusi tersebut.

Padahal data pangan yang bersumber dari satu pihak, akurat dan diperbaharui secara berkala sangat penting untuk menentukan kebijakan pangan yang akan diambil pemerintah. Selain sebagai dasar pengambilan kebijakan, data pangan yang bersumber dari satu pihak dan akurat juga penting untuk mengukur produktivitas pangan, mengidentifikasi daerah-daerah penghasil komoditas pangan dan juga mengetahui kondisi petani.

“Kegiatan impor yang belum efektif sebenarnya didasarkan pada acuan data yang dijadikan dasar untuk melakukan impor. Sehingga jika data acuan tidak dapat diandalkan, hasilnya adalah kebijakan yang tidak efektif,” jelas Galuh seperti dikutip dari Warta Ekonomi, kemarin.

Buruknya pengelolaan data pangan sendiri sebenarnya sudah lama diendus Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam Laporan Tindak Lanjut Rekomendasi BPK, salah satu yang ditekankan adalah adanya Tata Niata Impor Bahan Pangan yang dinilai “Belum Patuh.” Dinyatakan bahwa Kemendag hingga saat ini melakukan penerbitan impor tidak sesuai dengan data produksi dan kebutuhan di dalam negeri.

Laporan BPK juga mengatakan penerbitan persetujuan impor tersebut juga tidak melalui rapat koordinasi dan/atau tanpa rekomendasi kementerian terkait. Selain itu, kinerja efektivitas ketersediaan dan stabilitas harga juga dinilai BPK tidak efektif karena kurang optimalnya perencanaan distribusi logistik dan pengelolaan data yang tidak dimanfaatkan dengan baik.



Sejujurnya, jika ditilik lebih dalam sebenarnya konflik ini menguak tabir tentang adanya kebijakan yang tidak sinkron antara mandat yang diberikan kepada Bulog dengan regulasi pemerintah lainnya di sektor pangan. Sayangnya, hingga saat ini pemerintah seolah tak menyadari itu.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa pernah bilang, konflik beras yang menyeret lebih dari satu instansi pemerintah saat ini, sejatinya memiliki akar masalah yang sama, yaitu data produksi yang tidak akurat.

“Konflik itu selalu berawal dari Kementerian Pertanian, karena terkait dengan data yang amburadul. Klaimnya selalu jauh dari kenyataan, sehingga tata kelola pangan kita jadi kacau balau.”


Acuan:

Ketika Data Pangan Tak Lagi Akurat, Apakah Debat Masih Ada Gunanya?

BPS Sempurnakan Data Beras, Estimasi Kementan Lebih Tinggi

CIPS: Perbaikan Data Pangan Perlu Digalakkan untuk Kurangi Kesemrawutan Impor
simsol...
kaum.milenial
helmidewata
helmidewata dan 3 lainnya memberi reputasi
4
1.8K
14
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.2KThread40.4KAnggota
Tampilkan semua post
kelvinlutfiAvatar border
kelvinlutfi
#1
Quote:


wakakakakakak
simsol...
simsol... memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.