- Beranda
- Stories from the Heart
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
...
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:

Cover:

NB: Sorry Bad Editing
Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter
Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita
Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.
Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.
Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.
Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.
Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.
Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.
Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.
Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.
Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.
Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.
Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.
Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.
***
Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.
“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.
“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.
“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.
Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.
Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.
Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.
Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.
“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.
“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.
“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.
“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.
“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”
Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.
“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.
Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.
“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.
Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.
Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.
***
Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.
Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,
“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.
“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.
Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.
“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.
Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.
Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.
“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.
“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.
“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.
“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.
“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.
Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.
Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.
Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.
Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.
“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.
“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.
‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.
Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.
Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
sandriaflow
#78
Diary bulan Syawal 2016
#Hari Pertama
Aku bersama beberapa teman-teman sepelantaranku pergi mengunjungi tetangga-tetangga dalam satu RT. Berkunjung dari satu rumah ke rumah yang lain sampai genap semuanya, meskipun ada beberapa yang terlewatkan. Duduk sejenak, menikmati jajanan ringan yang disuguhkan, kaleng kue yang dari tampilannya menggiurkan ketika dibuka ternyata isinya rengginang, it’s like a bickuribox. Tak jarang pula kami menghabiskan setengah pack isi rokok filter untuk dibagi enam anak.
Malam harinya, Eru dan Kelis bersilaturrahim kerumahku. Kusuguhkan sebungkus rokok dan sebotol besar minuman bersoda. Aku ngobrol dengan mereka cukup lama hingga larut malam, tanpa disadari Kelis sudah terkapar dikursi rumahku karena tak kuar menahan kantuk. Eru kemudian mengajaknya pulang dan berpamitan kepadaku.
#Hari kedua
Aku dan ibuku berkunjung ke rumah saudara-saudaraku yang tersebar dibeberapa desa. Alhamdulillah, meskipun sudah hampir kuliah, pesangon hari raya dari saudaraku masih mengalir dikantongku. Mau menerima sebenarnya sungkan, tapi yang namanya rezeki juga tidak baik jika ditolak. Dengan senang hati aku menerimanya sambil mengucapkan terimakasih. Banyak awkard momen yang terjadi ketika ditanya terkait kuliah, malu-malu kucing aku menjawab sekenanya. Rata-rata keluargaku sangsi dengan jurusanku, entah dengan dalih masa depan yang tak jelaslah atau macam mana pulalah. Aku hanya diam, mengangguk, meredam niatku untuk memborbardir rumah salah satu kerabatku yang bicaranya nyerocos sekaligus menyinggungku.
#Hari ketiga
Aku hanya diam dirumah. Menanti tamu berkunjung kerumahku, entah itu saudaraku atau mungkin tetangga lain yang belum sempat mampir ke rumahku. Didalam rumah, aku hanya menghabiskan waktuku untuk mengurangi kapasitas jajanan yang ada di toples. Terutama untuk jajanan yang memiliki cita rasa enak dan bikin ketagihan, bisa kuhabiskan dalam sekejap. Semua terasa lebih sempurna ketika aku menonton film warkop yang diputar disalah satu televisi. Judulnya adalah Dongkrak Antik, itu adalah film warkop yang paling kusuka. Perfect nan kocak.
#Hari keempat
Aku ditemani Ali berkeliling ke rumah teman-temanku sekelas saat SMP dulu. Patut disayangkan, kebanyakan aku tidak bertemu mereka. Ada
yang sedang diluar kota, ada yang sedang keluar ke rumah saudara, ada lagi yang pintu rumahnya tertutup. Kunjungan pertama kami adalah ke rumah Arafah, salah satu temanku di SMP dulu. Sekarang, ia diterima di UGM. Aku akui dia memang jenius, sebelas dua belas dengan Ali, mereka pun juga menyandang almamater yang sama ketika SMA. Hampir satu jam, kami berbincang-bincang dengan dia dengan konsep yang kurang lebih hampir mirip acara talkshow. Momen yang tak kalah spesial di hari ini, adalah aku bersilaturrahim sebentar ke rumah Dinda. Aku tahu itu adalah cerita lalu, tapi bukan berarti menjadi pemutus hubunganku dengan dia secara permanen. That so funnv. Kami berdua sudah berdamai dengan keadaan, dan rasanya sungguh melegakan. Satu hal yang cukup menyedihkan, Dinda mengundurkan diri dari Universitas Negeri Yogyakarta karena alasan keluarga.
#Hari kelima
Sehabis maghrib aku pergi ke rumah Eru. Kamis sudah membuat janji untuk bersilaturrahmi ke rumah salah satu guru SMA kami. Dengan motor hitamku seperti biasa kami berdua pun berangkat, menyusuri padatnya jalanan karena banyak orang yang sedang berpergian atau pulang. Aku menyetir, dari jalanan yang ramai kami berbelok ke timur menyusuri jalan di gang kecil. Suasana di gang ini cukup mencekam, gelap dengan sorot lampu yang minim.
Teringat satu tahun yang lalu, kurang lebih juga seperti ini atmosfernya. Dulu, aku memaksa Eru untuk menenamiku berkunjung ke rumah mantanku beserta mantan gebetanku. Meskipun ada sedikit rasa canggung tapi niatku dulu itu mulia, untuk meminta maaf dan mendamaikan keadaan. Barangkali ada salah dariku yang belum termaafkan.
“Megg, hati-hati! Entar ada kuburan didepan sana, baca doa.” Eru berujar pelan bersamaan dengan desau angin malam yang sedikit mistis. Fokusku tiba-tiba sedikit buyar mendengar kalimat Eru sekaligus menyadarkanku dari lamunan.
“Ah lo jangan nakut-nakutin gue gitu Er. Lo tau sendiri kan gue takut sama yang begituan.” Aku mencoba tenang sambil fokus mengemudikan motorku. Selang beberapa waktu, benar apa yang dikatakan Eru. Sebuah kuburan tepat berada disebelah utara jalan, kondisi jalanan yang gelap beserta riuh rendah pepohonan yang mengundang hawa mistis membuat bulu kudukku sedikit merinding. Untung saja tidak ada orbs-orbs yang tertangkap mata, atau mungkin penampakan-penampakan ghaib.
Usai melewati kondisi mencekam selama beberapa detik itu, kami akhirnya sampai ditempat tujuan pertama. Sebuah rumah yang tak terlalu besar, didepan telah terparkir rapi sebuah mobil pick up warna putih. Rumah ini adalah rumah pak Eko, salah satu wakil kepala sekolah bagian kesiswaan. Motorku kuparkirkan didekat mobil itu lantas kami berdua mendekat ke pintu rumah yang terbuka lebar. Eru mengetuk-etuk pintu itu pelan sambil mengucapkan permisi, namun tak ada respon.
Ia masih terus mengetuk-etuk pintu itu hingga berulang kali. Aku diam melihat aksinya. Dari ruang tengah, berjalan seorang perempuan muda menghampiri kami dan mempersilahkan kami duduk.
“Er, tuh siapanya pak Eko? Adiknya ya?” Aku bertanya polos.
“Lo liat foto yang ada di figura itu!” Matanya melirik ke arah dinding. Aku pun melakukan hal serupa.
“Gue kira dia adiknya, ternyata istrinya. Masih muda banget, lo sendiri tau kan pak Eko modelnya udah nggak muda lagi.” Aku berbisik sepelan mungkin.
Istrinya pak Eko memberitahu kami bahwa pak Eko sedang keluar rumah. Eru menatapku lamat-lamat, dari sorot matanya aku tahu ia ingin menunggu sampai pak Eko pulang. Aku diam saja sambil membuka satu persatu toples diatas meja yang berisi beraneka makanan ringan, menikmati sebuah astor coklat. Suasana diruang tamu itu cukup hening, sesekali kami berbasa-basi tak jelas dengan istrinya pak Eko.
Beberapa saat kemudian, pak Eko pun datang. Beliau disambut hangat oleh putrinya yang dengan cekatan menyerobot sebuah bingkisan dalam keresek warna hitam ditangan beliau. Spontan, kami berdua pun bersalaman kepada pak Eko dengan penuh hormat. Suara renyah beliau terdengar khas ditelinga kami berdua.
“Eru to ternyata, duduk-duduk sini. Nih rokok biar mantap ngobrolnya.” Pak Eko berkata ramah, diarahkannya sebungkus rokok kepada kami. Orangnya friendly, disekolah memang beliau bersikap layaknya guru yang berwibawa, namun diluar sekolah beliau menganggap siswa itu manusia biasa. Pembicaraan santai seperti ini buat beliau tidak perlu menyertakan status antara guru dan murid, melainkan sesama rakyat biasa.
Eru selaku mantan ketua ekskul pramuka dari dulu memang dekat dengan pak Eko. Aku hanya diam menyimak pembicaraan mereka berdua, sekaligus tertawa sendiri jika pembicaraannya mengandung unsur jenaka. Beliau juga menyinggung terkait kuliah.
“Nah, ini ngomong-ngomong mau kuliah dimana?” Pak Eko bertanya
serius.
“Saya ke Universitas Negeri Yogyakarta pak, jurusan Pendidikan Geografi.” Eru menjawab mantap.
“Wah bagus-bagus, lha kamu?” Kali ini beliau bertanya kearahku.
“Ke Universitas Negeri Malang pak, jurusan Bahasa Jerman.” Aku menjawab dengan sedikit ragu. Beliau sedikit kaget dan heran. Namun pada akhirnya beliau memberikan beberapa kata-kata motivasi kepadaku dan Eru untuk kedepannya.
Rencana kami seusai kunjungan dari rumah pak Eko adalah ke rumah bu Sri. Kami bertanya kepada pak Eko letak koordinat pasti rumah bu Sri yang tak jauh dari rumah beliau. Dengan gayanya yang khas pak Eko menggerakgerikkan tangannya menunjuk arah yang harus kami lalui. Kami berdua memperhatikan dengan seksama. Beliau mengulanginya lagi, kami
mengangguk pertanda paham meski kenyataannya sedikit mengambangambang.
***
Sepulang dari rumahnya pak Eko, aku mengubah jalur menghindari kuburan yang mencekam itu. Melenggang jauh dijalan raya, meliak-liuk menyalip pengendara lainnya.
“Eh Er, entar kalau lo udah lihat poskamling yang dijelaskan pak Eko tadi bilang ke gue ya.” Aku membuka pembicaraan, ia hanya diam mengangguk.
Jarak yang kami tempuh untuk sampai ke rumah bu Sri kira-kira enam kilometer. Malam ini aku lupa membawa jaket, harusnya aku mengenakan jaket untuk mengurangi udara dingin yang menusuk-nusuk kulitku. Mungkin efek kelelahan karena seharian tidak tidur, aku sedikit terkantuk-kantuk berkendara malam ini. Kupaksa mataku untuk tetap fokus karena tinggal sedikit lagi kami sampai ditempat tujuan.
Eru menepuk-nepuk bahuku keras.
“Woi Megg, kita kebablasan ini. Puter balik woi!” Suara Eru mengagetkanku. Aku pun menepi dipinggir jalan, merubah haluan motorku kemudian kembali ke arah poskamling yang disebut Eru.
Didekat poskamling itu ada gang kecil diselatan jalan. Kami memasuki gang kecil yang lumayan gelap itu, hanya ditemani lampu-lampu remang dari teras rumah sekitar gang itu. Sekitar lima puluh meter sejak memasuki gang, kami berbelok kekanan mengikuti arahan pak Eko. Tiga buah rumah yang berjajar rapi menyambut kedatangan kami berdua.
“Megg, rumah bu Sri yang mana ini?” Eru bertanya bingung kepadaku. Dengan santai aku mengarahkan motorku langsung ke rumah yang berada diurutan paling kiri.
“Woi, seenak udel lo aja main parkir! Nih bener nggak.” Eru menepuk bahuku, ia tak paham dengan tingkahku. Dia pikir aku sedang berhalusinasi.
“Tenang sob, lo lihat tuh didinding rumah. Disamping lo itu juga.” Aku mengarahkan pandanganku kearah motor butut bu Sri yang biasa dipakai ke sekolah untuk mengajar. Eru pun memperhatikan dengan seksama kedalam rumah dan kearah motor butut itu.
“Nah, lo masih ragu sama gue?” Aku menyeringai, ia diam mengangguk tak banyak protes.
Kami berdua mendekati pintu rumah tersebut. Serempak kami mengucapkan salam. Beragam foto bu Sri dan keluarganya di dinding ruang tamu membuat kami tambah yakin bahwa kami tidak salah rumah.
“Assalamu’alaikum.” Ujar kami cetar.
“Wa’alaikumsalam.” Seorang bapak setengah baya menyambut salam kami, beliau adalah suami dari bu Sri. Kami dipersilahkan duduk, lantas beliau meninggalkan kami menuju ruang belakang untuk memanggil bu Sri.
Kami berdua duduk diam menatap langit-langit ruangan itu. Menatap jam dinding yang hampir menunjukkan waktu pukul setengah sembilan malam.
“Eh Meggy dan Eru, darimana aja ini?” bu Sri menyambut kami hangat, kami bersalaman dengan beliau penuh hormat.
“Dari rumahnya pak Eko bu.” Kami menjawab serempak tanpa perlu aba-aba.
“Ayo-ayo silahkan dinikmati jajanannya.” Tutur beliau ramah, dengan cepat aku mengambil sebuah minuman dalam gelas kecil. Sedari tadi aku belum minum sama sekali. Eru mengambil sebuah biskuit dari kaleng.
Sama seperti pak Eko, bu Sri juga menanyakan terkait kelanjutan studi kami berdua. Eru menjawab pertanyaan bu Sri dengan santai dan penuh keyakinan yang mantap. Sedangkan aku tetap ragu menjawab pertanyaan yang sama itu. Aku tak begitu percaya diri. Bu Sri pun demikian, patut disayangkan aku yang dulu begitu pandai dibidang ekonomi harus pindah haluan ke bidang bahasa.
“Yah, jalani saja Megg kalau kamu yakin dengan pilihan itu. Yang terpenting kalian ini harus sungguh-sungguh kuliahnya nanti, demi orangtua kalian.” Bu Sri menyemangati kami berdua, secercah harapan terpancar dalam hatiku. Aku memang masih ragu dengan semua ini, tapi aku harus belajar menerimanya.
Waktu sudah hampir larut, kami berdua pun berpamitan kepada bu Sri. Kami memutuskan untuk ngopi disalah satu warung kopi untuk menghabiskan malam ini.
***
Suara tabrakan bola dimeja billiard terdengar samar menyambut kami yang baru datang. Kami lihat Yadi telah duduk manis ditempat ngopi yang letaknya jauh dari keramaian. Beberapa saat lalu, Eru mengajaknya untuk ngopi bersama lewat pesan singkat.
Aku melangkah menuju ke pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo sebagai teman malam ini. Eru menghampiri tempat Yadi, kebetulan dia adalah ketua OSIS di SMA kami dulu. Mereka sangat akrab, sedangkan aku hanya sekedar mengenal dia.
Aku berjalan ke meja mereka dengan membawa dua gelas kopi ijo yang kupesan tadi.
“Udah lama lo Yad?” Sambil membuka pack rokok mild yang masih tersegel aku bertanya kepada dia.
“Lima belas menit kira-kira Megg.” Dia menyahut pelan, menyeruput es susunya yang masih tiga perempat gelas.
“Ngomong-ngomong lo berdua darimana?” Yadi bertanya penasaran.
“Tadi muter-muter ke rumahnya pak Eko, lalu ke rumahnya bu Sri.” Eru menjawab santai. Aku membakar rokokku pelan dengan rokok bensol milik Eru.
“Owh, eh Megg gue denger-denger lo ngambil bahasa Jerman? Lo gila apa gimana?” Yadi sedikit menyentak. Aku tak terlalu tersinggung dengan ungkapannya, memaklumi rasa penasarannya. Aku menjelaskan secara terus terang, asal muasal semua ini. Dia mengangguk mafhum dengan rasa masih setengah tak percaya.
“Lo sendiri gimana Yad?” Aku balik bertanya kepadanya. Dia balik menjelaskan kepadaku. Saat ini, dia diterima di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Kebetulan, dia satu prodi dengan Abi teman sekelasku. Jurusan mereka adalah Sosiologi Agama. Teori-teori yang diajarkan hampir sama dengan teori Sosiologi pada umumnya namun unsur-unsur islami diikutsertakan. Unsur-unsur komunisme pemikiran Karl Marx mungkin tidak dijadikan acuan di jurusan ini.
Kini gantian Eru yang berbincang-bincang dengan Yadi. Kebanyakan topik yang mereka bicarakan terkait organisasi, aku tak terlalu paham dengan topik itu. Aku sibuk berkutat mencethe rokokku dengan cethe yang telah kuendapkan di lepek gelas.
“Eh kalau Ardan gimana Er?” Yadi yang merupakan teman sekelas Ardan bertanya kepada Eru.
“Dia diterima di Universitas Negeri Surabaya jalur mandiri. Gue turut seneng, padahal dulu wajahnya kusut banget setelah gagal di kedinasan sama SBMPTN.” Eru menjawab dengan tawa renyah, aku turut gembira mendengar kawanku yang satu itu sudah diterima di salah satu universitas negeri.
Acara ngopi malam ini perlahan bertambah ramai, kami kedatangan satu teman lagi. Namanya Ferdy, dia anak IPA dan aku cukup akrab dengan dia. Kelihatannya dia sering ngopi ditempat ini, berbeda denganku yang masih baru pertama kali mampir kesini.
“Wih, lagi kumpul-kumpul nih. Gabung dong.” Ia berujar penuh antusias, kami mempersilahkannya duduk untuk bergabung dengan kami bertiga.
“Gimana kabar lo Fer?” Eru bertanya kepada dia.
“Nggak baik bro, gue lagi pusing ini. Belum dapet universitas.” Sontak raut wajahnya berubah. Kami hening sejenak, takut menyinggung perasaannya jika pembicaraan ini tetap berlanjut.
“Its okay lah, santai aja. Nggak usah sungkan sama gue, kalo kalian penasaran tanya aja nanti gue jawab.” Ferdy mencoba menenangkan suasana.
“Emangnya lo dulu nggak ikut tes-tes gitu apa?” Aku balik bertanya penasaran.
“Udah bro, dari SNMPTN, UMPTN, SBMPTN, tes Mandiri. Tak ada satupun yang sukses. Gue belajar mati-matian, gue punya obsesi yang cukup tinggi. Tapi semua itu gagal, temen-temen yang lain udah pada dapet universitas. Nah gue belum, agak frustasi juga.” Dinamika suaranya berubah, dari yang tadinya rendah mulai meninggi secara berpola.
“Jujur nih, gue bisa saja lewat jalan curang. Saudara gue banyak yang jadi dosen di universitas-universitas ternama. Gue bisa minta bantuan Om gue buat masukin gue. Tapi gue nggak ngelakuin itu, lo tau kenapa? Ogah bro gue nggak demen main curang kayak begituan. Gue pengen usaha sendiri.” Ferdy menghela nafas sebentar, memberikan jeda untuk kalimat yang akan ia ucapkan selanjutnya.
“Dan yang paling bikin gue kesel, waktu SBMPTN itu yang ikut bukan cuma anak SMA yang baru lulus. Tapi mereka yang udah dapet kuliah, ngotot ikut tes lagi karena nggak puas. Cuih, bikin peluang makin sempit aja.” Kali ini raut kekesalan terlihat jelas di wajahnya.
Kami bertiga diam menyimak kalimat demi kalimat mengandung umpatan tersebut.
“Tapi lo harus inget satu hal Fer, Tuhan belum ngasih jalan buat lo. Semua udah digariskan oleh-Nya, lo harus tetep berjuang dan nggak boleh menyerah.” Yadi mencoba menenangkan suasana, perlahan tensi Ferdy mulai menurun.
“Lo bener Yad, jujur aja gue kali ini sedikit nyesel. Gue dulu cuma mikir sukses, sukses, dan sukses. Belajar mati-matian, berambisi yang cukup tinggi. Dan gue sadar satu hal, gue lupa mendekatkan diri gue pada Tuhan. Masih sering gue maksiat dan intinya gue terlalu terobesi dengan ambisi sampai gue lupa sama Tuhan.” Suara Ferdy sedikit bergetar, matanya nanar.
Hatiku tersentak mendengar ungkapan Fredy tersebut. Refleksi diri, itu yang terlintas dipikiranku saat ini. Kegagalanku menembus universitas impianku itu hampir sama konsepnya dengan kegagalan beruntut Ferdy. Aku terlalu memikirkan ambisi, aku lupa mendekatkan diriku dengan Tuhan. Terlalu banyak dosa yang kulakukan. Setiap doa yang kupanjatkan itu bukan menunjukkan kepasrahan malah cenderung memaksa agar Tuhan berkenan mengabulkan permintaanku. Kupikir itu alasan kegagalan terbesarku selain tidak mendapatkan restu dari orangtuaku. Mungkin Eru juga sependapat denganku, ia gagal juga karena hal demikian. Namun, nasib kami berdua saat ini lebih baik ketimbang Ferdy karena kami telah diterima di universitas.
Setelah beberapa saat perbincangan serius itu berlangsung, Ferdy pergi meninggalkan kami berdua menuju meja billiard. Kami bertiga masih stay ditempat, menghisap rokok masing-masing. Kopi masih tinggal seperempat gelas, waktu tengah memasuki larut malam.
Perbincangan itu pun akhirnya usai juga, semua kelihatannya tampak mulai lelah. Kami akhirnya pulang ke peraduan masing-masing. Malam ini aku sekali lagi belajar menerima apa yang Tuhan berikan, bercermin kepada kegagalan orang lain. Dengan itu aku tahu bahwa aku harus banyak-banyak bersyukur dengan semua ini. Insyaallah, ada jalan kedepan nanti.
#Hari Keenam
Tak banyak kegiatan yang kulakukan. Semalaman aku tidak bisa tidur karena pikiranku kacau balau disamping efek kopi yang membuatku mampu menahan kantuk sampai pagi. Seusai menjalankan sholat Subuh, aku terlelap karena tak kuasa menahan kantuk.
#Hari Ketujuh
Aku bersilaturrahmi dengan teman-temanku sekelas sewaktu SMA. Mungkin ini adalah terakhir kalinya kami berkumpul, setelah ini jalan kami akan terpisah dan nantinya akan jarang bertemu layaknya hari ini. Sepulang dari pertemuan itu, aku hendak mampir ke rumahnya Tiara. Namun, niatku kuurungkan karena aku cukup grogi untuk mampir kesana. Apalagi bapaknya kelihatannya galak, Tiara pernah bercerita kepadaku lewat sosmednya.
***
Ini adalah rangkaian diary singkat di bulan Syawal. Jeda waktu dan penghubung untuk cerita-cerita selanjutnya yang akan memasuki babak baru. Bagian ini bukanlah kepingan cerita yang paling penting, namun kepingan ini punya arti dan pelajaran tersendiri untukku. ‘Kegagalan’ kata itu mungkin terlalu menakutkan dahulu, tapi dibalik itu semua kata itu mengajarkan seseorang untuk menerima kenyataan yang ada atau berusaha untuk mewujudkan kenyataan yang lebih baik. That’s a choice.
0