- Beranda
- Stories from the Heart
JATMIKO THE SERIES
...
TS
breaking182
JATMIKO THE SERIES
JATMIKO THE SERIES
Quote:
EPISODE 1 : MISTERI MAYAT TERPOTONG
Quote:
EPISODE 2 : MAHKLUK SEBERANG ZAMAN
Quote:
EPISODE 3 : HANCURNYA ISTANA IBLIS
Diubah oleh breaking182 07-02-2021 01:28
itkgid dan 26 lainnya memberi reputasi
25
58K
Kutip
219
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#100
PART 11
Quote:
Pukul sepuluh lewat beberapa menit. Mia memadamkan lampu kamar tidur. Ia menarik selimut sampai sebatas leher untuk berlindung dari udara malam yang sangat dingin. Di seberangnya di atas sebuah sofa panjang berwarna merah. Dito tertidur pulas. Pemuda itu meringkuk berselimutkan kain sarung.
Mia tersenyum geli teringat sandiwaranya tadi sore bahwa mereka pasangan suami istri yang tengah menikah dan kedua induk semangnya itu percaya saja. Akan tetapi, nanti dulu bagaimana kalau kedua orang tua itu menanyakan soal surat nikah dan hal –hal lain sebagainya? Mia tiba –tiba memikirkan hal itu.
Perempuan muda itu resah di atas pembaringannya bertambah lagi betapapun nyaman tinggal di kediaman baru untuk pertama kalinya selalu meresahkan. Paling tidak, karena suasana sepi mencekik di sekeliling rumah yang semakin larut malam, semakin di gerogoti oleh suara burung burung hantu serta desau pepohonan yang dilanda angin kencang. Sesekali Mia mendengar lolongan anjing di kejauhan.
Mia tak habis mengerti mengapa udara cerah sore harinya malam ini mendadak berubah sedemikian rupa. Waktu tadi ia pergi mengambil sepasang sepatunya yang tertinggal di jok belakang mobil, ia melihat langit dipekati mendung tebal kehitaman. Beberapa menit yang lalu hujan gerimis telah mulai jatuh, dan kesepian malam sesekali disentakkan oleh guntur yang menggemuruh dan petir yang saling sambar menyambar. Ia telah mengajak Dito ngobrol menjelang tidur. Tentang rencana - rencana mereka. Terutama bagaimana menangani kasus misterius yang akan diselesaikan oleh mereka berdua. Dan di tempat ini Dito meyakinkan kalau Parlin si pemilik pabrik pengolahan kayu lapis sering terlihat di perumahan ini.
Kegelapan kamar yang pekat samar - samar terasa semakin mencengkeram. Mia memandangi Dito yang pulas tertidur. Apakah aku harus membangunkan dia? Tangan Mia digerakkan oleh naluri di bawah selimut. Selimut tebal berwarna krem itu disingkapkan. Sembari berjinjit Mia menghampiri sofa merah dimana ada Dito yang tengah meringkuk di atasnya.
"Dito, bangun. Dito bangun “
Dito tetap memunggungi Mia. Tetap pulas. Barangkali semakin pulas.
“ Hei..?" tangan Mia menggoncang –goncang bahu Dito dengan sedikit keras.
Dengkur Dito hilang, tetapi matanya masih pula terpejam. Ia hanya menggeliat sedikit.
"Hai, bangunlah !"
Dito mendesah.
"Aku tidak bisa tidur", bisik Mia lebih keras.
Laki laki itu menggeliat di bawah kain sarung, mendengus perlahan. Perlahan pula ia membuka matanya.
"Ada apa?", ia bertanya setengah mengantuk.
“ Bagaimana kalau Pak Barda tahu kalau kita bukan pasangan suami istri, tentulah mereka menanyakan kartu nikah dan identitas lain. Misalnya, kartu tanda penduduk kita “
Dito mendesah, “ Mia, tengah malam begini kau bangunkan aku hanya untuk menanyakan hal itu ?”
“ Semua sudah aku atur dan sudah beres, penyamaran kita tidak mungkin ketahuan. Percayalah kepadaku “
"Aku... eh, aku minta maaf...." Mia justru terpojok. Merasa tidak enak hati dan malu kepada dirinya sendiri.
"Hem, kau tidurlah lagi Mia. Besok kita akan mulai penyelidikan ini "
"Baiklah...lanjutkan tidur mu"
Dito tidak menjawab, pemuda itu sudah kembali terlelap. Langkah gontai Mia kembali ke atas ranjangnya, kali ini dia hanya duduk di tepi ranjang. Beberapa lama kemudia ia berjingkat turun dari tempat tidur. Sejenak ia tegak sempoyongan. Setelah dapat menguasai dirinya ia berjalan perlahan ke arah pintu. Handle pintu diputar dengan hati –hati lalu Mia menyelinap keluar. Kegelapan yang temaram menyambutnya. Ia kembali berjalan perlahan menuju ke arah ruang tamu.
Mia tersenyum geli teringat sandiwaranya tadi sore bahwa mereka pasangan suami istri yang tengah menikah dan kedua induk semangnya itu percaya saja. Akan tetapi, nanti dulu bagaimana kalau kedua orang tua itu menanyakan soal surat nikah dan hal –hal lain sebagainya? Mia tiba –tiba memikirkan hal itu.
Perempuan muda itu resah di atas pembaringannya bertambah lagi betapapun nyaman tinggal di kediaman baru untuk pertama kalinya selalu meresahkan. Paling tidak, karena suasana sepi mencekik di sekeliling rumah yang semakin larut malam, semakin di gerogoti oleh suara burung burung hantu serta desau pepohonan yang dilanda angin kencang. Sesekali Mia mendengar lolongan anjing di kejauhan.
Mia tak habis mengerti mengapa udara cerah sore harinya malam ini mendadak berubah sedemikian rupa. Waktu tadi ia pergi mengambil sepasang sepatunya yang tertinggal di jok belakang mobil, ia melihat langit dipekati mendung tebal kehitaman. Beberapa menit yang lalu hujan gerimis telah mulai jatuh, dan kesepian malam sesekali disentakkan oleh guntur yang menggemuruh dan petir yang saling sambar menyambar. Ia telah mengajak Dito ngobrol menjelang tidur. Tentang rencana - rencana mereka. Terutama bagaimana menangani kasus misterius yang akan diselesaikan oleh mereka berdua. Dan di tempat ini Dito meyakinkan kalau Parlin si pemilik pabrik pengolahan kayu lapis sering terlihat di perumahan ini.
Kegelapan kamar yang pekat samar - samar terasa semakin mencengkeram. Mia memandangi Dito yang pulas tertidur. Apakah aku harus membangunkan dia? Tangan Mia digerakkan oleh naluri di bawah selimut. Selimut tebal berwarna krem itu disingkapkan. Sembari berjinjit Mia menghampiri sofa merah dimana ada Dito yang tengah meringkuk di atasnya.
"Dito, bangun. Dito bangun “
Dito tetap memunggungi Mia. Tetap pulas. Barangkali semakin pulas.
“ Hei..?" tangan Mia menggoncang –goncang bahu Dito dengan sedikit keras.
Dengkur Dito hilang, tetapi matanya masih pula terpejam. Ia hanya menggeliat sedikit.
"Hai, bangunlah !"
Dito mendesah.
"Aku tidak bisa tidur", bisik Mia lebih keras.
Laki laki itu menggeliat di bawah kain sarung, mendengus perlahan. Perlahan pula ia membuka matanya.
"Ada apa?", ia bertanya setengah mengantuk.
“ Bagaimana kalau Pak Barda tahu kalau kita bukan pasangan suami istri, tentulah mereka menanyakan kartu nikah dan identitas lain. Misalnya, kartu tanda penduduk kita “
Dito mendesah, “ Mia, tengah malam begini kau bangunkan aku hanya untuk menanyakan hal itu ?”
“ Semua sudah aku atur dan sudah beres, penyamaran kita tidak mungkin ketahuan. Percayalah kepadaku “
"Aku... eh, aku minta maaf...." Mia justru terpojok. Merasa tidak enak hati dan malu kepada dirinya sendiri.
"Hem, kau tidurlah lagi Mia. Besok kita akan mulai penyelidikan ini "
"Baiklah...lanjutkan tidur mu"
Dito tidak menjawab, pemuda itu sudah kembali terlelap. Langkah gontai Mia kembali ke atas ranjangnya, kali ini dia hanya duduk di tepi ranjang. Beberapa lama kemudia ia berjingkat turun dari tempat tidur. Sejenak ia tegak sempoyongan. Setelah dapat menguasai dirinya ia berjalan perlahan ke arah pintu. Handle pintu diputar dengan hati –hati lalu Mia menyelinap keluar. Kegelapan yang temaram menyambutnya. Ia kembali berjalan perlahan menuju ke arah ruang tamu.
Quote:
Mia duduk di kursi ruang tamu. Sempat ia menabrak salah satu kursi yang terpelanting menimbulkan suara yang berisik. Namun derai hujan yang telah membadai di luar rumah seperti menelan suara berisik tadi. Ia duduk dengan lutut terlipat dalam dekapan tangannya yang kaku. Dingin menggigil.
Situasi seperti ini mengingatkan Mia atas keluarganya, kemalangan –kemalangan yang senantiasa menerpanya. Berawal dari kebangkrutan bisnis ayahnya, dua tahun berselang ibunya berpulang setelah mengalami kecelakaan tragis. Air mata gadis itu berderai dalam kegelapan. Mia berkeluh kesah di kamar depan yang gelap. Ia selonjorkan kaki maupun tangan berulang - ulang dan meringkuk lagi bersandar dengan gelisah. Beralih ke kursi panjang. Merebahkan diri lebih gelisah lagi. Lantas mendadak ia terduduk tegang.
“ Suara apa itu ?"
Di kejauhan terdengar sayup-sayup lolongan anjing yang tinggi melengking. Seperti berlomba dengan suara hujan yang masih tercurah. Anjing itu tidak sendirian. Lolongan lain juga menggema dalam badai. Terdengar seperti dekat menjauh dekat lalu menjauh lagi. Suatu saat seolah suara itu bergaung sampai ke jendela pavilyun. Mia meluruskan duduknya.
Suara itu hilang dengan mendadak. Hujan pun seakan ikut berhenti. Demikian pula topan, guntur serta petir. Anjing entah serigala yang tadi tidak henti-hentinya melolong. Mendadak berhenti. Sepi yang menyeruak. Sepi yang mencekam. Mia bersijingkat oleh dorongan keinginan tahu yang melecut-lecut jantungnya. Ia mendekati jendela dan dengan gerakan patah-patah tangannya menyingkapkan tirai beludru.
Sesaat ia hanya melihat kegelapan di luar rumah. Kemudian ia menangkap bayangan pepohonan yang berdiri kaku bagai barisan prajurit kegelapan. Bayangan rumah - rumah tetangga yang membisu. Sementara langit yang biru kelam, awan putih yang berarak bagai iring-iringan sepasukan iblis yang akan turun ke bumi. Sinar rembulan yang dingin pucat menambah suasana semakin ganjil.
Satu tarikan gaib seperti menggerakkan leher Mia sedikit ke sebelah kiri. Mula - mula ia lihat pagar besi ukir terpaku diam sepanjang halaman samping. Lebih ke sana lagi dari pagar itu tanah-tanah rumput yang naik turun menuju lembah. Dan di bibir bukit yang seolah mencuat dari dasar bumi kelihatan gundukan batu raksasa. Hitam menjulang. Onggokan batu raksasa itu terpantul garang di biji mata Mia. Berlatar belakang langit yang biru perasaan takjub menyentuh hati Mia. Hanya sekejap karena manakala kelopak matanya mengerjap karena sengatan perih. Lamat – lamat ia menangkap sebuah bayangan bergerak sangat lambat.
Bayangan itu demikian kabur namun Mia merasa pasti bahwa ia telah melihat sesuatu. Ia menanti dengan nafas tertahan dan mata terpentang lebar. Tidak lama kemudian bayangan kabur itu kelihatan seperti menggeliat lalu pelan pelan berdiri di puncak batu yang tertinggi. Sosok tubuh seseorang, yang dari pavilyun kelihatan demikian samar. Akan tetapi langit yang biru di belakangnya serta cahaya rembulan yang pucat tepat di atasnya. Seketika memberi wujud pada sosok tubuh itu.
Samar kehitam - hitaman. Sosok tubuh itu tegak dengan tangguh. Berdiri seperti patung yang tertanam kokoh di atas batu tempatnya berpijak. Mia tidak mengetahui apakah itu sosok tubuh laki laki atau perempuan. Ia berhenti bernafas manakala matanya tertuju kepada sesuatu di bagian kepalanya. Sesuatu yang aneh, kepala itu tidak ada. Hanya ada leher saja. Kepalanya terpenggal!
" Hantu tanpa kelapa?!'" bisik Mia gemetar dan ketakutan.
"Apa !"
Mia memutar tubuh dengan terperanjat. Sosok kepala tergeletak di meja, dengan gerakan perlahan kepala itu memutar dan sepasang matanya yang merah menatap ke arah Mia. Panik seketika melanda dada Mia. la menjerit tertahan. Kemudian rubuh dengan sekujur tubuh yang lemah lunglai. Dalam kekaburan panjang. Ia lihat kutungan kepala tadi menyeringai dan kemudian menghambur ke arahnya. Mia ingin menjerit lagi. Tetapi ia sudah keburu tidak sadarkan diri. Jatuh terkulai di atas lantai.
Situasi seperti ini mengingatkan Mia atas keluarganya, kemalangan –kemalangan yang senantiasa menerpanya. Berawal dari kebangkrutan bisnis ayahnya, dua tahun berselang ibunya berpulang setelah mengalami kecelakaan tragis. Air mata gadis itu berderai dalam kegelapan. Mia berkeluh kesah di kamar depan yang gelap. Ia selonjorkan kaki maupun tangan berulang - ulang dan meringkuk lagi bersandar dengan gelisah. Beralih ke kursi panjang. Merebahkan diri lebih gelisah lagi. Lantas mendadak ia terduduk tegang.
“ Suara apa itu ?"
Di kejauhan terdengar sayup-sayup lolongan anjing yang tinggi melengking. Seperti berlomba dengan suara hujan yang masih tercurah. Anjing itu tidak sendirian. Lolongan lain juga menggema dalam badai. Terdengar seperti dekat menjauh dekat lalu menjauh lagi. Suatu saat seolah suara itu bergaung sampai ke jendela pavilyun. Mia meluruskan duduknya.
Suara itu hilang dengan mendadak. Hujan pun seakan ikut berhenti. Demikian pula topan, guntur serta petir. Anjing entah serigala yang tadi tidak henti-hentinya melolong. Mendadak berhenti. Sepi yang menyeruak. Sepi yang mencekam. Mia bersijingkat oleh dorongan keinginan tahu yang melecut-lecut jantungnya. Ia mendekati jendela dan dengan gerakan patah-patah tangannya menyingkapkan tirai beludru.
Sesaat ia hanya melihat kegelapan di luar rumah. Kemudian ia menangkap bayangan pepohonan yang berdiri kaku bagai barisan prajurit kegelapan. Bayangan rumah - rumah tetangga yang membisu. Sementara langit yang biru kelam, awan putih yang berarak bagai iring-iringan sepasukan iblis yang akan turun ke bumi. Sinar rembulan yang dingin pucat menambah suasana semakin ganjil.
Satu tarikan gaib seperti menggerakkan leher Mia sedikit ke sebelah kiri. Mula - mula ia lihat pagar besi ukir terpaku diam sepanjang halaman samping. Lebih ke sana lagi dari pagar itu tanah-tanah rumput yang naik turun menuju lembah. Dan di bibir bukit yang seolah mencuat dari dasar bumi kelihatan gundukan batu raksasa. Hitam menjulang. Onggokan batu raksasa itu terpantul garang di biji mata Mia. Berlatar belakang langit yang biru perasaan takjub menyentuh hati Mia. Hanya sekejap karena manakala kelopak matanya mengerjap karena sengatan perih. Lamat – lamat ia menangkap sebuah bayangan bergerak sangat lambat.
Bayangan itu demikian kabur namun Mia merasa pasti bahwa ia telah melihat sesuatu. Ia menanti dengan nafas tertahan dan mata terpentang lebar. Tidak lama kemudian bayangan kabur itu kelihatan seperti menggeliat lalu pelan pelan berdiri di puncak batu yang tertinggi. Sosok tubuh seseorang, yang dari pavilyun kelihatan demikian samar. Akan tetapi langit yang biru di belakangnya serta cahaya rembulan yang pucat tepat di atasnya. Seketika memberi wujud pada sosok tubuh itu.
Samar kehitam - hitaman. Sosok tubuh itu tegak dengan tangguh. Berdiri seperti patung yang tertanam kokoh di atas batu tempatnya berpijak. Mia tidak mengetahui apakah itu sosok tubuh laki laki atau perempuan. Ia berhenti bernafas manakala matanya tertuju kepada sesuatu di bagian kepalanya. Sesuatu yang aneh, kepala itu tidak ada. Hanya ada leher saja. Kepalanya terpenggal!
" Hantu tanpa kelapa?!'" bisik Mia gemetar dan ketakutan.
"Apa !"
Mia memutar tubuh dengan terperanjat. Sosok kepala tergeletak di meja, dengan gerakan perlahan kepala itu memutar dan sepasang matanya yang merah menatap ke arah Mia. Panik seketika melanda dada Mia. la menjerit tertahan. Kemudian rubuh dengan sekujur tubuh yang lemah lunglai. Dalam kekaburan panjang. Ia lihat kutungan kepala tadi menyeringai dan kemudian menghambur ke arahnya. Mia ingin menjerit lagi. Tetapi ia sudah keburu tidak sadarkan diri. Jatuh terkulai di atas lantai.
Quote:
Mia terbangun manakala matahari telah tinggi. Mula-mula kelopak matanya mengerjap-ngerjap heran. Kemudian ia mengenali kamar tidur yang sempat tampak asing sebentar tadi. Lapis dinding hijau lumut, lemari – lemari, sebuah toilet dan karpet lantai berwarna krem. Jendela kamar masih tertutup. Tetapi Dito telah menyingkapkan tirainya sehingga matahari memantulkan cahayanya dipermukaan karpet yang bersih cemerlang.
Mia melemparkan selimut. Waktu geliatkan otot leher yang terasa kejang. Mia meringis. Reflek tangannya meraba bagian belakang kepalanya yang terasa ngilu. Tidak ada benjolan. Namun ketika jarinya menekan sakitnya bukan main. Ia segera menarik jarinya. Lalu mencium bau minyak gosok. Terheran - heran kembali ia memandangi sekeliling kamar. Siapa yang menggosokkan minyak krem di belakang kepalanya?
" Ah......tentulah Dito atau malah mungkin Bu Barda. Tetapi mengapa?"
“ Astaga! Bukankah ia rasanya telah pingsan tadi malam, dan ketika jatuh belakang kepalanya lebih dahulu membentur lantai"
Mia mengejang seketika. Ia tahu sekarang. Tadi malam ia duduk di ruang tamu karena tidak bisa tidur dan tiba –tiba tedengar lolongan anjing dan ratapan yang aneh. Lalu ia menyingkap tirai jendela.
"Mahkluk itu... ?" ia berbisik kecut.
"Makhluk hitam tanpa kepala!"
Saat itu juga Mia meloncat dari tempat tidur. la berlari-lari kecil ke ruang tamu. Rasanya ia telah menabrak salah satu kursi sampai terguling. Tetapi kursi - kursi tamu tampak tersusun rapih, seolah belum pernah dijamah. Tirai tidak saja tersingkap. Jendela depan pavilyun malah terbuka . Takut -takut Mia mendekati jendela. Meninjau keluar.
Apa yang dia saksikan saat itu adalah apa yang telah ia saksikan pada malam hari sebelumnya. Pagar besi ukir. Tanah perbukitan yang naik turun. Pepohonan yang rindang, langit yang biru jernih. Serta onggokan batu raksasa di bibir bukit. Bedanya semua itu kini tampak lebih jelas di bawah siraman cahaya matahari, bukan di bawah naungan bulan yang pucat. Masih ada satu hal lagi. Di puncak batu yang paling tinggi. Ia tidak melihat bayangan apa pun juga. Mahkluk tanpa kepala itu sama sekali tidak terlihat.
"Apakah aku hanya bermimpi"
Mia bergumam sendiri.
Ia yakin telah melihat pemandangan yang ada di luar jendela kamar depan paviliun. Memang lebih hitam, lebih suram lebih menakutkan. Tidak secerah, seindah dan semempesona siang ini. Lalu bayangan siapa pula yang mendadak muncul di belakangnya ?
"Sudah bangun Mia?"
Mia berpaling ke sebelah kanan. Seorang perempuan tua berwajah lembut. Mendekati jendela dengan langkah perlahan. Di tangannya ia menggenggam seikat kembang berwarna-warni dan memiliki berhelai – helai daunnya hijau segar.
"Oh... Bu Barda!"
Perempuan itu tersenyum.
"Oh ya," perempuan tua Itu menjulurkan tangan yang memegang kembang ke jendela.
"Bunga yang ada dalam jambanganmu sudah tiga hari. Gantilah dengan yang ini agar kecantikanmu semakin tampak menawan."
"Ah, ibu ini," Mia tersenyum malu sambil menerima bunga itu.
"Ada lagi "
"Ya bu?"
“ Suamimu telah berangkat ke kantor pagi - pagi benar. Ia berpesan, agar kau bersenang-senang saja di rumah. Mungkin akan pulang terlambat. Katanya ia ingin pamit namun tak tega mengusik tidurmu yang lelap."
"Oh....begitukah Bu Barda “
Di dalam hati Mia memaki Dito. Sialan itu anak seenak jidat sendiri memutuskan rencana. Mengapa ia pergi mendadak pagi –pagi buta? Ah, biarlah aku akan ikuti seua hal yang telah ia rencanakan.
“ Ada apa Mia? Kau melamun?"
Mia tergagap, “ Tidak Bu, hanya heran saja tahu kalo Dito..eh, Mas Dito sudah pergi sepagi itu “
Bu Barda tersenyum manis sembari berkata, “ Pergilah engkau mandi Mia. Sarapan pagimu sudah dingin. Sementara kau bebersih, aku akan menghangatkannya lagi."
Mia melemparkan selimut. Waktu geliatkan otot leher yang terasa kejang. Mia meringis. Reflek tangannya meraba bagian belakang kepalanya yang terasa ngilu. Tidak ada benjolan. Namun ketika jarinya menekan sakitnya bukan main. Ia segera menarik jarinya. Lalu mencium bau minyak gosok. Terheran - heran kembali ia memandangi sekeliling kamar. Siapa yang menggosokkan minyak krem di belakang kepalanya?
" Ah......tentulah Dito atau malah mungkin Bu Barda. Tetapi mengapa?"
“ Astaga! Bukankah ia rasanya telah pingsan tadi malam, dan ketika jatuh belakang kepalanya lebih dahulu membentur lantai"
Mia mengejang seketika. Ia tahu sekarang. Tadi malam ia duduk di ruang tamu karena tidak bisa tidur dan tiba –tiba tedengar lolongan anjing dan ratapan yang aneh. Lalu ia menyingkap tirai jendela.
"Mahkluk itu... ?" ia berbisik kecut.
"Makhluk hitam tanpa kepala!"
Saat itu juga Mia meloncat dari tempat tidur. la berlari-lari kecil ke ruang tamu. Rasanya ia telah menabrak salah satu kursi sampai terguling. Tetapi kursi - kursi tamu tampak tersusun rapih, seolah belum pernah dijamah. Tirai tidak saja tersingkap. Jendela depan pavilyun malah terbuka . Takut -takut Mia mendekati jendela. Meninjau keluar.
Apa yang dia saksikan saat itu adalah apa yang telah ia saksikan pada malam hari sebelumnya. Pagar besi ukir. Tanah perbukitan yang naik turun. Pepohonan yang rindang, langit yang biru jernih. Serta onggokan batu raksasa di bibir bukit. Bedanya semua itu kini tampak lebih jelas di bawah siraman cahaya matahari, bukan di bawah naungan bulan yang pucat. Masih ada satu hal lagi. Di puncak batu yang paling tinggi. Ia tidak melihat bayangan apa pun juga. Mahkluk tanpa kepala itu sama sekali tidak terlihat.
"Apakah aku hanya bermimpi"
Mia bergumam sendiri.
Ia yakin telah melihat pemandangan yang ada di luar jendela kamar depan paviliun. Memang lebih hitam, lebih suram lebih menakutkan. Tidak secerah, seindah dan semempesona siang ini. Lalu bayangan siapa pula yang mendadak muncul di belakangnya ?
"Sudah bangun Mia?"
Mia berpaling ke sebelah kanan. Seorang perempuan tua berwajah lembut. Mendekati jendela dengan langkah perlahan. Di tangannya ia menggenggam seikat kembang berwarna-warni dan memiliki berhelai – helai daunnya hijau segar.
"Oh... Bu Barda!"
Perempuan itu tersenyum.
"Oh ya," perempuan tua Itu menjulurkan tangan yang memegang kembang ke jendela.
"Bunga yang ada dalam jambanganmu sudah tiga hari. Gantilah dengan yang ini agar kecantikanmu semakin tampak menawan."
"Ah, ibu ini," Mia tersenyum malu sambil menerima bunga itu.
"Ada lagi "
"Ya bu?"
“ Suamimu telah berangkat ke kantor pagi - pagi benar. Ia berpesan, agar kau bersenang-senang saja di rumah. Mungkin akan pulang terlambat. Katanya ia ingin pamit namun tak tega mengusik tidurmu yang lelap."
"Oh....begitukah Bu Barda “
Di dalam hati Mia memaki Dito. Sialan itu anak seenak jidat sendiri memutuskan rencana. Mengapa ia pergi mendadak pagi –pagi buta? Ah, biarlah aku akan ikuti seua hal yang telah ia rencanakan.
“ Ada apa Mia? Kau melamun?"
Mia tergagap, “ Tidak Bu, hanya heran saja tahu kalo Dito..eh, Mas Dito sudah pergi sepagi itu “
Bu Barda tersenyum manis sembari berkata, “ Pergilah engkau mandi Mia. Sarapan pagimu sudah dingin. Sementara kau bebersih, aku akan menghangatkannya lagi."
Quote:
Mia tidak ingin merepotkan induk semangnya itu. Akan tetapi, perempuan itu telah berlalu. Masuk ke dalam rumah melalui pintu utama. Selama beberapa saat Mia masih tercenung di jendela. Baru satu jam kemudian Mia duduk menghadapi meja makan di ruang tengah rumah induk semangnya. Selesai mandi, ia berjemur di bawah siraman matahari sambil menghirup udara perbukitan yang tidak mungkin ia cicipi selama tinggal di kota. Sambil menikmati sarapan paginya yang sudah terlambat itu.
Mia bertanya kepada induk semangnya:
"Mengapa sepi benar di sekitar kita, Bu Barda?"
Perempuan tua yang tengah merajut sehelai kaos kaki, berpaling dan menghentikan pekerjaannya.
“ Apa yang tadi kau tanyakan Mia? “
"Suasana di sekeliling kita Bu. Setelah mandi tadi, aku sempat melihat lihat di sekitar rumah. Jalan - jalan di aspal mulus berbelok-belok memasuki hampir setiap pekarangan rumah - rumah tetangga. Sepintas lalu aku melihat beberapa orang yang masih asing bagiku. Tetapi aku sama sekali tidak pernah melihat ada anak kecil di tempat ini."
"Oh itu.....Tak usah heran, Mia. Kau dan suamimu. Tidak saja pendatang baru di tempat ini. Malah juga penghuni yang termuda. Aku dan bapakmu lantas tetangga - tetangga kita yang lain, paling sedikit telah berusia lima puluh tahun "
Perempuan itu meneruskan pekerjaannya. Merajut kaos kaki yang selintas pandang jelas terlihat sangat kecil. Sangat pas dan cocok untuk ukuran kaki bayi yang baru saja lahir. Sambil menggerakkan jarum rajut dengan terampil.
Perempuan itu menjelaskan:
“ Jangan berpikir yang bukan-bukan Mia. Kolonel pensiunan yang tinggal di rumah sebelah tenggara yang atapnya merah itu mandul. Ia dan isterinya tidak punya anak. Aku dan bapakmu lebih beruntung. Meski anak kami meninggal ketika masih berusia tujuh tahun. Setidaknya selama tujuh tahun di kehidupan kami pernah terdengar celotehan bocah. Apakah sudah diceritakan oleh bapakmu ?"
Mia hanya mengangguk saja untuk menjawab pertanyaan Bu Barda.
“ Nah...tetangga tetangga kita yang lain semua punya anak. Ada yang dua, tiga, empat. Bahkan setengah lusin."
"Lantas bu Barda. Kemana semua anak - anak itu?"
" Semua anak - anak mereka telah menikah. Punya rumah dan anak anak sendiri. Punya kesibukan sendiri-sendiri pula. Kerja mereka macam macam. Hampir di semua bidang ada dari pegawai negeri, pengusaha yang sukses. Beberapa orang jadi politikus. Beberapa yang lain memegang jabatan yang penting di berbagai instansi pemerintah "
" Kalau kau sempat dan ada waktu, berkunjunglah ke rumah – rumah tetangga. Nanti akan kau kenali mereka satu persatu. Dan kau ketahui siapa dan apa pekerjaan anak – anak mereka. Meskipun kau lihat tidak ada anak kecil tinggal di sekiiling kita. percayalah... kami semua merasa bahagia “
“ Oh ya, Mia....”, perempuan itu menatap Mia dengan mata tajam.
"Kata Nak Dito, kalian juga belum berencana untuk memiliki momongan “
Sekejap lamanya Mia terkejut atas pertanyaan Bu Barda. Namun, dengan cepat perempuan muda ini dapat kembali menguasai keadaan agar perubahan air muka tidak terlihat oleh perempuan tua yang tengah duduk di depannya itu.
“ Hmmmm..iya Bu, kami belum berencana punya anak. Mungkin satu atau dua tahun di muka baru akan kami putuskan mengenai hal itu “
Mereka berdua kemudian berbincang -bincang tak berujung pangkal soal anak sampai suatu saat induk semangnya bertanya serius kepada Mia:
“ Wajah mu aku perhatika dari tadi tampak pucat. Kau sakit?"
Mia terdiam, sebenarnya ingin ia ceritakan kejadian tadi malam. Akan tetapi, hal itu ditahannya kuat –kuat. Ia tidak ingin Bu Barda khawatir dengan keadaannya.
“ Tidak Bu, saya baik –baik saja. Hanya saja mungkin karena kelelahan dan tidur larut tadi malam “
Bu Barda mengernyitkan kening, “ Apakah kamar mu kurang nyaman sehingga kau tidak bisa tidur lelap tadi malam ? “
Mia menggeleng, “ Bukan karena itu Bu, kamarnya sangat nyaman, kasurnya pun empuk. Hanya saja tidur untuk pertama kali di tempat yang baru terkadang saya masih kesulitan. Perlu sedikit penyesuaian agar nantinya terbiasa “
"Pergilah temui dokter Usman. Ia salah seorang tetangga kita yang baik dan tak pernah mengeluh kalau pintunya digedor tengah malam buta. Ia seorang dokter umum yang masih aktif di salah satu rumah sakit terbesar di kota ini “
“ Mintalah obat kepada Usman agar kau lebih sehat dan kelihatan segar. Tentu suami mu akan bersedih melihat kau sepucat ini Mia. Katakan saja atas suruhanku. Ia tidak
akan menarik biaya sepeserpun."
“ Sekarang bu?"
"Lebih cepat lebih baik "
Mia bertanya kepada induk semangnya:
"Mengapa sepi benar di sekitar kita, Bu Barda?"
Perempuan tua yang tengah merajut sehelai kaos kaki, berpaling dan menghentikan pekerjaannya.
“ Apa yang tadi kau tanyakan Mia? “
"Suasana di sekeliling kita Bu. Setelah mandi tadi, aku sempat melihat lihat di sekitar rumah. Jalan - jalan di aspal mulus berbelok-belok memasuki hampir setiap pekarangan rumah - rumah tetangga. Sepintas lalu aku melihat beberapa orang yang masih asing bagiku. Tetapi aku sama sekali tidak pernah melihat ada anak kecil di tempat ini."
"Oh itu.....Tak usah heran, Mia. Kau dan suamimu. Tidak saja pendatang baru di tempat ini. Malah juga penghuni yang termuda. Aku dan bapakmu lantas tetangga - tetangga kita yang lain, paling sedikit telah berusia lima puluh tahun "
Perempuan itu meneruskan pekerjaannya. Merajut kaos kaki yang selintas pandang jelas terlihat sangat kecil. Sangat pas dan cocok untuk ukuran kaki bayi yang baru saja lahir. Sambil menggerakkan jarum rajut dengan terampil.
Perempuan itu menjelaskan:
“ Jangan berpikir yang bukan-bukan Mia. Kolonel pensiunan yang tinggal di rumah sebelah tenggara yang atapnya merah itu mandul. Ia dan isterinya tidak punya anak. Aku dan bapakmu lebih beruntung. Meski anak kami meninggal ketika masih berusia tujuh tahun. Setidaknya selama tujuh tahun di kehidupan kami pernah terdengar celotehan bocah. Apakah sudah diceritakan oleh bapakmu ?"
Mia hanya mengangguk saja untuk menjawab pertanyaan Bu Barda.
“ Nah...tetangga tetangga kita yang lain semua punya anak. Ada yang dua, tiga, empat. Bahkan setengah lusin."
"Lantas bu Barda. Kemana semua anak - anak itu?"
" Semua anak - anak mereka telah menikah. Punya rumah dan anak anak sendiri. Punya kesibukan sendiri-sendiri pula. Kerja mereka macam macam. Hampir di semua bidang ada dari pegawai negeri, pengusaha yang sukses. Beberapa orang jadi politikus. Beberapa yang lain memegang jabatan yang penting di berbagai instansi pemerintah "
" Kalau kau sempat dan ada waktu, berkunjunglah ke rumah – rumah tetangga. Nanti akan kau kenali mereka satu persatu. Dan kau ketahui siapa dan apa pekerjaan anak – anak mereka. Meskipun kau lihat tidak ada anak kecil tinggal di sekiiling kita. percayalah... kami semua merasa bahagia “
“ Oh ya, Mia....”, perempuan itu menatap Mia dengan mata tajam.
"Kata Nak Dito, kalian juga belum berencana untuk memiliki momongan “
Sekejap lamanya Mia terkejut atas pertanyaan Bu Barda. Namun, dengan cepat perempuan muda ini dapat kembali menguasai keadaan agar perubahan air muka tidak terlihat oleh perempuan tua yang tengah duduk di depannya itu.
“ Hmmmm..iya Bu, kami belum berencana punya anak. Mungkin satu atau dua tahun di muka baru akan kami putuskan mengenai hal itu “
Mereka berdua kemudian berbincang -bincang tak berujung pangkal soal anak sampai suatu saat induk semangnya bertanya serius kepada Mia:
“ Wajah mu aku perhatika dari tadi tampak pucat. Kau sakit?"
Mia terdiam, sebenarnya ingin ia ceritakan kejadian tadi malam. Akan tetapi, hal itu ditahannya kuat –kuat. Ia tidak ingin Bu Barda khawatir dengan keadaannya.
“ Tidak Bu, saya baik –baik saja. Hanya saja mungkin karena kelelahan dan tidur larut tadi malam “
Bu Barda mengernyitkan kening, “ Apakah kamar mu kurang nyaman sehingga kau tidak bisa tidur lelap tadi malam ? “
Mia menggeleng, “ Bukan karena itu Bu, kamarnya sangat nyaman, kasurnya pun empuk. Hanya saja tidur untuk pertama kali di tempat yang baru terkadang saya masih kesulitan. Perlu sedikit penyesuaian agar nantinya terbiasa “
"Pergilah temui dokter Usman. Ia salah seorang tetangga kita yang baik dan tak pernah mengeluh kalau pintunya digedor tengah malam buta. Ia seorang dokter umum yang masih aktif di salah satu rumah sakit terbesar di kota ini “
“ Mintalah obat kepada Usman agar kau lebih sehat dan kelihatan segar. Tentu suami mu akan bersedih melihat kau sepucat ini Mia. Katakan saja atas suruhanku. Ia tidak
akan menarik biaya sepeserpun."
“ Sekarang bu?"
"Lebih cepat lebih baik "
Diubah oleh breaking182 02-07-2019 21:37
1980decade dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas