- Beranda
- Stories from the Heart
Balada Kisah Remaja Genit (Jurnal Komedi)
...
TS
tabernacle69
Balada Kisah Remaja Genit (Jurnal Komedi)
Quote:

Jurnal ini dapat membuat orang yang membacanya merasa BOSAN, tidak tertarik lebih lanjut dan kehilangan SELERA untuk membacanya, mereka akan merasa bahwa membaca jurnal serta kisah ini hanyalah membuang buang waktu mereka saja. Membencinya, mengkritiknya, membuangnya, dan melupakannya.
Tetapi bagi mereka yang bertahan, berjiwa santai dan pandai mencicil dalam membacanya.
Sebuah keajaiban akan terjadi.
Dan mereka akan mengingatnya.
..... Jurnal yang bakal saya bagikan ini mostly atau kebanyakan, bakalan bercerita tentang gimana cara untuk survive / bertahan di lingkungan sekolahan yang ekstrim dan berantakan, berandalan, dengan siswa cewek dan cowok yang nakal-nakal banget didalamnya, serta yang kebanyakan senang dan hobi banget mojok plus mesum di kantin belakang sekolah. Hehehe.
Dan nakal disini tuh sebutlah, pakai narkoba, nggak nurut sama guru, tawuran dan lain lain nya... betul betul nggak ada yang bisa dibanggain, apalagi kalau nakalnya masih dari duit orang tua. Tapi jangan emosi duluuu, karena ada pelajaran yang bisa diambil dari kenakalan-kenakalan itu.
* * *
PROLOG
"Bang, kau jangan lupa sama janjimu ya, kau kan anak lelaki, terus kau kan sudah lulus SD juga. Nah sekarang, merantau lah kau ke tempat orang."
Ucapan diatas adalah pesan dari bokap buat saya, karena ditagih janji, dan harus menepati janjinya, keputusan itu pun membuat saya harus memberanikan diri saya untuk pergi merantau ke tempat orang, sebuah tempat yang jauh dari kota kesayangan saya, kota yang saya tinggali.
..... nah waktu ituuu saya lagi ngobrol ngobrol santai sambil menikmati perjalanan sama sopir pesanan bokap di pertengahan malam, waktu itu kalau saya coba ingat ingat lagi secara persisnya..., perjalanan saya ini terjadi di bulan Februari, tahun 2007. Pak Amin namanya.
Sekitar jam setengah dua belas malam, dengan menaiki Range Rover Vogue warna hitam yang saya tumpangi, sopir pesanan bokap saya ini membawa kami melaju secara ekstra hati hati tepat didalam rerimbunan serta gelapnya taman hutan raya Bukit Soeharto.
Di Borneo, Kalimantan Timur.
Bukan karena apa apa, tapi karena kabarnya tempat ini adalah tempat yang super duper keramat.. jadi ya saya nggak bisa sembarangan bertingkah laku di tempat ini. Sompral atau belagu sedikit aja, saya yakin kalau saya bisa hilang di bukit yang menyeramkan ini.
.....
"Mas, kalau kita lagi lewat bukit Soeharto ini saya harap mas banyak banyak berdoa ya, jadi biar nanti kita bisa keluar dengan selamat." obrol si pak Amin kepada saya di saat itu, sambil dia tetap fokus dengan kendali setir yang berada didepannya.
Saya yang nggak tahu apa apa, cuma bisa merasakan bahwa bulu kuduk saya agak merinding. Sebab hanya ada kami berdua di tengah malam itu, dan persis seperti yang supir saya bilang, suasana di bukit Soeharto ini terkenal mencekam dan mengerikan.
Gosip gosipnya sih tempat ini adalah tempat rahasia, dulunya, yang dipakai untuk membuang mayat para preman yang dibunuh serta dikarungi selama pada masa pemerintahan yang terhormat... bapak presiden Soeharto. Tapi ini semua masih katanya ya...
Luar biasa...
Cuman, sebelum saya cerita lebih jauh lagi tentang kisah saya di tahun 2007 sampai dengan 2008 pertengahan itu.., saya pengen omongin satu hal yang bakalan bikin semuanya jadi jelas, bahwa, hidup saya nggak akan dimulai sampai akhirnya saya memutuskan untuk memberanikan diri dengan merantau seperti ini...
Ini adalah sebuah perjuangan yang sudah saya lewati di masa lalu saya, yang ternyata memberikan banyak kesan dan kenangan bahkan sampai hari ini.
Jadi waktu itu saya masih kelas 6 SD, baru lulus banget dari SD, kemudian merantau lah saya untuk cari sekolahan baru dan duduk di bangku SMP.
Hidup dan tinggal di keluarga Soematra memang begini, betul-betul keras didikan nya, meski saya tahu mungkin diluar sana ada yang sudah ditempa meski dari umur yang lebih muda, kayak waktu masih di bangku taman kanak kanak, mungkin? saya nggak hafal gimana persisnya.
Yang jelas waktu kelas dua SD saya pernah diguyur air dingin tepat tengah malam dan disuruh tidur di luar rumah, sama bokap saya, nyokap nangis-nangis dan nggak mampu ngelawan bokap, sampai akhirnya saya pun hampir kena hipotermia, dan kemudian dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Itu belum seberapa friends, waktu kelas lima SD saya pernah dijebloskan ke dalam penjara setempat sama bokap saya.
Penyebabnya?
Saya membuat skema ponzi (investasi bodong) di sekolah saya yang menyebabkan teman-teman saya kehilangan uang liburan mereka. Total dana yang saya gelapkan itu senilai puluhan juta rupiah. Under tiga puluh juta waktu itu kalau nggak salah.
Karena hal ini lah, saya dijebloskan kedalam sebuah tempat untuk menterapi anak-anak yang memiliki kecenderungan aneh aneh. Termasuk penjara itu tadi.
Seorang Philargyrist. Adalah orang yang suka dengan uang, bentuknya, gambarnya, teksturnya. Ngomong ngomong, under 30 juta, adalah nominal uang yang kecil dan sedikit sih memang, kalau bisa lebih banyak, saya pengen nya 50 juta atau lebih, tetapi untuk ukuran anak SD di tahun 2005, menurut orang-orang itu adalah hal yang agak tidak wajar.
Selain itu saya punya tendensi sebagai seseorang yang mengidap obssesive compulsive disorder, yang menyebabkan saya melakukan suatu kebiasaan secara repetitif, berulang ulang kali secara terus menerus, disini kasusnya saya punya kecenderungan untuk kembali menyedot uang uang itu lagi, buat saya, koin seratus perak yang sudah lecek dan kumal itu adalah sesuatu yang amat sangat mengundang.
Kalau buat kamu situasi seperti itu adalah angin selewat saja, ya mending buat saya aja duitnya, kenapa? karena setelahnya saya akan mencuci koin itu lalu memasukannya kedalam celengan saya.
Suara dentingan dari koin ituloh.... indah. Dan esensinya buat saya, every coins, matter.
Nah, jadi hukuman yang tepat bagi orang seperti saya adalah mencuci otak serta mental nya secara menyeluruh. Salah satunya adalah dengan men-terapi dan menjebloskan saya ke dalam penjara anak serta tempat praktik psikiater dan psikolog, untuk disatukan dengan kriminil-kriminil cilik atau anak-anak 'special needs' yang lainnya.
Hahahahaha, ya nggak sebegitu juga horornya, karena banyak kok yang pintar-pintar juga, di terapi disini, ada yang savant, ada yang synesthesia, ada yang prodigy, haha, mau apa lo? yang imbecile juga ada kok. Dan duit orang tua mereka nggak tanggung-tanggung kalau udah main ke psikiater dan psikolog. Hahahahaha.
Being a criminal mind, hukuman selanjutnya yang dilimpahkan kepada saya—masih yang kayak begitu juga, akhirnya saya pun pernah terpaksa ikutan tidur dirumah sebuah komunitas pemulung yang tinggal di sekitar komplek perumahan kami, ini waktu di Sumatra selatan kalau nggak salah, (saya kenal sama ketua komunitas pemulungnya, dan saya tidak membatasi diri sih.. asyik-asyik aja) Nah, disanalah saya belajar tentang gimana caranya jadi anak laki laki yang tahan banting. Itu semua belum termasuk bogem mentah dan ikat pinggang bokap.
Makanya saya sering ngebayangin, apa jadinya ya kalau teman teman saya yang dimanja itu, diperlakukan begitu sama Bapak mereka, wah sudah bunuh diri kali mereka. Walaupun anak aparat atau anak pejabat, tapi kalau pola asuh nya kayak pola asuh bokap saya, alamat selesai itu anak-anak manja.
.... juga kalau seandainya saya tidak memutuskan untuk merantau di tahun 2007 silam, saya bakalan tetap diusir juga sama bokap saya, nggak diakui sebagai anaknya, karena lembek, lemah, dan nggak mau berjuang. Bokap emang kejam kalau udah soal yang beginian.
Yang membuat saya mampu bertahan hingga hari ini ya adalah karena diri saya sendiri, karena nggak ada yang bisa menyemangati diri selain kita sendiri.
Alasan kedua, saya orangnya rasional, kalau dipukul itu artinya sakit, ya jangan suka mukul orang lain. Ketiga, saya orangnya senang gagal, karena dari gagal saya bisa belajar.
Keempat, saya anak bandel, nggak sempurna, dan suka belajar dari kesalahan yang dibuat oleh diri sendiri.
Kelima? nggak ada, jangan banyak banyak hehe, nanti pusing coy.
* * *
Dan juga... saya nggak akan tulis kisah saya ini kalau motivasinya kurang kuat.. saya sengaja tulis jurnal saya ini untuk mengingat masa masa itu, juga untuk mengenang perempuan terbaik, yang pernah hadir ke dalam hidup saya, selain nyokap saya sendiri tentunya...
Dan ini rasanya sungguh klise (biasa aja) memang... kalau dipikir pikir lagi, tapi ya, saya paham lah resikonya sedikit mengorek masa lalu itu kayak gimana. Makanya saya beranikan untuk menulis ini.
Jurnal dan kisah ini... juga saya tulis dan ceritakan ulang untuk menghormati orang orang didalam kehidupan saya. Harapan saya, semoga saya lancar menulisnya sampai akhir, karena ini bisa dibilang enggak banyak juga.
Jadi ya semoga saya bisa bawa alur cerita saya ini secara ringkas, padat dan jelas. Biar nggak ada yang pusing apalagi sampai sakit jiwa waktu ngebacanya.
So, nama saya Arang (Ara), sering dipanggil begitu karena kadangkala sifat saya yang menyengat kayak bau belerang, dan ini, adalah balada kisah hidup saya.
* * * * *
Indeks
Part 1 — Lagi enak-enaknya, saya ditendang.
Part 2 — Bokap saya yang kamu tidak sukai.
Part 3 — Life is normal.. kalau kamu lagi boker.
Part 4 — Seperti Arang, seperti belerang.
Part 5 — Jangan sampai, berpisah...
Part 6 — Saya yakin, diatas langit, masih ada langit.
Part 7 — Saya yang bawa pesta nya ke tempat kamu.
Part 8 — Masa lalu saya yang terancam punah.
Part 9 — We live in a world full of danger.
Part 10 — The GIANT remains incognito.
Part 11 — Shiz's Laik Dat Maighti Soerawizeza.
Part 12 — Teori sandal jepit Swallow hitam punya saya.
Part 12.2
Part 13 — Waktunya-kamu-ikut-saya-main.
Part 13.2
Part 14. — Mengupas tuntas, menyingkap tabir..
Part 15 — Kita tanding ulang, lo berani?
Part 15.2 — Every hotel is waving.
Part 16 — Saya harus mengingat kembali beberapa aturan lama...
Part 17. — One Level Above
Part 18. — Saya, Gog Magog, kamu, dan kabar yang mengejutkan.
Part 19. — Perdebatan diantara kamu dan saya.

Part 20. — Saya kembali ke tahun 2006.
Part 21. — Jalan Van de Venter.
Part 22. — Saya, moving to Borneo.
Part 23. — Saya dalam dunia perantauan.
Part 24 — Saya, kehidupan baru, dan bencong di masa lalu.
Part 25 — Borneo, saya dan kehidupan yang gokil abis!
Quote:
House of the suspects.
Ilustrasi tokoh.
Ilustrasi tokoh.
Quote:

Polling
Poll ini sudah ditutup. - 0 suara
Siapa tokoh yang paling kamu benci?
Freya
0%
Arang
0%
Burnay
0%
Asbun
0%
Dedew
0%
Diubah oleh tabernacle69 29-11-2020 17:52
makgendhis dan 50 lainnya memberi reputasi
49
49.5K
Kutip
632
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
tabernacle69
#181
Part 13.2
Quote:
Nah sekarang, yuk, kita kembali ke rumah Freya...
"Hello... ground control to major tom..." ucap Freya.
"Hey, oi." jawab gue akhirnya, tersadar.
"Rang, mau curhat..." kata Freya memelas.
"Yo, apa?" tanya gue sama dia.
"30 years from now pasti keadaan dirumah gue ya begini begini aja Rang, my father isn't here, my mother, juga... apalagi my brother..."
"Gue lebih suka main dirumah lo Rang... pasti kalau jam segini kita lagi nginep dirumah lo, ada nyokap lo... kita bakar bakar ayam, main gitar sama tukang-tukang yang kerja di rumah lo itu ya..." lalu mata dan bibir Freya pun memulai sesi curhatnya kepada gue.
"Oh iya, sama ada anak perempuan yang suka ngambek kalo gue main ke rumah lo itu yaaaa, siapa tuh namanya?"
"Sarah.." jawab gue, tahu persis mengenai tetangga gue yang kerjanya suka mengintip gue dari jendela kamarnya itu.
"Ah iya, Sarah! hahahaha, kayaknya dia cemburu deh sama gue... terus ih, kucing persia nya tuh lucu banget tau Rang... gue pengen deh bisa akrab sama dia, kayanya dia baik ya?" jawab Freya.
Saat itu gue pun hanya bisa tertegun, Freya lebih suka rumah gue? betul, se keren keren nya fasade Setra Raya milik Freya dan Papi Maminya, gue selalu kangen memotong kuku tepat didepan pintu rumah gedong milik bokap gue, yang tidak ada jendelanya dan angin sering masuk berhembus tanpa seijin orang rumah terlebih dahulu.
Atau, se keren keren nya pohon kamboja di tengah tengah rumah Ashburn yang berada tepat di dalam dining room keluarga nya, dengan wooden marble floor dari kayu Merbau, masih tetap nikmat Attic dingin di rumah gue yang langsung bisa melihat malam hari dengan hamparan galaksi yang tampil megah-mempesona, indah dipandang mata. (Baca: gue juling lalu tiba-tiba tidur setelah keenakan melihatnya)
Fitur nightscape the Citadel nya si Ashburn, kalau ditandingkan dengan rumah gedong gue, masih kalah sama mansion gue itu lahhh pastinya. Ha ha ha ha ha.
Apalagi? koi's pond nya Burnay yang kabarnya mengundang fortune kalau feng shui nya diletakkan secara tepat dan strategis, maaaasih kalah, eh sialan, kalau yang satu ini sih dia yang menang, karena jujur, rumah gue nggak ada kolam ikan koi nya ataupun evergreen aquascape berukuran 40 meter seperti yang gue temukan di Dago Bar nya rumah si Dedew. Oke, gue akui, McMore Hoes nya Burnay menang kalau dibandingkan dengan Rasamala kosong delapan milik seorang gue.
Mereka semua boleh saja menang dari gue, Fasade Setra Raya nya keluarga Freya, Citadel milik Ashburn, McMore Hoes nya Burnay, Newton nya Lody, Dago Bar nya Dedew, hahahaha, iya, gue memang menamakan kediaman mereka semua—yang ketika gue jabarkan itu kepada mereka, mereka cuma bisa bilang bahwa gue ini adalah kawan mereka yang sangat sangat spesial...
Bahkan sampai hari ini pun, gue masih kangen dengan Rasamala Kosong Delapan, yang dingin, hitam legam, namun selalu tersulap menjadi berwarna keemasan tepat ketika sang surya sedang meninggalkan nusantara bumi ini...
***
Sekian lama gue berada di awang awang dalam mengingat kesan dan memori yang gue rindukan dari rumah lama gue, akhirnya gue pun memutuskan untuk menjawab pernyataan yang Freya lontarkan kepada gue...
"Elo itu jadi bahan inceran tukang-tukang yang kerja dirumah gue Frey, cabul semua itu, makanya gue suka ngelarang elo kalo mau main kerumah gue..." tukas gue mengutarakan kekhawatiran gue terhadap Freya.
"Yeee.." jawab Freya nyinyir.
"Hahah, pede lo Ireng... Sarah sama gue deket aja nggak." jawab gue lagi, yang kemudian kembali ditanggapi oleh Freya.
"Hehe, tapi gue serius kali Rang... kalau dibanding disini, ya lo liat lah ini disini, Papi gue sibuk kerja, Mami juga sama... sepi begini lo bilang gue bisa hepi? gue bosen yang ada." tunjuk Freya menunjuk ke arah seisi ruang meeting di rumahnya ini. Bibirnya merengut tanda bahwa dia kecewa dengan situasi hidupnya di kala itu.
"Hahahaha, gue justru seneng sama rumah lo ini, bisa gue masukin segala macem, tanggung-tanggung gue sulap aja rumah lo ini kayak oracle arena. Hahahahaha." gue pun lanjut tertawa.
"Ha ha ha ha, basi." jawab Freya sambil cemberut.
Nggak sulit menggambarkan Freya di masa-masa itu, kulitnya Ireng, eksotis lah kalau bahasa sopan, hidung yang kecil, bibir juga kecil, kepala juga kecil, semua serba kecil, (cuma waktu itu dia menang tinggi aja dibanding gue, karena cewek kan nge hit puberty jauh lebih duluan dibanding cowok-cowok)
Dengan personal trait nya yang agak agak tomboy, dia pun sukses menyingkirkan ratusan cowok Indonesia yang suka sama dia, tak terkecuali orang-orang bule, yang kalau si Freya lagi main keluar negeri, pasti ada aja bule yang nyangkut sama dia. (Tapi ini maksudnya setelah Freya udah gede ya, bukan pas tahun 2006 itu.)
Kalau malam hari sudah tiba, atmosfir di rumah Freya memang selalu sama, semua lampu mulai menyala, temaram dan remang-remang rasanya, mostly berwarna kuning kecoklatan. Nggak seperti di rumah abang sepupu gue yang sekonyong konyong ada lampu pangggung di kolam renang belakang rumahnya. Aneh sekali rasanya.
Arsitektur dari fasade dengan konsep mid century ini sukses membuat rumah Freya menimbulkan kesan cozy kalau sudah tampil di malam hari. Sedangkan kalau di siang hari, semuanya terasa murni, sejuk dan asri. Alias Au de naturel, yang artinya adalah telanjang, hahahahaha.
Freya sekarang bekerja menjadi seorang arsitek, hal ini menjelaskan darimana latar belakang dia berasal sekitar dua belas tahun sebelumnya, dari rumah keluarganya inilah sejarah dia dimulai, yang gue rasa, memang menyimpan kesan arsitektur yang kuat. Bravo...
Dan mengingat bahwa orang tuanya dia adalah arsitek, juga... Papinya Freya ini adalah salah satu underrated architect yang namanya memang tidak menggaung hebat di kancah nasional per-arsitekturan Indonesia, namun selalu bekerja di balik layar, project nya selalu bersifat individualistis, tapi cuan nya sama sama besar. Lagipula waktu itu bokapnya Freya masih bekerja dibawah asuhan firma arsitektur ternama di negeri kita.
Sayang seribu sayang, memang papi nya Freya tidak sedekat seperti gue dengan Bapak gue, yang bokapnya nempel diatas kepala anaknya sendiri, persis kayak dalang dari wayang yang sedang dimainkan diatas panggung...
***
Berbicara tentang tempat si Freya, jadi kalau kita lihat ada rumah rumah besar di sebuah kawasan hunian yang terbatas, yang kalau malamnya remang-remang bercahaya namun kok rasanya sepi sekali... ada dua kemungkinan dua situasi yang sedang terjadi didalam rumah tersebut, yang pertama adalah tidak terjadi apa apa.
Yang kedua adalah memang sedang berlangsung sesuatu, tanda kedua ini bisa dilihat kalau pagar rumah tersebut terbuka, banyak mobil yang memenuhi carport rumah tersebut, sehingga owner rumah tersebut sampai-sampai harus meminta kerelaan ijin dari para tetangganya kalau-kalau tamu yang datang ke rumah mereka sampai-sampai memenuhi jalanan yang berada di cluster mereka.
Gue ingat hal ini karena saat itu Freya kembali ngomong lagi kearah gue, "Gue bosen..." kata dia yang memang sedng merasa bosan.
"Yaudah, kalo gitu gue pulang dulu ya." jawab gue.
"Kemana?" tanya dia dan kepalanya bangun dari atas meja.
"Ya ke rumah sebelah lah, ke opa gue."
"Lo mau pulang ke rumah si Irjadinata itu?" tanya Freya.
"Iya, mau bikin s'mores (marshmallow campur biskuit), terus nanti lanjut tidur, mau ikut?"
"Elo tuh ya!" bugh, dia secara instan memukul bahu gue.
"Eh, apa apaan." tanya gue heran.
"Seharian ini effort gue nge-keep elo bukan buat ngeliat lo pulang segampang itu nyet!" ujarnya marah dan mengancam.
"Hahahahahahahaha." melihat reaksinya itu, gue ketawa panjang lebar.
"Yaudah, mau ngapain?"
"Ngapain ya... gue bingung..." keluh Freya.
"Elo sih salah konsep, Frey, hunian gede begini nggak lo masukin mainan anak laki-laki, jadi lah rumah lo sepi begini..."
"Nah itu makanya, si Devo tuh malah bikin markas dirumah temen nya... padahal kan dia bisa aja bawa temen-temen nya kesini Rang..."
"Iya, makanya nanti masukkin aja macem macem sih, football table kek, dart board kek, konsol kek, terus gantilah itu yang dipajang jangan yang tua tua banget, jangan koleksi Mami lo aja. Gantilah, apa kek terserah, minta beli seven up yang banyak gitu ke Papi lo." kata gue, dan request gue demikian adanya karena waktu itu kami masih kelas enam SD.
Senangnya minum seven up, paling banter ya minum Pepsi, biar kayak Pepsi Man gitu sih ceritanya... jadi bisa gelondong-gelondong kayak orang tolol. Padahal mabok juga enggak.
"Tanggung-tanggung gue bikin jadi timezone aja ya rumah gue ini Rang." kata Freya singkat dan pedas.
"Ah elo mah begitu Frey, norce, malah nyindir balik ke gue, ya suka suka elo lah, rumah-rumah lo ini, gue cuma nyaranin, kan kalau di rumsi gue udah ada hiburan langsung dari alam. Yang jelas nggak akan orang dateng kalo gue nggak barbekyuan dulu. Got it?"
"Hahahaha, ya okey sih..."
Tapi rumah Freya, sekalinya lagi ramai pengunjung, gue yang biasa suka menginap dirumah opa Irja, tetangga beberapa blok dari rumah Freya, suka bingung sendiri kalau itu rupanya mobil mobil berderet, tamunya rumah Freya, terparkir sampai ke halaman depan rumah opa gue. Biasanya kalau sudah penuh suka dilempar sampai ke parking lot nya galeri nyewmanz newartawz. (Haha! eh ngomong ngomong GWK nya baru di pasang ya beberapa tahun yang lalu, akhirnya, dipasang juga itu burung, congrats lah!)
"Snooker aja, mau ya? elo harus ikut gue main, nggak mau tau pokoknya." lalu si jenius yang bernama Freya itu berdiri dan berjalan menuju ke arah dapur dalam rumahnya.
"Nyodok? ayo aja." jawab gue santai sambil mengetuk ngetuk meja di tempat ini.
Setelah Freya kembali dari dekat kitchen nya, dia ngomong lagi, "Gue mau rematch lawan Burnay, masih nggak terima gue kalah lawan dia tempo hari itu." kata Freya kalem.
"Scharffen?" Freya menyodorkan satu bar coklat ke depan gue, dengan cepat gue tolak, "Nggak."
"Yakin lo? kalau main sama dia kan stake nya gede Reng." ungkap gue lagi.
"Terserah."
"Gue dial do'i dulu ya." kata Freya lagi.
"Panas-panasin Frey, kalau nggak dipanasin nggak mau keluar kandang itu orang." omong gue sambil melihat Freya memegang ponsel dan mendekatkan ponsel itu ke telinga dia.
"Halo... Burn..." panggilan telpon sudah tersambung.
"I'm good." kata dia.
"Vienna yuk, gue jemput."
"Ini sama Arang, ntar gue ke tempat lo."
"Iya, si Yondra yang nyetir (Driver nya si Freya), twenty minutes ETA."
"Okay, see you Burn."
Klik!
Panggilan pun ditutup.
***
Semenjak malam itu, intensitas bermain gue sama kalian jadi agak berkurang...
Gue ingat, gue sempat berdebat sengit sama Freya masih di malam hari itu juga, simpel, kira-kira karena gue maunya begini... "Frey, gue mau ajak Opop juga ya... sama Ensey, biar rame." kata gue lagi.
"Bentar gue telpon." lalu gue kemudian langsung mengambil ponsel gue dari dalam saku celana, dan mulai menekan nekan tombol di ponsel untuk melakukan panggilan keluar.
Tiba tiba dengan kasarnya Freya membanting ponsel Sony Ericsson Walkman W810i gue langsung ke bawah lantai. Membuat gue panas dan bingung pada satu momen seketika.
"Heh culun, ngapain lo ngebanting Sony gue?" tanya gue gusar.
"Jangan ajak Opop." ancam dia keras, sambil mendesis kasar.
Sedangkan Freya maunya begitu...
"Gantiin itu handphone." reflek gue protes sama dia.
"Ah handphone murah gitu doang besok juga bisa gue gantiin." jawab Freya nyeleneh.
"YOU RECKLESS FOOL, WHAT MATTER IS MY PHONE CONTACT!" gue akhirnya MARAH dan berteriak.
"Lo ambil itu hp gue sekarang, AMBIL!" tunjuk gue geram ke arah hp gue yang sudah nggak jelas susunan bentuknya seperti apa, gue ingat disitu ada kontak orang-orang penting dalam hidup gue, mostly adalah anggota keluarga. Juga ada kontak gebetan gue, anak sekolahan sebelah.
Entah ada apa sama ini orang sampai sebegitunya di waktu itu.
***
Di titik ini, beberapa warna didalam dunia kami memang terpaksa memudar, tapi ya... mau bagaimana lagi, karena begitulah adanya.
Freya nggak mau mengambil handphone gue. Jadi terpaksa gue lah yang harus mengambil handphone gue sendiri tepat di bawah lantai itu, nah, ketika gue sedang mengambil handphone gue, Freya dengan gaya 'khas' nya kalau dia sedang berusaha menebus kesalahan dia, ngomong begini sama gue, "Name your wish, Ra, gue ganti." ucapnya tanpa secuil pun penyesalan atau rasa bersalah sama sekali. Masih dengan mengunyah coklat di mulutnya.
Disana gue hanya dapat mengelap wajah gue sendiri. Dalam hati, gue cuma mendesah, 'Capek deh...' lalu lanjut berpikir lagi, eh bentar dulu, gue biasanya kalau lagi ribet kayak begitu suka tiba-tiba jadi tanda koma, yang artinya ada rehat sejenak, seperti menarik nafas, membayangkan sesuatu yang kalem, baru lah gue bisa lanjut berpikir lagi.
Gue bilang begini sama dia, "Besok anter gue ke Purnawarman, mau beli Grado." jawab gue tidak dengan menatap kearah wajahnya Freya.
Freya cuma mengangguk. Tidak ada drama lucu-lucu menggemaskan diantara kami, atau drama cinta cintaan anak baru gede, seperti remaja remaja kebanyakan, hubungan pertemanan kami itu keras, kayak batu, mungkin karena sama sama Batak, jadi karakter dan sifatnya sama sama dingin. Tetapi tinggal tunggu siapa yang mengalah, yang mengalah duluan sih biasanya adalah gue. Makanya gue sering merasa menang.
Dan begini, sehebat hebatnya Freya membuat gue marah, gue sudah fasih sama kesialan yang orang ini lakukan kepada gue, gimana enggak, gue kenal dia dari jaman dia belum memakai pembalut sampai akhirnya sampah pembalut punya dia gue lihat, tampil, setiap beberapa minggu sekali di lingkungan dalam rumahnya. Gue kenal dia dari ujung kepala sampai ujung kaki, bahkan kalau gue boleh sedikit sombong.
Gue kenal dia lebih dari sosok Mami nya sendiri. Yang hampir tidak pernah hadir untuk dia. Yang kalau mengantar Freya ke playgroup dan biro kami semua, Maminya itu hanya mengantarkan dia hanya sampai pintu depan beranda biro kami saja, she just valet park her daughter, nothing more, nothing less.
Selanjutnya beliau kembali melenggang lagi mengurusi urusan bisnis bersama bokapnya Freya. Duhai tante Michy yang durjana.
Di sisi lain, jenis kelamin Freya adalah perempuan, so kalau gue sampai berani tampar-tampar dia, berani tampar perempuan, alamat di kerangkeng gue sama Amih Ageung. Tidak boleh kemana mana, tidak ada kuasa yang lebih menancap daripada kuasa Amih Ageung, dan yang jelas, mana bakal bokap kasih toleransi terhadap gue. Yang malah amat sangat mendukung kalau gue dihukum seperti itu.
"Hello... ground control to major tom..." ucap Freya.
"Hey, oi." jawab gue akhirnya, tersadar.
"Rang, mau curhat..." kata Freya memelas.
"Yo, apa?" tanya gue sama dia.
"30 years from now pasti keadaan dirumah gue ya begini begini aja Rang, my father isn't here, my mother, juga... apalagi my brother..."
"Gue lebih suka main dirumah lo Rang... pasti kalau jam segini kita lagi nginep dirumah lo, ada nyokap lo... kita bakar bakar ayam, main gitar sama tukang-tukang yang kerja di rumah lo itu ya..." lalu mata dan bibir Freya pun memulai sesi curhatnya kepada gue.
"Oh iya, sama ada anak perempuan yang suka ngambek kalo gue main ke rumah lo itu yaaaa, siapa tuh namanya?"
"Sarah.." jawab gue, tahu persis mengenai tetangga gue yang kerjanya suka mengintip gue dari jendela kamarnya itu.
"Ah iya, Sarah! hahahaha, kayaknya dia cemburu deh sama gue... terus ih, kucing persia nya tuh lucu banget tau Rang... gue pengen deh bisa akrab sama dia, kayanya dia baik ya?" jawab Freya.
Saat itu gue pun hanya bisa tertegun, Freya lebih suka rumah gue? betul, se keren keren nya fasade Setra Raya milik Freya dan Papi Maminya, gue selalu kangen memotong kuku tepat didepan pintu rumah gedong milik bokap gue, yang tidak ada jendelanya dan angin sering masuk berhembus tanpa seijin orang rumah terlebih dahulu.
Atau, se keren keren nya pohon kamboja di tengah tengah rumah Ashburn yang berada tepat di dalam dining room keluarga nya, dengan wooden marble floor dari kayu Merbau, masih tetap nikmat Attic dingin di rumah gue yang langsung bisa melihat malam hari dengan hamparan galaksi yang tampil megah-mempesona, indah dipandang mata. (Baca: gue juling lalu tiba-tiba tidur setelah keenakan melihatnya)
Fitur nightscape the Citadel nya si Ashburn, kalau ditandingkan dengan rumah gedong gue, masih kalah sama mansion gue itu lahhh pastinya. Ha ha ha ha ha.
Apalagi? koi's pond nya Burnay yang kabarnya mengundang fortune kalau feng shui nya diletakkan secara tepat dan strategis, maaaasih kalah, eh sialan, kalau yang satu ini sih dia yang menang, karena jujur, rumah gue nggak ada kolam ikan koi nya ataupun evergreen aquascape berukuran 40 meter seperti yang gue temukan di Dago Bar nya rumah si Dedew. Oke, gue akui, McMore Hoes nya Burnay menang kalau dibandingkan dengan Rasamala kosong delapan milik seorang gue.
Mereka semua boleh saja menang dari gue, Fasade Setra Raya nya keluarga Freya, Citadel milik Ashburn, McMore Hoes nya Burnay, Newton nya Lody, Dago Bar nya Dedew, hahahaha, iya, gue memang menamakan kediaman mereka semua—yang ketika gue jabarkan itu kepada mereka, mereka cuma bisa bilang bahwa gue ini adalah kawan mereka yang sangat sangat spesial...
Bahkan sampai hari ini pun, gue masih kangen dengan Rasamala Kosong Delapan, yang dingin, hitam legam, namun selalu tersulap menjadi berwarna keemasan tepat ketika sang surya sedang meninggalkan nusantara bumi ini...
***
Sekian lama gue berada di awang awang dalam mengingat kesan dan memori yang gue rindukan dari rumah lama gue, akhirnya gue pun memutuskan untuk menjawab pernyataan yang Freya lontarkan kepada gue...
"Elo itu jadi bahan inceran tukang-tukang yang kerja dirumah gue Frey, cabul semua itu, makanya gue suka ngelarang elo kalo mau main kerumah gue..." tukas gue mengutarakan kekhawatiran gue terhadap Freya.
"Yeee.." jawab Freya nyinyir.
"Hahah, pede lo Ireng... Sarah sama gue deket aja nggak." jawab gue lagi, yang kemudian kembali ditanggapi oleh Freya.
"Hehe, tapi gue serius kali Rang... kalau dibanding disini, ya lo liat lah ini disini, Papi gue sibuk kerja, Mami juga sama... sepi begini lo bilang gue bisa hepi? gue bosen yang ada." tunjuk Freya menunjuk ke arah seisi ruang meeting di rumahnya ini. Bibirnya merengut tanda bahwa dia kecewa dengan situasi hidupnya di kala itu.
"Hahahaha, gue justru seneng sama rumah lo ini, bisa gue masukin segala macem, tanggung-tanggung gue sulap aja rumah lo ini kayak oracle arena. Hahahahaha." gue pun lanjut tertawa.
"Ha ha ha ha, basi." jawab Freya sambil cemberut.
Nggak sulit menggambarkan Freya di masa-masa itu, kulitnya Ireng, eksotis lah kalau bahasa sopan, hidung yang kecil, bibir juga kecil, kepala juga kecil, semua serba kecil, (cuma waktu itu dia menang tinggi aja dibanding gue, karena cewek kan nge hit puberty jauh lebih duluan dibanding cowok-cowok)
Dengan personal trait nya yang agak agak tomboy, dia pun sukses menyingkirkan ratusan cowok Indonesia yang suka sama dia, tak terkecuali orang-orang bule, yang kalau si Freya lagi main keluar negeri, pasti ada aja bule yang nyangkut sama dia. (Tapi ini maksudnya setelah Freya udah gede ya, bukan pas tahun 2006 itu.)
Kalau malam hari sudah tiba, atmosfir di rumah Freya memang selalu sama, semua lampu mulai menyala, temaram dan remang-remang rasanya, mostly berwarna kuning kecoklatan. Nggak seperti di rumah abang sepupu gue yang sekonyong konyong ada lampu pangggung di kolam renang belakang rumahnya. Aneh sekali rasanya.
Arsitektur dari fasade dengan konsep mid century ini sukses membuat rumah Freya menimbulkan kesan cozy kalau sudah tampil di malam hari. Sedangkan kalau di siang hari, semuanya terasa murni, sejuk dan asri. Alias Au de naturel, yang artinya adalah telanjang, hahahahaha.
Freya sekarang bekerja menjadi seorang arsitek, hal ini menjelaskan darimana latar belakang dia berasal sekitar dua belas tahun sebelumnya, dari rumah keluarganya inilah sejarah dia dimulai, yang gue rasa, memang menyimpan kesan arsitektur yang kuat. Bravo...
Dan mengingat bahwa orang tuanya dia adalah arsitek, juga... Papinya Freya ini adalah salah satu underrated architect yang namanya memang tidak menggaung hebat di kancah nasional per-arsitekturan Indonesia, namun selalu bekerja di balik layar, project nya selalu bersifat individualistis, tapi cuan nya sama sama besar. Lagipula waktu itu bokapnya Freya masih bekerja dibawah asuhan firma arsitektur ternama di negeri kita.
Sayang seribu sayang, memang papi nya Freya tidak sedekat seperti gue dengan Bapak gue, yang bokapnya nempel diatas kepala anaknya sendiri, persis kayak dalang dari wayang yang sedang dimainkan diatas panggung...
***
Berbicara tentang tempat si Freya, jadi kalau kita lihat ada rumah rumah besar di sebuah kawasan hunian yang terbatas, yang kalau malamnya remang-remang bercahaya namun kok rasanya sepi sekali... ada dua kemungkinan dua situasi yang sedang terjadi didalam rumah tersebut, yang pertama adalah tidak terjadi apa apa.
Yang kedua adalah memang sedang berlangsung sesuatu, tanda kedua ini bisa dilihat kalau pagar rumah tersebut terbuka, banyak mobil yang memenuhi carport rumah tersebut, sehingga owner rumah tersebut sampai-sampai harus meminta kerelaan ijin dari para tetangganya kalau-kalau tamu yang datang ke rumah mereka sampai-sampai memenuhi jalanan yang berada di cluster mereka.
Gue ingat hal ini karena saat itu Freya kembali ngomong lagi kearah gue, "Gue bosen..." kata dia yang memang sedng merasa bosan.
"Yaudah, kalo gitu gue pulang dulu ya." jawab gue.
"Kemana?" tanya dia dan kepalanya bangun dari atas meja.
"Ya ke rumah sebelah lah, ke opa gue."
"Lo mau pulang ke rumah si Irjadinata itu?" tanya Freya.
"Iya, mau bikin s'mores (marshmallow campur biskuit), terus nanti lanjut tidur, mau ikut?"
"Elo tuh ya!" bugh, dia secara instan memukul bahu gue.
"Eh, apa apaan." tanya gue heran.
"Seharian ini effort gue nge-keep elo bukan buat ngeliat lo pulang segampang itu nyet!" ujarnya marah dan mengancam.
"Hahahahahahahaha." melihat reaksinya itu, gue ketawa panjang lebar.
"Yaudah, mau ngapain?"
"Ngapain ya... gue bingung..." keluh Freya.
"Elo sih salah konsep, Frey, hunian gede begini nggak lo masukin mainan anak laki-laki, jadi lah rumah lo sepi begini..."
"Nah itu makanya, si Devo tuh malah bikin markas dirumah temen nya... padahal kan dia bisa aja bawa temen-temen nya kesini Rang..."
"Iya, makanya nanti masukkin aja macem macem sih, football table kek, dart board kek, konsol kek, terus gantilah itu yang dipajang jangan yang tua tua banget, jangan koleksi Mami lo aja. Gantilah, apa kek terserah, minta beli seven up yang banyak gitu ke Papi lo." kata gue, dan request gue demikian adanya karena waktu itu kami masih kelas enam SD.
Senangnya minum seven up, paling banter ya minum Pepsi, biar kayak Pepsi Man gitu sih ceritanya... jadi bisa gelondong-gelondong kayak orang tolol. Padahal mabok juga enggak.
"Tanggung-tanggung gue bikin jadi timezone aja ya rumah gue ini Rang." kata Freya singkat dan pedas.
"Ah elo mah begitu Frey, norce, malah nyindir balik ke gue, ya suka suka elo lah, rumah-rumah lo ini, gue cuma nyaranin, kan kalau di rumsi gue udah ada hiburan langsung dari alam. Yang jelas nggak akan orang dateng kalo gue nggak barbekyuan dulu. Got it?"
"Hahahaha, ya okey sih..."
Tapi rumah Freya, sekalinya lagi ramai pengunjung, gue yang biasa suka menginap dirumah opa Irja, tetangga beberapa blok dari rumah Freya, suka bingung sendiri kalau itu rupanya mobil mobil berderet, tamunya rumah Freya, terparkir sampai ke halaman depan rumah opa gue. Biasanya kalau sudah penuh suka dilempar sampai ke parking lot nya galeri nyewmanz newartawz. (Haha! eh ngomong ngomong GWK nya baru di pasang ya beberapa tahun yang lalu, akhirnya, dipasang juga itu burung, congrats lah!)
"Snooker aja, mau ya? elo harus ikut gue main, nggak mau tau pokoknya." lalu si jenius yang bernama Freya itu berdiri dan berjalan menuju ke arah dapur dalam rumahnya.
"Nyodok? ayo aja." jawab gue santai sambil mengetuk ngetuk meja di tempat ini.
Setelah Freya kembali dari dekat kitchen nya, dia ngomong lagi, "Gue mau rematch lawan Burnay, masih nggak terima gue kalah lawan dia tempo hari itu." kata Freya kalem.
"Scharffen?" Freya menyodorkan satu bar coklat ke depan gue, dengan cepat gue tolak, "Nggak."
"Yakin lo? kalau main sama dia kan stake nya gede Reng." ungkap gue lagi.
"Terserah."
"Gue dial do'i dulu ya." kata Freya lagi.
"Panas-panasin Frey, kalau nggak dipanasin nggak mau keluar kandang itu orang." omong gue sambil melihat Freya memegang ponsel dan mendekatkan ponsel itu ke telinga dia.
"Halo... Burn..." panggilan telpon sudah tersambung.
"I'm good." kata dia.
"Vienna yuk, gue jemput."
"Ini sama Arang, ntar gue ke tempat lo."
"Iya, si Yondra yang nyetir (Driver nya si Freya), twenty minutes ETA."
"Okay, see you Burn."
Klik!
Panggilan pun ditutup.
***
Semenjak malam itu, intensitas bermain gue sama kalian jadi agak berkurang...
Gue ingat, gue sempat berdebat sengit sama Freya masih di malam hari itu juga, simpel, kira-kira karena gue maunya begini... "Frey, gue mau ajak Opop juga ya... sama Ensey, biar rame." kata gue lagi.
"Bentar gue telpon." lalu gue kemudian langsung mengambil ponsel gue dari dalam saku celana, dan mulai menekan nekan tombol di ponsel untuk melakukan panggilan keluar.
Tiba tiba dengan kasarnya Freya membanting ponsel Sony Ericsson Walkman W810i gue langsung ke bawah lantai. Membuat gue panas dan bingung pada satu momen seketika.
"Heh culun, ngapain lo ngebanting Sony gue?" tanya gue gusar.
"Jangan ajak Opop." ancam dia keras, sambil mendesis kasar.
Sedangkan Freya maunya begitu...
"Gantiin itu handphone." reflek gue protes sama dia.
"Ah handphone murah gitu doang besok juga bisa gue gantiin." jawab Freya nyeleneh.
"YOU RECKLESS FOOL, WHAT MATTER IS MY PHONE CONTACT!" gue akhirnya MARAH dan berteriak.
"Lo ambil itu hp gue sekarang, AMBIL!" tunjuk gue geram ke arah hp gue yang sudah nggak jelas susunan bentuknya seperti apa, gue ingat disitu ada kontak orang-orang penting dalam hidup gue, mostly adalah anggota keluarga. Juga ada kontak gebetan gue, anak sekolahan sebelah.
Entah ada apa sama ini orang sampai sebegitunya di waktu itu.
***
Di titik ini, beberapa warna didalam dunia kami memang terpaksa memudar, tapi ya... mau bagaimana lagi, karena begitulah adanya.
Freya nggak mau mengambil handphone gue. Jadi terpaksa gue lah yang harus mengambil handphone gue sendiri tepat di bawah lantai itu, nah, ketika gue sedang mengambil handphone gue, Freya dengan gaya 'khas' nya kalau dia sedang berusaha menebus kesalahan dia, ngomong begini sama gue, "Name your wish, Ra, gue ganti." ucapnya tanpa secuil pun penyesalan atau rasa bersalah sama sekali. Masih dengan mengunyah coklat di mulutnya.
Disana gue hanya dapat mengelap wajah gue sendiri. Dalam hati, gue cuma mendesah, 'Capek deh...' lalu lanjut berpikir lagi, eh bentar dulu, gue biasanya kalau lagi ribet kayak begitu suka tiba-tiba jadi tanda koma, yang artinya ada rehat sejenak, seperti menarik nafas, membayangkan sesuatu yang kalem, baru lah gue bisa lanjut berpikir lagi.
Gue bilang begini sama dia, "Besok anter gue ke Purnawarman, mau beli Grado." jawab gue tidak dengan menatap kearah wajahnya Freya.
Freya cuma mengangguk. Tidak ada drama lucu-lucu menggemaskan diantara kami, atau drama cinta cintaan anak baru gede, seperti remaja remaja kebanyakan, hubungan pertemanan kami itu keras, kayak batu, mungkin karena sama sama Batak, jadi karakter dan sifatnya sama sama dingin. Tetapi tinggal tunggu siapa yang mengalah, yang mengalah duluan sih biasanya adalah gue. Makanya gue sering merasa menang.
Dan begini, sehebat hebatnya Freya membuat gue marah, gue sudah fasih sama kesialan yang orang ini lakukan kepada gue, gimana enggak, gue kenal dia dari jaman dia belum memakai pembalut sampai akhirnya sampah pembalut punya dia gue lihat, tampil, setiap beberapa minggu sekali di lingkungan dalam rumahnya. Gue kenal dia dari ujung kepala sampai ujung kaki, bahkan kalau gue boleh sedikit sombong.
Gue kenal dia lebih dari sosok Mami nya sendiri. Yang hampir tidak pernah hadir untuk dia. Yang kalau mengantar Freya ke playgroup dan biro kami semua, Maminya itu hanya mengantarkan dia hanya sampai pintu depan beranda biro kami saja, she just valet park her daughter, nothing more, nothing less.
Selanjutnya beliau kembali melenggang lagi mengurusi urusan bisnis bersama bokapnya Freya. Duhai tante Michy yang durjana.
Di sisi lain, jenis kelamin Freya adalah perempuan, so kalau gue sampai berani tampar-tampar dia, berani tampar perempuan, alamat di kerangkeng gue sama Amih Ageung. Tidak boleh kemana mana, tidak ada kuasa yang lebih menancap daripada kuasa Amih Ageung, dan yang jelas, mana bakal bokap kasih toleransi terhadap gue. Yang malah amat sangat mendukung kalau gue dihukum seperti itu.
Diubah oleh tabernacle69 08-06-2019 16:01
0
Kutip
Balas