- Beranda
- Stories from the Heart
Bersamamu Geng Motor Aku Tinggalkan
...
TS
erina79purba
Bersamamu Geng Motor Aku Tinggalkan
[SFTH] Catatan Rahasia di Balik Hijrah

Sumber gambar Kaskus.com

Sumber gambar Pixabay
Aku seorang anak yang bisa dibilang bandallah pada saat itu. Berulangkali aku dapat surat peringatan dari sekolah.
Surat peringatan pertama yang kulakukan adalah berani memalsukan tanda tangan guru. Saat itu aku dan kedua temanku mencuri surat izin keluar dari guru piket. Surat izin itu kami gandakan( fotocopy)
Guru piket hari itu Bu Sukma, kami memalsukan tanda tangannya. Ternyata kejadian ini berbuntut panjang, hingga surat panggilan orang tua.
Keesokan harinya aku dipanggil oleh wali kelas ke ruang guru. Wali kelasku tergolong guru killer. Suaranya bila marah seantero kelas kedengaran, lebai ya, emang kenyataannya. Namanya Bu Erni, badan agak gemuk, rambut keriting, wajahnya tergolong cantik bila marah matanya melotot membuat kami kadang merasa ngeri bila ibu itu marah.
Aku belum kenalan ya, namaku Alvin Hermansyah kelas X-1.
Wali kelasnya Erni Armiya.
"Alvin ke ruang guru sebentar," pagi-pagi baru juga sampai masih di depan pintu Bu Erni sudah memanggilku.
"Iya Bu, saya menaroh tas dulu bolehkah Bu?" aku mulai tidak tenang mengingat kejadian kemarin kami memalsukan tanda tangan.
"Kamu tahu apa salahmu," Bu Erni langsung ke pokok permasalahan begitu aku duduk di hadapannya di ruang guru.
Aku tertunduk saja.
"Jawab Ibu! Jangan diam jika ditanya," suara Bu Erni mulai meninggi.
"Iya Bu, saya kemarin izin pulang sakit perut, aku masih berusaha mencari alasan.
"Jawab yang jujur!" Baru masuk aja sudah cari masalah," Bu Erni masih melanjutkan amarahnya.
"I..i..ya Bu, maafkan saya, kami kemarin pulang bertiga."
"Siapa saja orangnya?" Bu Erni masih melotot memarahiku.
Aku masih berusaha menutupi kelakuan kami kemarin tapi melihat mata Bu Erni membuat hatiku ciut.
"Kami... Saya, Nuko kelas X-3 dan Amri kelas X-2." Aku akhirnya menceritakan kenakalan kami kemarin yang telah memalsukan tanda tangan. Bu Erni menyuruhku pulang sekolah menjumpainya untuk memberikan surat panggilan kepada orang tua dengan ancaman jika tidak sampai ke orang tua, awas hati- hati , Bu Erni langsung telepon ke orangtuaku.
Tidak hanya itu saja kenakalanku, di kelas juga aku sering mengambil pulpen dan barang-barang lain yang berhubungan dengan alat-alat belajar bahkan LKS pun pernah aku ganti namanya. Teman- temanku yah seperti biasa pasti deh ngadu ke guru.
Aku kena SP lagi, dalam setahun ini orang tua ada lima kali datang menghadap Bu guru membuat surat perjanjian.
Peringatan terakhir bila aku sering absen dan tidak mengurangi kenakalan bersiap tinggal kelas.
Aku berusaha baik mengingat sebentar lagi naik kelas.
***
Lumayan nasib mujur aku naik kelas tapi penuh dengan catatan jika tiga bulan tidak ada perubahan akan dikembalikan ke kelas X.
Tiga bulan berlalu aku memang tidak mencari masalah, tapi di kelas tetap saja aku curang. Aku tidak pernah beli pulpen serasa milik sendiri punya teman ambil saja jika tidak ada orangnya.
Kenakalan yang kulakukan di kelas XI di luar sekolah.
Aku ikutan geng motor, sampai setiap Sabtu kami jalan ke puncak. Pulangnya Minggu malam jam sebelas malam baru sampai rumah.
Orang tuaku sudah bosan mengingatkan aku, agar tidak pergi dengan geng motor.
Aku tidak menghiraukan mereka. Hingga suatu hari handphoneku di sita Bu Erni. Bu Erni saat itu hanya guru mengajar dan piket. Tapi tetap saja fatal. Handphone di sita seminggu. Aku berusaha datang ke rumahnya kebetulan di belakang sekolah, Bu Erni dengan entengnya menjawab urusan di sekolah jangan di bawa ke rumah.
Aku pulang tanpa membawa apa-apa.
"Bagaimana handphonemu dapat?" Kata Ibu sesampaiku di rumah.
"Tidak dikasih Bu, Ibu sih tidak telepon Bu Erni." Ujarku kecewa.
"Nanti sore kami mau berangkat ke puncak Bu, handphone itu perlu untuk menghubungi teman-temanku."
"Makanya kamu tidak usah ikutan geng motor lagi," ujar Ibu lagi.
"Ah Ibu selalu saja menghalangiku."
"Iya nak, geng motor itu berbahaya. Bagaimana jika nanti kamu jatuh." Ujar ibu lagi.
"Tidak bakalan Bu, aku pasti hati-hati kan sudah sering hampir tiap minggu trek-trekan," ujarku lagi.
"Ibu dan Bapak khawatir nak," ibu masih berusaha membujukku tapi aku tetap pergi walaupun tanpa handphone.
Padahal ibu sudah menelepon Bu Erni agar memberikan handphone itu, tapi ibu Erni tetap saja urusan sekolah ya di sekolah.
Aku nekat pergi walaupun sudah dilarang ibu dan ayah. Ayah jarang sih di rumah, dia sibuk di bengkel. Jadi tadi pagi aku sudah izin. Ayah hanya bilang hati-hati.
Di puncak aku dan teman-teman geng motor mulai melaksanakan aksi ngebut- ngebutan memamerkan kelincahan masing- masing. Hingga aku terjatuh tapi untung hanya luka memar di kaki dan tanganku ketindihan motor.
Sehingga keesokan harinya aku tidak sekolah gara-gara kaki dan tanganku sakit.
Aku tetap tidak kapok, hal yang sama sering kulakukan sehingga aku sering absen jika hari Senin.
Surat peringatan dapat lagi mengenai kehadiran dan nilai- nilaiku anjlok, delapan mata pelajaran tidak tuntas rapot tengah semester. Aku dinasehati wali kelas ku agar berikutnya diusahakan mengejar nilai- nilai yang tertinggal.
Ibu hanya menangis saja, jika di panggil ke sekolah.
Aku merasa bersalah juga sih, tapi itu hanya sebentar jika di hadapan guru dan ibu.
Hingga suatu hari, kelas kami kedatangan murid baru. Aku terpesona melihat senyuman dan tatapan matanya menusuk jantungku. Jantungku berdebar kencang bila mataku menatap wajahnya.
Dia gadis manis dan cantik dengan kepala dihiasi jilbab. Namanya Rohimah.
Aku berusaha mendekatinya, setiap hari aku datang pagi agar bisa berduaan dengannya.
Rohimah ternyata dulunya aktif di ROHIS, sekarang dia tetap melanjutkan kegiatannya. Aku merasa minder tapi tetap berusaha mendekatinya. Rohimah ramah kepada siapapun membuat aku mudah mendekatinya.
Teman-temanku mengolok-olok, jangan dekat- dekat Alvin nanti kamu dijadikan geng motor.
Kharisma Rohimah membuat aku tak bisa melupakan wajahnya barang sedetik pun.
Nilai positif dari Rohimah menular kepadaku.
Aku mulai mengikuti Kegiatan ROHIS, ternyata cukup menyenangkan. Sedikit demi sedikit kelakuanku mulai berubah.
Rohimah malah kadang mengajakku ke panti asuhan yang dekat rumahnya.
Sebenarnya Rohimah anak orang kaya tapi kelakuannya sehari-hari tidak menunjukkan tanda-tanda dia anak orang kaya.
Aku jadi malu pada diriku selama ini, menuntut terus pada orang tua, jika tidak dipenuhi aku berontak dan mengancam tidak sekolah lagi.
Rohimah mengajarkan aku hidup, orang tuanya juga rajin melakukan sedekah kepada orang miskin dan yatim piatu.
Aku merasa nyaman bersama Rohimah. Kehidupanku yang urakan lambat laun mulai berubah ke arah positif.
Aku mulai mengejar ketinggalan tugas-tugas pelajaran. Bersama Rohimah aku mulai bisa melupakan masa lalu yang sangat menyusahkan orang tua.
Guru-guru merasa aneh melihat perubahanku, semua tugas- tugas selalu kukerjakan dengan benar.
Lewat Rohimah Allah merubahku ke jalan yang benar.
Sampai kelulusan kami, aku masih bersama Rohimah dan berjanji tetap bersama walaupun kami nanti berjauhan. Rohimah melanjutkan kuliahnya di Universitas Negeri Malang. Dan aku melanjutkan kuliah di Universitas Gunadarma yang ada di Jakarta.
Hubungan kami berlanjut sampai sekarang, dan aku tetap berjanji selalu di jalan yang lurus walaupun Rohimah jauh dariku.
Tamat
Sekian dulu agan dan sista, terima kasih.

Sumber gambar Kaskus.com

Sumber gambar Pixabay
Quote:
Quote:
Aku seorang anak yang bisa dibilang bandallah pada saat itu. Berulangkali aku dapat surat peringatan dari sekolah.
Surat peringatan pertama yang kulakukan adalah berani memalsukan tanda tangan guru. Saat itu aku dan kedua temanku mencuri surat izin keluar dari guru piket. Surat izin itu kami gandakan( fotocopy)
Guru piket hari itu Bu Sukma, kami memalsukan tanda tangannya. Ternyata kejadian ini berbuntut panjang, hingga surat panggilan orang tua.
Keesokan harinya aku dipanggil oleh wali kelas ke ruang guru. Wali kelasku tergolong guru killer. Suaranya bila marah seantero kelas kedengaran, lebai ya, emang kenyataannya. Namanya Bu Erni, badan agak gemuk, rambut keriting, wajahnya tergolong cantik bila marah matanya melotot membuat kami kadang merasa ngeri bila ibu itu marah.
Aku belum kenalan ya, namaku Alvin Hermansyah kelas X-1.
Wali kelasnya Erni Armiya.
"Alvin ke ruang guru sebentar," pagi-pagi baru juga sampai masih di depan pintu Bu Erni sudah memanggilku.
"Iya Bu, saya menaroh tas dulu bolehkah Bu?" aku mulai tidak tenang mengingat kejadian kemarin kami memalsukan tanda tangan.
"Kamu tahu apa salahmu," Bu Erni langsung ke pokok permasalahan begitu aku duduk di hadapannya di ruang guru.
Aku tertunduk saja.
"Jawab Ibu! Jangan diam jika ditanya," suara Bu Erni mulai meninggi.
"Iya Bu, saya kemarin izin pulang sakit perut, aku masih berusaha mencari alasan.
"Jawab yang jujur!" Baru masuk aja sudah cari masalah," Bu Erni masih melanjutkan amarahnya.
"I..i..ya Bu, maafkan saya, kami kemarin pulang bertiga."
"Siapa saja orangnya?" Bu Erni masih melotot memarahiku.
Aku masih berusaha menutupi kelakuan kami kemarin tapi melihat mata Bu Erni membuat hatiku ciut.
"Kami... Saya, Nuko kelas X-3 dan Amri kelas X-2." Aku akhirnya menceritakan kenakalan kami kemarin yang telah memalsukan tanda tangan. Bu Erni menyuruhku pulang sekolah menjumpainya untuk memberikan surat panggilan kepada orang tua dengan ancaman jika tidak sampai ke orang tua, awas hati- hati , Bu Erni langsung telepon ke orangtuaku.
Tidak hanya itu saja kenakalanku, di kelas juga aku sering mengambil pulpen dan barang-barang lain yang berhubungan dengan alat-alat belajar bahkan LKS pun pernah aku ganti namanya. Teman- temanku yah seperti biasa pasti deh ngadu ke guru.
Aku kena SP lagi, dalam setahun ini orang tua ada lima kali datang menghadap Bu guru membuat surat perjanjian.
Peringatan terakhir bila aku sering absen dan tidak mengurangi kenakalan bersiap tinggal kelas.
Aku berusaha baik mengingat sebentar lagi naik kelas.
***
Lumayan nasib mujur aku naik kelas tapi penuh dengan catatan jika tiga bulan tidak ada perubahan akan dikembalikan ke kelas X.
Tiga bulan berlalu aku memang tidak mencari masalah, tapi di kelas tetap saja aku curang. Aku tidak pernah beli pulpen serasa milik sendiri punya teman ambil saja jika tidak ada orangnya.
Kenakalan yang kulakukan di kelas XI di luar sekolah.
Aku ikutan geng motor, sampai setiap Sabtu kami jalan ke puncak. Pulangnya Minggu malam jam sebelas malam baru sampai rumah.
Orang tuaku sudah bosan mengingatkan aku, agar tidak pergi dengan geng motor.
Aku tidak menghiraukan mereka. Hingga suatu hari handphoneku di sita Bu Erni. Bu Erni saat itu hanya guru mengajar dan piket. Tapi tetap saja fatal. Handphone di sita seminggu. Aku berusaha datang ke rumahnya kebetulan di belakang sekolah, Bu Erni dengan entengnya menjawab urusan di sekolah jangan di bawa ke rumah.
Aku pulang tanpa membawa apa-apa.
"Bagaimana handphonemu dapat?" Kata Ibu sesampaiku di rumah.
"Tidak dikasih Bu, Ibu sih tidak telepon Bu Erni." Ujarku kecewa.
"Nanti sore kami mau berangkat ke puncak Bu, handphone itu perlu untuk menghubungi teman-temanku."
"Makanya kamu tidak usah ikutan geng motor lagi," ujar Ibu lagi.
"Ah Ibu selalu saja menghalangiku."
"Iya nak, geng motor itu berbahaya. Bagaimana jika nanti kamu jatuh." Ujar ibu lagi.
"Tidak bakalan Bu, aku pasti hati-hati kan sudah sering hampir tiap minggu trek-trekan," ujarku lagi.
"Ibu dan Bapak khawatir nak," ibu masih berusaha membujukku tapi aku tetap pergi walaupun tanpa handphone.
Padahal ibu sudah menelepon Bu Erni agar memberikan handphone itu, tapi ibu Erni tetap saja urusan sekolah ya di sekolah.
Aku nekat pergi walaupun sudah dilarang ibu dan ayah. Ayah jarang sih di rumah, dia sibuk di bengkel. Jadi tadi pagi aku sudah izin. Ayah hanya bilang hati-hati.
Di puncak aku dan teman-teman geng motor mulai melaksanakan aksi ngebut- ngebutan memamerkan kelincahan masing- masing. Hingga aku terjatuh tapi untung hanya luka memar di kaki dan tanganku ketindihan motor.
Sehingga keesokan harinya aku tidak sekolah gara-gara kaki dan tanganku sakit.
Aku tetap tidak kapok, hal yang sama sering kulakukan sehingga aku sering absen jika hari Senin.
Surat peringatan dapat lagi mengenai kehadiran dan nilai- nilaiku anjlok, delapan mata pelajaran tidak tuntas rapot tengah semester. Aku dinasehati wali kelas ku agar berikutnya diusahakan mengejar nilai- nilai yang tertinggal.
Ibu hanya menangis saja, jika di panggil ke sekolah.
Aku merasa bersalah juga sih, tapi itu hanya sebentar jika di hadapan guru dan ibu.
Hingga suatu hari, kelas kami kedatangan murid baru. Aku terpesona melihat senyuman dan tatapan matanya menusuk jantungku. Jantungku berdebar kencang bila mataku menatap wajahnya.
Dia gadis manis dan cantik dengan kepala dihiasi jilbab. Namanya Rohimah.
Aku berusaha mendekatinya, setiap hari aku datang pagi agar bisa berduaan dengannya.
Rohimah ternyata dulunya aktif di ROHIS, sekarang dia tetap melanjutkan kegiatannya. Aku merasa minder tapi tetap berusaha mendekatinya. Rohimah ramah kepada siapapun membuat aku mudah mendekatinya.
Teman-temanku mengolok-olok, jangan dekat- dekat Alvin nanti kamu dijadikan geng motor.
Kharisma Rohimah membuat aku tak bisa melupakan wajahnya barang sedetik pun.
Nilai positif dari Rohimah menular kepadaku.
Aku mulai mengikuti Kegiatan ROHIS, ternyata cukup menyenangkan. Sedikit demi sedikit kelakuanku mulai berubah.
Rohimah malah kadang mengajakku ke panti asuhan yang dekat rumahnya.
Sebenarnya Rohimah anak orang kaya tapi kelakuannya sehari-hari tidak menunjukkan tanda-tanda dia anak orang kaya.
Aku jadi malu pada diriku selama ini, menuntut terus pada orang tua, jika tidak dipenuhi aku berontak dan mengancam tidak sekolah lagi.
Rohimah mengajarkan aku hidup, orang tuanya juga rajin melakukan sedekah kepada orang miskin dan yatim piatu.
Aku merasa nyaman bersama Rohimah. Kehidupanku yang urakan lambat laun mulai berubah ke arah positif.
Aku mulai mengejar ketinggalan tugas-tugas pelajaran. Bersama Rohimah aku mulai bisa melupakan masa lalu yang sangat menyusahkan orang tua.
Guru-guru merasa aneh melihat perubahanku, semua tugas- tugas selalu kukerjakan dengan benar.
Lewat Rohimah Allah merubahku ke jalan yang benar.
Sampai kelulusan kami, aku masih bersama Rohimah dan berjanji tetap bersama walaupun kami nanti berjauhan. Rohimah melanjutkan kuliahnya di Universitas Negeri Malang. Dan aku melanjutkan kuliah di Universitas Gunadarma yang ada di Jakarta.
Hubungan kami berlanjut sampai sekarang, dan aku tetap berjanji selalu di jalan yang lurus walaupun Rohimah jauh dariku.
Tamat
Sekian dulu agan dan sista, terima kasih.
Diubah oleh erina79purba 10-05-2019 22:06
Kurohige410 dan 27 lainnya memberi reputasi
28
3.9K
104
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
erina79purba
#65
Anakku Kuat

Cerita ini kisah nyata tapi namanya saya ganti
Hujan sudah dua minggu tak henti-hentinya tercurahkan dari langit. Seolah-olah hujan itu membisikkan sesuatu kepada manusia agar tetap bersyukur walaupun jatuh dan ketimpa tangga pula.
Aku cek up terakhir kali ke Puskesmas pusat Cengkareng, kehamilan anakku yang kedua kami pindah ke Jakarta. Seolah-olah ada bisikan kami harus hijrah ke Jakarta berhubung keadaan saat itu sangat miris.
"Ibu, hasilnya bagus, kandungan ibu sehat tapi jenis kelaminnya tertutup," Bidan Mira menjelaskan tentang keadaan bayiku sehabis di USG.
"Terima kasih Bu Bidan," aku tidak banyak bicara karena pemeriksaan pakai Kartu Jakarta Sehat ( KJS).
Setelah diperiksa kandunganku, aku mengambil surat rujukan operasi Caesar ke RSUD Cengkareng.
****
"Sebelum operasi di USG lagi ya,"kata dokter Rahmat.
"Hari Senin sudah bisa dilahirkan ya, soalnya sudah genap sembilan bulan, nanti keburu lahir bahaya," dokter menjelaskan lagi.
Hari Senin tiba, aku masih trauma sebenarnya operasi Caesar, masih aku ingat proses melahirkan anak pertama, aku tegang dan takut.
Tapi anakku harus lahir dan tidak ada pilihan, dokter tidak mau tahu karena jarak anak pertama ke anak kedua hanya dua tahun sembilan bulan.
Setelah aku di USG, dr. Rahmat mengatakan anakku normal, sehat dan beratnya lumayan perkiraan tiga kg lebih.
"Siapkan semua berkas-berkasnya ya Bu, pakai Kartu Jakarta Sehat kan?"
"Iya Pak dokter," jawab suamiku sambil menunjukkan berkas-berkasnya.
"Silahkan ke ruang informasi Pak, operasi Caesar selama tiga hari, semua fotocopy persyaratan harus lengkap," ujar dokter Rahmat lagi menjelaskan.
"Terima kasih Pak." Aku dan suamiku berbarengan.
***
Hujan deras masih kedengaran sayup-sayup ketika pintu ruangan operasi terbuka. Aku berusaha setenang mungkin, tapi rasa trauma melahirkan masih bergayut di kepalaku.
"Ibu jangan tegang, nanti bayinya kenapa-kenapa," salah satu susternya mengingatkan.
Badanku gemetaran karena ruang operasi sangat dingin.
"Dingin," kataku lirih sambil bibirku gemeletukan menahan rasa dingin.
Dokter, bidan dan beberapa orang perawat mengelilingiku.
"Kasih dia selimut," kudengar salah satu dari mereka memberikan instruksi, mungkinkah dia dokternya.
Aku mendengar mereka berbicara karena aku bius lokal.
Tak berapa lama aku diselimuti oleh suster.
"Masih dingin," suster itu berkata dengan lembut.
"Mendingan suster, terima kasih ujarku."
Satu jam berlalu tak berapa lam aku mendengar suara bayi. Oh aku bahagia itu suara anakku.
"Anak ibu sehat, bersih." Kata dokter itu.
Hanya itu mereka tidak ada mengatakan apa-apa lagi.
Aku juga tak banyak bicara. Masih mesakan perutku ditarik-tarik, dokter bedah mungkin menjahit kembali perutku.
Setelah anakku lahir proses menjahit perutku terasa lama, aku merasa lebih lama daripada melahirkan tadi. Aku tidak sadarkan diri setelah itu ada satu jam lebih kata suamiku.Setelah aku sadar, kemudian dipindahkan ke ruang bersalin.
"Mama lama sekali baru sadar, Papa tadi khawatir." Wajahnya sang suami terlihat mendung.
"Ma, maafkan aku, anak kita seperti aku."
"Oh...". Tapi dipikiranku, ada pertanyaan, kenapa?
"Papa saja aku terima apalagi dia buah hatiku lahir dari perutku," aku tenang menjawabnya selama anakku di kandungan entah kenapa bisikan itu ada tapi tidak jelas.
"Anak kita jagoan, kulitnya bule bersih Ma," suamiku bahagia anak kami sehat walaupun kondisinya seperti itu.
"Mama sudah lihat anak kita."
"Belum Pa," ujarku.
"Bentar lagi ya, tadi bidannya lagi mandikan bayi kita."
"Nanti coba dulu dikasih minum air asimu, dokter kandungannya tadi mengingatkan."
"Iya nanti Mama usahakan Pa."
Tidak berapa lama kemudian bayi kami diantar oleh perawat pakai box bayi.
Aku melihat anakku rasa sakit habis operasi Caesar pulih kurasakan. Sambil menahan rasa sakit aku menggerak-gerakkan badanku agar cepat pulih.
Perjanjian di rumah sakit harus kasih ASI sama anak, tapi dengan keadaan seperti ini anakku tidak bisa menghisap puting susunya.
Seharian anakku tak minum ASI, sampai badannya mulai panas, akhirnya di bawa ke ruang bayi.
Aku tidak tega mendengar suara tangisnya tengah malam, aku menghampiri anakku sambil menahan rasa sakit aku membawa ASI yang kutuang di dot botol cuma dapat 5 ml dengan bantuan alat pompa ASI.
Aku menyodorkan dot berisi ASI dengan lahap anakku mengenyot dotnya. Lobang dotnya agak aku besarkan biar kena bibirnya ASInya keluar tidak mesti dihisap.
Tiba-tiba perawat datang.
"Ibu kenapa dikasih minum lewat dot kalau kena jantungnya nanti basah, di sendokkin saja dulu ya Bu tunggu keputusan dokter anak mau dibuat alatnya nanti,"perawat itu menjelaskan pesan dokter.
"Kasihan dia, dari kemarin belum minum ASI," ujarku.
"Sabar ya Bu," nanti dokter anak datang lagi pesan alatnya.
Tengah malam anakku menangis lagi, sehari semalam tidak ada ASI, karena tidak dirangsang mulutnya ASIku tidak banyak keluar, tengah malam aku tidak sabar lagi, aku panggil perawat.
"Suster anakku tidak bisa menghisap puting susunya, bagaimana ini, apakah dia tidak bisa minum susu formula," aku hampir mau menangis.
"Iya udah Ibu batalkan dulu tanda tangannya, biar bisa minum susu formula."
"Iya suster tidak apa-apa." Sambil menandatangani surat perjanjian memberikan ASI akhirnya dibatalkan.
"Bolehkah aku telepon bapaknya agar beli susu formula suster?"
"Boleh Bu, suruh saja beli susu
Bebelak, tapi di sendokkin ya Bu,"suster itu mengingatkan lagi.
"Terima kasih suster."
Tengah malam aku telepon suamiku agar datang bawa susu Bebelak.
"Pa, beli susu Bebelak ya, sekarang Ade menangis terus, sudah sehari semalam tidak minum ASI."
"Kan tidak boleh dikasih susu formula Ma."
"Tadi aku batalkan surat perjanjiannya."
"Oh ya udah, aku segera datang."
Anakku mulai cengeng, sudah terasa hausnya, sambil aku gendong.
"Bentar lagi ya anakku, Papa masih di jalan."
Tak berapa lama sang papa sudah sampai. Susunya langsung kami seduh pakai dot kecil.
Pelan-pelan kami sendok sedikit demi sedikit sampai habis satu botol dot ukuran kecil.
Akhirnya sang bayi tenang tidak rewel lagi.
Keesokan harinya ada penyuluhan, kami satu ruangan itu ada tiga orang keluar semua.
Aku lupa bawa dompet, petugas kebersihan masuk. Dompet aku taruh di dalam laci lemari di samping tempat tidur.
Pulang dari penyuluhan, suamiku menelepon menanyakan uangnya hati-hati, baru kucek dompetnya eh berkurang seratus ribu nyesek.
Hari ketiga kami harus pulang tapi diluar masih hujan dan banjir.
Jalanan ke rumah susun masih tergenang.
"Ma sekitar rumah kita masih banjir lho, kelelap tuh runah yang dekat pasar darurat itu. Tadi Bapak naik getek bawa motornya. Kita naik motor saja, soalnya kalau naik taksi nanti mogok."
"Kasihan ya mereka Pa."
"Mereka pada mengungsi di aula rumah susun."
"Syukurlah tempat kita tinggi ya Pa, tidak kebayang jika pulang rumah banjir."
Kami sesampai di jalan mau ke rumah susun terpaksa naik getek.
"Ma aku duluan ya, mau merapikan tempat tidur Ade dulu, lagian motor tidak bisa jalan, nanti malah mogok dekat Mesjid itu sepinggang orang dewasa."
"Iya Pa, aku belakangan saja."
Tapi aku tidak sabaran menunggu getek datang lagi, aku melangkahkan kakiku menuju rumah susun. Pelan-pelan aku berjalan di genangan air, tanpa rasa takut pun. Aku tidak memikirkan bahaya, sayang saja keluar uang dua puluh ribu ongkos getek.
Sampai di rumah aku basah kuyup dari pinggang hingga ke kaki, untung kakiku tidak nyangkut atau tergelincir.
"Mama tadi jalan kaki, kenapa tidak naik getek? Mama ini gimana sih tidak mikir anak kita, coba jika kamu tadi kesandung atau tergelincir, kan tenggelam anak kita, duit mah bisa dicari."
Aku tidak mikir sampai kesitu, setelah sampai di rumah baru aku sadari, ternyata aku terlalu nekat.
Semua heran melihat anakku, dipakai alat untuk minum susu. Dokter kandungan memberikan dia slang dari mulut sampai ke perutnya, dengan cara disedot susunya pakai alat jarum suntik. Ribet dah pokoknya.
Orang- orang setiap menjenguk anakku pasti bertanya.
"Kenapa pakai alat itu!"
Aku hanya tersenyum menjawabnya, mulutnya tidak bisa menghisap ASInya karena bibirnya pecah bawaan lahir.
Setelah hari ketiga kami harus kontrol lagi ke rumah sakit. Sangat ribet tuh bawa peralatannya. Apalagi saat anakku menangis minta susu, mata orang semua tertuju pada kami dan pandangan mata bertanya kenapa anaknya kok sampai pakai alat minum susu.
Tibalah giliran kami di panggil. Anakku dipanggil, kemudian diperiksa oleh dokter anak. Dokter anak kebetulan orang Batak.
"Ini kenapa pakai alat," dokter memandangku butuh penjelasan.
"Dari dokter anak kemarin, Dok katanya jika tidak pakai alat nanti paru-parunya basah," aku menjelaskan pada dokter anak yang bernama Lina Butar- Butar.
"Ibu kita lepas saja alat ini ya, dia tidak kenapa-kenapa kok, zaman dulu banyak anak yang seperti ini tetap saja tidak kenapa-kenapa, nanti belajar sendiri kok dia. Jika dia pakai alat nanti tiga bulan lagi kan operasi, masih lama kan, bagaimana nanti lagi dia minum dot, sedangkan sekarang dia sudah terbiasa minum dengan alat."
"Iya dokter, aku masih mendengarkan penjelasan dokter Lina.
"Kemarin sempat sih saya kasih pakai dot Dok tapi susternya melarang."
"Percuma ibu orang Batak tidak yakin dengan anak sendiri. Jadi ini tidak apa-apa, tidak usah pakai alat ini lagi pakai dot saja ya!"
"Terima kasih dokter," kata kami bersamaan dengan pak suami. Hati kami lega lepas dari alat tadi.
Semua ada jalannya kok. Tuhan memberikan kita masalah pasti ada jalan keluarnya.
Tuhan memberikan kita berbagai persoalan hidup itu karena kita kuat.
Aku selalu mengatakan itu pada orang yang merasa kasihan pada anakku.
Karena aku kuat maka Tuhan memberikan aku seperti ini. Anakku sehat kok, umur tiga bulan dia bisa operasi bibir sumbing.
Tiga bulan berikutnya kami membawa anakku kembali ke rumah sakit untuk operasi bibir sumbing. Anakku memang jagoan. Dia kuat operasinya berjalan lancar. Aku tidak tega melihatnya, yang seharusnya dia tengkurap terpaksa selama dua minggu kembali dibedong. Minum susu selama dua minggu tidak boleh pakai dot harus pakai sendok. ASIku anakku umurtiga bulan mulai kering karena tidak ada rangsangan dari mulut bayi.
Operasi tahap pertama selesai, cuma kadang aku merasa khawatir karena langit- langit mulutnya masih bolong.
Kalau operasi langit-langit harus berumur dua tahun.
Umur dua tahun jagoanku operasi lagi, cukup perjuangan karena kontrolnya dari Bekasi ke Jakarta. Tiap minggu kami ke Jakarta kontrol sebelum operasi.
Operasi kedua berjalan lancar. Anakku kuat, sehat tapi minum susunya jadi malas.
"Apa saja yang dia mau, susu ultra juga boleh." Kata dokter bedah saat itu.
Tiap hari aku membuat jus satu kg, kebetulan dia suka jus. Selama sebulan jus buah tetap sedia. Minum susu selama dua minggu harus pakai sendok begitu juga makan.
Semenjak anakku operasi yang kedua, perlahan-lahan suaranya mulai jelas. Sekarang sudah besar dan sehat. Sehat selalu anakku, mama bangga padamu.
Diubah oleh erina79purba 19-05-2019 08:57
embunsuci dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Tutup