Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dekmanjariAvatar border
TS
dekmanjari
Haji Imron dan Kawan-kawan (Kumpulan Cerpen)
Haji Imron dan Kawan-kawan (Kumpulan Cerpen)
Hallo agan-sista semua, ini adalah thread pertama saya di sini. Thread ini berisi kumpulan cerpen-cerpen yang telah saya tulis sejak beberapa waktu lalu.

Cerpen-cerpen di sini dari banyak genre ya. Semoga agan-sista bisa menikmati. Terima Kasih.


Doa yang Tertukar


Ustadz Imran sampai harus berlari kecil. Apa sebab? Gara-gara namanya terus diteriakkan. Bukan dipanggil, apalagi didatangi ke rumahnya. Namun, diteriakkan. Mirip maling.

"Ustadz Imraaan. Cepaaat!"

Suara yang terdengar berulag-ulang tersebut bukan berasal dari satu orang saja. Namun, berasal dari banyak orang. Sebagian besar adalah suara teriakan khas ibu-ibu yang sedang panik dan takut. Mereka berteriak serempak memanggil Ustadz Imran.

"Cepaaat Pak Ustaaad. Karyo sama Rusli saling bacoook. Cepaaat!"

Ustadz Imran yang sedang buang hajat terpaksa harus memotong satu lonjor yang belum keluar, menyimpannya entah untuk kapan. Teriakan ibu-ibu Dusun Sentosa membuatnya kalang kabut. Cepat-cepat ia ber-thaharah, berpakaian, lantas keluar. Sarungnya belum kencang betul, tangannya sibuk menahan kain panjang itu agar tak melorot. Kakinya melangkah lebar-lebar, bahkan setengah berlari.

Ustadz Imran yakin, ibu-ibu itu bukan sedang kurang kerjaan. Siang terik seperti ini bukan waktunya buat bercanda. Warga Dusun Santosa tak akan pernah berbuat hal demikian. Mereka orang-orang alim. Itulah sebabnya Ustad Imran sampai lupa memakai sendal. Karena dia yakin, ini perkara genting. Teriakan ibu-ibu itu baru mereda setelah wujud Ustad Imran tampak di depan mereka.

Ternyata benar, di depan ulama kampung itu, Karyo dan Rusli sedang adu pandang. Masing-masing membawa senjata tajam di tangan. Karyo menggenggam parang, Rusli menggenggam besi panjang.

Bulir keringat dua lelaki itu banjir di sekujur tubuh. Dua-duanya telanjang dada. Dengkus nafas mereka kasar mirip kerbau yang akan dikurban.
"Karyo! Rusli!" teriak Ustadz Imran.

Dua lelaki itu menengok bersamaan. Namun, cepat-cepat kembali saling pandang. Waspada. Takut, ada yang memanfaatkan kelengahan.
"Apa-apaan kalian? Jangan bikin onar! Kalian bikin takut warga saja!" Kembali Ustadz Imran berteriak.

Kamituo itu mencoba menempatkan dirinya sebagai pemimpin dusun yang harus didengar kata-katanya. Haji Imran tetap menjaga jarak. Dua lelaki gelap mata seperti prajurt siap perang, terlalu beresiko didekati.

Karyo dan Rusli seolah tak mendengar teriakan Ustadz Imran. Otot-otot mereka masih tegang, wajah mereka masih beringas. Dada mereka pun masih naik turun, mengikuti adrenalin yang masih terpompa besar-besar.

Ustadz Imran berpikir, ia harus mencari akal. Paling tidak, parang dan batang besi itu harus diturunkan dahulu. Masalah mendamaikan, urusan belakangan. Lagipula, kalau sampai seperti ini, pastilah masalah berat. Masalah patok tanah biasanya.

Selang beberapa lama sepertinya Ustadz Imran telah mendapat sebuah ide. "Hey, Karyo! Sombong sekali kau ini. Berlagak macam orang kaya. Kau mati, Lastri makan apa?" teriak Ustadz Imran. Ia menyentil anak Karyo yang masih kecil. "Kau juga Rusli! Istri mudamu hamil besar. Mau kau buat jadi janda muda, anakmu langsung yatim sebelum melihat wajahmu. Bodoh sekali kalian berdua!"

Rusli dan Karyo masih saling menatap, tapi urat wajah mereka melemah. Otot yang semula tampak tegang ikut melonggar. Kesiagaan mereka berkurang. Lunglai kedua tangan dua lelaki itu, melepas senjata masing-masing.

Sentilan terhadap fakta hidup mereka, ampuh menggoyang amarah yang berkuasa. Di saat itulah Ustadz Imran mendekat. Tanpa tendeng aling-aling ditamparnya dua lelaki itu berurutan. Karyo dan Rusli menunduk malu, takzim pada Imam masjid mereka. Tak mungkin berani membalas.

"Na’uzubilllahminzalik. Istigfar kalian berdua." Karyo dan Rusli menurut.

"Kenapa ...?" Suara Ustadz Imran melemah, menjadi lebih lembut, lebih lirih. Begitulah cara menggapai hati. Karyo dan Rusli diam. Saling pandang sebentar, tapi kembali menunduk.

Ustadz Imran tampak tersadar akan sesuatu. "Hei, kalian semua! Bubar! Bubar! Ayo bubar!" Tangan Ustadz Imran mengusir sambil badannya berputar menghadap pada hadirin. Sekilas matanya menangkap bayangan istri Karyo dan Rusli yang pingsan di teras rumah Juminten.

"Ada apa?" tanya Ustad Imran lagi setelah memastikan warga dusunnya sudah ‘tak menyemut. "Karyo, coba kau cerita!"

Karyo melirik Rusli dengan tatapan tajam. Namun, bentakan ringan Ustadz Imran membuatnya tenang. Ia malah kembali tertunduk.
"E-e. Rusli masuk rumah saya sambil berdoa, Pak Ustadz," kata Karyo jujur.

Ustadz Imran kaget. Ternyata bukan perkara patok tanah, tapi bertengkar bawa parang. Gara-gara doa lagi. Keblinger. Kata Ustadz Imran dalam hati.

Dusun sentosa, dusunnya orang alim. Mereka punya masjid sendiri. Subuh, Magrib, Isya' tak pernah sepi dari jamaah. Alunan surah-surah tak pernah lelah mengumandang selesai Isya dan Subuh. Kini, dua warganya mau saling bacok perkara doa. Pantaslah jika disebut kiamat sudah dekat.

"Jampi-jampi maksudmu Karyo? Begitu, Rusli?" Ustadz Imran merasa harus meluruskan. "Kafir kau Rusli!"

"Bu-bukan ustadz," jawab Rusli cepat. Takut sekali dia dituduh kafir.

"Trus?! "

"B-begini ustadz. Karyo sering cerita di warung, rumahnya banyak setan, Pak Ustadz. Lagipula saya bawa Maemunah bertamu. Dia lagi hamil, jadi saya bacalah doa itu. Bahasa arab, Pak Ustadz," jelas Rusli.

"Loh, kalau bukan jampi-jampi, datangnya dari Hadist atau Al-Quran, salahnya di mana?" Giliran Karyo yang kini dipelototi Ustadz Imran.
"B-bukan begitu juga," bela Karyo.

Ustadz Imran makin dibuat pusing. Terik siang yang menerjang padahal sudah cukup membuat kuyu. Daun-daun jarang pohon kapuk tak cukup membuat bayang yang meneduhkan. Untung saja angin sepoi masih berbaik hati, meniupkan semilir di antara mereka bertiga.

"Ah, kalian bikin pusing. Begini saja. Kau lapaz sekali lagi doa tadi Rusli!" perintah Ustadz Imran.

Rusli mengangguk, "Auzubil-"

"Langsung saja, tak usah bertaawuz!" desak Ustadz Imran tak sabar.

Rusli mengangguk sekali lagi, "Allohumainni auzubika minal khubutsi wal khobaits."

"Dia pikir rumahku jeding, Pak Ustadz!" Mendengar Rusli membaca doa tadi, tiba-tiba Karyo terlecut lagi emosinya. Ustadz Imran sigap, langsung memisahkan mereka berdua.

"Saya ndak tahu, Pak Ustadz. Lah wong artinya bagus. Ya Allah, aku berlindung dari godaan syaitan laki-laki dan perempuan. Rumahnya Karyo banyak setannya. Dia yang bilang sendiri," balas Rusli.

Ustadz Imran manggut-manggut. Ia telah mengerti duduk persoalannya. Ia menggulung sekali lagi sarungnya. Memastikan kain itu erat di pinggang. Kedua tangannya kemudian menarik telinga kedua warganya itu, membawanya ke masjid untuk dikhotbahi.

Tamat.



Cerita Pendek Lainnya :
Quote:

Diubah oleh dekmanjari 17-05-2019 23:48
rirandara
rirandara memberi reputasi
1
789
8
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.9KAnggota
Tampilkan semua post
RetnoQr3nAvatar border
RetnoQr3n
#4
Quote:


Aku newbie kaka.. aktif ga jelas di sini..emoticon-Ngakak

Mau belajar dri threadnya ka el.

Kaka udh kaskus kreator blm?
0
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.