- Beranda
- Stories from the Heart
KABUT (Horror Story)
...
TS
endokrin
KABUT (Horror Story)
Tanpa basa-basi lagi bagi agan dan sista yang sudah pernah membaca dongeng-dongeng saya sebelumnya kali ini saya ingin mempersembahkan sebuah dongeng baru
Cerita saya sebelumnya bisa dibaca dibawah ini, tinggal diklik saja
Quote:
WARNING!!
Quote:
Saya mohon dengan sangat untuk tidak mengcopy paste cerita ini. semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan mengerti bahwa betapa susahnya membuat cerita. Terima kasih
Quote:
disturbing14 dan 30 lainnya memberi reputasi
29
617.7K
Kutip
2.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.2KThread•46.7KAnggota
Tampilkan semua post
TS
endokrin
#2070
Quote:
CHAPTER 16
Menjelang malam, tidak ada lagi obrolan yang keluar dari kami. Sudah terlalu banyak tenaga yang terbuang, tidak ada asupan energi mengingat porsi makanan yang masuk kedalam tubuh kami begitu sedikit. Imron, Baim dan si pria berkacamata membaringkan tubuhnya. Aku tidak bisa tidur, selain rasa lapar, kegelisahan juga membuatku sulit untuk menutup mata.
Langit benar-benar gelap, suara jangkrik terdengar dari sekeliling begitu ramai dan berisik. Tapi suara yang terseram justru darang dari ranting dan dedaunan yang bergesekan ketika tertiup angin.
Aku mengeluarkan kertas dan pensil, kemudian menulis semacam surat wasiat. Dalam kepalaku yang terbayang hanya kematian, aku teringat kembali berita-berita di televisi tentang kematian para pendaki, cerita horror Baim didalam Bus saat kami berangkat. Mungkin semuanya nyata, aku sudah pasrah, mungkin yang bisa kulakukan sekarang menyadarkan diri bahwa kematian begitu dekat. Tanpa sadar saat menulis aku meneteskan air mata, aku begitu rindu dengan ibu.
Setelah selesai kumasukan catatan yang kubuat kedalam botol, lalu melemparnya cukup jauh. Aku berharap ada orang yang menemukannya, walaupun kemungkinannya sangat kecil. Entah apa guna catatan itu, walaupun nanti ada orang yang menemukannya tidak akan merubah apapun. Mungkin aku hanya sedang merasa putus asa, sehingga mencari penghiburan dari hal-hal yang tidak berguna.
Saat aku masuk kembali kedalam tenda dan coba membaringkan tubuh. Aku seperti mendengar suara dentingan besi yang beradu, suara sangat jelas berasal dari arah belakang tenda kami. Aku mencoba bangun. Sekedar memastikan bahwa aku sedang tidak berhalusinasi atau bermimpi. Suara dentingan itu kembali terdengar.
Aku membangunkan Baim yang berbaring disebelahku.
“Apa ?”
“Kamu dengar suara itu ?”
Saat Baim bangun suara itu sudah hilang, tapi aku mencoba meyakinkannya untuk diam sejenak dan memintanya berkonsentrasi kalau-kalau suara yang aku dengar ada lagi.
Ting, ting, ting, ting
“Iya aku mendengarnya, tidak mungkin dihutan seperti ini ada suara besi ? suaranya juga tidak seperti hewan.”
Sebelum sempat aku dan Baim membangunkan Imron dan si pria berkacamata, suara baru kembali terdengar. Kali ini bukan Cuma suara dentingan besi tapi suara ramai yang berasal dari benda-benda yang dipukul. Terdengar begitu ramai, sehingga Si Pria berkacamata dan Imron bangun sendiri tanpa kami minta.
Kami keluar tenda dengan perasaan sedikit bahagia. Aku berharap suara itu berasal dari keramaian warga yang sedang mencari kami. Namun anehnya tidak ada suara manusia, yang terdengar hanya suara yang berasal dari benda-benda yang dipukul.
Aku mencoba mencari dari mana arah suara itu datang. Sauranya terdengar jelas disekitar kami. Tapi saat kami menyorotkan senter keberbagai arah. Tidak terlihat siapapun kecuali kabut putih yang menyelimuti.
“Apakah kita ini gila bersama ? mendengar suara tapi tidak tahu sumbernya”
Suara yang terdengar ramai itu berhenti seketika setelah terdengar suara auman yang sangat keras. Begitu keras hingga kami berempat menutup telinga.
Suara keramaian itu rupanya telang memancing makhluk misterius itu keluar. Aku mendengar suara gemuruh dari atas, seperti dahan pohon yang bergesekan dengan sesuatu.
“sebaiknya kita bersembunyi. Cepat !” kata si pria berkacamata kepadaku.
Aku, Imron dan Baim berlari mengikuti si pria berkacamata. Yang bisa kami lakukan sekarang hanya agar terus bersama, sudah tidak peduli lagi jalan yang kami tuju benar atau salah. Kami berlari seperti orang gila, tidak bisa melihat apa yang kami injak, selama itu bisa tetap membuat berdiri kami tidak menghentikan langkah cepat.
Tapi tiba-tiba Imron yang berlari didepanku tubuhnya tergelincir dan terbanting. Lampu senter yang dibawanya ikut melayang bersama tubuhnya kebawah. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, cahaya lampu ditangannya cukup sebagai penanda kemana arah Imron jatuh.
Tanganku menarik ranting pohon untuk menjaga keseimbangan tubuh. Aku duduk memeluk kepala, pernahkah melihat kejadian mengerikan didepan mata ? dada terasa sesak seketika. Lutut bergeterat dan air mata keluar dengan deras. Namun suara jerit ataupun tangis yang hendak dikeluarkan terasa tertahan ditenggorokan.
Baim dan si Pria berkaca mata mungkin tidak merasakan hal yang sama denganku. Kaget mungkin, tapi rasa sedihnya tidak akan sedalam yang aku rasakan. Aku dan Baim seperti kehilangan tenaga, kami hanya duduk sesekali saling bertatapan. Harapan seperti sirna seketika dan aku tidak peduli lagi nasib apa lagi yang akan menimpa kami setelah ini. Kami tidak peduli lagi, sekalipun si pria berkacamata terus mencoba menyadarkan aku dan Imron untuk bangun dan terus berlari menyelamatkan diri.
Saat kulihat kebawah cahaya lampu sudah tidak terlihat lagi, aku tidak tahu apakah Imron selamat atau sudah mati dibawah sana. Yang pasti aku merasa saat ini kematian mungkin yang terbaik daripada hidup dengan dalam keadaan tersiksa.
Suara auman terdengar lagi, dari arah belakangku, kali ini begitu dekat ditelinga. Si pria berkacamata reflek berlari, tapi Baim terlihat pasrah sama sepertiku. Saat aku berbalik kearah suara aku tidak bisa melihat dengan jelas apa yang kulihat yang pasti sepertinya makhluk misterius itu mungkin hanya satu meter didepan wajah.
…………………………………………….
Tubuhku terasa hangat. Luka ditanganku terasa lebih perih dari sebelumnya. Tubuhku terasa ringan seperti hendak melayang. Kepalaku begitu pusing sehingga membuat perut terasa mual. Terdengar suara yang cukup ramai yang membuat telingaku berdengung cukup lama. Saat pandangku terasa gelap, remang-remang cahaya sedikit demi sedikit mulai terlihat.
Hal pertama yang aku lihat adalah seorang pria parubaya dengan mata yang bulat. Mengenakan baju hitam sedang berdiri didepanku. Tangannya memegang dua batang besi yang terus dipukul-pukul menghasilkan suara denting yang membuat telinga sakit mendengarnya.
Saat aku mencoba bangun dari tidur. Terlihat beberapa orang mencoba membantuku. Mereka membopongku, aku lihat disekeliling begitu banyak sekali orang memperhatikan. Aku lihat langit begitu terang benderang walaupun disekeliling terlihat kabut tipis menyelimuti. Apa yang terjadi ? aku masih mencoba mencerna agar bisa kupahami.
………………….
Saat aku benar-benar sadar. Aku sedang duduk bersandar pada bantal, tanganku memegang segelas teh hangat dalam gelas kaleng. Aku melihat sekeliling, empat orang sedang duduk dihadapanku. Aku berada didalam rumah, aku lihat pria dengan baju hitam tadi sedang berdiri disamping Warno, pemuda yang kami temui saat dipos pendaftaran sebelum kami mulai mendaki. Aku mendengar keramaian diluar rumah, orang berbincang
dalam bahasa jawa. Kalimat yang keluar pertama kali dari mulutku “ Apa yang terjadi ?”
Pintu terbuka dan betapa kagetnya saat aku melihat orang yang masuk adalah Hesti. Dia menggunakan pakaian bersih dan tampaknya sangat baik-baik saja, kecuali matanya yang tampak sembab dan merah.
Aku semakin bingung dan tidak mengerti, kemudian aku bertanya lagi “ Apa yang terjadi ?”
Aku teringat Baim dan Imron. Saat bertanya pada Hesti katanya mereka berdua baik-baik saja, mereka masih berada di puskesmas desa. Mereka sedang di infus, menurut Hesti setidaknya kondisiku masih lebih baik karena pulih dengan cepat daripada Baim dan Imron. Aku semakin tidak mengerti, lalu aku bertanya lagi “Apa yang terjadi ?”
Seorang pria mengenakan jaket kuning bertanya apakah aku masih merasa mual dan pusing ? apakah ada bagian tubuh yang terasa sakit selain tanganku yang terluka. Aku bilang tidak, aku balik bertanya “Apa yang terjadi ?”
Dua orang baru masuk kedalam rumah. seorang wanita yang mengaku wartawan dari sebuah majalah mengajukan pertanyaan sambil menyodorkan alat perekam. Satu lagi seorang pria yang mengenakan jaket dengan logo stasiun televise menyorotkan kamera ke arahku. Aku benar-benar bingung harus menjawab apa, karena pertanyaannya begitu sulit untuk dijawab karena aku benar-benar tidak mengerti “ Apa yang terjadi ?”
Namuns pria yang mengenakan jaket kuning yang sedari tadi berada disampingku, mencoba membantu menjawab pertanyaan.
“Korban memang sudah sadar, tapi kebingungan adalah hal yang wajar untuk seseorang yang terkena hipotermia.”
Bersambung.....
Jangan lupa like, comen, share and subcribe
namakuve dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Kutip
Balas
Tutup