- Beranda
- Stories from the Heart
Cinta Tak Bisa Disalahkan (Part 2)
...
TS
wowonwae
Cinta Tak Bisa Disalahkan (Part 2)

Sebelumnya : Part 1
Part 2

CUITAN DARI ATAS BALKON
Aku memang biasa dipanggil Aik, nama panggilan semenjak kecil yang diberikan orang tuaku. Sebetulnya itu diambil dari nama belakangku, Aji. Buat mudahnya bagi lidah jawa, huruf "j" dihilangkan dan diakhiri konsonan "k", jadilah Aik. Demikian aku berkenalan sama semua orang di sini, nggak dosen, senior, pegawai kampus, tukang parkir, junior sampai orang-orang kampung mengenalku dengan nama Aik.
Yang tampak saat kutolehkan wajahku adalah sebuah rumah besar yang terletak berseberangan dengan rumah kost yang baru akan kutempati. Tertutup pintunya, semacam pintu garasi lebar bersegmen-segmen terbuat dari bahan kayu kayak di senetron-sinetron atau FTV. Tidak tampak seorangpun di depan pintu itu. Kudongakkan kepalaku segera mengikuti sumber suara, ternyata ada dua gadis yang senyum-senyum memandangku di teras balkon lantai 2.
Ya, rumah besar itu memang susun bentuknya, hanya 2 lantai. Lantai pertama yang pintunya tertutup itu garasi buat nyimpen motor anak-anak kost, lantai kedua adalah kamar kost dengan teras balkon los, tak bersekat, memanjang di depan kamar-kamar kos. Empat orang senior cewek, setingkat di atasku memang tinggal di situ. Dan salah satunya itulah yang memanggilku, namanya Ica. Rupanya sejak tadi dia mengamati proses pemindahan barang-barangku dari pick-up ke kamar kost, bersama kawan kostnya.
"Hai !", jawabku setengah berteriak. "Ngapain Ca pagi-pagi nongkrong aja di atas? Nggak pada ngikut ngandong?" tanyaku kemudian. Ica memang setingkat di atasku, tapi tahun kelahiran kita sama, makanya aku takpernah memanggilnya Mbak atau Kak sebagaimana kawan seangkatannya yang lain.
"Lagi males, begadang semalem", jawabnya dengan seulas senyum. Kawan di sebelahnya juga ikut senyum-senyum, malah tampak serius mengamati wajahku meski terkesan jaga image. Senyumnya manis juga dengan deretan gigi yang rapi. Hidungnya mancung lebih mancung dari hidungku, sedang matanya lebar - jelas lebih lebar dari mataku yang sipit ini. Mata kami sejenak beradu, aku menangkap kesan seolah ingin mengajakku berkenalan.
Kualihkan lagi pandanganku ke Ica yang lebih dulu kukenal. Baik anaknya, tergolong pinter dan rajin di angkatannya, aku sering pinjam catatannya atau minta keterangan untuk pelajaran yang aku kurang mengerti. Sebagai anak pintar, Ica tidak egois seperti kebanyakan, dia tidak pernah menolak berbagi catatan dan pemahamannya pada siapa saja.
"Udah sarapan Ca? Yuk!" ajakku.
"Udah dong, pagi tadi kami masak berdua", kata Ica sambil melirik kawan di sebelahnya.
"Widiiih, masak apa? Boleh dong ngicipin...", sahutku berbasa-basi, masih dengan mendongakkan kepala.
Disenggollah dengan sikut kawan di sebelahnya, dua kali. Merah padam mukanya, tawanya lepas sambil memegangi lengan Ica dan mengguncangkannya. Kepalanya digeleng-gelengkan menatap Ica, bahasa isyarat agar masakannya jangan dibagikan. Ica juga tergelak tawanya melihat tingkah itu, dengan sigap lalu dialihkannya pandangan kembali ke bawah - ke arahku.
"Restu malu Ik, kami masih belajar memasaknya, masih agak hambar rasanya. Ini nih chefnya...," kata Ica menunjuk kawan di sebelahnya sambil menahan tawa geli. Sedang kawannya itu mengangguk-angguk, isyarat mengiyakan jawaban Ica dengan ekspresi malu.
"Yo wis ( ya sudah ). Aku pegel ndangak ( aku capek mendongak) terus. Kalau mau lanjut ngobrol sini turun ke bawah", celetukku kemudian.
"Udah kamu sarapan aja dulu !", jawabnya.
"Oke !", jawabku langsung berbalik badan menghampiri motor di depan kamar kostku.
Lupa mengunci pintu kamar, turunlah lagi aku dari motor yang terlanjur sudah kustarter. Setelah yakin aman terkunci, kembali kunaiki motor dan kulajukan mengikuti naluri perut yang sudah keroncongan sejak tadi.
Sepanjang jalan, ingatanku pada percakapan tadi masih mengiang, terutama kesan pada ekspresi spontan kawan kost Ica saat aku berbasa-basi pengin mencicipi masakan mereka.

Continue to part 3 ♡ part4 ♡ part5 ♡ part6 ♡ part7 ♡ part8 ♡ part9 ♡ part10 ♡ Interlog ♡ Part11 ♡ Part12 ♡ Part13 ♡ Part14 ♡ Part15 ♡ Part16 ♡ Part17 ♡ Part18 ♡ Part19 ♡ Part20 ♡ Part21 ♡ Part22 ♡ Part23 ♡ Part24 ♡ Part25 ♡ Selembar Testimoni ♡ Part26 ♡ Part27 ♡ Part28 ♡ Part29 ♡ Part30
Diubah oleh wowonwae 08-05-2019 13:00
yambu668 dan 14 lainnya memberi reputasi
13
10.6K
63
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
wowonwae
#43
Part 29
Restoe Boemi
Baru separuh dari total seluruh barang yang berhasil diturunkan dari kontainer truk, tapi mereka berdua kulihat sudah kelelahan, maka kusarankan agar istirahat sejenak , lalu kuberikan selembar duit 120 ribu ke Mas NCip dan kunci motor. Dia udah paham kalau maksudku minta tolong dibelikan makanan dan minuman buat semua yang masih berada di kompleks pergudangan sini, baik yang memang sedang lembur ataupun yang masih asyik internetan, belum mau pulang.
"Sampeyan (Anda) nitip e opo' o (nitipnya apa) Pak ?" tanya Mas Ncip dengan logat Maduranya setelah terima duit dan kunci motor.
"Kopi wae (aja) aku Mas, bungkuske loro (dua) ya...?!" jawabku.
Seperti biasa, Mas Ncip nggak njawab apa-apa kalau disuruh, semacem "siap" atawa "oke" gitu nggak pernah terucap dari mulutnya. Jawabannya kalau disuruh cuma meringis lebar lanjut balik badan ngerjain perintah, selama perintahnya jelas. Kalau perintahnya kurang jelas, dia minta diterangkan dulu maksud perintahnya sampai paham, baru beraksi.
Seperti ini tadi, karena perintahnya gampang, ya langsung aja balik kanan ambil motor. Ngajak si Tikno, lalu segera melaju keluar kompleks pergudangan menuju jalan raya. Nggak pakai baju mereka berdua bawa motor itu, kaosnya ditinggal tergantung di pintu gudang. Maklum, keringatnya masih deras bercucuran setelah separuh barang dalam kontainer truk dikeluarkannya dengan kompak berdua.
Aku sendiri lanjut melangkah masuk lagi ke dalam kantor yang tak begitu luas, hanya seukuran kamar kost sewaktu masih kuliah dulu. Tapi ruang gudang di samping kantor yang juga jadi wilayah kekuasaanku sebagai HOW (Head of Warehouse) sangatlah luas, 25 x 40 meter persegi. Isinya tumpukan berkarton-karton produk industri dalam berbagai bentuk. Mulai produk konsumsi hingga peralatan rumah tangga yang semuanya berlisensi SNI. Kuatur rapi sesuai SOP (Standard Operating Procedure) perusahaan, terkelompok - berderet dan bersusun. Ragam jenis produknya saja kalau dihitung ada 600 item, masing-masing item jumlah stok berbeda-beda tergantung banyak-sedikit market demand.
Lanjut kuteliti invoice dan surat jalan yang dibawa si sopir truk yang baru masuk kompleks jam 7 malam tadi. Blackberry Message dari si boss udah "klunthang--klunthing" dari tadi nanyain hasil checking beserta foto-foto barang yang baru datang. Begini ini aktivitas kerjaan tetapku di sebuah perusahaan distributor besar untuk distrik area Jember - Banyuwangi. Jadi skill komputerkulah yang sebetulnya dibutuhkan oleh perusahaan, sedang semua wawasan ilmu pengetahuan yang kudapat di bangku kuliah, tak banyak terpakai. Pengalaman berorganisasi justru yang dominan bermanfaat buat kerja di sini, bagaimana aku harus lihai mengkoordinir kerja petugas gudang dan 8 armada pengiriman biar kompak dan semangat.
"Kriiiing...kriiiing...kriiiing...!" bunyi ringtone blackberry yang kusetting pilih mode dering pesawat telepon antik jaman doeloe.
"Malem boss...! Ada yang bisa dibantu ?" kujawab telepon setelah kulihat gambar si boss bergerak naik-turun di screen bb dan kusentuh tombol terima.
"Malam Pak Tri, gimana ? Udah turun semua barangnya ?" tanya si boss, menyebutku biasa dengan panggilan Pak Tri. Tak seorangpun di sini yang tau kalau panggilan kecilku adalah Aik.
"Baru separuh boss, sabar dikitlah..., anak-anak masih pada kecapean itu. Biar istirahat bentar lah...!"
"Nggak masalah selesainya mau kapan Pak, ada info dari orang dalem barusan kalau ada 40an karton jatah retur diikutin di situ. You telititi baik-baik ED (Expired Date) nya ! Suruh bawa balik sopirnya !"
"Wokeh, siyap bos !"
Beginilah di bagian gudang, rawan kecurangan, meski teliti betul kalau gak pengin kena potong gaji. Sejak awal ditempatkan sini, kulihat personel tim kerja di distrik area sini sudah professional, aku tak meragukannya. Belum pernah terjadi kesalahan ampe sekarang ini. Kuakui, orang Jember kinerjanya luar biasa dibanding distrik lain, kalau belum selesai betul kerjaannya suka gak mau pulang, nggak tenang katanya. Meskipun tak dihitung kerja lembur. Mungkin itu juga yang jadi alasan BI (Bank Indonesia) bikin salah satu cabangnya di sini, pikirku.
"Sama nanti you siap-siap buat besok ikut meeting ke Banyuwangi !"
"Lha kok, rubah jadwalnya boss ?!"
"Besok kita ketemuan sama owner-nya langsung, bukan manajernya, mumpung lagi di sini. Kita meski cepet-cepet sebelum dia balik lagi ke Bali !"
"Oh gitu ? Okelah ! Trus saya naik apa boss ?"
"Haiyah ! Jangan manja ! Ngikut aja armada yang kirim ke sana seperti biasa, ntar I samperin !"
"Uang sakunya boss ? Kan belum jadwal dianggarin...?!"
"Alaaahhh ! Gampang itu, besok dipikirin di Banyuwangi".
"Okelah kalau begitu !"
"Yes, oke, see ya tomorrow !" pamit si Boss langsung dimatiin teleponnya sebelum sempat kubalas.
Begitulah lagaknya, sok kebarat-baratan, padahal sekolahnya cuma nyampe SMP. Dia menang di pengalaman, terkenalnya di sini anak emasnya si boss besar, CEO perusahaan. Kerjaannya bolak-balik terbang Surabaya - Bali untuk urusan loby sama investor, makanya bahasa Inggrisnya lancar. Salut juga kalau denger ceritanya, belajarnya otodidak, gak pernah ikutan kursus.
Kami lanjutkan lembur pekerjaan sesuai tupoksi masing-masing malam ini, jam 11 malam baru total kelar semuanya. Sopir truk segera menutup pintu kontainer lalu ambil surat jalan yang telah kukoreksi dan kutandatangani lengkap dengan stempel perusahaan. Mas Ncip tampak menutup pintu gerbang ruang gudang dan menguncinya, lalu menyerahkan ke Kang Yayat, satpam jaga shift malam ini.
Truk kontainer panjang itu lalu sebentar kemudian melaju pelan di komando Kang Yayat dengan semangat '45 nya. Biasa, habis dapat cuan (uang tips) dia dari si sopir. Mas Ncip dan Tikno menyusul di belakangnya, boncengan sama Tikno yang masih tetep gak mau pakai kaosnya, disampirin di pundak kanan. Kuseruput kopi terakhir lalu kututup satu-persatu semua jendela aplikasi komputer di meja kerja, sampai yang terakhir jendela facebook kuhentikan niatku karena kulihat ada pemberitahuan inbox.
Satu pesan dari kawan baik di Semarang, alumni seangkatan kuliah dulu yang dapet suami satu daerah denganku. Daerah yang dijuluki Ahmad Dhani sebagai "kota seribu paranormal". Isi pesannya ngasih tanya kabar sama ngasih tau akun fb Restu yang baru. Di main page juga tampak nge-share foto Restu bersama anak perempuannya yang kira-kira berumur 5 tahunan.
"Waduh ! Ngapain juga nih anak kurang kerjaan...", gumamku pelan.
Aku senyum-senyum aja memperhatikan gambar di layar monitor itu, Restu kini udah emak-emak, pakai kerudung putih seputih deretan gigi yang menghiasi senyumnya. Yang kemudian ada di pikiranku adalah keheranan, ini mantan udah bertahun-tahun gak pernah ketemu, lha kok masih ngikut aja kabarnya keliling Jawa, dari Jawa Barat nyampe ke Jawa Timur. Sudah lupa jadi keinget lagi, lupa - keingetan lagi, begitu berkali-kali. Ada apakah gerangan ?
"Pak Tri masih sibuk aja...?!" tanya Kang Yayat mengejutkanku.
"Nggak Kang udah selesai kok..., yang lain udah pada pulang semua ?"
"Sudah".
"Yang di Principal ?"
"Pak Helly? Wah udah dari tadi pak nganterin SPG (Sales Promotion Girls) nya pulang."
"Cakep-cakep SPG nya Kang ?"
"Hot ! Hahaha...!" jawabnya sambil mengacungkan dua jempol.
Aku tersenyum aja ngeliatnya over kegirangan, paling tadi kenyang nggodain SPG. Ya begini ini kondisi di tempat kerjaku yang baru, namanya juga perusahaan distributor, seharian konsentrasi kita seputar stok barang, harga dan even-even promo yang selalu melibatkan SPG. Mereka akan jadi hiburan tersendiri bagi karyawan cowok di kompleks ini, hampir tiap hari.
"Dapat cuan berapa tadi kamu Kang ?"
"Hehe..., lumayan Pak Tri, 50 ribu !" jawabnya sambil mengeluarkan selembar duit dari saku seragam satpamnya dan memakerkannya.
"Tapi, dibagi tiga ini sama Ncip dan Tikno", lanjutnya.
"Ya udah, nih tak tambahin ! Tulung dibeliin kopi sama rokok !" kataku lanjut ngeluarin dompet lalu mengambil selembar 20 ribuan dan memberikan padanya.
"Siap Pak Tri ! Lhah, Bapak nggak pulang?"
"Weh, ngusir nih ?!"
"Ya bukan gitu Pak...hehe..."
"Mene (besok) aku nong (ke) Mbanyuwangi, diajak si Bos. Dadi gak enek gawean isuk ( jadi gak ada kerjaan pagi), takkancani jogo (taktemenin jaga) gudang kon (kamu) mbengi iki (malam ini)", jawabku pake logat daerah sini.
"Wah, siyap pak !" kata Kang Yayat girang sambil hormat gaya militer.
"Laksanakan !" kataku sambil membalas hormatnya.
Lantas kami tertawa bareng seperti biasa kalau habis bercanda model begitu. Kang Yayat segera beranjak jalan kaki menuju warung 24 jam yang letaknya tak jauh dari kompleks pergudangan ini. Nggak kutawari naik motor karena dia gak bisa naik motor, malah istrinya yang mahir pakai motor. Jadi Kang Yayat ini sering sampai ke sininya justru dianter sama istrinya diboncengin motor.

Jadi teringat lagi deh kenangan saat Restu maksa-maksa mboncengin pake motornya yang baru dibawa ke lokasi kost untuk mengantisipasi padat kesibukan di akhir semester ini dan berikutnya. Dia sungkan kalau sampai merepotkanku yang kebetulan sama-sama sibuk, sesuai paket kurikulum di jurusan kami masing-masing. Setelah naik membonceng di belakangnya, aku jadi canggung rasanya.
"Ntar, ntar....! Terus aku pegangan apa nih Res ?" godaku sebelum dia tarik gas.
"Pokoknya jangan pegang pinggang !" jawabnya.
"Kalau pegang perut ?"
"Iiii...iih ! Nggak boleh ! Pokoknya nggak boleh di titik-titik sensitif !"
"Ya udah, pegang pundak aja deh...!" kataku lalu memegang pundaknya dan kupijit-pijit pelan.
"Aaa...aaah...! Geliii..., nggak mau !" jeritnya tiba-tiba, membuatku kaget dan segera melepaskannya sambil tolah-toleh kiri kanan.
Tampak beberapa penduduk kampung yang memperhatikan kami dari kejauhan, suara teriakan Restu terlalu kenceng, aku yang akhirnya dibikin malu.
"Hush ! Jangan teriak-teriak gitu dong...!" seruku pelan.
"Hahaha..., habis..., geli Mas...!"
"Udah, tarik gas Mbakyu !" kataku sambil pegangan behel samping kiri-kanan jok motor bebeknya.
Tertawa lagi dia denger kupanggil "Mbakyu", panggilan untuk senior cewek di organisasi Pe-A jurusanku. Motor akhirnya melaju membawa kita berdua hingga ke jalan utama menuju kampus.

Kang Yayat yang sedari tadi melihatku senyum-senyum sendiri mengamati gambar di layar monitor akhirnya penasaran lalu kursinya dipindahkan dan ikutan duduk di sampingku.
"Siapa tuh Pak ?"
"Hihihi..., mbuh iki (nggak tau nih) Kang, ngikutin aja dari Jakarta ampe ke Jember...!"
"Maksudnya nyusul ke sini Pak ?"
"Bukan Kang, kabar beritanya aja yang ngikutin".
"Janda ya Pak ?"
"Hish ! Ngawur, ada suaminya tuh...!" jawabku lanjut kubukakan gallery foto utama pada akun fb Restu, lalu kutunjukkan foto yang ada sang suami bersamanya.
"Kok cuma sedikit fotonya Pak ?"
Kujawab dengan mengangkat kedua bahuku.
"Eh, Kang Yayat bisa pakai komputer kan kulihat kemarin ?"
"Hehe..., cuma facebook an aja Pak bisanya...
"Ya udah sini, tukeran...!" jawabku lanjut bangkit berdiri, bertukar tempat duduk dengan Kang Yayat.
Karena banyak nanya, akhirnya kubagikan saja kisah masa laluku itu dalam obrolan di sela-sela Kang Yayat buka-buka fb, bersama segelas kopi, dua bungkus rokok mild dan nasi jagung khas Jember yang dibelinya tadi. Tak banyak kubagi kisah yang kukenang, sebab niatku sebetulnya lebih buat mancing dia aja biar gantian cerita tentang kisah asmaranya yang denger-denger dari karyawan lain cukup unik. Dan usahaku berhasil, akhirnya Kang Yayat tuturkan kisah-kisah asmaranya yang menarik. Tak kusangka, nggak cuma satu-dua kisah, dia ini dulunya seorang petualang lokal dengan banyak kekasih, seru juga ndengerinnya. Rupanya pandai mendongeng dia ini, seperti seorang dalang yang membawakan lakon wayang hingga subuh menjelang.
"Pak Tri kenapa belum menikah juga ?" tanyanya setelah tuntas ceritanya.
Di luar terdengar suara puji-pujian di beberapa masjid tampak sudah mengalun. Kukecilkan volume mp3 player di komputer yang dari tadi memutar lagu-lagu osing banyuwangian.
"Mbuh (nggak tau) Kang..., belum ada yang ngeklik dari Jawa Barat ampe Jawa Timur sekarang ini...", jawabku sambil memijit-mijit belakang leherku sendiri. Gerak refleks tiap kali ada "pertanyaan wajib" seperti itu.
"Lha ini, temen-temen fb nya Pak Tri banyak yang cakep lho !"
"Hahaha..., kok sing nong (kok yang di) dunia maya, lha saben dino nong kene (lha tiap hari di sini) SPG ne (nya) rak yo ayu-ayu tah Kang (kan ya cantik-cantik)....?"
"Iya udah, dicobain aja Pak satu-satu !"
"Hahaha..., dicobain apanya Kang ?"
"Ya maksudnya, dipacarin gitu..., saling mempelajari dulu..."
"Ah, males pacaran aku wis (sudah) Kang !"
"Eh, bentar-bentar Pak...!" katanya lanjut memainkan mouse pad dengan masih agak kaku.
Dikliknya perintah kembali ke tampilan sebelumnya hingga akun Restu lagi lalu berhenti. Dibacanya nama profil lagi dengan teliti. Aku sendiri penasaran apa maksud Kang Yayat.
"Kawan Bapak yang kabarnya selalu ngikutin ini namanya Restu ya ?" tanyanya kemudian.
Aku mengangguk sekali ditanggapinya dengan mengangguk berkali-kali alias manggut-manggut.
"Opo'o (apa maksudmu) Kang ?"
"Ini ma'af-ma'af sebelumnya ya..., Bapak boleh percaya boleh tidak..." kata Kang Yayat merendah, gaya khas orang sini jika sudah menyangkut keyakinan masing-masing, bikin aku makin penasaran.
"Ada mitos ???" tanggapku segera, mengingat di distrik area sini denger-denger kaya sekali dengan mitos, terutama yang Banyuwangi.
"Mungkin perlambang itu Pak Tri...".
"Lambang opo' o...?"
"Pak Tri diperjalankan dari Jawa Barat hingga Jawa Timur itu mungkin untuk meminta "restu" leluhur bumi Jawa. Pak Tri mungkin di kehidupan sebelumnya banyak melakukan pengrusakan di bumi Jawa...", jelas Kang Yayat panjang lebar dan bikin aku tertegun.
"Wah, wah, wah...boleh juga nih Kang Yayat ! Ada lagunya tuh..."
"Hehehe...Ma'af ma'af lho Pak..hehe...", katanya dengan menelangkupkan kedua telapak tangan di dadanya.
"Eh, iya nggak papa Kang. Maksudku pendapat Kang Yayat bisa jadi bener, siapa tau ?!"
"Jangan diambil hati lho pak...hehe..."
"Daripada diambil hati mending diambil buat ide tulisan sticker truk Kang, gimana ?"
"Maksudnya ? Mau dipesenin sticker Pak ?"
"Iya, keponakanmu katanya bisnis cutting sticker kan ?! Pesenin buat delapan truk armada kita, tulisannya " R-E-S-T-O-E B-O-E-M-I, tempelin di bawah tulisan : District Area Jember-Banyuwangi !" suruhku.
"Hehehe..., bagus Pak !"
"Iya udah, sms atau telepon keponakanmu Kang. Aku tak pulang dulu, nanti balik ke sini jam-jam 10 an sesuai jadwal armada yang ke banyuwangi. Stikernya kalau bisa udah nempel, bisa nggak ?"
"Siyyap pak !" kata Kang Yayat girang sambil hormat gaya militer.
"Laksanakan !" kataku sambil membalas hormatnya.
Lantas kami tertawa bareng seperti biasa kalau habis bercanda model begitu. Kutinggalkan Kang Yayat yang berpatroli keliling sendirian, menyelesaikan sisa jam kerjanya yang tinggal beberapa saat sebelum pergantian shift petugas jaga.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah kontrakan, sembari kurenungkan pendapat Kang Yayat yang agak condong ke teori reinkarnasi itu. Otak-atik logika asyik berputar-putar di otakku, kutambah sekalian dengan memutar lagu favoritku sewaktu SMA dan mendengarkannya melalui earphone yang terhubung ke blackberry di kantong jaket. Sengaja kusempatkan browsing lagu di mbah Google dulu tadi, sebelum beranjak dari masjid.

Continue to Part30

Restoe Boemi
Baru separuh dari total seluruh barang yang berhasil diturunkan dari kontainer truk, tapi mereka berdua kulihat sudah kelelahan, maka kusarankan agar istirahat sejenak , lalu kuberikan selembar duit 120 ribu ke Mas NCip dan kunci motor. Dia udah paham kalau maksudku minta tolong dibelikan makanan dan minuman buat semua yang masih berada di kompleks pergudangan sini, baik yang memang sedang lembur ataupun yang masih asyik internetan, belum mau pulang.
"Sampeyan (Anda) nitip e opo' o (nitipnya apa) Pak ?" tanya Mas Ncip dengan logat Maduranya setelah terima duit dan kunci motor.
"Kopi wae (aja) aku Mas, bungkuske loro (dua) ya...?!" jawabku.
Seperti biasa, Mas Ncip nggak njawab apa-apa kalau disuruh, semacem "siap" atawa "oke" gitu nggak pernah terucap dari mulutnya. Jawabannya kalau disuruh cuma meringis lebar lanjut balik badan ngerjain perintah, selama perintahnya jelas. Kalau perintahnya kurang jelas, dia minta diterangkan dulu maksud perintahnya sampai paham, baru beraksi.
Seperti ini tadi, karena perintahnya gampang, ya langsung aja balik kanan ambil motor. Ngajak si Tikno, lalu segera melaju keluar kompleks pergudangan menuju jalan raya. Nggak pakai baju mereka berdua bawa motor itu, kaosnya ditinggal tergantung di pintu gudang. Maklum, keringatnya masih deras bercucuran setelah separuh barang dalam kontainer truk dikeluarkannya dengan kompak berdua.
Aku sendiri lanjut melangkah masuk lagi ke dalam kantor yang tak begitu luas, hanya seukuran kamar kost sewaktu masih kuliah dulu. Tapi ruang gudang di samping kantor yang juga jadi wilayah kekuasaanku sebagai HOW (Head of Warehouse) sangatlah luas, 25 x 40 meter persegi. Isinya tumpukan berkarton-karton produk industri dalam berbagai bentuk. Mulai produk konsumsi hingga peralatan rumah tangga yang semuanya berlisensi SNI. Kuatur rapi sesuai SOP (Standard Operating Procedure) perusahaan, terkelompok - berderet dan bersusun. Ragam jenis produknya saja kalau dihitung ada 600 item, masing-masing item jumlah stok berbeda-beda tergantung banyak-sedikit market demand.
Lanjut kuteliti invoice dan surat jalan yang dibawa si sopir truk yang baru masuk kompleks jam 7 malam tadi. Blackberry Message dari si boss udah "klunthang--klunthing" dari tadi nanyain hasil checking beserta foto-foto barang yang baru datang. Begini ini aktivitas kerjaan tetapku di sebuah perusahaan distributor besar untuk distrik area Jember - Banyuwangi. Jadi skill komputerkulah yang sebetulnya dibutuhkan oleh perusahaan, sedang semua wawasan ilmu pengetahuan yang kudapat di bangku kuliah, tak banyak terpakai. Pengalaman berorganisasi justru yang dominan bermanfaat buat kerja di sini, bagaimana aku harus lihai mengkoordinir kerja petugas gudang dan 8 armada pengiriman biar kompak dan semangat.
"Kriiiing...kriiiing...kriiiing...!" bunyi ringtone blackberry yang kusetting pilih mode dering pesawat telepon antik jaman doeloe.
"Malem boss...! Ada yang bisa dibantu ?" kujawab telepon setelah kulihat gambar si boss bergerak naik-turun di screen bb dan kusentuh tombol terima.
"Malam Pak Tri, gimana ? Udah turun semua barangnya ?" tanya si boss, menyebutku biasa dengan panggilan Pak Tri. Tak seorangpun di sini yang tau kalau panggilan kecilku adalah Aik.
"Baru separuh boss, sabar dikitlah..., anak-anak masih pada kecapean itu. Biar istirahat bentar lah...!"
"Nggak masalah selesainya mau kapan Pak, ada info dari orang dalem barusan kalau ada 40an karton jatah retur diikutin di situ. You telititi baik-baik ED (Expired Date) nya ! Suruh bawa balik sopirnya !"
"Wokeh, siyap bos !"
Beginilah di bagian gudang, rawan kecurangan, meski teliti betul kalau gak pengin kena potong gaji. Sejak awal ditempatkan sini, kulihat personel tim kerja di distrik area sini sudah professional, aku tak meragukannya. Belum pernah terjadi kesalahan ampe sekarang ini. Kuakui, orang Jember kinerjanya luar biasa dibanding distrik lain, kalau belum selesai betul kerjaannya suka gak mau pulang, nggak tenang katanya. Meskipun tak dihitung kerja lembur. Mungkin itu juga yang jadi alasan BI (Bank Indonesia) bikin salah satu cabangnya di sini, pikirku.
"Sama nanti you siap-siap buat besok ikut meeting ke Banyuwangi !"
"Lha kok, rubah jadwalnya boss ?!"
"Besok kita ketemuan sama owner-nya langsung, bukan manajernya, mumpung lagi di sini. Kita meski cepet-cepet sebelum dia balik lagi ke Bali !"
"Oh gitu ? Okelah ! Trus saya naik apa boss ?"
"Haiyah ! Jangan manja ! Ngikut aja armada yang kirim ke sana seperti biasa, ntar I samperin !"
"Uang sakunya boss ? Kan belum jadwal dianggarin...?!"
"Alaaahhh ! Gampang itu, besok dipikirin di Banyuwangi".
"Okelah kalau begitu !"
"Yes, oke, see ya tomorrow !" pamit si Boss langsung dimatiin teleponnya sebelum sempat kubalas.
Begitulah lagaknya, sok kebarat-baratan, padahal sekolahnya cuma nyampe SMP. Dia menang di pengalaman, terkenalnya di sini anak emasnya si boss besar, CEO perusahaan. Kerjaannya bolak-balik terbang Surabaya - Bali untuk urusan loby sama investor, makanya bahasa Inggrisnya lancar. Salut juga kalau denger ceritanya, belajarnya otodidak, gak pernah ikutan kursus.
Kami lanjutkan lembur pekerjaan sesuai tupoksi masing-masing malam ini, jam 11 malam baru total kelar semuanya. Sopir truk segera menutup pintu kontainer lalu ambil surat jalan yang telah kukoreksi dan kutandatangani lengkap dengan stempel perusahaan. Mas Ncip tampak menutup pintu gerbang ruang gudang dan menguncinya, lalu menyerahkan ke Kang Yayat, satpam jaga shift malam ini.
Truk kontainer panjang itu lalu sebentar kemudian melaju pelan di komando Kang Yayat dengan semangat '45 nya. Biasa, habis dapat cuan (uang tips) dia dari si sopir. Mas Ncip dan Tikno menyusul di belakangnya, boncengan sama Tikno yang masih tetep gak mau pakai kaosnya, disampirin di pundak kanan. Kuseruput kopi terakhir lalu kututup satu-persatu semua jendela aplikasi komputer di meja kerja, sampai yang terakhir jendela facebook kuhentikan niatku karena kulihat ada pemberitahuan inbox.
Satu pesan dari kawan baik di Semarang, alumni seangkatan kuliah dulu yang dapet suami satu daerah denganku. Daerah yang dijuluki Ahmad Dhani sebagai "kota seribu paranormal". Isi pesannya ngasih tanya kabar sama ngasih tau akun fb Restu yang baru. Di main page juga tampak nge-share foto Restu bersama anak perempuannya yang kira-kira berumur 5 tahunan.
"Waduh ! Ngapain juga nih anak kurang kerjaan...", gumamku pelan.
Aku senyum-senyum aja memperhatikan gambar di layar monitor itu, Restu kini udah emak-emak, pakai kerudung putih seputih deretan gigi yang menghiasi senyumnya. Yang kemudian ada di pikiranku adalah keheranan, ini mantan udah bertahun-tahun gak pernah ketemu, lha kok masih ngikut aja kabarnya keliling Jawa, dari Jawa Barat nyampe ke Jawa Timur. Sudah lupa jadi keinget lagi, lupa - keingetan lagi, begitu berkali-kali. Ada apakah gerangan ?
"Pak Tri masih sibuk aja...?!" tanya Kang Yayat mengejutkanku.
"Nggak Kang udah selesai kok..., yang lain udah pada pulang semua ?"
"Sudah".
"Yang di Principal ?"
"Pak Helly? Wah udah dari tadi pak nganterin SPG (Sales Promotion Girls) nya pulang."
"Cakep-cakep SPG nya Kang ?"
"Hot ! Hahaha...!" jawabnya sambil mengacungkan dua jempol.
Aku tersenyum aja ngeliatnya over kegirangan, paling tadi kenyang nggodain SPG. Ya begini ini kondisi di tempat kerjaku yang baru, namanya juga perusahaan distributor, seharian konsentrasi kita seputar stok barang, harga dan even-even promo yang selalu melibatkan SPG. Mereka akan jadi hiburan tersendiri bagi karyawan cowok di kompleks ini, hampir tiap hari.
"Dapat cuan berapa tadi kamu Kang ?"
"Hehe..., lumayan Pak Tri, 50 ribu !" jawabnya sambil mengeluarkan selembar duit dari saku seragam satpamnya dan memakerkannya.
"Tapi, dibagi tiga ini sama Ncip dan Tikno", lanjutnya.
"Ya udah, nih tak tambahin ! Tulung dibeliin kopi sama rokok !" kataku lanjut ngeluarin dompet lalu mengambil selembar 20 ribuan dan memberikan padanya.
"Siap Pak Tri ! Lhah, Bapak nggak pulang?"
"Weh, ngusir nih ?!"
"Ya bukan gitu Pak...hehe..."
"Mene (besok) aku nong (ke) Mbanyuwangi, diajak si Bos. Dadi gak enek gawean isuk ( jadi gak ada kerjaan pagi), takkancani jogo (taktemenin jaga) gudang kon (kamu) mbengi iki (malam ini)", jawabku pake logat daerah sini.
"Wah, siyap pak !" kata Kang Yayat girang sambil hormat gaya militer.
"Laksanakan !" kataku sambil membalas hormatnya.
Lantas kami tertawa bareng seperti biasa kalau habis bercanda model begitu. Kang Yayat segera beranjak jalan kaki menuju warung 24 jam yang letaknya tak jauh dari kompleks pergudangan ini. Nggak kutawari naik motor karena dia gak bisa naik motor, malah istrinya yang mahir pakai motor. Jadi Kang Yayat ini sering sampai ke sininya justru dianter sama istrinya diboncengin motor.

Jadi teringat lagi deh kenangan saat Restu maksa-maksa mboncengin pake motornya yang baru dibawa ke lokasi kost untuk mengantisipasi padat kesibukan di akhir semester ini dan berikutnya. Dia sungkan kalau sampai merepotkanku yang kebetulan sama-sama sibuk, sesuai paket kurikulum di jurusan kami masing-masing. Setelah naik membonceng di belakangnya, aku jadi canggung rasanya.
"Ntar, ntar....! Terus aku pegangan apa nih Res ?" godaku sebelum dia tarik gas.
"Pokoknya jangan pegang pinggang !" jawabnya.
"Kalau pegang perut ?"
"Iiii...iih ! Nggak boleh ! Pokoknya nggak boleh di titik-titik sensitif !"
"Ya udah, pegang pundak aja deh...!" kataku lalu memegang pundaknya dan kupijit-pijit pelan.
"Aaa...aaah...! Geliii..., nggak mau !" jeritnya tiba-tiba, membuatku kaget dan segera melepaskannya sambil tolah-toleh kiri kanan.
Tampak beberapa penduduk kampung yang memperhatikan kami dari kejauhan, suara teriakan Restu terlalu kenceng, aku yang akhirnya dibikin malu.
"Hush ! Jangan teriak-teriak gitu dong...!" seruku pelan.
"Hahaha..., habis..., geli Mas...!"
"Udah, tarik gas Mbakyu !" kataku sambil pegangan behel samping kiri-kanan jok motor bebeknya.
Tertawa lagi dia denger kupanggil "Mbakyu", panggilan untuk senior cewek di organisasi Pe-A jurusanku. Motor akhirnya melaju membawa kita berdua hingga ke jalan utama menuju kampus.

Kang Yayat yang sedari tadi melihatku senyum-senyum sendiri mengamati gambar di layar monitor akhirnya penasaran lalu kursinya dipindahkan dan ikutan duduk di sampingku.
"Siapa tuh Pak ?"
"Hihihi..., mbuh iki (nggak tau nih) Kang, ngikutin aja dari Jakarta ampe ke Jember...!"
"Maksudnya nyusul ke sini Pak ?"
"Bukan Kang, kabar beritanya aja yang ngikutin".
"Janda ya Pak ?"
"Hish ! Ngawur, ada suaminya tuh...!" jawabku lanjut kubukakan gallery foto utama pada akun fb Restu, lalu kutunjukkan foto yang ada sang suami bersamanya.
"Kok cuma sedikit fotonya Pak ?"
Kujawab dengan mengangkat kedua bahuku.
"Eh, Kang Yayat bisa pakai komputer kan kulihat kemarin ?"
"Hehe..., cuma facebook an aja Pak bisanya...
"Ya udah sini, tukeran...!" jawabku lanjut bangkit berdiri, bertukar tempat duduk dengan Kang Yayat.
Karena banyak nanya, akhirnya kubagikan saja kisah masa laluku itu dalam obrolan di sela-sela Kang Yayat buka-buka fb, bersama segelas kopi, dua bungkus rokok mild dan nasi jagung khas Jember yang dibelinya tadi. Tak banyak kubagi kisah yang kukenang, sebab niatku sebetulnya lebih buat mancing dia aja biar gantian cerita tentang kisah asmaranya yang denger-denger dari karyawan lain cukup unik. Dan usahaku berhasil, akhirnya Kang Yayat tuturkan kisah-kisah asmaranya yang menarik. Tak kusangka, nggak cuma satu-dua kisah, dia ini dulunya seorang petualang lokal dengan banyak kekasih, seru juga ndengerinnya. Rupanya pandai mendongeng dia ini, seperti seorang dalang yang membawakan lakon wayang hingga subuh menjelang.
"Pak Tri kenapa belum menikah juga ?" tanyanya setelah tuntas ceritanya.
Di luar terdengar suara puji-pujian di beberapa masjid tampak sudah mengalun. Kukecilkan volume mp3 player di komputer yang dari tadi memutar lagu-lagu osing banyuwangian.
"Mbuh (nggak tau) Kang..., belum ada yang ngeklik dari Jawa Barat ampe Jawa Timur sekarang ini...", jawabku sambil memijit-mijit belakang leherku sendiri. Gerak refleks tiap kali ada "pertanyaan wajib" seperti itu.
"Lha ini, temen-temen fb nya Pak Tri banyak yang cakep lho !"
"Hahaha..., kok sing nong (kok yang di) dunia maya, lha saben dino nong kene (lha tiap hari di sini) SPG ne (nya) rak yo ayu-ayu tah Kang (kan ya cantik-cantik)....?"
"Iya udah, dicobain aja Pak satu-satu !"
"Hahaha..., dicobain apanya Kang ?"
"Ya maksudnya, dipacarin gitu..., saling mempelajari dulu..."
"Ah, males pacaran aku wis (sudah) Kang !"
"Eh, bentar-bentar Pak...!" katanya lanjut memainkan mouse pad dengan masih agak kaku.
Dikliknya perintah kembali ke tampilan sebelumnya hingga akun Restu lagi lalu berhenti. Dibacanya nama profil lagi dengan teliti. Aku sendiri penasaran apa maksud Kang Yayat.
"Kawan Bapak yang kabarnya selalu ngikutin ini namanya Restu ya ?" tanyanya kemudian.
Aku mengangguk sekali ditanggapinya dengan mengangguk berkali-kali alias manggut-manggut.
"Opo'o (apa maksudmu) Kang ?"
"Ini ma'af-ma'af sebelumnya ya..., Bapak boleh percaya boleh tidak..." kata Kang Yayat merendah, gaya khas orang sini jika sudah menyangkut keyakinan masing-masing, bikin aku makin penasaran.
"Ada mitos ???" tanggapku segera, mengingat di distrik area sini denger-denger kaya sekali dengan mitos, terutama yang Banyuwangi.
"Mungkin perlambang itu Pak Tri...".
"Lambang opo' o...?"
"Pak Tri diperjalankan dari Jawa Barat hingga Jawa Timur itu mungkin untuk meminta "restu" leluhur bumi Jawa. Pak Tri mungkin di kehidupan sebelumnya banyak melakukan pengrusakan di bumi Jawa...", jelas Kang Yayat panjang lebar dan bikin aku tertegun.
"Wah, wah, wah...boleh juga nih Kang Yayat ! Ada lagunya tuh..."
"Hehehe...Ma'af ma'af lho Pak..hehe...", katanya dengan menelangkupkan kedua telapak tangan di dadanya.
"Eh, iya nggak papa Kang. Maksudku pendapat Kang Yayat bisa jadi bener, siapa tau ?!"
"Jangan diambil hati lho pak...hehe..."
"Daripada diambil hati mending diambil buat ide tulisan sticker truk Kang, gimana ?"
"Maksudnya ? Mau dipesenin sticker Pak ?"
"Iya, keponakanmu katanya bisnis cutting sticker kan ?! Pesenin buat delapan truk armada kita, tulisannya " R-E-S-T-O-E B-O-E-M-I, tempelin di bawah tulisan : District Area Jember-Banyuwangi !" suruhku.
"Hehehe..., bagus Pak !"
"Iya udah, sms atau telepon keponakanmu Kang. Aku tak pulang dulu, nanti balik ke sini jam-jam 10 an sesuai jadwal armada yang ke banyuwangi. Stikernya kalau bisa udah nempel, bisa nggak ?"
"Siyyap pak !" kata Kang Yayat girang sambil hormat gaya militer.
"Laksanakan !" kataku sambil membalas hormatnya.
Lantas kami tertawa bareng seperti biasa kalau habis bercanda model begitu. Kutinggalkan Kang Yayat yang berpatroli keliling sendirian, menyelesaikan sisa jam kerjanya yang tinggal beberapa saat sebelum pergantian shift petugas jaga.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah kontrakan, sembari kurenungkan pendapat Kang Yayat yang agak condong ke teori reinkarnasi itu. Otak-atik logika asyik berputar-putar di otakku, kutambah sekalian dengan memutar lagu favoritku sewaktu SMA dan mendengarkannya melalui earphone yang terhubung ke blackberry di kantong jaket. Sengaja kusempatkan browsing lagu di mbah Google dulu tadi, sebelum beranjak dari masjid.

Continue to Part30
kuahsayur dan pulaukapok memberi reputasi
2