Kaskus

Story

wowonwaeAvatar border
TS
wowonwae
Cinta Tak Bisa Disalahkan (Part 2)
Cinta Tak Bisa Disalahkan (Part 2)


Sebelumnya : Part 1

Part 2

Cinta Tak Bisa Disalahkan (Part 2)

CUITAN DARI ATAS BALKON

Aku memang biasa dipanggil Aik, nama panggilan semenjak kecil yang diberikan orang tuaku. Sebetulnya itu diambil dari nama belakangku, Aji. Buat mudahnya bagi lidah jawa, huruf "j" dihilangkan dan diakhiri konsonan "k", jadilah Aik. Demikian aku berkenalan sama semua orang di sini, nggak dosen, senior, pegawai kampus, tukang parkir, junior sampai orang-orang kampung mengenalku dengan nama Aik.

Yang tampak saat kutolehkan wajahku adalah sebuah rumah besar yang terletak berseberangan dengan rumah kost yang baru akan kutempati. Tertutup pintunya, semacam pintu garasi lebar bersegmen-segmen terbuat dari bahan kayu kayak di senetron-sinetron atau FTV. Tidak tampak seorangpun di depan pintu itu. Kudongakkan kepalaku segera mengikuti sumber suara, ternyata ada dua gadis yang senyum-senyum memandangku di teras balkon lantai 2.

Ya, rumah besar itu memang susun bentuknya, hanya 2 lantai. Lantai pertama yang pintunya tertutup itu garasi buat nyimpen motor anak-anak kost, lantai kedua adalah kamar kost dengan teras balkon los, tak bersekat, memanjang di depan kamar-kamar kos. Empat orang senior cewek, setingkat di atasku memang tinggal di situ. Dan salah satunya itulah yang memanggilku, namanya Ica. Rupanya sejak tadi dia mengamati proses pemindahan barang-barangku dari pick-up ke kamar kost, bersama kawan kostnya.

"Hai !", jawabku setengah berteriak. "Ngapain Ca pagi-pagi nongkrong aja di atas? Nggak pada ngikut ngandong?" tanyaku kemudian. Ica memang setingkat di atasku, tapi tahun kelahiran kita sama, makanya aku takpernah memanggilnya Mbak atau Kak sebagaimana kawan seangkatannya yang lain.

"Lagi males, begadang semalem", jawabnya dengan seulas senyum. Kawan di sebelahnya juga ikut senyum-senyum, malah tampak serius mengamati wajahku meski terkesan jaga image. Senyumnya manis juga dengan deretan gigi yang rapi. Hidungnya mancung lebih mancung dari hidungku, sedang matanya lebar - jelas lebih lebar dari mataku yang sipit ini. Mata kami sejenak beradu, aku menangkap kesan seolah ingin mengajakku berkenalan.

Kualihkan lagi pandanganku ke Ica yang lebih dulu kukenal. Baik anaknya, tergolong pinter dan rajin di angkatannya, aku sering pinjam catatannya atau minta keterangan untuk pelajaran yang aku kurang mengerti. Sebagai anak pintar, Ica tidak egois seperti kebanyakan, dia tidak pernah menolak berbagi catatan dan pemahamannya pada siapa saja.

"Udah sarapan Ca? Yuk!" ajakku.

"Udah dong, pagi tadi kami masak berdua", kata Ica sambil melirik kawan di sebelahnya.

"Widiiih, masak apa? Boleh dong ngicipin...", sahutku berbasa-basi, masih dengan mendongakkan kepala.

Disenggollah dengan sikut kawan di sebelahnya, dua kali. Merah padam mukanya, tawanya lepas sambil memegangi lengan Ica dan mengguncangkannya. Kepalanya digeleng-gelengkan menatap Ica, bahasa isyarat agar masakannya jangan dibagikan. Ica juga tergelak tawanya melihat tingkah itu, dengan sigap lalu dialihkannya pandangan kembali ke bawah - ke arahku.

"Restu malu Ik, kami masih belajar memasaknya, masih agak hambar rasanya. Ini nih chefnya...," kata Ica menunjuk kawan di sebelahnya sambil menahan tawa geli. Sedang kawannya itu mengangguk-angguk, isyarat mengiyakan jawaban Ica dengan ekspresi malu.

"Yo wis ( ya sudah ). Aku pegel ndangak ( aku capek mendongak) terus. Kalau mau lanjut ngobrol sini turun ke bawah", celetukku kemudian.

"Udah kamu sarapan aja dulu !", jawabnya.

"Oke !", jawabku langsung berbalik badan menghampiri motor di depan kamar kostku.

Lupa mengunci pintu kamar, turunlah lagi aku dari motor yang terlanjur sudah kustarter. Setelah yakin aman terkunci, kembali kunaiki motor dan kulajukan mengikuti naluri perut yang sudah keroncongan sejak tadi.

Sepanjang jalan, ingatanku pada percakapan tadi masih mengiang, terutama kesan pada ekspresi spontan kawan kost Ica saat aku berbasa-basi pengin mencicipi masakan mereka.

Cinta Tak Bisa Disalahkan (Part 2)

Continue to part 3part4part5part6part7part8part9part10InterlogPart11Part12Part13Part14Part15Part16Part17Part18Part19Part20Part21Part22Part23Part24Part25Selembar TestimoniPart26Part27Part28Part29Part30
Diubah oleh wowonwae 08-05-2019 13:00
thebavarian.90Avatar border
mmuji1575Avatar border
yambu668Avatar border
yambu668 dan 14 lainnya memberi reputasi
13
10.6K
63
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52.1KAnggota
Tampilkan semua post
wowonwaeAvatar border
TS
wowonwae
#42
Part 28
kaskus-image

Benci Tuk Mencintai

Tak selang berapa lama Restu pun kembali, menuruni tangga penghubung lantai dua kostnya dengan ruang tamu ini. Headphone yang kupinjam tampak sudah dalam genggaman tangan kanannya. Aku sedang membutuhkannya buat ngedengerin rekaman seminar tadi pagi dengan lebih teliti. Pak Muh, dosen pembimbing PKL (Praktek Kerja Lapangan) ku meminta dibuatkan resume tertulis hasil seminar dimana beliau jadi salah satu keynote speaker nya. Ada beberapa bagian suaranya yang kurang bisa terdengar dengan jelas sehingga kuperlukan alat bantu dengar dan aplikasi audio khusus di komputer.

Raut wajah Restu kali ini tampak berubah tak seperti sedia kala, mengundang tanyaku. Setelah kembali duduk di sebelahku dan memberikan headphone miliknya padaku, tak bisa lagi kubendung rasa penasaranku.

"Kenapa Res ? Siapa tadi yang nelpon ?" tanyaku.

Kutanya begitu sebab kudengar samar-samar dia terima telepon saat di lantai 2 tadi. Kondisi di kost Restu sedang tak jauh beda dengan kost Yuna, lengang untuk beberapa bulan. Mayoritas kawan kostnya lagi pada KKN di luar kota, ya termasuk para seniorku yang tinggal di sini, makanya aku tau persis. Tinggal Restu, Eni yang penghuni baru dan satu lagi mahasiswi tertua yang tak pernah kuingat namanya karena ribet ngucapinnya. Lagipula orangnya terlalu introvert nyampe gak kelar-kelar kuliahnya.

"Temen Mas, mau ke sini katanya", jawab Restu.

"Temen apa fans...?!" godaku.

Restu tak menjawab, tersenyum sebentar tapi segera menegang lagi.

Sebentar kemudian terdengar suara motor berhenti di luar, gak kelihatan dari dalam karena terhalang pintu bersegmen ruang tamu yang cuma dibuka Restu satu segmen saja tadi.

"Sebentar ya Mas...", pamit Restu lanjut bangkit berdiri dan bergegas melangkah keluar ruang.

Kupastikan yang datang adalah kawan yang dimaksudkannya tadi nelepon. Kutunggu sambil menengok beberapa pesan masuk di hape yang belum sempat kubuka saat masih asyik ngobrol dengan restu. Rupanya ada 3 pesan dari tiga nomor berbeda. Satu pesan dari kakak sulungku yang mengkonfirmasi tentang pindah kerjaan dan domisilinya di Jakarta. Satu pesan lagi dari Ano yang pamit mau minjem motor, berarti sekarang paling udah dibawa kabur tuh motor. Terakhir dari Ica yang nyindir kegiatan ngapelku malam ini, paling Restu tadi yang ngasih tau. Kudengar memang dua kali tadi dia nerima telepon waktu kebetulan pas di lantai dua ngambilin headphone pesananku.

Belum selesai kubalas semua sms, Restu sudah masuk ruangan lagi dan duduk di sebelahku. Buku yang dibawanya saat masuk tadi diletakkan di sebelahnya. Lagunya kemudian  ngintip kegiatanku mbales sms, padahal aku cuek-cuek aja karena tak ada yang perlu kusembunyikan.

"Hayoo..., dari siap hayo...?!" godanya.

"Dari sephia (istilah pacar gelap yang dipopulerin group band SO7)..." jawabku sekenanya.

"Iya Mas ?!"

"Yee..., nih ! Baca sendiri nih !" kataku sambil nyerahin hapeku padanya.

Diterimanya hapeku lalu dibacanya sekilas.

"Eh, kok Mbak Ica ?!"

"Iya, kamu kasih tau kan tadi ?"

"Hehe..., he-em, tadi nelpon dari tempatnya KKN. Minta tolong besok dipaketin sepatunya yang ketinggalan via pos ke alamatnya sana".

"Kok nggak kupingnya yang ketinggalan tuh anak...?!"

"Hahaha..., dia berangkatnya nyusul Mas, nggak bareng rombongan. Mberesin urusan nge-lab nya dulu katanya, makanya buru-buru banget kemarin. Jadi gak teliti ngemasin barang-barangnya..."

"O...iya, dia ngikut proyek penelitiannya dosen kayaknya. Lah, gimana sih si Ica ? Terus penelitiannya siapa yang ngurusin kelanjutannya ?"

"Nggak perlu, udah selesai katanya, udah dapet datanya. Diprosesnya ntar habis KKN".

"O...berarti dia cuman mberesin peralatan yang dipinjem sebelum berangkat KKN. Kamu kok kayak jubir (juru bicara) nya si Ica malah..."

"Ya gimana sih ? Orang temen sekamar, ya pasti dibagi ceritanya dong...!"

Kulirik buku yang ditaruh di sebelahnya itu, tampaknya buku catatan kuliah.

"Temen kamu ngembaliin buku itu tadi ?"

"Iya, kemarin dia pinjem. Halah, formalitas, biasa..."

"Tuh kan..., fans kamu berarti itu tadi".

Restu mengangguk sambil tersenyum malu-malu.

"Eh, gimana tadi ceritanya ? Lanjutin dong...!" katanya kemudian.

Jadi pembicaraan kita kemarin di wana wisata terputus gara-gara do'a tolak hujannya Restu ma Irin gak manjur. Terpaksa kuhentikan lalu kuajak dia pindah berteduh di teras perkantoran wana wisata di samping pos jaga pintu masuk. Sesampainya ternyata tak hanya kita berdua yang bakal berteduh, di situ sudah ada beberapa orang wisatawan yang berteduh. Salah satunya bule cewek dari Perancis yang kacamatanya setebal kaca TV. Kami berkenalan awalnya, tapi ternyata si bule yang kulitnya kayak tokek itu lumayan fasih berbahasa Indonesia, jadilah kemudian kami ngobrol lama berempat dengan seorang guide yang disewanya. Gagal total akhirnya semua rencanaku yang telah kususun rapi sebelumnya.

Nha hari ini, sebetulnya aku tak ada rencana, Restu sendiri yang memintaku melanjutkan cerita, sekalian nemenin dia yang kesepian di kostnya. Lagi berperan jadi operator telepon kost-kost an katanya. Aku sendiri sedang sibuk ngedit video hasil shooting seminar Pak Moh di lab sewaktu dia nelpon tadi. Kutinggal aja kerjaan isengnya Pak Moh yang gak diburu deadline itu sekalian ngambil headphone ke kost Restu.

"Segitu aja dulu deh Res ceritanya, disambung lagi besok-besok aja ya...?!"

Kusampaikan kalimat itu sambil memandang jam dinding di ruang tamu yang sudah menunjukkan jam 8 malam.

"Emang mau balik lagi ke kampus ?"

"Iya kayaknya".

"Kan nggak penting kerjaannya, ngapain buru-buru ?"

"Enggak, nggak buru-buru. Lagian motor dipinjem si Ano, tadi sms dia."

"Terus ? Kenapa nggak mau ngelanjutin cerita ?"

"Nggak cukup waktunya Res..., aku nyampe jam 9 aja rencananya. Tinggal ada waktu 1 jam, gak bakalan tuntas".

"Emang di lab ada siapa aja temennya ?"

"Lagi rame, lantai 1 sama 3 ada yang pakai malam ini buat penelitian. Cuma lantai 2 yang gelap-gulita tadi".

Kami saling diam kemudian, sudah kuminta dia agar gantian cerita dan dijawabnya dengan menggeleng. Sekarang malah asyik dia mengamati telapak tangan kananku yang dipegangnya dari tadi. Kugerakkan tangan kiriku membelai rambutnya yang terurai, kurapikan agar tak banyak yang menutupi wajahnya.

"Mas, aku mau nanya ya...?"

"Soal ramalan telapak tangan lagi ? Ogah ah !"

"Eh, enggaaaak..., bukan itu. Aku kan udah tau kamu gak suka ramalan."

"Ya udah, apa ?" tanyaku melembut.

"Kamu percaya takdir kan ?"

"Iya, percaya, sekalipun gak bisa dijadiin alasan untuk membahas hasil penelitian".

"Seandainya..., takdirmu berjodoh dengan orang yang kamu benci gimana Mas ?"

"Widiiih..., dalem amat pertanyaannya non...!"

"Ya kan kita udah dewasa ? Sudah menikah mungkin kalau saja nggak kuliah. Wajar kan ?"

"Iya, kamu udah cerita juga kalau beberapa temen masa kecilmu udah menikah".

Restu mengangguk-angguk dan menatapku dengan senyumannya. Dia tampaknya mencoba perhatikan perubahan gestur wajahku atas pertanyaannya dan menunggu jawabanku.

"Ntar Res..., kamu lagi dijodohin nih ceritanya ? Atau ada yang melamar lewat ortu gitu ?"

"Haha...! Enggaklah..., mana berani Bapakku Mas..."

"Iya, karaktermu dari kecil udah pemberontak, dan kamu sebenernya yang paling beliau sayang dibanding kakak dan adikmu".

Restu masih menatapku dengan senyumnya, tanda menunggu jawabanku. Tiba-tiba di luar terdengar suara helm nggelinding dan suara sandal diseret dua kali. Sepertinya ada orang di luar, di sebalik pintu ruang tamu, bukan suara orang yang sedang lewat. Biasanya kawan penghuni kost sini kalau yang dicari gak muncul-muncul kemudian akan duduk menunggu sambil jongkok di depan pintu itu menghadap ke jalan. Kalau anak-anak kampung sini nggak mungkin, gak ada yang berani nongkrong di situ, segan sama Bapak si empunya kost.

Kulihat jam di dinding masih nunjukin angka yang aman, masih dalam range jam bertamu, tak mungkin bapak kost. Penasaran aku udah mau berdiri, tapi buru-buru ditahan sama Restu. Dia yang kemudian berdiri dan melangkah keluar, melihat ada siapa sebenarnya. Terdengar pelan sekali dan samar, suara Restu tengah bercakap-cakap dengan seorang lelaki sebentar. Lalu kulihat dia kembali masuk dan menyusulku duduk, tapi wajahnya agak tegang, setegang waktu ada kawannya datang tadi mengembalikan buku.

"Siapa ?" tanyaku penasaran, tak segera dijawabnya, malah menunduk.

"Siapa Res ?" ulang tanyaku.

"Temen", jawabnya singkat lalu mencoba kembali tersenyum.

"Kok nggak disuruh masuk ?"

"Biarin ah...!"

"Fans kamu lagi ?"

Restu mengangguk dan pandangannya masih tetap menunduk.

"Suruh masuk aja biar kita kenalan, nggak papa Res..."

Diangkat wajahnya menatapku dengan pandangan yang sulit kuterjemahkan. Mungkin memastikan bahwa aku tak marah, atau mungkin...ah, entahlah ! Baru kali ini kulihat tatapannya yang seperti itu. Tak tahan aku ingin bangkit berdiri, tapi lagi-lagi ditahannya.

"Res..., nggak papa, aku malah gak suka lho kamu mengabaikan orang, apalagi temenmu sendiri. Kamu bilang temen kan tadi ?"

"Iya, tapi..."

"Seangkatan ?"

"Iya".

"Sekampus ?"

"Iya".

"Kok nggak nyariin kamu nengok ke dalem ?"

"Dia udah dari tadi Maaas..."

"Maksudnya ?"

"Ya dia itu temen yang ngembaliin buku ini tadi...", jelasnya sambil menunjuk buku catatan yang tergeletak di sampingnya.

Aku menghela nafas sambil menatapnya serius, dia juga sama sebaliknya, membalas tatapanku dengan serius. Kupegang telapak tangannya gantian, kugenggam agak kencang.

"Jadi di luar itu temen kamu yang tadi nelefon terus ke sini ngembaliin buku, oke. Kamu khawatir mempersilahkan masuk karena komitmen kita dari awal dulu, maksudku tentang ikrarku bahwa aku tak akan marah kalau ada yang ngapelin kamu asal tidak sedang kuapelin. Begitu kan ?"

Restu mengangguk dan tersenyum karena aku mulai paham tentang kegalauannya. Kubelai lembut rambutnya lalu kupegang lengan kirinya. Aku sendiri sebetulnya bimbang bagaimana harus bersikap karena toh sebentar lagi aku harus tegas mengakhiri hubungan kami.

"Ikrarku waktu dulu itu sekarang kupikir kayak kelakuan anak SMA aja Res, waktu itu kita sedang saling tergila-gila satu sama lain, lama mengalami kekosongan dan tiba-tiba saling mengisi. Setelah sekian lama kita berhubungan, mestinya kita sudah mengalami banyak proses pendewasaan berpikir. Betul nggak ?"

Restu mengangguk lagi, dia sabar mendengar kalau aku sudah serius bicara sok kebapakan begini. Entah sabar entah memang inilah bagian diriku yang paling dia suka dari sejak awal, bahkan sebelum kami berpacaran.

"Terus sekian lama ini kamu sudah mengenalku, mosok kamu masih belum bisa mbedain mana aku, mana mantan pacarmu yang arogan dan possesif itu ?"

Restu makin melebarkan senyumannya, tapi kini tak berani  kutatap senyum itu berlama-lama, sejak kemarin bahkan. Mengkonsumsi candu senyumnya yang manis berhias deretan gigi yang rapi itu meski aku kurangi.

"Jadi, boleh kan aku menemuinya dan berkenalan ?"

"Iya tapi...."

"Tapi jangan berantem gitu ? Alasannya buat berantem apa Res...? Apa salahnya dia ? Aku nggak ngerasa dia ganggu kita dari tadi kok. Dia bisa aja berdehem atau bikin gaduh apa kek kalau memang berniat ngganggu," jelasku panjang lebar.

"Kamu gak curiga dengan suara helem nggelinding sama sandal diseret tadi Mas?" tanya Restu mencoba menguji pendirianku.

"Kesannya sih nggak sengaja kalau menurutku".

"Tapi kan akhirnya obrolan kita terputus, mengganggu juga kan berarti ?"

"Ah, sudahlah ! Kalau menduga-duga terus kapan bisa narik kesimpulan yang tepat Res ? Biar kutemui saja", kataku, kuikuti dengan melepas pegangan tanganku dan memutar badan lalu berdiri.

"Mas...!" seru Restu pelan sambil memegang tanganku bermaksud menahan.

"Aku percaya kamu nggak marah, tapi aku memang nggak suka sama dia...", lanjutnya.

"Maksudmu...? Bukannya semua fans yang pernah kamu ceritakan padaku itu nggak kamu suka juga ? Tapi kayaknya kamu nggak setega ini deh memperlakukan mereka....!?"

"Yang ini kebangetan Mas, bukan cuma nggak suka, tapi benci !"

"Jangan berlebihan..., nggak baik ! Masih inget kan pepatah Jawa : 'gething kuwi nyandhing'(benci yang keterlaluan itu bisa membuat kita justru semakin dekat dengan yang dibenci) ?"

"Iya sih..."

"Ya udah, lepasin dong...!"

Aku melangkah mendekat ke pintu tapi tak segera keluar, melainkan membuka gerendel yang menahan empat segmen pintu di bagian atas dan bawah, lalu kubuka lebar-lebar ke empat segmen pintu itu. Begitu pintu terbuka penuh, tampaknya laki-laki yang sekilas kulihat masih duduk di depan pintu kini sudah berdiri penuh pula.

Rupanya lelaki fans Restu ini bukan wajah baru lagi buatku, sering aku melihatnya saat berpapasan di jalanan kampus. Namanyapun sudah kukenal, dialah yang kukhawatirkan saat dulu menyepakati ide Restu yang dia namakan "puasa asmara" itu. Mahasiswa yang sekampus dengan Restu tapi beda jurusan ini pula yang kutitipkan ke Edi  agar diawasi.

"Eri kan ?!" sapaku sambil menunjuk dadanya.

"Eh, iya...", jawabnya terkejut, kami belum pernah berkenalan sebelumnya.

Kuulurkan jabat tanganku dan langsung disambutnya dengan sopan. Posisi kami kini sejajar di luar ruangan. Sekali-kalinya bertemu, kesan yang kutangkap dia ini lumayan sopan. Senyum dan gerak setengah membungkukkan badannya bahkan sudah seperti orang Jawa, padahal kabarnya dia asli dari Sumatra bagian utara, beda sekali dengan gaya-gaya Yuna ataupun Ano.

"Kenapa nggak masuk aja dari tadi Er...?" tanyaku berbasa-basi akhirnya, batal beraksyen tegas.

"Hehe...", jawabannya hanya tawa ringan yang sopan.

"Silahkan masuk !" kataku mempersilahkan, lalu kualihkan pandangan ke arah Restu yang masih duduk di dalam.

Bangkit berdiri Restu akhirnya melihatku melotot padanya, tapi tampak canggung. Kualihkan lagi pandanganku ke arah jam dinding bermaksud memberi kode ke Restu. Tanggap dia, ditolehkan kepalanya dan ikutan melihat jam dinding.

"Kamu selesaikan aja dulu urusannya...", kata Eri.

"Hahaha..., kalau kamu bilang urusan, aku cuman minjem ini lho !" jelasku.

"Sudah ?"

"Ya kalau urusan sudah dari tadi selesainya. Kamu urusannya ngembaliin buku udah juga kan tadi ?" tanyaku kali ini tetap berbasa-basi dengan senyuman tapi tatapan mataku kupertegas, kayak bos mafia kalau lagi menggertak di film-film.

"Hehe...", jawab Eri lagi-lagi dengan tawa ringan dan gestur sopan.

Coba, tingkahnya yang begitu sopan itu  mana mungkin bisa memancing kemarahanku ? Bahkan andai dia mahasiswa baru sekalipun. Akhirnya langkah tegas kuambil, berpamitan dengan Restu dan memberinya kesempatan bertamu yang tinggal setengah jam. Tapi diam-diam aku salut dengannya, hampir dua jam total waktunya bersabar menunggu jika kuhitung-hitung.

Di kemudian hari, dialah orang yang kumaksudkan di Part 1, suami resminya Restu. Dan pertanyaan Restu soal takdir tadi, belakangan hari baru kusadari kalau mengarahnya ke hubungan mereka berdua, setelah kudapatkan kabar menikahnya dari seorang kawan baik yang bekerja di Semarang.

kaskus-image
Continue to Part 29
Diubah oleh wowonwae 06-05-2019 11:58
pulaukapok
pulaukapok memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.