- Beranda
- Stories from the Heart
BUNGKAM
...
TS
nanitriani
BUNGKAM

Sekarang aku memahami arti kehidupan. Aku pernah merasakan kehancuran yang tiada hentinya, diterpa angin kehidupan yang sangat kencang. Aku seperti daun kering yang terbang jauh tanpa arah, lalu jatuh di suatu tempat dan terinjak banyak orang hingga menjadi kepingan bahkan serpihan. Pernah pula aku merasakan jatuh cinta, sangat jatuh. Namun ketika aku jatuh, maka aku harus bangkit kembali dan melanjutkan berjalan bahkan berlari. Hidupku, keluarga kecilku, sang putri kecilku, dan dia. Selalu ada di hatiku.
Aku masih ingat kejadian berharga dalam hidupku, beberapa cerita masa lalu yang mebuatku tersenyum bahkan menangis. Masih jelas teringat, sangat jelas.
***
Angin meniup lembut tubuhku yang sedari tadi duduk termenung di pinggir danau, cahaya jingga sang senja menembus beningnya. Butiran air mata tak terasa jatuh dari mataku yang semakin sembab. Aku termenung di bangku taman, di bawah pohon yang daunnya berguguran tertiup angin, beberapa terbang lalu jatuh ke danau, dan beberapa menerpa tubuhku. Air mataku memang tak seindah air danau yang selalu bersedia tertembus cahaya jingga sang senja, juga tak seindah daun yang berguguran tertiup angin. Meskipun begitu, aku tetap berani menjatuhkannya hingga berantakan.
Di dunia ini aku sudah tidak mempunyai siapa pun. Aku kesepian, aku sadar, dan aku tahu dengan pasti bahwa aku sudah kehilangan semuanya, tak terkecuali orang tua. Namun masih ada saja kata ‘beruntung’ dalam hidupku. Ya, keluarga adik perempuan ibuku masih peduli terhadapku dan berbaik hati menyekolahkanku sampai aku lulus. Dan sekarang, aku memutuskan untuk tinggal sendiri di rumahku yang dulu, yaitu tempat aku dan kedua orang tuaku tinggal bersama. Aku tidak ingin lagi menjadi beban keluarga bibiku, meski mereka dengan lapang dada menerimaku.
Setelah memutuskan untuk tinggal sendiri, kini aku bekerja sebagai guru honorer sekolah dasar. Rumahku tidak terlalu jauh dari sekolah tempat aku mengajar, jadi aku hanya berjalan kaki untuk menempuhnya.
Hampir setiap sore aku selalu pergi ke taman yang sepi di pinggir danau. Aku duduk di atas hamparan rumput hijau sambil memerhatikan air danau yang begitu indah. Danau ini seolah menyimpan beribu cerita hidupku yang selalu aku tumpahkan melalui biasan jingga sang senja yang tenang.
Ah ya, namaku Raina, ibuku bilang namaku berasal dari kata rain yang artinya hujan. Ibuku suka sekali dengan hujan, dia bilang hujan itu ribuan nikmat yang Tuhan turunkan ke bumi. Namun entah mengapa, aku lebih menyukai matahari, sang senja atau sang fajar, keduanya aku suka. Bagiku, matahari tak kenal lelah menyinari bumi meski bumi tak membalas menyinarinya, namun dia tetap setia memancarkan cahaya hangat kepada bumi. Meskipun matahari akan menghilang ketika malam datang, namun dia tidak pernah pamit kepada bumi karena dia tahu keesokan harinya dia akan kembali lagi untuk bersinar. Dan meskipun dia menghilang ketika malam, dia tetap menyinari bumi melalui sang bulan. Bukankah begitu?
Kini hari mulai gelap, angin mulai bertiup kencang dan dingin. Matahari sudah hampir menghilang tertelan malam, warna danau yang sebelumnya jingga kini memudar, warnanya kini hampir biru gelap. Aku beranjak dari tempat dudukku, lalu berbalik badan. Dan tiba-tiba… ya… aku terkejut setengah mati, suara petikan gitar memecahkan gendang telingaku. Ketenangan buyar seketika, seorang laki-laki dengan kemeja warna hitam dan celana jeans bernyanyi tak karuan. Ketika aku hampir meninggalkannya tak peduli, seketika dia mengatakan sebuah kalimat yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya, dengan tatapan lembut sembari menggenggam tanganku dia berkata, “Maukah kau menikah denganku?” Sontak aku melepaskan genggamannya dan tanpa sepatah kata pun aku berlalu meninggalkannya yang terdiam menunggu jawabanku.
Aku berlari meninggalkan taman itu, Laki-laki aneh, siapa dia? Berani-beraninya dia bertanya hal itu. Aku tidak pernah bertemu dengannya bahkan dalam mimpiku.
Sumber Gambar
Quote:
Diubah oleh nanitriani 28-06-2019 10:13
sistany dan 21 lainnya memberi reputasi
22
8.4K
60
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nanitriani
#32
PART 10
Dua tahun berlalu, aku sudah mulai terbiasa dengan kehidupan memilukan ini. Aku sudah jarang menangis ketika kondisi Ardi memburuk bahkan sampai tak sadarkan diri. Pada saat itu aku selalu memeluk tubuh kurusnya. Ya, benar, aku tak peduli tentang larangan untuk tidak mendekatinya.
Kehidupan ekonomi kami sangat menyedihkan. Kami terpaksa menjual barang-barang yang ada di rumah, bahkan mobil kami. Kondisi Ardi juga semakin memburuk, dia benar-benar tidak mempunyai selera makan bahkan dia sering memuntahkan kembali makanan yang dengan susah payah ditelannya. Matanya semakin hari semakin menguning, selain itu, dia sering lupa akan hal-hal kecil, terkadang dia juga berbicara melantur, kemudian jatuh tak sadarkan diri.
Hari ini hujan terus mengguyur kota kecil ini, kami hanya berdiam di rumah sejak pagi, berlindung dari udara yang dingin. Aku terduduk di atas kursi ruang tamu menatap ke luar jendela, menyaksikan rintikan hujan dengan gemercik riang. Aku sangat merindukan Ardi meski pada nyatanya dia duduk di bawah atap yang sama denganku. Namun kami memilih untuk saling menutup mulut seolah mengutuk hujan yang sedari tadi tak mereda. Kulihat Ardi yang sedang menatap Sunny dengan tatapan iba. Sedangkan Sunny sedang asyik bermain dengan boneka yang terbuat dari bantal yang tak terpakai. Aku hanya menempelkan dua kancing sebagai mata pada bantal itu. Entah mengapa Sunny sangat suka memainkannya, bahkan dia selalu mengajak bicara bonekanya itu.
Beberapa menit berlalu, aku masih betah menatap sang hujan yang tiada lelah membasahi bumi. Namun, suara Sunny tiba-tiba memecah kesunyian. “Ibu, apakah benar dia ayahku?” sambil menunjuk ayahnya yang duduk santai menyaksikan anaknya bermain.
Aku terkejut mendengar pertanyaan kejam putri kecilku. “Tentu, kenapa kau bertanya seperti itu?” Tanyaku heran.
Ardi hanya terdiam masih tetap menatap anaknya, namun kali ini dengan tatapan terkejut.
Sunny menyeloteh polos khas anak lima tahun, “Ibu, aku sering melihat anak-anak yang digendong ayahnya, namun mengapa aku tidak pernah digendong Ayah?”
Aku tersentak, tengorokanku rasanya tercekat. Pertanyaan polos yang sangat menyakitkan akhirnya keluar dari mulut kecil anakku. “Sunny, lihatlah tubuhmu. Ayahmu tidak sanggup mengangkat badanmu yang berat itu.” Ucapku berbohong, berharap Sunny tidak bertanya lagi.
Namun rasa penasarannya terus bertamabah, “Tidak kuat? Tapi kenapa Ibu kuat menggendongku?”
Kali ini Ardi mencoba menjawab pertanyaan putri kecilnya, “Ayah tidak bisa menggendongmu, namun Ayah yang mencari uang untuk makan kalian sehingga kau sebesar ini dan menjadikan ibumu sangat kuat untuk menggendongmu.” Ardi tersenyum pedih lalu beranjak meninggalkan ruang tamu dan memasuki kamarnya.
Aku tersenyum, pedih menyelimuti palung hati ketika mendengar perkataan Ardi. Aku menghampiri Sunny yang sedang menatap ayahnya yang pergi berlalu menjauhinya. “Sunny, kau tidak boleh berbicara seperti itu lagi. Ayahmu lelah bekerja untuk membuat kita tetap sehat dan demi membuatmu tumbuh besar untuk menjadi gadis yang manis dan pintar.” Aku memeluk Sunny, berusaha meyakinkan bahwa ayahnya sangat menyayanginya. Lalu aku beranjak untuk masuk ke kamar Ardi, melihat kondisinya yang selalu membuatku khawatir.
Aku membuka pintu kamarnya, kudapati dia sedang terduduk di atas tempat tidurnya menatap ke luar jendela.
“Aku tidak berguna, Raina. Aku bukanlah seorang ayah yang baik.” Ucap Ardi. Untuk pertama kalinya kulihat dia menangis, lalu menatap nanar ke arahku.
Aku duduk di sampingnya, “Ardi, aku bangga kepadamu. Kau masih menghidupi kami dengan kondisimu yang sekarang. Ardi, aku mohon, kali ini kau harus mau melakukan pengobatan. Kau harus menjadi kuat untuk tetap menjaga kami hingga anak kita tumbuh dewasa.” Ucapku lirih.
“Tidak Raina, jika uangnya aku pakai maka kalian tidak bisa makan. Untuk apa uang kita kau gunakan untuk mengobatiku yang jelas-jelas sudah tidak ada harapan hidup lagi? Lebih baik kau gunakan untuk Sunny yang masih mempunyai masa depan dan harapan yang cerah.”
“Kau tidak boleh berbicara seperti itu Ardi, aku ingin kau sehat.” Ucapku menahan tangis.
“Dengarkan aku Raina, dari awal aku sudah memilihmu untuk menjadi istriku. Betapa susahnya mendapatkan hatimu yang telah hancur itu karena orang tuamu yang meninggal gara-gara aku. Dan juga, aku sudah berjanji untuk menata lagi hatimu yang sudah terlanjur hancur itu. Sekarang kau hanya perlu diam, biarkan aku melakukan tanggung jawab atas ucapanku kepadamu. Kau mengerti?” Jelas Ardi kepadaku.
“Tidak, aku ingin kau sehat Ardi, aku mohon.” Aku kalah, akhirnya air mataku keluar juga.
“Tenanglah Raina, jangan membuatku merasa bersalah, kau jangan menangis lagi. Tataplah aku Raina, aku masih ada bukan? Aku akan tetap berusaha menjaga senyumanmu agar tidak memudar.” Ardi tersenyum, lalu beranjak membawa payung dan pergi meninggalkanku.
“Kau mau kemana, Ardi?” Tanyaku cemas.
“Tunggulah, aku ada keperluan sebentar.” Ucapnya sambil keluar meninggalkan kamar.Lalu aku memutuskan untuk keluar kamar juga dan menemani Sunny bermain.
Sekitar satu jam kemudian, hujan telah reda. Sinar matahari mulai menerobos awan hitam. Akhirnya hari menjadi cerah, lebih cerah dari kemarin. Lalu tak lama kemudian Ardi masuk dengan membawa boneka beruang berwarna biru muda, namun warnanya lusuh tidak seindah warna boneka baru pada umumnya. Kali ini dia menggunakan masker untuk menutupi mulut dan hidungnya. Tatapan matanya sangat layu, seakan tubuhnya akan ambruk. Tapi tidak, dia semangat menghampiri Sunny yang kali ini sedang menggambar rumah yang tak jelas bentuknya di atas kertas kosong yang aku berikan.
“Sunny, lihatlah Ayah membawakan boneka untukmu.” Dengan senyum lebar yang terbenam di balik masker yang dia gunakan.
Sunny hanya menatap datar boneka biru lusuh itu.
“Ambillah, kenapa kau hanya menatapnya? Kau tidak suka?” Terlihat tatapan kecewa menyelimuti wajah Ardi.
“Kenapa bonekanya tidak bersih, Ayah? Apakah tanganku tidak akan kotor menyentuh boneka itu?” Ucap Sunny dengan mulut polosnya.
Aku hanya menutup mulut menahan tangis yang tak kuat lagi aku bendung.
“Sunny, boneka ini meskipun lusuh tapi dia bisa menggantikan Ayah. Kau bisa mengobrol dengannya, dia akan selalu menemanimu di saat kau merasa kesepian. Mungkin suatu saat kau tidak bisa melihat Ayah, namun percayalah ayah tidak pergi, ayah selalu tinggal di hatimu meski kau hanya bisa melihat boneka ini. Lihatlah wajah boneka ini Sunny, bukankah di tersenyum kepadamu? Lihatlah, boneka ini menyukaimu Sunny.” Hibur Ardi kepada putrinya.
Beberapa detik Sunny terdiam menatap mata ayahnya, akhirnya tersenyum lebar dan bangkit memeluk ayahnya, “Ayah benar-benar ayahku,” ucap Sunny sambil tertawa senang tanpa mengetahui apa yang terjadi pada ayahnya.
“Ayah memang ayahmu, kau mau punya Ayah siapa lagi?” Jawab Ardi dengan tawa yang dipaksakan.
Sunny semakin erat memeluk ayahnya dan tertawa kegirangan. Kulihat Ardi menangis tanpa suara. Ardi tidak membalas pelukan dari Sunny, Ardi menatapku lemah seolah mengisyaratkan untuk melepaskan pelukan dari Sunny.
Akhirnya aku menghampirinya dan melepaskan Sunny dari tubuh kurusnya. Lalu Ardi beranjak dan memasuki kamar. Aku mengikuti langkahnya dan ikut masuk ke dalam kamar, meninggalkan Sunny yang kini tengah asyik mengajak bicara boneka dari ayahnya.
“Kau dapat dari mana boneka itu?” Tanyaku penasaran.
“Aku membelinya. Aku tahu bonekanya sudah lusuh, tapi aku hanya sanggup membeli yang seperti itu. Harga boneka yang masih bagus cukup mahal, lalu si pedagang memberiku boneka yang sudah tidak laku, harganya jauh lebih murah. Maafkan aku Raina.” Ardi menunduk.
Hatiku seolah menganga dalam sekejap, penjelasan yang dia ucapkan cukup tajam untuk sekadar melukai hatiku yang sudah carut-marut tak memiliki rupa, “Aku menyayangimu Ardi, tetaplah berdiri kokoh untuk menjagaku dan anak kita. Aku mohon,” ucapku lirih.
“Selama aku bisa melihat kalian, mana mungkin aku tega menelantarkan kalian. Namun jika aku sudah tidak ada, kau boleh mencari suami baru untuk menjagamu dan Sunny. Tetapi ingat, jangan sampai anakku melupakan sosok ayah kandungnya, aku mohon selalu ceritakan semua tentangku menjelang tidurnya agar aku hadir di dalam mimpi anakku”. Jelas Ardi memaksaku untuk mengerti keadaannya.
Aku tersedu menangis menatap nanar matanya yang menguning.
“Dan jangan memelukku Raina.” Ardi menjauh dariku.
“Siapa yang akan memelukmu? Kau sangat percaya diri.” Ucapku sambil tertawa disela-sela isak tangisku.
Ardi ikut tertawa bersamaku, dua pasang mata saling menatap satu sama lain, saling melempar tawa akan hal yang tidak penting untuk ditertawakan.
Kehidupan ekonomi kami sangat menyedihkan. Kami terpaksa menjual barang-barang yang ada di rumah, bahkan mobil kami. Kondisi Ardi juga semakin memburuk, dia benar-benar tidak mempunyai selera makan bahkan dia sering memuntahkan kembali makanan yang dengan susah payah ditelannya. Matanya semakin hari semakin menguning, selain itu, dia sering lupa akan hal-hal kecil, terkadang dia juga berbicara melantur, kemudian jatuh tak sadarkan diri.
Hari ini hujan terus mengguyur kota kecil ini, kami hanya berdiam di rumah sejak pagi, berlindung dari udara yang dingin. Aku terduduk di atas kursi ruang tamu menatap ke luar jendela, menyaksikan rintikan hujan dengan gemercik riang. Aku sangat merindukan Ardi meski pada nyatanya dia duduk di bawah atap yang sama denganku. Namun kami memilih untuk saling menutup mulut seolah mengutuk hujan yang sedari tadi tak mereda. Kulihat Ardi yang sedang menatap Sunny dengan tatapan iba. Sedangkan Sunny sedang asyik bermain dengan boneka yang terbuat dari bantal yang tak terpakai. Aku hanya menempelkan dua kancing sebagai mata pada bantal itu. Entah mengapa Sunny sangat suka memainkannya, bahkan dia selalu mengajak bicara bonekanya itu.
Beberapa menit berlalu, aku masih betah menatap sang hujan yang tiada lelah membasahi bumi. Namun, suara Sunny tiba-tiba memecah kesunyian. “Ibu, apakah benar dia ayahku?” sambil menunjuk ayahnya yang duduk santai menyaksikan anaknya bermain.
Aku terkejut mendengar pertanyaan kejam putri kecilku. “Tentu, kenapa kau bertanya seperti itu?” Tanyaku heran.
Ardi hanya terdiam masih tetap menatap anaknya, namun kali ini dengan tatapan terkejut.
Sunny menyeloteh polos khas anak lima tahun, “Ibu, aku sering melihat anak-anak yang digendong ayahnya, namun mengapa aku tidak pernah digendong Ayah?”
Aku tersentak, tengorokanku rasanya tercekat. Pertanyaan polos yang sangat menyakitkan akhirnya keluar dari mulut kecil anakku. “Sunny, lihatlah tubuhmu. Ayahmu tidak sanggup mengangkat badanmu yang berat itu.” Ucapku berbohong, berharap Sunny tidak bertanya lagi.
Namun rasa penasarannya terus bertamabah, “Tidak kuat? Tapi kenapa Ibu kuat menggendongku?”
Kali ini Ardi mencoba menjawab pertanyaan putri kecilnya, “Ayah tidak bisa menggendongmu, namun Ayah yang mencari uang untuk makan kalian sehingga kau sebesar ini dan menjadikan ibumu sangat kuat untuk menggendongmu.” Ardi tersenyum pedih lalu beranjak meninggalkan ruang tamu dan memasuki kamarnya.
Aku tersenyum, pedih menyelimuti palung hati ketika mendengar perkataan Ardi. Aku menghampiri Sunny yang sedang menatap ayahnya yang pergi berlalu menjauhinya. “Sunny, kau tidak boleh berbicara seperti itu lagi. Ayahmu lelah bekerja untuk membuat kita tetap sehat dan demi membuatmu tumbuh besar untuk menjadi gadis yang manis dan pintar.” Aku memeluk Sunny, berusaha meyakinkan bahwa ayahnya sangat menyayanginya. Lalu aku beranjak untuk masuk ke kamar Ardi, melihat kondisinya yang selalu membuatku khawatir.
Aku membuka pintu kamarnya, kudapati dia sedang terduduk di atas tempat tidurnya menatap ke luar jendela.
“Aku tidak berguna, Raina. Aku bukanlah seorang ayah yang baik.” Ucap Ardi. Untuk pertama kalinya kulihat dia menangis, lalu menatap nanar ke arahku.
Aku duduk di sampingnya, “Ardi, aku bangga kepadamu. Kau masih menghidupi kami dengan kondisimu yang sekarang. Ardi, aku mohon, kali ini kau harus mau melakukan pengobatan. Kau harus menjadi kuat untuk tetap menjaga kami hingga anak kita tumbuh dewasa.” Ucapku lirih.
“Tidak Raina, jika uangnya aku pakai maka kalian tidak bisa makan. Untuk apa uang kita kau gunakan untuk mengobatiku yang jelas-jelas sudah tidak ada harapan hidup lagi? Lebih baik kau gunakan untuk Sunny yang masih mempunyai masa depan dan harapan yang cerah.”
“Kau tidak boleh berbicara seperti itu Ardi, aku ingin kau sehat.” Ucapku menahan tangis.
“Dengarkan aku Raina, dari awal aku sudah memilihmu untuk menjadi istriku. Betapa susahnya mendapatkan hatimu yang telah hancur itu karena orang tuamu yang meninggal gara-gara aku. Dan juga, aku sudah berjanji untuk menata lagi hatimu yang sudah terlanjur hancur itu. Sekarang kau hanya perlu diam, biarkan aku melakukan tanggung jawab atas ucapanku kepadamu. Kau mengerti?” Jelas Ardi kepadaku.
“Tidak, aku ingin kau sehat Ardi, aku mohon.” Aku kalah, akhirnya air mataku keluar juga.
“Tenanglah Raina, jangan membuatku merasa bersalah, kau jangan menangis lagi. Tataplah aku Raina, aku masih ada bukan? Aku akan tetap berusaha menjaga senyumanmu agar tidak memudar.” Ardi tersenyum, lalu beranjak membawa payung dan pergi meninggalkanku.
“Kau mau kemana, Ardi?” Tanyaku cemas.
“Tunggulah, aku ada keperluan sebentar.” Ucapnya sambil keluar meninggalkan kamar.Lalu aku memutuskan untuk keluar kamar juga dan menemani Sunny bermain.
Sekitar satu jam kemudian, hujan telah reda. Sinar matahari mulai menerobos awan hitam. Akhirnya hari menjadi cerah, lebih cerah dari kemarin. Lalu tak lama kemudian Ardi masuk dengan membawa boneka beruang berwarna biru muda, namun warnanya lusuh tidak seindah warna boneka baru pada umumnya. Kali ini dia menggunakan masker untuk menutupi mulut dan hidungnya. Tatapan matanya sangat layu, seakan tubuhnya akan ambruk. Tapi tidak, dia semangat menghampiri Sunny yang kali ini sedang menggambar rumah yang tak jelas bentuknya di atas kertas kosong yang aku berikan.
“Sunny, lihatlah Ayah membawakan boneka untukmu.” Dengan senyum lebar yang terbenam di balik masker yang dia gunakan.
Sunny hanya menatap datar boneka biru lusuh itu.
“Ambillah, kenapa kau hanya menatapnya? Kau tidak suka?” Terlihat tatapan kecewa menyelimuti wajah Ardi.
“Kenapa bonekanya tidak bersih, Ayah? Apakah tanganku tidak akan kotor menyentuh boneka itu?” Ucap Sunny dengan mulut polosnya.
Aku hanya menutup mulut menahan tangis yang tak kuat lagi aku bendung.
“Sunny, boneka ini meskipun lusuh tapi dia bisa menggantikan Ayah. Kau bisa mengobrol dengannya, dia akan selalu menemanimu di saat kau merasa kesepian. Mungkin suatu saat kau tidak bisa melihat Ayah, namun percayalah ayah tidak pergi, ayah selalu tinggal di hatimu meski kau hanya bisa melihat boneka ini. Lihatlah wajah boneka ini Sunny, bukankah di tersenyum kepadamu? Lihatlah, boneka ini menyukaimu Sunny.” Hibur Ardi kepada putrinya.
Beberapa detik Sunny terdiam menatap mata ayahnya, akhirnya tersenyum lebar dan bangkit memeluk ayahnya, “Ayah benar-benar ayahku,” ucap Sunny sambil tertawa senang tanpa mengetahui apa yang terjadi pada ayahnya.
“Ayah memang ayahmu, kau mau punya Ayah siapa lagi?” Jawab Ardi dengan tawa yang dipaksakan.
Sunny semakin erat memeluk ayahnya dan tertawa kegirangan. Kulihat Ardi menangis tanpa suara. Ardi tidak membalas pelukan dari Sunny, Ardi menatapku lemah seolah mengisyaratkan untuk melepaskan pelukan dari Sunny.
Akhirnya aku menghampirinya dan melepaskan Sunny dari tubuh kurusnya. Lalu Ardi beranjak dan memasuki kamar. Aku mengikuti langkahnya dan ikut masuk ke dalam kamar, meninggalkan Sunny yang kini tengah asyik mengajak bicara boneka dari ayahnya.
“Kau dapat dari mana boneka itu?” Tanyaku penasaran.
“Aku membelinya. Aku tahu bonekanya sudah lusuh, tapi aku hanya sanggup membeli yang seperti itu. Harga boneka yang masih bagus cukup mahal, lalu si pedagang memberiku boneka yang sudah tidak laku, harganya jauh lebih murah. Maafkan aku Raina.” Ardi menunduk.
Hatiku seolah menganga dalam sekejap, penjelasan yang dia ucapkan cukup tajam untuk sekadar melukai hatiku yang sudah carut-marut tak memiliki rupa, “Aku menyayangimu Ardi, tetaplah berdiri kokoh untuk menjagaku dan anak kita. Aku mohon,” ucapku lirih.
“Selama aku bisa melihat kalian, mana mungkin aku tega menelantarkan kalian. Namun jika aku sudah tidak ada, kau boleh mencari suami baru untuk menjagamu dan Sunny. Tetapi ingat, jangan sampai anakku melupakan sosok ayah kandungnya, aku mohon selalu ceritakan semua tentangku menjelang tidurnya agar aku hadir di dalam mimpi anakku”. Jelas Ardi memaksaku untuk mengerti keadaannya.
Aku tersedu menangis menatap nanar matanya yang menguning.
“Dan jangan memelukku Raina.” Ardi menjauh dariku.
“Siapa yang akan memelukmu? Kau sangat percaya diri.” Ucapku sambil tertawa disela-sela isak tangisku.
Ardi ikut tertawa bersamaku, dua pasang mata saling menatap satu sama lain, saling melempar tawa akan hal yang tidak penting untuk ditertawakan.
BERSAMBUNG
0