- Beranda
- Stories from the Heart
Cinta Tak Bisa Disalahkan (Part 2)
...
TS
wowonwae
Cinta Tak Bisa Disalahkan (Part 2)

Sebelumnya : Part 1
Part 2

CUITAN DARI ATAS BALKON
Aku memang biasa dipanggil Aik, nama panggilan semenjak kecil yang diberikan orang tuaku. Sebetulnya itu diambil dari nama belakangku, Aji. Buat mudahnya bagi lidah jawa, huruf "j" dihilangkan dan diakhiri konsonan "k", jadilah Aik. Demikian aku berkenalan sama semua orang di sini, nggak dosen, senior, pegawai kampus, tukang parkir, junior sampai orang-orang kampung mengenalku dengan nama Aik.
Yang tampak saat kutolehkan wajahku adalah sebuah rumah besar yang terletak berseberangan dengan rumah kost yang baru akan kutempati. Tertutup pintunya, semacam pintu garasi lebar bersegmen-segmen terbuat dari bahan kayu kayak di senetron-sinetron atau FTV. Tidak tampak seorangpun di depan pintu itu. Kudongakkan kepalaku segera mengikuti sumber suara, ternyata ada dua gadis yang senyum-senyum memandangku di teras balkon lantai 2.
Ya, rumah besar itu memang susun bentuknya, hanya 2 lantai. Lantai pertama yang pintunya tertutup itu garasi buat nyimpen motor anak-anak kost, lantai kedua adalah kamar kost dengan teras balkon los, tak bersekat, memanjang di depan kamar-kamar kos. Empat orang senior cewek, setingkat di atasku memang tinggal di situ. Dan salah satunya itulah yang memanggilku, namanya Ica. Rupanya sejak tadi dia mengamati proses pemindahan barang-barangku dari pick-up ke kamar kost, bersama kawan kostnya.
"Hai !", jawabku setengah berteriak. "Ngapain Ca pagi-pagi nongkrong aja di atas? Nggak pada ngikut ngandong?" tanyaku kemudian. Ica memang setingkat di atasku, tapi tahun kelahiran kita sama, makanya aku takpernah memanggilnya Mbak atau Kak sebagaimana kawan seangkatannya yang lain.
"Lagi males, begadang semalem", jawabnya dengan seulas senyum. Kawan di sebelahnya juga ikut senyum-senyum, malah tampak serius mengamati wajahku meski terkesan jaga image. Senyumnya manis juga dengan deretan gigi yang rapi. Hidungnya mancung lebih mancung dari hidungku, sedang matanya lebar - jelas lebih lebar dari mataku yang sipit ini. Mata kami sejenak beradu, aku menangkap kesan seolah ingin mengajakku berkenalan.
Kualihkan lagi pandanganku ke Ica yang lebih dulu kukenal. Baik anaknya, tergolong pinter dan rajin di angkatannya, aku sering pinjam catatannya atau minta keterangan untuk pelajaran yang aku kurang mengerti. Sebagai anak pintar, Ica tidak egois seperti kebanyakan, dia tidak pernah menolak berbagi catatan dan pemahamannya pada siapa saja.
"Udah sarapan Ca? Yuk!" ajakku.
"Udah dong, pagi tadi kami masak berdua", kata Ica sambil melirik kawan di sebelahnya.
"Widiiih, masak apa? Boleh dong ngicipin...", sahutku berbasa-basi, masih dengan mendongakkan kepala.
Disenggollah dengan sikut kawan di sebelahnya, dua kali. Merah padam mukanya, tawanya lepas sambil memegangi lengan Ica dan mengguncangkannya. Kepalanya digeleng-gelengkan menatap Ica, bahasa isyarat agar masakannya jangan dibagikan. Ica juga tergelak tawanya melihat tingkah itu, dengan sigap lalu dialihkannya pandangan kembali ke bawah - ke arahku.
"Restu malu Ik, kami masih belajar memasaknya, masih agak hambar rasanya. Ini nih chefnya...," kata Ica menunjuk kawan di sebelahnya sambil menahan tawa geli. Sedang kawannya itu mengangguk-angguk, isyarat mengiyakan jawaban Ica dengan ekspresi malu.
"Yo wis ( ya sudah ). Aku pegel ndangak ( aku capek mendongak) terus. Kalau mau lanjut ngobrol sini turun ke bawah", celetukku kemudian.
"Udah kamu sarapan aja dulu !", jawabnya.
"Oke !", jawabku langsung berbalik badan menghampiri motor di depan kamar kostku.
Lupa mengunci pintu kamar, turunlah lagi aku dari motor yang terlanjur sudah kustarter. Setelah yakin aman terkunci, kembali kunaiki motor dan kulajukan mengikuti naluri perut yang sudah keroncongan sejak tadi.
Sepanjang jalan, ingatanku pada percakapan tadi masih mengiang, terutama kesan pada ekspresi spontan kawan kost Ica saat aku berbasa-basi pengin mencicipi masakan mereka.

Continue to part 3 ♡ part4 ♡ part5 ♡ part6 ♡ part7 ♡ part8 ♡ part9 ♡ part10 ♡ Interlog ♡ Part11 ♡ Part12 ♡ Part13 ♡ Part14 ♡ Part15 ♡ Part16 ♡ Part17 ♡ Part18 ♡ Part19 ♡ Part20 ♡ Part21 ♡ Part22 ♡ Part23 ♡ Part24 ♡ Part25 ♡ Selembar Testimoni ♡ Part26 ♡ Part27 ♡ Part28 ♡ Part29 ♡ Part30
Diubah oleh wowonwae 08-05-2019 13:00
yambu668 dan 14 lainnya memberi reputasi
13
10.5K
63
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•1Anggota
Tampilkan semua post
TS
wowonwae
#32
Part 22

Tisna si Gembala Sapi (a Requesting)
Namanya Tisna Arvian, biasa kami memanggilnya Tisna atau 'Ntis. Dia adalah kawan cewek seangkatan - sejurusan paling tajir yang friendly dan solider. Maka jangan heran kalau angkatan kami paling sering touring ke luar kota, soalnya 'Ntis tak akan segan-segan nombokin iuran kawan-kawan kalau hasilnya yang didapet pas-pas an. Lebih-lebih bagi kami yang pecinta Pe-A, penahkluk puncak gunung, 'Ntis ini ibarat Dewi utama dalam kuil pemujaan kaum pagan dengan sesaji khusus. Berapapun kekurangan biaya yang tertera pada proposal, dia siap nambelin, dengan catatan, semua hasil dokumentasi orisinal harus diserahkan ke dia. Jadi 'Ntis ini hobiis fotografi, hasil jepretan yang bagus akan menjadi koleksi pribadinya atau dijualnya, entah ke mana kami tak tau dan tak pernah tanya.
Akhirnya setelah hanya setengah jam waktu jeda kupunya, berakhirlah audiensi jajak pendapat ini. Begitu moderator menutup acara, aku segera bangkit dan menyalami kawan-kawan pengurus HM dan kawan Panitia Suksesi, sekalian berpamitan. Termasuk juga kepada Tisna and the gank, pengacau jadwalku siang ini.
"Kamu mau ngejar setoran ya Ik? Kayak sopir angkot aja !" sindir Tisna usai kusalami dengan tergesa-gesa.
"Yah...mo gimana lagi Nok ? Sebuah konsekuensi...", jawabku. Cuman aku yang manggil dia Tinok, kuciptakan sendiri panggilan khusus buatnya.
"Kamu gitu ya udah tajir...", imbuhku nyinyir.
Tisna tertawa mendengar gerutu balasanku atas sindirannya.
"Iya ma'af, habisnya pada nggak bener gitu bikin rencana acara ! Ya aku nggak bisa diemlah..." katanya masih saja berargumen.
"Okelah, see you ya...!" kataku sambil melambaikan tangan.
"Eh, Ik ! Tunggu !" seru Tisna mencegah kepergianku.
"Kasih aja motormu ke Yuna, biar kamu tak anterin !"
"Weh, lha pulangnya nanti ?"
"Ya nanti suruh njemput Yuna, dia lagi butuh motor tuh kayaknya tadi".
"Terus, emang kekejar waktunya ?"
" Nih, takpinjemin hape, kamu telepon aja operator yang shift pagi ! Bilang nanti nyampenya agak telat, ntar biar tak kasih uang tips orangnya."
"Boleh juga..."
Kuambil hape yang disodorkannya, lalu kutelepon Mbak Dewi, operator shift pagi wartel tempat kami kerja. Kutekankan janji pemberian tips si Tisna dan disambut riang suara Mbak Dewi di hape. Tisna kembali kasak-kusuk dengan para anggota genknya yang masih enggan meninggalkan ruangan. Uma, Septi dan Mitha yang seangkatan, lainnya mahasiswi angkatan satu tingkat di bawah kami.
"Oke Nok, yuk !" kataku sambil menyodorkan hape kembali padanya.
"Ya kunci motor kasih dulu ke Yuna dong Ik, orangnya lagi di lab mbantuin si Ani tuh... ! Aku takmberesin urusan nih ma kawan-kawan bentar, taktunggu di parkiran depan", jawab Tisna kali ini sambil pegang kunci mobil. Hapenya sudah dia masukkan lagi ke tas yang lebih mirip tasnya emak-emak kalau lagi pada belanja ke mall.
Aku tak menjawab, segera berbalik arah menuju pintu keluar ruang dan cepat-cepat melangkah menuju Laboratorium Histologi, dimana Yuna lagi mbantuin Ani. Yang kutahu sih dua minggu lalu Ani bawa sekardus mencit putih, katanya buat uji hipotesa, entah tentang apa aku tak tau dan tak mau tau. Kali ini mungkin mereka lagi pada mbedah tuh mencit. Kasian emang hewan mungil itu, cuma dibeli buat dibunuh, dibedah lalu bangkenya dikasih makan ke ikan lele piaraan Pak Nano Laboran.
"Kamu butuh motor Yun ? Nih bawa aja punyaku !" kataku sesampai di lab dan menjumpai Yuna.
Aku setengah berteriak, terhenti termangu di depan pintu lab gegara Ani kasih isyarat verbodden dengan kedua tangannya begitu melihatku mau masuk. Kulempar kunci motorku segera ke arah Yuna setelah dia mengiyakan pertanyaanku. Yuna terima lemparan kunci motorku dengan sigap.
"Lho kamu belum berangkat Ik ? Nggak telat ?" tanya Ani.
"Aku nebeng si Tinok, tanggung jawab dia, kebanyakan mbacot tadi di forum makan banyak waktu !" seruku sambil melambaikan tangan dan lekas ngeloyor pergi.
"Rasain kamu !", seru Ani dari balik dinding lab sembari tertawa bersama Yuna.
Tak kugubris tawa mereka, setengah berlari kulanjutkan langkahku kembali ke gedung dekanat. Jarak dari gedung laboratorium ke gedung dekanat lumayan jauh sedang waktu jedaku semakin sempit.
Tisna menunggu di dalam mobilnya yang terparkir di depan gedung, model SUV warna merah dengan sticker kaca depan bertuliskan THINKING FAST BUT KEEP CALM. Kubuka pintu depan sebelah kiri lalu ambil duduk di sebelahnya, nafasku terengah-engah. Tisna memperhatikanku sambil tertawa sebelum mulai memutar kunci menghidupkan mesin. Sejurus kamudian kami meluncur menyusuri jalan kampus. Tisna dengan lihainya kendalikan stir mobil, tancap gas dan ambil rute tercepat untuk sampai jalan raya.
Tak sampai 10 menit, kami telah berada di pintu tol. Senyum manis pegawai tol menyambut uluran uang dari Tisna. Segera ditutupnya kaca pintu mobil setelah uangnya diterima, kembali pegang stir dan tancap gas begitu palang pintu tol terbuka.
"Eh Nok, kamu tau nggak, penjaga tol yang shift malem itu nggak pernah pake bh lho...!" kataku.
"O ya ?!" jawab Tisna terbelalak. Ditolehnya aku sebentar lalu kembali sigap memandang ke depan.
"Iya, aku sering lihat".
"Lihat apanya ?"
"Ya bajunya lah, tepat bagian dada. Kelihatan jelas gak pake BH !"
"Ah, masak sih ? Perasaan kalau malem biasanya cowok deh setauku..."
"Lha iya makanya, mana ada cowok pakai BH ?!"
Tisna tampak berpikir sesaat, lalu tawanya lepas tak terkendali.
"Dasar kamu Ik !"
"Eh, aku dong yang mestinya bilang gitu !"
"Kok gitu ?"
"Lha ini, stiker gedhe di depan mata percuma kamu pasang di sini !" kataku sambil menunjuk sticker kaca depan mobilnya.
"Ah, bisa aja kamu ! Masih jengkel sama waktumu yang terpotong ya ?!"
"Enggak sayang..., mosok sih Aik jengkel sama kawan yang baik hati ?" jawabku merayu. Daripada diturunin di tengah tol ? Pikirku.
"Hiiiih....!" kata Tisna nyinyir sebibir-bibirnya.
"Eh iya Ik, kabarnya udah punya pacar ya ?"
"Kenapa nok ? Cemburu ya ?" candaku bikin dia tambah sewot.
"Ih ! Cemburu kok sama kamu !" katanya ketus.
"Lha kamu kan belum punya Nok, bisa aja dong diem-diem naksir aku...", jawabku tambah narsis.
"Emang kalau udah punya mesti disiar-siarin ?!"
"Kenapa sih Nok ? Lelaki macam apa yang kamu cari ?"
"Nggak ada ! Aku gak mau pacaran dulu, mau fokus studi dulu".
"Itulah yang bikin kamu lambat berpikir".
"Gara-gara nggak punya pacar ? Kesimpulan macam apa itu ? Huh !"
"Bukaaan sayaang..., karena terlalu serius. Terlalu studi oriented kamu, kadangkala justru bikin kamu malah jadi bodoh."
"Eh, jangan sembarangan ya ?! Nilaiku bagus-bagus aja..."
Aku tertawa mendengarnya, yang diketawain mulai mengernyitkan dahi.
"Jangan salah paham dulu dong... Kecerdasan itu bukan IQ saja, ada banyak macemnya. Dan kehidupan itu luas sekali, ada begitu banyak variabel keilmuan di jagad raya ini kawan".
Wajah Tisna kembali normal, tampak mulai tersungging senyumnya.
"Gitu ya Ik ? Iya juga sih... Sebetulnya kalau mau, aku malah gak sekedar pacaran Ik".
"O ya ? Udah ada calon suami rupanya ?!" seruku. Ganti aku yang kini terbelalak, Tisna mengangguk mengiyakan.
"Justru karena itulah aku pilih studi oriented."
"Maksudnya kamu dijodohin ma ortu ?"
"Iya, dan aku nggak suka !"
"Kenapa emang ? Kurang ganteng ? Apa kurang tajir ?"
"Sebaliknya Ik, yang dijodohin itu orangnya ganteng dan tajir. Jauhlah dibanding kamu !"
"Eh, sialan ! Membandingkan jangan langsung sama yang kontras dong, bertahap kek...! protesku gantian.
"Hahaha....!" tawa Tisna geli melihatku sewot.
"Iya, ma'af brother... Aku kalau keceplosan suka nyombong ya... ?!"
"Ya maklum sih..., orang kaya biasanya gitu emang", jawabku sambil melirik penuh sindir.
"Hahaha....! Jangan gitu ah, yang kaya kan ortuku, bukan aku !"
"Iya Nok, kamu emang beda. Aku salut sebenernya sama kamu, kaya tapi gak sungkan berteman sama kita-kita yang kekurangan."
"Jiah ! Kekurangan ?!"
"Maksudnya gak selalu ada kayak kamu. Aku aja nyampe mbela-mbelain kerja sambilan buat survive".
"Iya malah aku yang salut sama kalian, terutama sama kamu dan Novi yang masih bisa bagi waktu buat kerja part time. Kalau boleh tau, emang berapa sih Ik jatah bulanan kamu ?"
"Wah, wah...., mulai nyindir lagi nih ?"
"Eh, enggak...enggak ! Sensitif ya ? Iya deh, ma'af..."
Aku tertawa mendengar ungkapan penyesalan Tisna, geli tapi dibarengi rasa salut. Alangkah baik kawanku satu ini, tajir tapi jiwa solidaritasnya kuat, emansipatif dengan orang di sekitarnya.
"Nggak Nok, biasa aja, becanda doang tadi. Yang jelas, kalau ditambah kebutuhan untuk berpacaran bisa jadi minus Nok..."
"Gitu ya Ik ? Berarti aku mau pacaran, asal sama yang sudah mandiri !"
"Lha itu tadi yang dijodohin ortumu katanya orang tajir, gimana sih Nok ?!"
"Ya sama kayak aku Ik, yang tajir orang tuanya ! Dia nya sendiri aduh...., kekanak-kanakan banget ! Anak mami !"
"O..., gitu ya ? Itu alesan kamu menolaknya ?"
"Tuh pinter kamu..."
"Yeee...! Kumat lagi songongnya..." tukasku dengan sewot lagi.
Tisna tertawa lagi melihat mimik sewotku, diulurkan jabat tangan kanannya dan kutolak dengan tetap sewot, sengaja kubikin lebay kayak bencong lagi digodain. Tisna makin menjadi-jadi tawanya, lost control betul-betul. Aku sambil merenung juga sebetulnya, mungkin orang tajir itu sebetulnya lebih banyak masalahnya ketimbang kita yang pas-pasan hidupnya. Dan yang jelas, dia tak cukup kawan untuk bisa menghibur, kawan bersaing yang lebih banyak. Kalau ndak kuat jadi orang tajir mungkin repot juga, bisa konslet syaraf alias stress. Lihat saja ketawa Tisna yang super lost control, sepertinya banyak beban di isi kepalanya.
"Eh, Ik ! Katanya pacar kamu kuliahnya di peternakan ya ?"
"Iya, kenapa ?"
"Ajak main ke rumahku, ntar tak ajak jalan-jalan nengok kandang sapiku".
"Oh, boleh itu. Emang di mana lokasinya ?"
"Dari kampus kita, masih naik lagi sampai hampir di pos 1 pendakian kalian di gunung itu".
"Oke, nanti tak tawarin anaknya deh. Tapi ya mungkin gak terlalu menghiburnya Nok, tiap hari dia ketemu kandang ternak di kampusnya. Lagian, dia sebetulnya gak begitu minat dengan jurusannya. Kebetulan aja keterimanya di pilihan jurusan itu, jadi asal dijalanin aja kuliahnya."
"Tenang aja, pemandangannya indah kok... Kamu paksa aja atau kamu bo'ongin ! Sekali-kali nemenin aku kek...!"
"Lha emang kamu tiap hari nengokin kandang ?"
"Enggak sih, sebulan sekali paling".
"Sendirian ?"
"Ya kadang sama bokap"
"Emang ada berapa banyak sapinya Nok ?"
"Ah, nggak banyak, cuman 200 ekor..."
Glek ! Aku menelan ludah, takjub, belum bisa mbayangin aku. Sapi sebanyak itu gimana cara ngasih makannya ya ? Pikirku.
"Siapa nama pacarmu Ik ?"
"Restu".
"Nama jawa ya ? Apa artinya tuh ?"
"Iya nama jawa, artinya...mmm...ijin, atau lebih tepatnya pemberian ijin yang penuh ikhlas".
"Ridho' ?"
"Ah, iya kali ! Padanan bahasa arabnya kata itu."
"Emang kamu paham bahasa Arab Ik ?"
"Ah, enggak. Sering denger aja, itu kan kata yang umum dipakai, di sinetron-sinetron televisi kayaknya sering denger aku".
"Ya udah, bilang aja ke Restu, yang jadi teknisi kandangku itu Pak Seno, dosen seniornya dia. Siapa tau ada proyek penelitian dari Pak Seno, dia bisa ngikut buat bahan skripsi nanti kan ?"
"Iya iya, nanti aku bilangin. Eh, Nok ! Kamu ada foto kandangmu ? Aku jadi penasaran sama jumlah sebanyak itu..."
Tisna tersenyum, dibukanya dashboard di depanku dan mempersilahkanku mengambil sendiri album fotonya. Sepanjang jalan yang tersisa kunikmati dengan mengamati koleksi foto Tisna, ada satu yang membuatku terbelalak dan tertawa ngekek. Sebuah foto bergambar masa kecil Tisna dengan topi meingkar lebar sedang duduk di atas punggung kambing, bergaya bak koboy lengkap dengan pistol-pistolan tersemat di ikat pinggang yang melingkar di pinggang. Di belakangnya, tampak puluhan sapi sedang merumput di padang savana nan hijau dan luas.

Continue to Part22

Tisna si Gembala Sapi (a Requesting)
Namanya Tisna Arvian, biasa kami memanggilnya Tisna atau 'Ntis. Dia adalah kawan cewek seangkatan - sejurusan paling tajir yang friendly dan solider. Maka jangan heran kalau angkatan kami paling sering touring ke luar kota, soalnya 'Ntis tak akan segan-segan nombokin iuran kawan-kawan kalau hasilnya yang didapet pas-pas an. Lebih-lebih bagi kami yang pecinta Pe-A, penahkluk puncak gunung, 'Ntis ini ibarat Dewi utama dalam kuil pemujaan kaum pagan dengan sesaji khusus. Berapapun kekurangan biaya yang tertera pada proposal, dia siap nambelin, dengan catatan, semua hasil dokumentasi orisinal harus diserahkan ke dia. Jadi 'Ntis ini hobiis fotografi, hasil jepretan yang bagus akan menjadi koleksi pribadinya atau dijualnya, entah ke mana kami tak tau dan tak pernah tanya.
Akhirnya setelah hanya setengah jam waktu jeda kupunya, berakhirlah audiensi jajak pendapat ini. Begitu moderator menutup acara, aku segera bangkit dan menyalami kawan-kawan pengurus HM dan kawan Panitia Suksesi, sekalian berpamitan. Termasuk juga kepada Tisna and the gank, pengacau jadwalku siang ini.
"Kamu mau ngejar setoran ya Ik? Kayak sopir angkot aja !" sindir Tisna usai kusalami dengan tergesa-gesa.
"Yah...mo gimana lagi Nok ? Sebuah konsekuensi...", jawabku. Cuman aku yang manggil dia Tinok, kuciptakan sendiri panggilan khusus buatnya.
"Kamu gitu ya udah tajir...", imbuhku nyinyir.
Tisna tertawa mendengar gerutu balasanku atas sindirannya.
"Iya ma'af, habisnya pada nggak bener gitu bikin rencana acara ! Ya aku nggak bisa diemlah..." katanya masih saja berargumen.
"Okelah, see you ya...!" kataku sambil melambaikan tangan.
"Eh, Ik ! Tunggu !" seru Tisna mencegah kepergianku.
"Kasih aja motormu ke Yuna, biar kamu tak anterin !"
"Weh, lha pulangnya nanti ?"
"Ya nanti suruh njemput Yuna, dia lagi butuh motor tuh kayaknya tadi".
"Terus, emang kekejar waktunya ?"
" Nih, takpinjemin hape, kamu telepon aja operator yang shift pagi ! Bilang nanti nyampenya agak telat, ntar biar tak kasih uang tips orangnya."
"Boleh juga..."
Kuambil hape yang disodorkannya, lalu kutelepon Mbak Dewi, operator shift pagi wartel tempat kami kerja. Kutekankan janji pemberian tips si Tisna dan disambut riang suara Mbak Dewi di hape. Tisna kembali kasak-kusuk dengan para anggota genknya yang masih enggan meninggalkan ruangan. Uma, Septi dan Mitha yang seangkatan, lainnya mahasiswi angkatan satu tingkat di bawah kami.
"Oke Nok, yuk !" kataku sambil menyodorkan hape kembali padanya.
"Ya kunci motor kasih dulu ke Yuna dong Ik, orangnya lagi di lab mbantuin si Ani tuh... ! Aku takmberesin urusan nih ma kawan-kawan bentar, taktunggu di parkiran depan", jawab Tisna kali ini sambil pegang kunci mobil. Hapenya sudah dia masukkan lagi ke tas yang lebih mirip tasnya emak-emak kalau lagi pada belanja ke mall.
Aku tak menjawab, segera berbalik arah menuju pintu keluar ruang dan cepat-cepat melangkah menuju Laboratorium Histologi, dimana Yuna lagi mbantuin Ani. Yang kutahu sih dua minggu lalu Ani bawa sekardus mencit putih, katanya buat uji hipotesa, entah tentang apa aku tak tau dan tak mau tau. Kali ini mungkin mereka lagi pada mbedah tuh mencit. Kasian emang hewan mungil itu, cuma dibeli buat dibunuh, dibedah lalu bangkenya dikasih makan ke ikan lele piaraan Pak Nano Laboran.
"Kamu butuh motor Yun ? Nih bawa aja punyaku !" kataku sesampai di lab dan menjumpai Yuna.
Aku setengah berteriak, terhenti termangu di depan pintu lab gegara Ani kasih isyarat verbodden dengan kedua tangannya begitu melihatku mau masuk. Kulempar kunci motorku segera ke arah Yuna setelah dia mengiyakan pertanyaanku. Yuna terima lemparan kunci motorku dengan sigap.
"Lho kamu belum berangkat Ik ? Nggak telat ?" tanya Ani.
"Aku nebeng si Tinok, tanggung jawab dia, kebanyakan mbacot tadi di forum makan banyak waktu !" seruku sambil melambaikan tangan dan lekas ngeloyor pergi.
"Rasain kamu !", seru Ani dari balik dinding lab sembari tertawa bersama Yuna.
Tak kugubris tawa mereka, setengah berlari kulanjutkan langkahku kembali ke gedung dekanat. Jarak dari gedung laboratorium ke gedung dekanat lumayan jauh sedang waktu jedaku semakin sempit.
Tisna menunggu di dalam mobilnya yang terparkir di depan gedung, model SUV warna merah dengan sticker kaca depan bertuliskan THINKING FAST BUT KEEP CALM. Kubuka pintu depan sebelah kiri lalu ambil duduk di sebelahnya, nafasku terengah-engah. Tisna memperhatikanku sambil tertawa sebelum mulai memutar kunci menghidupkan mesin. Sejurus kamudian kami meluncur menyusuri jalan kampus. Tisna dengan lihainya kendalikan stir mobil, tancap gas dan ambil rute tercepat untuk sampai jalan raya.
Tak sampai 10 menit, kami telah berada di pintu tol. Senyum manis pegawai tol menyambut uluran uang dari Tisna. Segera ditutupnya kaca pintu mobil setelah uangnya diterima, kembali pegang stir dan tancap gas begitu palang pintu tol terbuka.
"Eh Nok, kamu tau nggak, penjaga tol yang shift malem itu nggak pernah pake bh lho...!" kataku.
"O ya ?!" jawab Tisna terbelalak. Ditolehnya aku sebentar lalu kembali sigap memandang ke depan.
"Iya, aku sering lihat".
"Lihat apanya ?"
"Ya bajunya lah, tepat bagian dada. Kelihatan jelas gak pake BH !"
"Ah, masak sih ? Perasaan kalau malem biasanya cowok deh setauku..."
"Lha iya makanya, mana ada cowok pakai BH ?!"
Tisna tampak berpikir sesaat, lalu tawanya lepas tak terkendali.
"Dasar kamu Ik !"
"Eh, aku dong yang mestinya bilang gitu !"
"Kok gitu ?"
"Lha ini, stiker gedhe di depan mata percuma kamu pasang di sini !" kataku sambil menunjuk sticker kaca depan mobilnya.
"Ah, bisa aja kamu ! Masih jengkel sama waktumu yang terpotong ya ?!"
"Enggak sayang..., mosok sih Aik jengkel sama kawan yang baik hati ?" jawabku merayu. Daripada diturunin di tengah tol ? Pikirku.
"Hiiiih....!" kata Tisna nyinyir sebibir-bibirnya.
"Eh iya Ik, kabarnya udah punya pacar ya ?"
"Kenapa nok ? Cemburu ya ?" candaku bikin dia tambah sewot.
"Ih ! Cemburu kok sama kamu !" katanya ketus.
"Lha kamu kan belum punya Nok, bisa aja dong diem-diem naksir aku...", jawabku tambah narsis.
"Emang kalau udah punya mesti disiar-siarin ?!"
"Kenapa sih Nok ? Lelaki macam apa yang kamu cari ?"
"Nggak ada ! Aku gak mau pacaran dulu, mau fokus studi dulu".
"Itulah yang bikin kamu lambat berpikir".
"Gara-gara nggak punya pacar ? Kesimpulan macam apa itu ? Huh !"
"Bukaaan sayaang..., karena terlalu serius. Terlalu studi oriented kamu, kadangkala justru bikin kamu malah jadi bodoh."
"Eh, jangan sembarangan ya ?! Nilaiku bagus-bagus aja..."
Aku tertawa mendengarnya, yang diketawain mulai mengernyitkan dahi.
"Jangan salah paham dulu dong... Kecerdasan itu bukan IQ saja, ada banyak macemnya. Dan kehidupan itu luas sekali, ada begitu banyak variabel keilmuan di jagad raya ini kawan".
Wajah Tisna kembali normal, tampak mulai tersungging senyumnya.
"Gitu ya Ik ? Iya juga sih... Sebetulnya kalau mau, aku malah gak sekedar pacaran Ik".
"O ya ? Udah ada calon suami rupanya ?!" seruku. Ganti aku yang kini terbelalak, Tisna mengangguk mengiyakan.
"Justru karena itulah aku pilih studi oriented."
"Maksudnya kamu dijodohin ma ortu ?"
"Iya, dan aku nggak suka !"
"Kenapa emang ? Kurang ganteng ? Apa kurang tajir ?"
"Sebaliknya Ik, yang dijodohin itu orangnya ganteng dan tajir. Jauhlah dibanding kamu !"
"Eh, sialan ! Membandingkan jangan langsung sama yang kontras dong, bertahap kek...! protesku gantian.
"Hahaha....!" tawa Tisna geli melihatku sewot.
"Iya, ma'af brother... Aku kalau keceplosan suka nyombong ya... ?!"
"Ya maklum sih..., orang kaya biasanya gitu emang", jawabku sambil melirik penuh sindir.
"Hahaha....! Jangan gitu ah, yang kaya kan ortuku, bukan aku !"
"Iya Nok, kamu emang beda. Aku salut sebenernya sama kamu, kaya tapi gak sungkan berteman sama kita-kita yang kekurangan."
"Jiah ! Kekurangan ?!"
"Maksudnya gak selalu ada kayak kamu. Aku aja nyampe mbela-mbelain kerja sambilan buat survive".
"Iya malah aku yang salut sama kalian, terutama sama kamu dan Novi yang masih bisa bagi waktu buat kerja part time. Kalau boleh tau, emang berapa sih Ik jatah bulanan kamu ?"
"Wah, wah...., mulai nyindir lagi nih ?"
"Eh, enggak...enggak ! Sensitif ya ? Iya deh, ma'af..."
Aku tertawa mendengar ungkapan penyesalan Tisna, geli tapi dibarengi rasa salut. Alangkah baik kawanku satu ini, tajir tapi jiwa solidaritasnya kuat, emansipatif dengan orang di sekitarnya.
"Nggak Nok, biasa aja, becanda doang tadi. Yang jelas, kalau ditambah kebutuhan untuk berpacaran bisa jadi minus Nok..."
"Gitu ya Ik ? Berarti aku mau pacaran, asal sama yang sudah mandiri !"
"Lha itu tadi yang dijodohin ortumu katanya orang tajir, gimana sih Nok ?!"
"Ya sama kayak aku Ik, yang tajir orang tuanya ! Dia nya sendiri aduh...., kekanak-kanakan banget ! Anak mami !"
"O..., gitu ya ? Itu alesan kamu menolaknya ?"
"Tuh pinter kamu..."
"Yeee...! Kumat lagi songongnya..." tukasku dengan sewot lagi.
Tisna tertawa lagi melihat mimik sewotku, diulurkan jabat tangan kanannya dan kutolak dengan tetap sewot, sengaja kubikin lebay kayak bencong lagi digodain. Tisna makin menjadi-jadi tawanya, lost control betul-betul. Aku sambil merenung juga sebetulnya, mungkin orang tajir itu sebetulnya lebih banyak masalahnya ketimbang kita yang pas-pasan hidupnya. Dan yang jelas, dia tak cukup kawan untuk bisa menghibur, kawan bersaing yang lebih banyak. Kalau ndak kuat jadi orang tajir mungkin repot juga, bisa konslet syaraf alias stress. Lihat saja ketawa Tisna yang super lost control, sepertinya banyak beban di isi kepalanya.
"Eh, Ik ! Katanya pacar kamu kuliahnya di peternakan ya ?"
"Iya, kenapa ?"
"Ajak main ke rumahku, ntar tak ajak jalan-jalan nengok kandang sapiku".
"Oh, boleh itu. Emang di mana lokasinya ?"
"Dari kampus kita, masih naik lagi sampai hampir di pos 1 pendakian kalian di gunung itu".
"Oke, nanti tak tawarin anaknya deh. Tapi ya mungkin gak terlalu menghiburnya Nok, tiap hari dia ketemu kandang ternak di kampusnya. Lagian, dia sebetulnya gak begitu minat dengan jurusannya. Kebetulan aja keterimanya di pilihan jurusan itu, jadi asal dijalanin aja kuliahnya."
"Tenang aja, pemandangannya indah kok... Kamu paksa aja atau kamu bo'ongin ! Sekali-kali nemenin aku kek...!"
"Lha emang kamu tiap hari nengokin kandang ?"
"Enggak sih, sebulan sekali paling".
"Sendirian ?"
"Ya kadang sama bokap"
"Emang ada berapa banyak sapinya Nok ?"
"Ah, nggak banyak, cuman 200 ekor..."
Glek ! Aku menelan ludah, takjub, belum bisa mbayangin aku. Sapi sebanyak itu gimana cara ngasih makannya ya ? Pikirku.
"Siapa nama pacarmu Ik ?"
"Restu".
"Nama jawa ya ? Apa artinya tuh ?"
"Iya nama jawa, artinya...mmm...ijin, atau lebih tepatnya pemberian ijin yang penuh ikhlas".
"Ridho' ?"
"Ah, iya kali ! Padanan bahasa arabnya kata itu."
"Emang kamu paham bahasa Arab Ik ?"
"Ah, enggak. Sering denger aja, itu kan kata yang umum dipakai, di sinetron-sinetron televisi kayaknya sering denger aku".
"Ya udah, bilang aja ke Restu, yang jadi teknisi kandangku itu Pak Seno, dosen seniornya dia. Siapa tau ada proyek penelitian dari Pak Seno, dia bisa ngikut buat bahan skripsi nanti kan ?"
"Iya iya, nanti aku bilangin. Eh, Nok ! Kamu ada foto kandangmu ? Aku jadi penasaran sama jumlah sebanyak itu..."
Tisna tersenyum, dibukanya dashboard di depanku dan mempersilahkanku mengambil sendiri album fotonya. Sepanjang jalan yang tersisa kunikmati dengan mengamati koleksi foto Tisna, ada satu yang membuatku terbelalak dan tertawa ngekek. Sebuah foto bergambar masa kecil Tisna dengan topi meingkar lebar sedang duduk di atas punggung kambing, bergaya bak koboy lengkap dengan pistol-pistolan tersemat di ikat pinggang yang melingkar di pinggang. Di belakangnya, tampak puluhan sapi sedang merumput di padang savana nan hijau dan luas.

Continue to Part22
Diubah oleh wowonwae 05-05-2019 04:07
pulaukapok dan ariskiculund memberi reputasi
2