Kaskus

Story

wowonwaeAvatar border
TS
wowonwae
Cinta Tak Bisa Disalahkan (Part 2)
Cinta Tak Bisa Disalahkan (Part 2)


Sebelumnya : Part 1

Part 2

Cinta Tak Bisa Disalahkan (Part 2)

CUITAN DARI ATAS BALKON

Aku memang biasa dipanggil Aik, nama panggilan semenjak kecil yang diberikan orang tuaku. Sebetulnya itu diambil dari nama belakangku, Aji. Buat mudahnya bagi lidah jawa, huruf "j" dihilangkan dan diakhiri konsonan "k", jadilah Aik. Demikian aku berkenalan sama semua orang di sini, nggak dosen, senior, pegawai kampus, tukang parkir, junior sampai orang-orang kampung mengenalku dengan nama Aik.

Yang tampak saat kutolehkan wajahku adalah sebuah rumah besar yang terletak berseberangan dengan rumah kost yang baru akan kutempati. Tertutup pintunya, semacam pintu garasi lebar bersegmen-segmen terbuat dari bahan kayu kayak di senetron-sinetron atau FTV. Tidak tampak seorangpun di depan pintu itu. Kudongakkan kepalaku segera mengikuti sumber suara, ternyata ada dua gadis yang senyum-senyum memandangku di teras balkon lantai 2.

Ya, rumah besar itu memang susun bentuknya, hanya 2 lantai. Lantai pertama yang pintunya tertutup itu garasi buat nyimpen motor anak-anak kost, lantai kedua adalah kamar kost dengan teras balkon los, tak bersekat, memanjang di depan kamar-kamar kos. Empat orang senior cewek, setingkat di atasku memang tinggal di situ. Dan salah satunya itulah yang memanggilku, namanya Ica. Rupanya sejak tadi dia mengamati proses pemindahan barang-barangku dari pick-up ke kamar kost, bersama kawan kostnya.

"Hai !", jawabku setengah berteriak. "Ngapain Ca pagi-pagi nongkrong aja di atas? Nggak pada ngikut ngandong?" tanyaku kemudian. Ica memang setingkat di atasku, tapi tahun kelahiran kita sama, makanya aku takpernah memanggilnya Mbak atau Kak sebagaimana kawan seangkatannya yang lain.

"Lagi males, begadang semalem", jawabnya dengan seulas senyum. Kawan di sebelahnya juga ikut senyum-senyum, malah tampak serius mengamati wajahku meski terkesan jaga image. Senyumnya manis juga dengan deretan gigi yang rapi. Hidungnya mancung lebih mancung dari hidungku, sedang matanya lebar - jelas lebih lebar dari mataku yang sipit ini. Mata kami sejenak beradu, aku menangkap kesan seolah ingin mengajakku berkenalan.

Kualihkan lagi pandanganku ke Ica yang lebih dulu kukenal. Baik anaknya, tergolong pinter dan rajin di angkatannya, aku sering pinjam catatannya atau minta keterangan untuk pelajaran yang aku kurang mengerti. Sebagai anak pintar, Ica tidak egois seperti kebanyakan, dia tidak pernah menolak berbagi catatan dan pemahamannya pada siapa saja.

"Udah sarapan Ca? Yuk!" ajakku.

"Udah dong, pagi tadi kami masak berdua", kata Ica sambil melirik kawan di sebelahnya.

"Widiiih, masak apa? Boleh dong ngicipin...", sahutku berbasa-basi, masih dengan mendongakkan kepala.

Disenggollah dengan sikut kawan di sebelahnya, dua kali. Merah padam mukanya, tawanya lepas sambil memegangi lengan Ica dan mengguncangkannya. Kepalanya digeleng-gelengkan menatap Ica, bahasa isyarat agar masakannya jangan dibagikan. Ica juga tergelak tawanya melihat tingkah itu, dengan sigap lalu dialihkannya pandangan kembali ke bawah - ke arahku.

"Restu malu Ik, kami masih belajar memasaknya, masih agak hambar rasanya. Ini nih chefnya...," kata Ica menunjuk kawan di sebelahnya sambil menahan tawa geli. Sedang kawannya itu mengangguk-angguk, isyarat mengiyakan jawaban Ica dengan ekspresi malu.

"Yo wis ( ya sudah ). Aku pegel ndangak ( aku capek mendongak) terus. Kalau mau lanjut ngobrol sini turun ke bawah", celetukku kemudian.

"Udah kamu sarapan aja dulu !", jawabnya.

"Oke !", jawabku langsung berbalik badan menghampiri motor di depan kamar kostku.

Lupa mengunci pintu kamar, turunlah lagi aku dari motor yang terlanjur sudah kustarter. Setelah yakin aman terkunci, kembali kunaiki motor dan kulajukan mengikuti naluri perut yang sudah keroncongan sejak tadi.

Sepanjang jalan, ingatanku pada percakapan tadi masih mengiang, terutama kesan pada ekspresi spontan kawan kost Ica saat aku berbasa-basi pengin mencicipi masakan mereka.

Cinta Tak Bisa Disalahkan (Part 2)

Continue to part 3part4part5part6part7part8part9part10InterlogPart11Part12Part13Part14Part15Part16Part17Part18Part19Part20Part21Part22Part23Part24Part25Selembar TestimoniPart26Part27Part28Part29Part30
Diubah oleh wowonwae 08-05-2019 13:00
thebavarian.90Avatar border
mmuji1575Avatar border
yambu668Avatar border
yambu668 dan 14 lainnya memberi reputasi
13
10.6K
63
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52.1KAnggota
Tampilkan semua post
wowonwaeAvatar border
TS
wowonwae
#24
Part 19
kaskus-image

Thriller "Keep Silent"

Lima belas menit sudah berlalu sejak aku mulai duduk-duduk di tangga pintu masuk Dekanat. Lalu lalang mobil angkot bermanuver di halaman depan dekanat, menurunkan ataupun menaikkan penumpang. Kegiatan nongkrong seperti inilah yang membuat kita kemudian familier dengan wajah-wajah penghuni kampus se fakultas yang gak satu jurusan. Sehingga ketika berpapasan di luar wilayah kampus kita bisa saling sapa dan mudah segera akrab.

Siapa lagi kalau bukan Yuna yang ngajarin. Kawan satu ini tak pernah mau berlama-lama di kampus, dia lebih suka habiskan waktu di luar kampus. Nah, supaya dia juga lekas familier dengan wajah penghuni kampus sefakultas ini, ya tongkrongan seperti ini aja caranya. Awal mulanya gegara sering kena ledek kawan2 mainnya ketika dikenalkan mahasiswa sefakultas di sebuah mall dan dia baru mengenalnya saat itu juga. Buat dia yang gemar berkawan, itu sangat memalukan.

Ada 2 lokasi nongkrong yang paling efektif untuk itu, satu di pos parkir dan satunya lagi ya di sini ini, di pintu masuk Dekanat. Tapi aku nongkrong bukan dalam rangka itu, aku menunggu motorku yang dipinjem Yuna sedari awal kuliah tadi. Dia bolos kuliah jam pertama, alasannya kata dia pokok penting banget, tak bisa dijelaskan saat itu juga.  Dan sampai sekarang, Yuna belum juga kelihatan batang hidungnya, padahal aku butuh ke perpustakaan universitas buat ngembaliin buku dan meminjam lagi yang lainnya.

Posisi perpustakaan dengan kampus fakultasku tak terlalu jauh sebetulnya, bisa ditempuh dengan jalan kaki. Tapi kakiku rasanya masih pegel-pegel akibat acara Diksar kemarin. Sedang rute jalan kaki menuju perpus medannya naik-turun, menyeberangi jalan raya sekali lanjut melewati dua halaman gedung, yaitu gedung Rektorat dan gedung Lemlit (Lembaga Penelitian).

"Ngapain Ik kamu sendirian di sini ?" sapa Andi, pacarnya Novi, kawan seangkatan se-jurusan.

"Nunggu Yuna, motorku disilih kawit mou rung (motorku dipinjem sedari tadi belum) balik-balik", jawabku.

"Lha emang selak arep nang ndi awakmu (lha emangnya keburu mau ke mana dirimu) ? Arep bareng po (mau nebeng apa) ?"

"Arep nang perpus (mau ke perpus), lha awakmu dewekan po...(lha dirimu sendirian apa...) ?"

Andi mengangguk.

"Novi mana ?"

"Lagi bimbingan UP (Usulan Penelitian) sama Pak Sapta".

"Terus kamu mau ke arah mana ?"

"Lhah..., arah ke mana-mana juga lewat depan perpus kan bisa !", jawab Andi.

"Terus motorku piye (gimana) ?"

"Udah, biarin aja dibawa Yuna. Dia lagi njemput ortunya di terminal katanya tadi".

"Oalah..., gak crito dekne nang aku (dia nggak cerita ke aku) waktu pinjem motor tadi. Jadi ortunya main ke sini tha ?"

"Iya, tadi sebelum akhirnya pinjem punyamu, dia pinjem aku dulu. Tapi kubilangin kalau aku juga lagi butuh pakai motor siang ini juga".

Sama Andi cerita, sama aku kok dia gak cerita alesannya pinjem motor. Sentimen tuh anak ! Gerutuku dalam hati.

Andi seperti tahu gerutuku itu, katanya : "Kamu tadi pas dimintai tolong kan lagi sibuk ngejar bikin revisi laporan, Yuna takut ngganggu paling..."

"Wis tha ayo cepetan (sudahlah, ayo buruan) !"

Aku segera bangkit berdiri dan mengikuti langkah Andi menuju motornya yang terparkir di paling ujung deret parkiran motor depan Dekanat. Meluncurlah kami berdua sejurus kemudian di atas motor jenis sport yang boncengannya begitu miring ke depan, membuat siapapun yang membonceng pasti nempel bersentuhan dengan bagian punggung pengemudinya.

Sampai di kanopi depan gedung perpustakaan, Andi menghentikan motornya, aku segera turun. Kutepuk pundaknya dan ucapkan terimakasih.

"Ntar selesai urusan, ke kostku aja. Kita bareng cari motormu, paling posisinya di kost Yuna. Sekalian minta oleh-oleh ortunya", kata Andi sambil mengacungkan kepalan tangan dalam posisi mendatar.

Kusambut kepalan tangannya dengan pukulan pelan kepalan tangan pula, tanda sepakat. Kost Andi memang tetanggaan dengan kost Yuna, kira-kira hanya sekitar 70 langkah. Kost Andi mudah dicapai karena posisinya di tepi jalan raya utama menuju kampus, sedang kost Yuna agak masuk ke dalam, melewati lorong sempit yang berkelok-kelok.

kaskus-image


"Bu, fotokopi lagi ya... Udah saya batesin tuh !" pintaku kepada librarian yang berdiri di belakang meja kerjanya. Di situ ada pula 3 mesin fotokopi lengkap dengan operatornya.

"Kamu tuh fotokopi melulu ! Beli aja di koperasi depan ada tuh, biar bisa jadi pegangan nanti sampai lulus kuliah !" katanya saking hapalnya kelakuanku yang rajin fotokopi dari semester 1.

"Peace bu...", kataku sambil tersenyum sambil mengacungkan dua jari, telunjuk dan jari manis. "Anak kost meski berhemat bu..."

"Kamu nggak ambil beasiswa ?"

"Beasiswa prestasi saya anti Bu, beasiswa tuh buat yang kurang mampu seharusnya menurut saya".

"Gitu ya ?"

"Iyalah, lihat aja daftar penerimanya ! Kawanku sefakultas, udah ortunya tajir, masih diongkosin negara pula kuliahnya ! Dipakai buat beli hape noh duit beasiswanya..." kataku berapi-api kalau sudah bersentuhan dengan idealisme seperti ini.

"Tapi kalau nggak berprestasi juga percuma dong dikasih beasiswa ?!" katanya beralibi.

"Ya maksudku yang kurang mampu dan berprestasi gitu bu. Jadi penekanan istilah beasiswa jangan di prestasinya, tapi di kurang mampunya. Prestasi tetep jadi acuan seleksi, tapi kondisi ekonomi lebih dulu jadi prioritas penentuan kriteria calon penerima. Yah..., ini opini saya aja sih Bu... Ibuk mau setuju boleh, kagak juga ndak kenapa-napa..." jelasku panjang lebar sok intelek.

"Betul juga sih... Eh, ini mau berapa kali fotokopinya ?"

"Seperti biasa bu, di pembatasnya sudah saya kasih tulisan halaman dan berapa kalinya".

"Oke, tunggu ambilnya sesuai nomer antrian ya...", katanya sambil tersenyum. Gaya pakem petugas yang didoktrin sejak training kerja yang akhirnya jadi habit (kebiasaan), sebelas-duabelas sama petugas teller bank atau pelayan swalayan gitu lah.

"Sip !" kujawab dengan mengacungkan jempol, kami mahasiswa akhirnya bikin habit pula untuk menjawab habit para petugas perpustakaan.

"Eh, ada yang ngeliatin kamu terus tuh...", katanya lagi sambil menunjuk arah meja baca bernomor 11.

Aku menoleh ke arah yang ditunjukkannya. Kuamati dengan seksama karena posisi pandangnya lumayan jauh. Ruang perpustakaan ini total luasnya mungkin ada kalau (25 x 30) - an meter persegi, hanya tersekat-sekat oleh rak buku, pembatas ruang baca dan official area. Jarak dari meja librarian dengan meja baca terpisah space kosong yang lumayan lebar, mungkin disengaja untuk lalu lintas pengunjung yang selalu padat setiap harinya. Penasaran karena belum yakin juga, akhirnya total kubalik badan dan melangkah mendekatinya. Yang kudekati melambaikan tangan tapi takberani teriak karena ada tulisan KEEP SILENT gedhe banget di dinding ruang baca.

Taksalah lagi, makin dekat makin tampak seorang gadis berambut ikal terurai. Pakai setelan celana jeans warna biru dan kemeja motif grafis kotak-kotak dalam paduan warna merah dan hitam. Matanya lebar, hidungnya lebih mancung dariku dan senyumnya manis berhias deretan gigi yang bersih dan rapih. Di sebelahnya ada gadis berkerudung merah motif bunga-bunga, berkemeja dan bawahan rok span panjang berbahan jeans. Posturnya lebih kecil dibandingkan Restu.

"Manggil saya bu ?" kataku pelan-pelan sesampai tepat di depan mereka. Kutunjuk dadaku sambil sedikit membungkuk, tatapanku lurus ke arah Restu sambil sesekali kulirik kawan di sebelahnya.

Restu dan kawan berkerudungnya tertawa sebentar lalu menutup mulut masing-masing dengan telapak tangannya sambil melirik kiri-kanan. Tersadar kalau lagi di ruang baca perpustakaan, dilarang gaduh !

Gaduh sedikit saja akan jadi pusat perhatian seruangan ini. Dan di luar ruang sudah ada stanby dua orang petugas security yang taksegan-segan ambil tindakan bagi pengunjung yang tak mau tertib atau pengutil buku yang tertangkap basah. Makanya gedung perpus ini menjadi tempat tersakral dalam habitat kampus raya kami.

Jadilah lantas kami berbincang dengan seperempat volume suara sambil sesekali menoleh kiri - kanan, menjadikan pengunjung lain sebagai indikator kontrol atas volume suara kami. Asal ada yang noleh ke arah kami, berarti sudah terlalu kencang volumenya - meski diturunkan.

"Ini kenalin, sahabatku...", kata Restu sambil memegang lengan kiri kawannya yang berpostur kecil.

"Aik...", kataku sambil mengulurkan tanganku.

"Dina...", kata kawan Restu tanpa menyambut uluran tanganku, tapi kedua telapak tangannya disatukan di depan dadanya sambil sedikit membungkuk. Seperti punggawa kerajaan kasih salam kepada atasannya, cuma yang ini pakai senyum.

Lekas kutarik uluran tanganku dengan agak malu. Aku tak begitu faham tentang hukum agama, tapi sangat menghormati mereka yang kuat pegang prinsip ajaran. Entah kenapa aku tak tau, salut saja bawaannya.

"Boleh duduk di sini ?" ijinku sambil menunjuk kursi di depanku yang posisinya masih menempel dengan meja. Meski digeser sedikit ke belakang sebelum diduduki.

Restu dan Dina hampir bersamaan mempersilahkanku dengan kode tangannya masing-masing, lalu saling pandang dan saling senyum. Aku segera menarik kursi pelan-pelan agar tak menimbulkan suara gaduh, lalu duduk. Posisi kami sekarang seperti seorang boss yang sedang memberi arahan kepada dua karyawatinya, atau seorang terdakwa yang sedang diinterogasi oleh dua orang polwan.

Kami terdiam sejenak. Aku sendiri masih lumayan lelah, jadi lagi buntu kreativitas otakku, malas disuruh berfikir.

"Ehem...!" dehem Dina, memecah suasana. Disenggol lengannya kemudian sama Restu pakai sikutnya sambil tersenyum malu.

Kulirik buku-buku yang ada di depan mereka berdua, sebagian besarnya kumpulan jurnal penelitian bidang peternakan. Persis di depan Dina, ada buku tak begitu tebal dengan cover yang aku familier sekali. Tiba-tiba saja muncul ide di kepala untuk membuka percakapan.

"Dina ternyata suka juga ya baca novel thriller...?" tanyaku.

"Eh, iya Ik... Kamu suka juga ?" jawab Dina agak terkejut, tak menduga bakal kutanya.

"Enggak..., aku heran aja ".

"Heran kenapa ?"

"Gak sesuai penampilan..."

Dina tersenyum lebar, mungkin sebetulnya mau tertawa tapi ditahan. Restu senyum-senyum sambil melirik kawannya. Dina membalas lirikan Restu lalu mencubit lengannya.

"Aduh !" teriak pelan Restu kesakitan.

Sungguh, aku takmengerti kalau dua mahkluk perempuan sudah pakai bahasa koding seperti ini. Tak lama Dina seperti terkesiap, dia lihat jam yang melingkar di tangannya. Dia lalu menoleh ke arah rak-rak besar berisi buku-buku yang berbaris rapi di urutan ke empat dari paling belakang. Badannya ikut memutar hingga terkesan depelintir.

Sebentar kemudian kembali lagi Dina pada sikap semula, lantas lengannya yang dilingkari jam itu ditunjukkan ke hadapan Restu. Sekilas dilihatnya jam tangan itu lalu tersenyum menatapku.

"Aik, kami gak bisa berlama-lama lagi kayaknya. Ada praktikum sebentar lagi", kata Restu.

"Kami apa kita ? Tuh, kawan-kawanmu yang masih sibuk cari buku gak dihitung ?" kataku sambil menunjuk ke arah rak yang ditoleh Dina tadi pake kepala.

"Iya Ik, kami serombongan ini tadi. Kita satu tim praktikum, jadi ke sini bareng-bareng", terang Dina.

"Tapi bukan yang terlihat itu Ik, nggak tau pada ke mana mereka ya ? Jangan-jangan kita ditinggal Res..."  kata Dina menambah penjelasan lalu memegang lengan kanan Restu dan mengguncang-ngguncangnya.

"Udah tenang aja Din, anak-anak emang suka gitu..., kayak anak kecil. Sukanya nggodain, padahal nggak lucu dan kampungan. Lagian masih ada waktu seperempat jam kok !" kata Restu ke Dina.

"Ma'af ya Ik, tadi waktu kamu baru ke sini mereka ada kok di situ jelas. Salah satunya emang masih ngebet ma Restu, mungkin gak suka ada kamu bersama kami", jelas Dina membuat mataku terbelalak.

Restu gantian sekarang memposisikan duduknya serong ke arah Dina, tangan Dina yang pegang lengannya gantian dicengkramnya pake tangan kiri. Ditatapnya Dina dengan tajam dalam mimik serius. Dina mengangkat kedua bahunya dan tampangnya kelihatan menyesal.

Aku menarik tubuhku ke belakang, kutempelkan punggungku di sandaran kursi, lengan bawahku yang menumpang meja kusatukan jari-jarinya, yang kanan menumpang yang kiri dalam posisi horisontal. Mirip kaum Nasrani sa'at berdoa, tapi tak saling mengait satu sama lain. Pandanganku menunduk sebatas permukaan meja yang sebagian tertutupi buku. Restu menoleh ke arahku, lalu diluruskan lagi posisi duduknya menghadapku. Dipegangnya lenganku yang menumpang di meja, tapi buru-buru kutarik dan membuatnya cemas. Aku jelaskan maksudku dengan kode lirikan mata menunjuk ke arah Dina.

Tersenyum Dina, sepertinya paham apa maksudku, bukan seperti yang disangkakan Restu. Sejurus lalu didekatkan mulutnya ke telinga Restu dan berbisik, takbisa kudengar. Restu tampak mereda cemasnya, kernyitan di dahinya menghilang sudah. Berarti pemahaman Dina sesuai yang kumaksud, agar Restu tak seenaknya pegang tanganku seperti waktu di kostnya karena ada Dina di sampingnya. Memang aku berharap Restu punya rasa malu terhadap kawannya yang berjilbab itu.

"Udah, pokoknya aku mendukung Ik kalau kalian pacaran ", kata Dina kemudian kembali membuatku terbelalak. Sedang Restu senyumnya makin melebar.

"Dina itu baru-baru aja pake jilbabnya Ik, dulu waktu awal masuk kuliah juga sama kayak aku. Kamu belum tau aja kelakuannya...", kata restu dalam senyum tapi agak sewot sambil melirik Dina.

"Eh, nggak baik ya cerita tentang keburukan orang lain !" protes Dina.

Aku tersenyum lebar melihat tingkah mereka berdua, sedang Restu tersenyum mendengar protes sahabatnya.

"Udah Res, resmiin aja pacarannya, daripada kamu dipacarin si Anda, aku gak setuju !" kata Dina lagi, membuat Restu nampak makin sewot.

"Siapa Anda itu Din ?" tanyaku membuat Restu dahinya mengernyit cemas, pandangannya sinis ke arah Dina dan mukanya agak memerah. Tapi Dina kali ini tampak cuek saja, tak ada tampang menyesal kayak tadi.

"Ya...."

Ups! Kata-kata Dina terputus oleh telapak tangan Restu yang menutup mulutnya tiba-tiba. Tapi Dina masih berusaha memberi keterangan dengan menujuk-nunjuk ke barisan rak arah dia menoleh mencari kawan-kawannya tadi. Tak sia-sia usahanya, sebab aku segera tanggap mengerti maksudnya. Jadi yang disebut Anda adalah salah satu dari kawan mereka yang barengan tadi ke sininya. Kawan seangkatan dan se-tim praktikum sebagaimana tadi dijelaskan.

"Jadi kapan kalian nanti selesai praktikumnya ? Biar kutemui Anda nanti di kampus kalian", kataku datar dan tenang.

Restu makin menjadi-jadi kekhawatirannya, tangannya hendak memegang lenganku lagi. Buru-buru kutarik lenganku dari atas meja. Dipandangnya aku dengan tatapan memohon sambil tangan kanannya mencubit lengan Dina. Digeser badan Dina tapi sudah terlanjut tercubit kerja sama jari jempol dan jari telunjuk Restu. Dina merintih kesakitan dan buru-buru menutup mulutnya dengan salah satu telapak tangan agar tak menimbulkan suara gaduh.

"Res...,wajar saja dong sikap si Anda itu, aku nggak marah. Kamu sendiri belum menjawab pertanyaanku soal keseriusan hubungan kita, nggak mungkinlah taksamperin si Anda terus tak ajak berkelahi...", jelasku atas kekhawatiran Restu.

"Jawabannya Aku nggak bisa Ik...", katanya lirih dan spontan, membuatku terkejut bukan main. Tubuhku yang memang sudah lelah, makin lemes aja rasanya. Wajahku makin menunduk sambil menghela nafas panjang. Melihat sikapku itu, Restu cepat-cepat mendekatkan mulutnya ke telinga Dina, lalu membisikkan sesuatu.

Dina tampak senyum-senyum mendengar bisikan Restu. Dikedipkan sebelah matanya ke arahku, membuatku bertanya-tanya. Sedang Restu menundukkan kepalanya dan tampak malu-malu.

"Restu nggak bisa Ik..., nggak bisa nolak katanya", jelas Dina kemudian.

Sontak badan ini serasa segar kembali, mataku berbinar. Tapi rasanya masih kurang yakin aku kalau bukan Restu sendiri yang mengucapkannya. Ngapain juga meski pakai perwakilan bicara kamu itu Res....Gumamku dalam hati.

"Begitu kan Res...?" tanyanya kemudian sambil merangkul sahabat di sampingnya.

Restu tak menjawab, malah menelangkupkan kedua telapak tangannya menutupi wajah. Nafasnya dihela berkali-kali, tampaknya sedang berusaha menguasai diri. Aku dan Dina terus memperhatikannya dan hanya bisa diam menunggu.

Setelah cukup tenang, diturunkannya telapak tangan yang menutupi seluruh wajah tadi perlahan, tapi hanya separuh saja. Hidung dan mulutnya masih ditutup, hanya alis dan matanya yang lebar saja yang dibiarkannya terbuka. Sorot kedua bola matanya tepat mengarah kepadaku dengan tajamnya.

"Sudah terjawab kan ?"

Suara Restu keluar dari balik jari jemarinya yang masih menutupi mulut dan hidung. Dina senyumnya kulihat makin melebar sambil memperhatikan sahabat di sampingnya. Tangannya masih merangkul, dan kini telapaknya bergerak menepuk-nepuk lengan kiri Restu. Aku mengangguk dan membalas sorot tajam mata Restu dengan sorot mata tajam pula.

Dina mendadak melambaikan tangan ke arah pintu masuk perpus. Aku menoleh ke sana, kulihat salah satu kawan mereka tengah melambaikan tangan ke arah kami. Sepertinya aku sudah familier sama kawan mereka itu, kita pernah berkenalan sewaktu mengantarkan Restu malam-malam ke lab kampusnya.

"Kamu mau bolos praktikum Res ?!" tegurku ke Restu.

Lagi-lagi akhirnya aku yang harus menyadarkannya dari larut emosi. Restu sontak melepas total kedua telapak tangan yang masih menutupi separuh wajahnya, tersadarkan. Dia menggeleng sambil tersenyum. Dina segera mengambil tasnya dan menyandatkan di bahu kanan lalu hendak bangkit berdiri. Restu buru-buru memegang lengan sahabatnya itu, menahan sejenak.

"Kami pamit dulu ya...", katanya.

Aku tak menjawab, lebih dulu bangkit dari duduk lalu kuambilkan tasnya yang masih tergeletak di meja dan menyerahkan padanya. Disambut terima tasnya lalu bangkit berdiri bersamaan dengan Dina, ditatapnya lagi mataku kuat-kuat dan dikembangkan senyumnya seperti biasa. Kemudian berbalik dan melangkah berdua menggandeng tangan Dina. Meninggalkanku sendiri bersama buku-buku yang tergeletak di meja, menatap kepergian mereka berdua.

Dapat tujuh langkah berjalan, Dina tampak menoleh sambil tetap melangkah dan mengucapkan kalimat tanpa suara. Jadi mulutnya saja yang komat-kamit kayak dukun baca mantera, tapi mudah sekali terbaca. Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu kutelangkupkan kedua telapak tangan di dada seperti yang dilakukannya sewaktu berkenalan tadi sambil sedikit membungkuk.

Hingga mereka menghilang dari pandangan, aku masih berdiri menatap. Sambil menancapkan kalimat tanpa suara Dina ke otakku agar tak lupa. Yang kubaca dari komat-kamitnya mulut Dina adalah : "Jangan lupa makan-makannya ya......!"

Ah..., ada-ada saja kisah yang kualami ini, gumamku dalam hati. Semua terjadi betul-betul di luar rencana dan di luar dugaan. Kisah anak manusia yang tak berdaya melawan takdir Sang Raja Manusia.

kaskus-image
Continue to Part 20
Diubah oleh wowonwae 16-04-2019 05:54
Arsana277
pulaukapok
pulaukapok dan Arsana277 memberi reputasi
2
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.