Kaskus

Story

wowonwaeAvatar border
TS
wowonwae
Cinta Tak Bisa Disalahkan (Part 2)
Cinta Tak Bisa Disalahkan (Part 2)


Sebelumnya : Part 1

Part 2

Cinta Tak Bisa Disalahkan (Part 2)

CUITAN DARI ATAS BALKON

Aku memang biasa dipanggil Aik, nama panggilan semenjak kecil yang diberikan orang tuaku. Sebetulnya itu diambil dari nama belakangku, Aji. Buat mudahnya bagi lidah jawa, huruf "j" dihilangkan dan diakhiri konsonan "k", jadilah Aik. Demikian aku berkenalan sama semua orang di sini, nggak dosen, senior, pegawai kampus, tukang parkir, junior sampai orang-orang kampung mengenalku dengan nama Aik.

Yang tampak saat kutolehkan wajahku adalah sebuah rumah besar yang terletak berseberangan dengan rumah kost yang baru akan kutempati. Tertutup pintunya, semacam pintu garasi lebar bersegmen-segmen terbuat dari bahan kayu kayak di senetron-sinetron atau FTV. Tidak tampak seorangpun di depan pintu itu. Kudongakkan kepalaku segera mengikuti sumber suara, ternyata ada dua gadis yang senyum-senyum memandangku di teras balkon lantai 2.

Ya, rumah besar itu memang susun bentuknya, hanya 2 lantai. Lantai pertama yang pintunya tertutup itu garasi buat nyimpen motor anak-anak kost, lantai kedua adalah kamar kost dengan teras balkon los, tak bersekat, memanjang di depan kamar-kamar kos. Empat orang senior cewek, setingkat di atasku memang tinggal di situ. Dan salah satunya itulah yang memanggilku, namanya Ica. Rupanya sejak tadi dia mengamati proses pemindahan barang-barangku dari pick-up ke kamar kost, bersama kawan kostnya.

"Hai !", jawabku setengah berteriak. "Ngapain Ca pagi-pagi nongkrong aja di atas? Nggak pada ngikut ngandong?" tanyaku kemudian. Ica memang setingkat di atasku, tapi tahun kelahiran kita sama, makanya aku takpernah memanggilnya Mbak atau Kak sebagaimana kawan seangkatannya yang lain.

"Lagi males, begadang semalem", jawabnya dengan seulas senyum. Kawan di sebelahnya juga ikut senyum-senyum, malah tampak serius mengamati wajahku meski terkesan jaga image. Senyumnya manis juga dengan deretan gigi yang rapi. Hidungnya mancung lebih mancung dari hidungku, sedang matanya lebar - jelas lebih lebar dari mataku yang sipit ini. Mata kami sejenak beradu, aku menangkap kesan seolah ingin mengajakku berkenalan.

Kualihkan lagi pandanganku ke Ica yang lebih dulu kukenal. Baik anaknya, tergolong pinter dan rajin di angkatannya, aku sering pinjam catatannya atau minta keterangan untuk pelajaran yang aku kurang mengerti. Sebagai anak pintar, Ica tidak egois seperti kebanyakan, dia tidak pernah menolak berbagi catatan dan pemahamannya pada siapa saja.

"Udah sarapan Ca? Yuk!" ajakku.

"Udah dong, pagi tadi kami masak berdua", kata Ica sambil melirik kawan di sebelahnya.

"Widiiih, masak apa? Boleh dong ngicipin...", sahutku berbasa-basi, masih dengan mendongakkan kepala.

Disenggollah dengan sikut kawan di sebelahnya, dua kali. Merah padam mukanya, tawanya lepas sambil memegangi lengan Ica dan mengguncangkannya. Kepalanya digeleng-gelengkan menatap Ica, bahasa isyarat agar masakannya jangan dibagikan. Ica juga tergelak tawanya melihat tingkah itu, dengan sigap lalu dialihkannya pandangan kembali ke bawah - ke arahku.

"Restu malu Ik, kami masih belajar memasaknya, masih agak hambar rasanya. Ini nih chefnya...," kata Ica menunjuk kawan di sebelahnya sambil menahan tawa geli. Sedang kawannya itu mengangguk-angguk, isyarat mengiyakan jawaban Ica dengan ekspresi malu.

"Yo wis ( ya sudah ). Aku pegel ndangak ( aku capek mendongak) terus. Kalau mau lanjut ngobrol sini turun ke bawah", celetukku kemudian.

"Udah kamu sarapan aja dulu !", jawabnya.

"Oke !", jawabku langsung berbalik badan menghampiri motor di depan kamar kostku.

Lupa mengunci pintu kamar, turunlah lagi aku dari motor yang terlanjur sudah kustarter. Setelah yakin aman terkunci, kembali kunaiki motor dan kulajukan mengikuti naluri perut yang sudah keroncongan sejak tadi.

Sepanjang jalan, ingatanku pada percakapan tadi masih mengiang, terutama kesan pada ekspresi spontan kawan kost Ica saat aku berbasa-basi pengin mencicipi masakan mereka.

Cinta Tak Bisa Disalahkan (Part 2)

Continue to part 3part4part5part6part7part8part9part10InterlogPart11Part12Part13Part14Part15Part16Part17Part18Part19Part20Part21Part22Part23Part24Part25Selembar TestimoniPart26Part27Part28Part29Part30
Diubah oleh wowonwae 08-05-2019 13:00
thebavarian.90Avatar border
mmuji1575Avatar border
yambu668Avatar border
yambu668 dan 14 lainnya memberi reputasi
13
10.5K
63
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
wowonwaeAvatar border
TS
wowonwae
#22
Part 17
kaskus-image

Sunset di Medan Anarki

Matahari semakin condong ke barat, warnanya yang kuning keputihan mulai agak kemerahan. Angin di ngarai tak begitu kencang berhembus, hanya sesekali menerbangkan dedaunan kering taksampai setinggi betis. Suara air mengalir berpadu dengan gesekan dedaunan pohon membentuk alunan musik alam yang harmonis. Kicau burung cendet dan raja udang sesekali menyela seolah bunyi flute atau saxophone di tengah irama latar orkes biola. Benar-benar suasana yang mencandui anak-anak Pe-A hingga dibela-belain bolos kuliah bahkan bolos ujian.

Jalanan terjal menurun terpaksa kulalui dengan hati-hati sekali, hanya itu jalan satu-satunya yang bisa dilewati motor untuk sampai di dasar ngarai. Bukan perkara yang sulit andai aku sendirian, tapi menjadi soal berhubung di belakangku ada seorang gadis yang aku tak rela bila terluka, sedikitpun ! Maka begitu sukses kucapai dasar ngarai, segera kumatikan mesin motor lalu menoleh ke belakang.

"Kamu nggak papa kan ?" tanyaku kepada Restu dengan tatapan cemas. Hanya menggeleng dia sambil tersenyum.

Kulirik tangannya yang masih tampak berpegangan kencang pada behel belakang jok motor, tanda belum lepas dia sebenarnya dari ketegangan. Aku tersenyum, Restu buru-buru melepas pegangannya, menepis rasa tegang yang dialaminya.

"Ma'af ya...", kataku lirih penuh penyesalan. Aku terlalu memaksakan rencana ini untuk seorang gadis yang sama sekali taktertarik pada adventuring. Ya, aku tak beri keterangan apapun saat mengajak Restu untuk ikut.

"Nggak papa kok", katanya ngeles sambil turun dari boncengan.

Aku masih memandangnya tak yakin, mengkhawatirkan kondisinya. Ditariknya jaketku, kode memintaku agar segera turun dari motor. Kepalanya menunjuk ke arah Omang dan Ayat yang memandang kami berdua dengan bengong. Barulah aku kembali pada kesadaranku, lalu kuminta Restu agar mengikutiku menghampiri mereka.

"Piye (gimana)? Wis siap kabeh tha (Udah siap semua kan) ?" tanyaku pada mereka.

Taksegera menjawab mereka, kedua bola matanya mengarah ke Restu, sejurus lalu ganti ke arahku. Jelas heran mereka melihatku bawa orang baru, cewek dan tidak sekampus lagi. Restu merapatkan sisi tubuhnya ke tubuhku ketakutan, aku memakluminya.

"Iki kenalke mbakyumu (Ini kenalin kakak perempuanmu) Restu", kataku segera, meminta agar mereka segera berkenalan agar terhapus saling bertanya dan segera mencair suasana.

Ayat lebih dulu mengulurkan tangannya kepada Restu sambil tersenyum. "Ayat...", katanya.

"Restu...", dibalas perkenalan Ayat.

Lalu Omang menyusul. "Omang...", kenalnya.

"Restu...", dibalasnya sama seperti Ayat.

"Break ! Break ! Elang 4...elang 4, elang 3 sampai mana ? Ganti !" kata Ayat dengan walkie talkie nya.

"Dicopy ! elang 3 satu belokan lagi sampai, ganti !" jawab suara tak begitu jernih dari alat walkie-talkie Ayat.

"Siap mas, peralatan rapling wis kepasang (sudah terpasang), anak-anak bentar lagi tuh paling nyampe !" lapor Ayat.

Restu berganti-ganti memandang antara aku dan Ayat, menyimak peristiwa yang tidak familier baginya.

"Kamu istirahat aja dulu ya Res...!" kataku setengah berbisik kepada Restu. Dia mengangguk setuju.

"Mang, titip mbakyumu diamankan !" perintahku ke Omang.

"Siap mas !"

"Yuk mbak, di situ lebih teduh !" ajak Omang kepada Restu.

Restu menarik lagi jaketku sambil sisi tubuhnya kembali ditempelkan, aku tersenyum lagi melihat tingkahnya yang masih ketakutan. Maklum, Omang ini asli Maluku, rambutnya keriting dipiara hingga kayak brokoli dan kulitnya hitam legam. Tampangnya memang serem kalau baru kenal, tapi kalau sudah akrab ini anak lucunya bukan main.

"Res..., Omang ini junior 2 tingkat di bawah kita. Kalau macem-macem pukulin aja pakai kayu, nih !" kataku sambil meraih tongkat kayu sepanjang tinggi badanku dan menyerahkannya ke Restu. Maksudku berusaha menenangkannya dengan canda.

Restu, Omang dan Ayat tertawa melihatku. Akhirnya bersedialah Restu mengikuti ajakan Omang menuju lokasi tepi ngarai yang ternaungi pohon rindang. Sudah ada dua lembar matras yang tergelar di atas rerumputan, samping tenda dump milik Omang yang sementara didirikan di situ. Aku menghela nafas lega, lanjut mempersiapkan diri bersama Ayat menyambut peserta diksar yang sudah mulai berdatangan satu persatu.

Ayat segera ambil tindakan, dibariskan mereka dalam deret memanjang. Beberapa anak yang kecapekan mbalelo (tidak menuruti perintah) dan masih duduk-duduk di jalan turunan bukit dengan nafas terengah-engah. Irin yang mengikuti mereka dari belakang segera menghampirinya dan menendang pelan.

"Ayo ! Ayo ! Jangan manja dek !" bentaknya. "Udah mau maghrib nih, cepetan !"

Tiga peserta itu segera bangkit sambil meringis sambil mengatur nafas, lalu menyusul bergabung dalam barisan kawan-kawannya. Kutoleh kembali arah Restu beristirahat bersama Omang, tampaknya mereka sudah sedikit akrab. Aku kembali menghela nafas lega, kualihkan lagi pandangan ke arah rute jalan masuk lokasi - mengamati kawan panitia diksar yang masih tersisa di belakang. Ada 5 orang termasuk Irin yang sudah sampai, seharusnya 10 termasuk Novi - tapi belum juga tampak. Lalu kulihat Ayat yang masih menyapa peserta diksar yang berbaris dan memberi arahan.

"Omang sama siapa tuh mas ?" tanya Irin setengah berbisik setelah posisinya tepat di sebelahku. Kepalanya menunjuk ke arah Restu dan Omang, nafasnya masih agak tersenggal akibat perjalanannya tadi mengiring para peserta diksar dari pos III.

"Sana samperin aja ah..., kenalan sendiri !" jawabku. Bukan jawaban yang keluar dari mulutku, tapi malah perintah.

Irin bersama keempat rekan panitia segera melangkah menuju tempat Omang dan Restu kubiarkan berdua. Aku melangkah mendekat ke barisan peserta mendampingi Ayat. Sudah takperlu lagi kukhawatirkan Restu, 100 % aku yakin akan semakin aman kalau sudah kenalan dengan 2 rekan panitia cewek yang baru datang, khususnya Irin. Tinggal satu lagi masalah, bagaimana cara bawa Restu ke pos kamp perkemahan setelah semua ini. Otakku yang memikirkannya sedari pagi, belum juga nemu jawabannya.

Kuambil walkie-talkie yang tersemat di ikat pinggang Ayat. Sedang Ayat masih memberi arahan ke peserta, kucoba berkomunikasi dengan rekan panitia yang tak kunjung kelihatan.

"Break ! Break ! Elang 5 di sini, elang 1,2,3 posisi sampai mana ? Ganti !"

"Di copy, mereka aman bersama kami di kamp perkemahan Ik, lanjut saja kalian !" jawab suara di walkie-talkie mengejutkanku. Sialan ! Suara Bang Yulan yang terdengar itu, aku hafal sekali. Bersama senior kakak tingkat yang lain, rupanya telah mensabotase plan yang sudah kami rancang, atau kelima rekan panitia yang justru mengingkari hasil keputusan rapat.

"Break ! Break ! Kabarnya ada emprit nyusup di sarang elang ya ? Ganti !" tanya suara yang kali ini kukenal milik Bang Komar, dedengkot senior yang habis diwisuda. Glek ! Kutelan ludah, kaget betul tak menyangka.

Kulirik Ayat, ternyata sudah lebih dulu dia melirikku masih sambil bicara di depan peserta. Tersungging senyum di wajahnya sebentar, lalu buru-buru kembali serius dan mengarahkan lagi pandangan ke peserta. Sialan ! Umpatku kedua kalinya. Rupanya tadi Ayat diam-diam bocorkan rahasia lewat walkie-talkie soal keberadaan Restu yang kuajak menyusul ke sini. Aku mundur dua langkah sebelum menjawab suara Bang Komar agar tak mengganggu jalannya acara.

"Dicopy Elang Jambul, bukan emprit, tapi cendrawasih. Ada di dalam lingkaran teritori, jauh dari sarang. Aman. Ganti !" jawabku kemudian lantang.

Elang jambul adalah sebutan bagi senior kehormatan, mereka yang sudah lulus tapi masih suka ikut dalam acara Pe-A kami. Sedang teritori adalah istilah batas wilayah yang dimiliki burung sejenis elang, khususnya pejantan, untuk melindungi habitat hidupnya dari elang lain yang berpotensi mengganggu. Jika ada yang nekat masuk wilayah teritorinya, burung elang tak akan segan menyambar dan menyerang.

"Dicopy, elang 5 tampaknya mulai pucat...hahaha...", balas Bang Komar dengan canda tawanya. Mukaku merah padam seketika, kutoleh arah Restu, tampak kawan-kawan panitia yang duduk-duduk bersama Restu tertawa ke arahku. Mereka dengar dengan jelas percakapanku dengan Bang Komar lewat walkie-talkie tadi. Kulihat Restu hanya tersenyum kesetrum tawa kawan-kawan, tapi sebetulnya tak faham.

Bahasa kode khas Pe-A kita hanya digunakan saat berkomunikasi pakai walkie-talkie, tujuannya bisa hanya untuk iseng saja tapi juga bisa memang komunikasi rahasia agar tak dimengerti oleh komunitas lain. Dengan bahasa khas ini, Pe-A  kita jadi cepat dikenal oleh Pe-A lain saat bertemu di even-even antar Pe-A, sehingga mudah mendapat perhatian dan cepat dapat kawan baru.

"Mas, giliranmu...", kata Ayat menoleh padaku. Aku mengangguk, lalu maju lagi ke posisi semula.

"Oke silahkan duduk. Ambil posisi paling rileks !" suruhku ke peserta. Aku ikut duduk bersila di depan mereka, sedang Ayat masih tetap berdiri.

"Haus nggak ?" tanyaku.

"Iya kaaak !" jawab para peserta kompak.

"Ada banyak air di belakang kalian, botol minumnya silahkan dipakai buat ngambil", lanjutku. Taksatupun dari mereka merespon, dan memang sudah sewajarnya karena kini sungai yang mengalir di dasar ngarai itu sudah banyak polutannya. Beberapa popok bayi bekas nampak tersangkut di bebatuan dan perakaran pohon tepi sungai.

"Kita sudah survei sungai ini dari hulu, kalian masih ragu ?" tanyaku menggoda. Mereka takmenjawab, kebingungan dan ragu-ragu. Pemandangan yang sudah biasa tiap diksar jilid II di Pos materi Survival seperti yang menjadi bagianku saat ini.

"Oke, kukira sudah cukup istirahatnya. Ada mata air di tebing atas situ, kalian ambil dan lanjut ke pos berikutnya", kataku sambil menunjuk tebing ngarai yang agak curam di sisi sungai. Semua peserta menoleh.

"Tali repling sudah dipersiapkan, kalian tinggal pakai buat sampai ke puncak bukit. Itu kelihatan kan aliran airnya ? Nah, sambil memanjat ke atas nanti, sempatkan untuk ambil air dan tampung di botol yang kalian bawa !" perintahku. Semua peserta diksar masih menoleh ke arah tebing.

"Bisa dimengerti ?" tanyaku.

"Belum kak !" jawab mereka kompak dan kembali menatapku. Aku berdiri lalu mengajak mereka juga berdiri.

"Jangan panggil kak !" bentakku mengingatkan mereka. Kita bedakan panggilan senior antara di kegiatan OSPEK dan di kegiatan Pe-A.

"Ulangi lagi jawabannya !"

"Belum Kaaang !"

Kang adalah panggilan untuk senior Pe-A yang cowok, sedang yang cewek wajib dipanggil Mbakyu. Beda dengan saat OSPEK yang mengharuskan mereka memanggil kami dengan Kak, terhadap senior cowok ataupun cewek. Demikian tradisi yang sudah berjalan turun-temurun di jurusan kami.

"Kang Ayat tolong diberi contoh !" kataku menoleh ke Ayat.

Ayat segera menyeberang sungai menuju tebing, meraih tali repling yang sedari tadi sudah dia persiapkan bersama Omang. Ujung tali itu terikat kuat melingkar pada sebatang pohon besar yang berada di puncak bukit, sisanya bebas ngelewer ke bawah.

Kawan panitia yang lain segera berdiri hendak menyusul membantu Ayat, Irin kutuding dengan jari telunjuk. Dari gerak menunjuk tepat ke arahnya, berlanjut menunjuk ke arah bawahnya, kode agar dia jangan beranjak dari tempatnya, menemani Restu yang tampak mulai gelisah.

"Mang ! Ngapain kamu masih di situ ?!" seruku kepada Omang yang masih asyik-asyik aja duduk di samping Restu, beda matras.

"Lha katanya mengamankan Cendrawasih...???!" seru jawabnya sambil tersenyum lebar - bercanda.

Restu hampir tertawa tapi segera ditutupi mulutnya dengan telapak tangan. Berarti dia baru paham bahasa kode "Cendrawasih" yang dimaksud adalah dirinya. Irin jangan ditanya, sudah ketawa ngakak dari sejak Omang selesai bicara.

Aku mendelik dan berkacak pinggang, Omang segera berdiri menyusulku. Membantu memasangkan safety harness pengamanan pada peserta yang bakal mulai menyusul Dayat.

"Nanti sampai di atas, ambil tanaman yang layak buat di makan !" perintahku lagi ke peserta yang sudah tak rapi lagi barisannya. Semuanya memperhatikan Ayat yang sedang berjuang memberi contoh pada mereka.

"Di atas sana ada 4 - 5 jenis sebagaimana sudah dijelaskan ciri-cirinya dalam Diksar I !" seruku lagi menambah keterangan.

"Mang, aku padamu !" kataku kemudian kepada Omang. Itu bahasa populer di kalangan kami yang berarti menyerahkan segala tanggung jawab dan kepercayaan kepada lawan bicara.

"Beres Kang !" jawab Omang masih sambil memasangkan pengaman di badan peserta urutan pertama.

Aku segera melangkah menghampiri Restu dan Irin. Senyum-senyum Irin menggodaku, dilingkarkan tangannya pada lengan Restu. Seperti yang kuduga, Irin akan segera memperlakukan Restu sebagaimana dia memperlakukanku seperti kakak kandungnya.

Aku berjongkok di depan Restu dalam sikap seperti memohon. Satu lutut menempel di tanah, lutut yang lain tetap di atas. Restu membalas tatapanku, alisnya mengkerut menyimpan tanya. Entah tanya ataukah sebuah penolakan ajakan, tak begitu jelas bedanya.

"Res..., aku nggak mungkin tega ngajak kamu seperti mereka." kataku lembut, menjadikannya tampak lebih tenang. Tapi alisnya masih tampak mengkerut.

"Sekarang kamu masih bersedia lanjut atau mau pulang saja ?" tanyaku. Irin tolah-toleh menatapku dan Restu bergantian - menyimak.

"Sory ya Ik..., tadi waktu kamu ngajak, aku nggak mbayangin..."

"Eh, nggak...enggak, aku yang minta ma'af !" tukasku lekas-lekas.

"Iya, maksudku nggak papa kok, aku malah jadi ngerti sekarang tentang kegiatannya anak Pe-A. Cuman aku mungkin nggak bisa kayak kalian yang banget menikmati kegiatan seperti ini", jelas Restu sambil mengusap lengan Irin yang mengempit lengannya dengan telapak tangan yang lain. Irin tersenyum memandang Restu,   semakin serius caranya memandang. Seolah menanti-nanti lanjutan kalimat Restu diucapkan kembali.

"Aku minta ma'af karena malah jadinya ngrepotin...", kata Restu lagi. Sebuah penjelasan yang membuatku dan Irin lalu saling pandang. Sungguh di luar dugaan !

"Eh, mbak Restu kalau mau pulang Irin aja deh yang anter. Jadinya nggak ngrepotin Mas Aik kan?" kata Irin mencoba menawarkan solusi.

"Emang kamu bisa Rin naik motor laki ?" tanyaku cepat-cepat ke Irin.

Motor laki itu istilah untuk yang selain motor bebek dan memakai rem kopling. Jarang-jarang cewek di jamanku yang bisa pakai motor seperti itu.

"Yah Mas Aik, apa sih yang Irin kagak bisa ?!" jawabnya kayak anak kecil yang lagi disepelekan, membuat Restu tertawa kecil sekaligus membuatku bahagia bisa menyaksikan senyum yang selalu menawan itu.

"Buktiin coba !" kataku sambil melempar kunci pada Irin. Dengan sigap dilepas kempitannya pada lengan Restu dan ditangkapnya kunci yang kulempar tepat dalam genggaman. Itulah Irin, lincah dan sigap anaknya.

Irin bangkit berdiri dan bergegas menghampiri motorku, dinyalakan, masuk gigi kopling, tarik gas untuk putar motor ke arah sebaliknya. Begitu lihai ! Aku dan Restu tercengang, juga kawan-kawan dan peserta tersisa yang masih sempat menyaksikannya. Kami saling pandang, salut sama Irin yang serba bisa itu.

"Ayok Mbak Restu ! Kita ngecross !" serunya.

"Aku duluan ya...", pamit Restu padaku lalu melangkah cepat menghampiri Irin dan segera membonceng. Aku bengong saja, tak sempat bilang ya, tak pula bilang tidak.

"Pegangan sini Mbak!" kata Irin sambil menarik kedua tangan Restu agar dilingkarkan ke perutnya.

Aku berlari mendekat, khawatir sesuatu yang tidak baik terjadi. Tapi belum juga dekat betul, Irin sudah tarik gas motor, membawanya mendaki bukit yang jalannya masih bebatuan alami itu. Sesampai di atas sempat-sempatnya Irin berhenti dan menyilangkan motor, lalu melambai ke arahku - berdua bersama Restu. Aku menghela nafas lega, kubalas lambaian mereka. Dasar Irin ! Batinku.

Sejurus kemudian sudah taktampak lagi mereka berdua. Aku barulah tersadar, kalau Restu tadi takmenjawab waktu kutawari pilihan antara lanjut atau pulang. Dia juga takmenyebut mau pulang dalam pamitnya tadi. Jangan-jangan, Irin membawanya ke Camp perkemahan ? Pikirku. Waduh, celaka nih kalau Restu nanti dikerubutin sama para Elang Jambul...

"Ayo cepet...cepet...cepet...!!!!" teriakku ke arah peserta yang masih tersisa 2 menunggu giliran. Kawannya yang masih bergelantungan hampir sampai di puncak bukit. Senior panitia tersisa hanya tinggal Omang sendiri, yang lain sudah kelihatan santai-santai di atas.

Matahari semakin memerah, pamali buat dipandang kalau kata orang tua. Bisa menyebabkan mata sakit alasannya. Tapi bagi anak Pe-A, momen tenggelamnya matahari justru pemandangan yang indah. Dengan memakai kacamata hitam, mereka yang sudah bersantai di atas tampak menikmati Sunset dengan khidmad.

kaskus-image
Continue to Part18
Diubah oleh wowonwae 14-04-2019 21:51
pulaukapok
pulaukapok memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.