- Beranda
- Stories from the Heart
[TAMAT] Always Be My Baby
...
TS
saleskambing
[TAMAT] Always Be My Baby
![[TAMAT] Always Be My Baby](https://s.kaskus.id/images/2019/03/21/8577467_201903211113170946.png)
Mulustrasi, sumber
Tokoh dan karakter di cerita ini diambil dari cerita ini, boleh dibaca dulu biar tau, tapi lebih baik nggak usah.
Spoiler for Part 1:
Aku menurunkan bocah kecil ini dari gendongan, sedikit berjongkok agar bisa merapikan setelan seragamnya yang agak sedikit berantakan, lalu mulai memandangnya, persis seperti apa yang sedang dilakukan oleh orang tua lain yang juga ada di sini.
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
***
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
***
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
Quote:
You'll always be apart of me
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
🎶 Always Be My Baby - David Cook
Diubah oleh saleskambing 19-11-2025 13:09
jenggalasunyi dan 58 lainnya memberi reputasi
55
57.9K
Kutip
335
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
saleskambing
#91
Part 3
Hold Me While You Wait - Lewis Capaldi
Spoiler for :
Memutuskan untuk hidup berumah tangga dan hidup bersama, berarti juga harus bersiap untuk saling menanggung segalanya bersama. Siap untuk bersinergi dan saling bekerjasama dalam segala hal. Termasuk untuk saling membagi, dan mungkin juga saling membantu dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang mungkin secara normal harusnya dikerjakan pasangan kita.
Begitupun dengan yang terjadi pada aku dan Dhara, sebagai sepasang suami-istri yang kompak dalam segala hal (termasuk di ranjang), kita juga sudah terbiasa saling membantu dan menggantikan tugas yang harusnya dilakukan oleh pasangan kita. Meski seorang lelaki, aku sudah biasa mencuci baju, aku juga kerap kali menggantikan tugas Dhara mengepel lantai, aku sering mengantar jemput Irfan, dan aku juga sering membantu Dhara saat memasak. Sementara Dhara, dia lebih sering menggantikan tugasku untuk nyuruh nyuruh dan marah marah, bahkan saat jelas jelas kesalahan itu dia perbuat sendiri. Ya, sebagai seorang pasutri yang kompak, kita memang sering berbagi dan bertukar tugas. Meski kenyataannya mungkin lebih tepat jika lelaki lemah lembut dan tidak tegaan sepertiku sudah dimanfaatkan habis habisan oleh wanita cantik namun licik seperti dirinya..
Termasuk dengan yang terjadi di siang ini, dimana setelah menjemput Irfan disekolah, aku dan bocah kecil 'dablek' ini sudah berada di sebuah supermarket untuk berbelanja kebutuhan rumah tangga bulanan kita karena Dhara masih sibuk dengan urusan dan pekerjaannya.
Berbekal selembar catatan berisi daftar belanjaan yang ditempel Dhara dipintu lemari es, aku mulai mendorong troli ini menyusuri rak rak belanjaan dan lorong lorong supermarket. Berada diantara puluhan bahkan ratusan orang yang kebanyakan adalah kaum hawa. Agak kurang adil sebenarnya melihat lelaki gagah dan tampan sepertiku harus berbelanja kebutuhan rumah tangga sambil mengajak bocah kecil yang tidak bisa diam, mirip ulat nangka ini. Sementara disana, Dhara mungkin sedang enak enakan membentak pasien pasiennya karena susah minum obat atau tidak mau diberi suntikan. Dia mungkin juga sedang menikmati tugasnya saat harus menemani dokter umum (yang kebanyakan memiliki tampang rupawan) melakukan pemeriksaan ke tiap pasien. Jauh berbeda denganku yang sedang terjebak diantara banyaknya emak emak bersama seorang bocah yang suka minta ini itu saat sedang diajak berbelanja.
Tapi setelah aku pikir pikir, tidak ada salahnya juga aku melakukan ini. Berada disini ternyata juga tidak terlalu mengerikan dan memalukan, bahkan aku juga bisa sekalian cuci mata karena disini juga banyak pemandangan yang sayang untuk dilewatkan. Lagipula, hidup ini kadang memang tidak selalu berjalan dengan adil kok. Dan menjadi istriku, mungkin adalah salah satu 'ketidakadilan' baginya.
"ini yah, bumbu nasi gorengnya.. " Ucap Irfan sambil memasukkan beberapa bungkus bumbu nasi goreng instan kedalam troli belanjaan. "Sekarang apa lagi? "
Aku melirik kertas catatan yang kubawa, lalu membalas kata katanya.
"Sarden boy! " Ucapku padanya. "Tau nggak yang mana kaleng sarden? "
"tau doong.. " Balasnya antusias, lalu berjalan menuju rak belanjaan tempat sarden kalengan berada.
Cukup lama kita berdua berada disini, karena ada cukup banyak barang yang harus kita beli. Belum lagi Irfan yang suka tiba tiba ngilang lalu mendadak beli sesuatu yang jelas jelas tidak ada dalam daftar. Aku sebenarnya tidak masalah kalau harus berlama lama disini, karena sebagai seseorang yang bisa dibilang tidak punya pekerjaan yang jelas tentu aku punya banyak stok waktu luang. Tetapi tetap saja, berjalan mengelilingi supermarket sebesar ini juga cukup melelahkan. Belum lagi kalau Irfan tiba tiba minta gendong karena kecapekan jalan.
"heh, jangan naik disini. Bisa ambyar nih troli kalo kamu naekin.. " Ucapku sambil menghalau Irfan yang hendak naik troli belanjaan. "Iya kalo masih bayi dulu.. "
"capek yaah.. kapan sih selesainya? "
"salahin bunda kamu nih, belanjaan udah kayak logistik buat korban bencana aja.. " Jawabku sambil melirik daftar belanjaan yang untungnya hanya tinggal beberapa item lagi yang belum ku ceklis. "udah ambilin deterjen aja, biar cepet kelar. Ntar kalo dah kelar kita beli eskrim.."
"yaudah deh.. " Balasnya sambil berjalan perlahan. "Yang merk apa ini yah? "
"risno cair, tuh yang warna merah muda kombinasi ijo. " Aku menunjukkan prodak mana yang harus dibeli padanya. "Sekalian shampo ya boss, ambil aja yang merek 'kepala dan tentara' (head and soldier) tuh.. "
Aku kemudian sedikit menebar senyum pada seorang wanita yang sedang berbelanja tak jauh dari tempatku dan Irfan berada. Karena wanita yang ku taksir berusia sekitar awal tiga puluh tahun itu juga nampak sedang tersenyum saat memperhatikan percakapan kita. Entah kenapa, gemas melihat kelakuan Irfan, atau gemas pada ayahnya yang juga tak kalah menggemaskan ini mungkin.
Saat tengah saling melempar senyum, tiba tiba saja ponsel yang ada disaku celanaku berdering dan bergetar, menandakan ada sebuah panggilan yang menyambangi ponsel 'jadul' ku itu. Dan biasanya nomor yang menyambangi ponsel lawas buatan Finlandia itu juga orang orang yang 'jadul' alias sudah kukenal sejak lama.
Incoming Call : Mayjen
Nah kan, istriku itu memang tidak pernah membiarkan suaminya merasakan kebahagiaan, bahkan untuk waktu yang sebentar saja.
"
iyaa, halo buun.. " Ucapku menjawab panggilan sambil kembali melempar senyum pada wanita tadi, yang masih saja belum beranjak dari posisinya.
"
halo ayaah, ayah dimana? Udah jemput Irfan belum? Udah siang lho ini, kasian anak kita kalau belum dijemput. Pasti udah kelaperan. Belum lagi kalo ntar dibawa penculik gimana? Sekarang kan lagi marak tuh penculikan sama perdagangan anak. Ayah jangan sibuk sama pek.. " Dhara ngoceh panjang lebar tanpa mendengar kata kataku terlebih dahulu, yang langsung saja kupotong. Kalau dibiarin bisa sampe besok dia ngoceh tanpa jeda gini.
"
sst.. bunda tenang dulu ya, dengerin aku ngomong dulu.. " Ucapku menyela kata katanya. Sambil kembali tersenyum pada wanita tadi. "Irfan udah ayah jemput kok, ini dia lagi ikut belanja nih, bunda nggak usah khawatir ya, dia baik baik aja kok.. "
"yah, ngambil apa lagi ini? " Tanya Irfan sambil meletakkan deterjen dan shampo didalam troli. Aku kemudian melirik kembali catatan berisi daftar belanjaan yang kubawa. Sementara wanita tadi masih saja memandang kita sambil senyum senyum. Ini cewek kenapa sih, nggak jelas banget. Aku tahu kita berdua memang pasangan ayah dan anak yang begitu menawan, tapi nggak usah lebay gitu kenapa sih.
"
Oh lagi belanja ya, yaudah deh.. " Sahut Dhara di seberang saat aku kembali mengamati daftar belanjaan satu persatu. Sedangkan wanita tadi, aku sudah tidak peduli meski dia masih tetap senyum senyum. "Oh iya yah, nanti bunda mau jenguk temen bunda yang baru lahiran. Anaknya cowo, enaknya dibeliin apa ya.. "
"
hmm.. apa yaa.." Ucapku seadanya karena konsentrasi ku sedang terbagi. Antara menanggapi panggilan ditelepon, mengamati daftar belanjaan, hingga sesekali melirik kearah wanita itu.
"yah, buruan. Ngambil apalagi ini.. "
"Sabun sirih, boy.. " Ucapku mantap lalu memberi ceklis disebelah tulisannya. Suasana disini seperti mendadak hening untuk beberapa saat. Irfan kemudian terdengar mulai berjalan menjauh, sambungan telepon dimana ada Dhara diseberang berganti menjadi suara yang tidak begitu jelas, lebih mirip seperti suara geraman. Sementara wanita itu, dia kemudian malah terdengar sedang cekikikan.
Aku mulai menyadari ada yang tidak beres saat kembali membaca daftar belanjaan, aku mulai merasa ketar ketir saat suara geraman ditelepon semakin terdengar jelas. Dan aku semakin ingin ber teleportasi ke gurun Sahara saat melihat Irfan berjalan menghampiriku, lalu semakin membuat aku malu setelah mendengar kata kata polosnya.
"yah, sabun sirih itu yang mana sih, dicariin daritadi ga ketemu. Irfan nemu, tapi sabun kodok nih.. "
"
AYAAAAHHH !!! "
TUTT! TUTT! TUTT!!
Aku langsung mematikan telepon begitu menyadari kalau Dhara mungkin sudah berubah ke mode iblisnya, bodoamat disana dia sedang marah marah. Toh ini juga terjadi karena kesalahannya, bisa bisanya dia memasukkan barang yang bisa dibilang masih tabu itu kedalam daftar. Aku juga hanya bisa memasang tampang 'seolah tidak terjadi apa apa' saat mulai ada banyak orang yang memperhatikan aku dan Irfan.
"yah, gimana? " Tanyanya lagi.
Belum sempat aku berkata apa apa padanya, wanita yang masih terlihat sedang menahan senyum itu kemudian berjalan menghampiri Irfan. Sepertinya level 'gemes' nya pada anakku sudah mencapai titik tertinggi.
"haloo Irfan junior.. Lagi nyari apa sih? Sini tante bantuin.. "
Wanita itu kemudian menggandeng tangan Irfan menuju rak rak yang menyediakan keperluan wanita. Tangan mungilnya kemudian membantu Irfan mengambilkan sabun sirih yang letaknya berada ditempat yang cukup tinggi dan jelas diluar jangkauannya.
"haha, anaknya lucu banget sih mas.. " Ucapnya sambil tersenyum setelah mengantar Irfan kembali kehadapanku. Sementara aku juga hanya bisa senyum senyum nggak jelas sambil garuk garuk kepala.
Wanita itu kemudian mendorong troli nya menuju kasir, sepertinya dia sudah menyelesaikan kegiatan belanjanya. Melihat hal itu, aku juga ikut memutar troli belanja ku untuk kemudian berjalan menyusulnya.
"hehe, ayahnya juga nggak kalah lucu kok.. " Ucapku saat sudah kembali berada didekatnya
"haha, percaya kok fan. Aku ga pernah tuh, ngelihat ada orang yang tampilannya rapi kaya kamu, pake jas, rambut klimis, sepatu pantofel keren, eh masuk supermarket malah beli sabun sirih.. haha. "
"hmm.. terus aja ledekin.. "
Kita berjalan saling beriringan, dengan dia yang berada didepan sedangkan aku mengekor dibelakangnya. Sepanjang perjalanan aku masih saja mengaguminya, sedikit tidak percaya bahwa gadis manis yang dulu terlihat begitu manja bisa berubah menjadi wanita dewasa yang begitu mengagumkan seperti dirinya. Aku juga sempat berpikir betapa bodohnya diriku, hingga bisa bisanya melepaskan wanita anggun seperti dirinya.
"tante tante.. Thalia kemana kok ga ikut? "
Marcella kemudian menghentikan laju troli belanjanya saat dari belakang tiba tiba saja Irfan bertanya kepadanya.
"haha, Thalia lagi main sama neneknya fan. Kenapa? udah kangen ya? Masa tadi disekolah udah ketemu sekarang udah kangen sih.. "
"hehe, ga gitu tantee.. "
Irfan tersipu mendengar kata kata yang diucapkan Marcella, ia lalu berlari mendahului aku dan Marcella yang masih menahan tawa melihat kelakuannya. Haha, good boy!
"Dhara kemana fan? " Tanyanya, saat kita sudah mulai mengantri di kasir. "kok malah kamu yang belanja.. "
"Biasa lah cell, lagi dinas. Kalau soal aku yang belanja sih emang kita udah sering kok gantian gini, yaa siapa yang sempet aja sih. "
"kamu ga malu fan? Kan jarang jarang tuh laki laki mau belanja.. "
"haha, ya ngapain cell.. justru dengan aku belanja aku juga bisa sekalian cuci mata. Aku juga nggak mungkin bisa ketemu kamu lagi kalo tadi nggak belanja. hehe..ohiya cell, udah giliran kamu tuh.. "
"haha dasar ga pernah berubah.. " Dia tertawa, kemudian menyerahkan belanjaannya ke kasir.
Sembari menunggu giliran aku mulai memeriksa kembali belanjaan yang telah kubeli, memastikan bahwa sudah tidak ada lagi barang yang tertinggal. Dan syukurlah, aku tidak perlu lagi kembali kesana untuk mengambil belanjaan yang kurang. Justru belanjaan ku malah berlebih gara gara Irfan suka asal ambil barang semaunya.
"yaudah ya fan, aku duluan yaa.. " Ucap Marcella sembari menenteng se kresek penuh belanjaannya.
"eh, tunggu bentar cell.. " Aku kemudian menahan tangannya. "ini nomer hape yang akhirannya 69 ini punya kamu bukan sih cell? " Ucapku mencoba mencari kesempatan, sementara Marcella lagi lagi cuma tertawa.
"halah, ga usah modus. Kamu itu sebenernya mau minta nomer hape aku kan? "
"eh, hehe.. buat jaga jaga kalau ada tugas sekolah atau info lain yang Irfan nggak tau cell.. " Ucapku beralasan sembari mengutuk diri sendiri karena begitu bodohnya memakai trik kuno jaman Majapahit itu untuk meminta nomor ponselnya. Tetapi diluar dugaanku dia kemudian malah meraih ponsel jadul ku dan mulai mengetikkan beberapa kombinasi angka dilayar monokrom berukuran kecil itu.
"nih.. " Ucapnya sambil menyodorkan kembali ponselku. Kemudian sedikit mengedipkan matanya, yang juga membuatku sedikit salah tingkah sekaligus GR dibuatnya.
".. "
"Dasar, nakal kamu fan.. Berani beraninya godain istri orang."
Dia tersenyum, sempat kulihat dia menggerakkan telapak tangannya membentuk isyarat telepon. Kemudian mulai berjalan menjauh, meninggalkan aku yang juga sedang senyum senyum memandanginya.
"haha, biarin. Siapa suruh udah jadi istri orang tapi masih keliatan kaya perawan.. "
Begitupun dengan yang terjadi pada aku dan Dhara, sebagai sepasang suami-istri yang kompak dalam segala hal (termasuk di ranjang), kita juga sudah terbiasa saling membantu dan menggantikan tugas yang harusnya dilakukan oleh pasangan kita. Meski seorang lelaki, aku sudah biasa mencuci baju, aku juga kerap kali menggantikan tugas Dhara mengepel lantai, aku sering mengantar jemput Irfan, dan aku juga sering membantu Dhara saat memasak. Sementara Dhara, dia lebih sering menggantikan tugasku untuk nyuruh nyuruh dan marah marah, bahkan saat jelas jelas kesalahan itu dia perbuat sendiri. Ya, sebagai seorang pasutri yang kompak, kita memang sering berbagi dan bertukar tugas. Meski kenyataannya mungkin lebih tepat jika lelaki lemah lembut dan tidak tegaan sepertiku sudah dimanfaatkan habis habisan oleh wanita cantik namun licik seperti dirinya..
Termasuk dengan yang terjadi di siang ini, dimana setelah menjemput Irfan disekolah, aku dan bocah kecil 'dablek' ini sudah berada di sebuah supermarket untuk berbelanja kebutuhan rumah tangga bulanan kita karena Dhara masih sibuk dengan urusan dan pekerjaannya.
Berbekal selembar catatan berisi daftar belanjaan yang ditempel Dhara dipintu lemari es, aku mulai mendorong troli ini menyusuri rak rak belanjaan dan lorong lorong supermarket. Berada diantara puluhan bahkan ratusan orang yang kebanyakan adalah kaum hawa. Agak kurang adil sebenarnya melihat lelaki gagah dan tampan sepertiku harus berbelanja kebutuhan rumah tangga sambil mengajak bocah kecil yang tidak bisa diam, mirip ulat nangka ini. Sementara disana, Dhara mungkin sedang enak enakan membentak pasien pasiennya karena susah minum obat atau tidak mau diberi suntikan. Dia mungkin juga sedang menikmati tugasnya saat harus menemani dokter umum (yang kebanyakan memiliki tampang rupawan) melakukan pemeriksaan ke tiap pasien. Jauh berbeda denganku yang sedang terjebak diantara banyaknya emak emak bersama seorang bocah yang suka minta ini itu saat sedang diajak berbelanja.
Tapi setelah aku pikir pikir, tidak ada salahnya juga aku melakukan ini. Berada disini ternyata juga tidak terlalu mengerikan dan memalukan, bahkan aku juga bisa sekalian cuci mata karena disini juga banyak pemandangan yang sayang untuk dilewatkan. Lagipula, hidup ini kadang memang tidak selalu berjalan dengan adil kok. Dan menjadi istriku, mungkin adalah salah satu 'ketidakadilan' baginya.
"ini yah, bumbu nasi gorengnya.. " Ucap Irfan sambil memasukkan beberapa bungkus bumbu nasi goreng instan kedalam troli belanjaan. "Sekarang apa lagi? "
Aku melirik kertas catatan yang kubawa, lalu membalas kata katanya.
"Sarden boy! " Ucapku padanya. "Tau nggak yang mana kaleng sarden? "
"tau doong.. " Balasnya antusias, lalu berjalan menuju rak belanjaan tempat sarden kalengan berada.
Cukup lama kita berdua berada disini, karena ada cukup banyak barang yang harus kita beli. Belum lagi Irfan yang suka tiba tiba ngilang lalu mendadak beli sesuatu yang jelas jelas tidak ada dalam daftar. Aku sebenarnya tidak masalah kalau harus berlama lama disini, karena sebagai seseorang yang bisa dibilang tidak punya pekerjaan yang jelas tentu aku punya banyak stok waktu luang. Tetapi tetap saja, berjalan mengelilingi supermarket sebesar ini juga cukup melelahkan. Belum lagi kalau Irfan tiba tiba minta gendong karena kecapekan jalan.
"heh, jangan naik disini. Bisa ambyar nih troli kalo kamu naekin.. " Ucapku sambil menghalau Irfan yang hendak naik troli belanjaan. "Iya kalo masih bayi dulu.. "
"capek yaah.. kapan sih selesainya? "
"salahin bunda kamu nih, belanjaan udah kayak logistik buat korban bencana aja.. " Jawabku sambil melirik daftar belanjaan yang untungnya hanya tinggal beberapa item lagi yang belum ku ceklis. "udah ambilin deterjen aja, biar cepet kelar. Ntar kalo dah kelar kita beli eskrim.."
"yaudah deh.. " Balasnya sambil berjalan perlahan. "Yang merk apa ini yah? "
"risno cair, tuh yang warna merah muda kombinasi ijo. " Aku menunjukkan prodak mana yang harus dibeli padanya. "Sekalian shampo ya boss, ambil aja yang merek 'kepala dan tentara' (head and soldier) tuh.. "
Aku kemudian sedikit menebar senyum pada seorang wanita yang sedang berbelanja tak jauh dari tempatku dan Irfan berada. Karena wanita yang ku taksir berusia sekitar awal tiga puluh tahun itu juga nampak sedang tersenyum saat memperhatikan percakapan kita. Entah kenapa, gemas melihat kelakuan Irfan, atau gemas pada ayahnya yang juga tak kalah menggemaskan ini mungkin.
Saat tengah saling melempar senyum, tiba tiba saja ponsel yang ada disaku celanaku berdering dan bergetar, menandakan ada sebuah panggilan yang menyambangi ponsel 'jadul' ku itu. Dan biasanya nomor yang menyambangi ponsel lawas buatan Finlandia itu juga orang orang yang 'jadul' alias sudah kukenal sejak lama.
Quote:
Incoming Call : MayjenNah kan, istriku itu memang tidak pernah membiarkan suaminya merasakan kebahagiaan, bahkan untuk waktu yang sebentar saja.
"
iyaa, halo buun.. " Ucapku menjawab panggilan sambil kembali melempar senyum pada wanita tadi, yang masih saja belum beranjak dari posisinya. "
halo ayaah, ayah dimana? Udah jemput Irfan belum? Udah siang lho ini, kasian anak kita kalau belum dijemput. Pasti udah kelaperan. Belum lagi kalo ntar dibawa penculik gimana? Sekarang kan lagi marak tuh penculikan sama perdagangan anak. Ayah jangan sibuk sama pek.. " Dhara ngoceh panjang lebar tanpa mendengar kata kataku terlebih dahulu, yang langsung saja kupotong. Kalau dibiarin bisa sampe besok dia ngoceh tanpa jeda gini. "
sst.. bunda tenang dulu ya, dengerin aku ngomong dulu.. " Ucapku menyela kata katanya. Sambil kembali tersenyum pada wanita tadi. "Irfan udah ayah jemput kok, ini dia lagi ikut belanja nih, bunda nggak usah khawatir ya, dia baik baik aja kok.. ""yah, ngambil apa lagi ini? " Tanya Irfan sambil meletakkan deterjen dan shampo didalam troli. Aku kemudian melirik kembali catatan berisi daftar belanjaan yang kubawa. Sementara wanita tadi masih saja memandang kita sambil senyum senyum. Ini cewek kenapa sih, nggak jelas banget. Aku tahu kita berdua memang pasangan ayah dan anak yang begitu menawan, tapi nggak usah lebay gitu kenapa sih.
"
Oh lagi belanja ya, yaudah deh.. " Sahut Dhara di seberang saat aku kembali mengamati daftar belanjaan satu persatu. Sedangkan wanita tadi, aku sudah tidak peduli meski dia masih tetap senyum senyum. "Oh iya yah, nanti bunda mau jenguk temen bunda yang baru lahiran. Anaknya cowo, enaknya dibeliin apa ya.. ""
hmm.. apa yaa.." Ucapku seadanya karena konsentrasi ku sedang terbagi. Antara menanggapi panggilan ditelepon, mengamati daftar belanjaan, hingga sesekali melirik kearah wanita itu."yah, buruan. Ngambil apalagi ini.. "
"Sabun sirih, boy.. " Ucapku mantap lalu memberi ceklis disebelah tulisannya. Suasana disini seperti mendadak hening untuk beberapa saat. Irfan kemudian terdengar mulai berjalan menjauh, sambungan telepon dimana ada Dhara diseberang berganti menjadi suara yang tidak begitu jelas, lebih mirip seperti suara geraman. Sementara wanita itu, dia kemudian malah terdengar sedang cekikikan.
Aku mulai menyadari ada yang tidak beres saat kembali membaca daftar belanjaan, aku mulai merasa ketar ketir saat suara geraman ditelepon semakin terdengar jelas. Dan aku semakin ingin ber teleportasi ke gurun Sahara saat melihat Irfan berjalan menghampiriku, lalu semakin membuat aku malu setelah mendengar kata kata polosnya.
"yah, sabun sirih itu yang mana sih, dicariin daritadi ga ketemu. Irfan nemu, tapi sabun kodok nih.. "
"
AYAAAAHHH !!! "TUTT! TUTT! TUTT!!
Aku langsung mematikan telepon begitu menyadari kalau Dhara mungkin sudah berubah ke mode iblisnya, bodoamat disana dia sedang marah marah. Toh ini juga terjadi karena kesalahannya, bisa bisanya dia memasukkan barang yang bisa dibilang masih tabu itu kedalam daftar. Aku juga hanya bisa memasang tampang 'seolah tidak terjadi apa apa' saat mulai ada banyak orang yang memperhatikan aku dan Irfan.
"yah, gimana? " Tanyanya lagi.
Belum sempat aku berkata apa apa padanya, wanita yang masih terlihat sedang menahan senyum itu kemudian berjalan menghampiri Irfan. Sepertinya level 'gemes' nya pada anakku sudah mencapai titik tertinggi.
"haloo Irfan junior.. Lagi nyari apa sih? Sini tante bantuin.. "
Wanita itu kemudian menggandeng tangan Irfan menuju rak rak yang menyediakan keperluan wanita. Tangan mungilnya kemudian membantu Irfan mengambilkan sabun sirih yang letaknya berada ditempat yang cukup tinggi dan jelas diluar jangkauannya.
"haha, anaknya lucu banget sih mas.. " Ucapnya sambil tersenyum setelah mengantar Irfan kembali kehadapanku. Sementara aku juga hanya bisa senyum senyum nggak jelas sambil garuk garuk kepala.
Wanita itu kemudian mendorong troli nya menuju kasir, sepertinya dia sudah menyelesaikan kegiatan belanjanya. Melihat hal itu, aku juga ikut memutar troli belanja ku untuk kemudian berjalan menyusulnya.
"hehe, ayahnya juga nggak kalah lucu kok.. " Ucapku saat sudah kembali berada didekatnya
"haha, percaya kok fan. Aku ga pernah tuh, ngelihat ada orang yang tampilannya rapi kaya kamu, pake jas, rambut klimis, sepatu pantofel keren, eh masuk supermarket malah beli sabun sirih.. haha. "
"hmm.. terus aja ledekin.. "
Kita berjalan saling beriringan, dengan dia yang berada didepan sedangkan aku mengekor dibelakangnya. Sepanjang perjalanan aku masih saja mengaguminya, sedikit tidak percaya bahwa gadis manis yang dulu terlihat begitu manja bisa berubah menjadi wanita dewasa yang begitu mengagumkan seperti dirinya. Aku juga sempat berpikir betapa bodohnya diriku, hingga bisa bisanya melepaskan wanita anggun seperti dirinya.
"tante tante.. Thalia kemana kok ga ikut? "
Marcella kemudian menghentikan laju troli belanjanya saat dari belakang tiba tiba saja Irfan bertanya kepadanya.
"haha, Thalia lagi main sama neneknya fan. Kenapa? udah kangen ya? Masa tadi disekolah udah ketemu sekarang udah kangen sih.. "
"hehe, ga gitu tantee.. "
Irfan tersipu mendengar kata kata yang diucapkan Marcella, ia lalu berlari mendahului aku dan Marcella yang masih menahan tawa melihat kelakuannya. Haha, good boy!
"Dhara kemana fan? " Tanyanya, saat kita sudah mulai mengantri di kasir. "kok malah kamu yang belanja.. "
"Biasa lah cell, lagi dinas. Kalau soal aku yang belanja sih emang kita udah sering kok gantian gini, yaa siapa yang sempet aja sih. "
"kamu ga malu fan? Kan jarang jarang tuh laki laki mau belanja.. "
"haha, ya ngapain cell.. justru dengan aku belanja aku juga bisa sekalian cuci mata. Aku juga nggak mungkin bisa ketemu kamu lagi kalo tadi nggak belanja. hehe..ohiya cell, udah giliran kamu tuh.. "
"haha dasar ga pernah berubah.. " Dia tertawa, kemudian menyerahkan belanjaannya ke kasir.
Sembari menunggu giliran aku mulai memeriksa kembali belanjaan yang telah kubeli, memastikan bahwa sudah tidak ada lagi barang yang tertinggal. Dan syukurlah, aku tidak perlu lagi kembali kesana untuk mengambil belanjaan yang kurang. Justru belanjaan ku malah berlebih gara gara Irfan suka asal ambil barang semaunya.
"yaudah ya fan, aku duluan yaa.. " Ucap Marcella sembari menenteng se kresek penuh belanjaannya.
"eh, tunggu bentar cell.. " Aku kemudian menahan tangannya. "ini nomer hape yang akhirannya 69 ini punya kamu bukan sih cell? " Ucapku mencoba mencari kesempatan, sementara Marcella lagi lagi cuma tertawa.
"halah, ga usah modus. Kamu itu sebenernya mau minta nomer hape aku kan? "
"eh, hehe.. buat jaga jaga kalau ada tugas sekolah atau info lain yang Irfan nggak tau cell.. " Ucapku beralasan sembari mengutuk diri sendiri karena begitu bodohnya memakai trik kuno jaman Majapahit itu untuk meminta nomor ponselnya. Tetapi diluar dugaanku dia kemudian malah meraih ponsel jadul ku dan mulai mengetikkan beberapa kombinasi angka dilayar monokrom berukuran kecil itu.
"nih.. " Ucapnya sambil menyodorkan kembali ponselku. Kemudian sedikit mengedipkan matanya, yang juga membuatku sedikit salah tingkah sekaligus GR dibuatnya.
".. "
"Dasar, nakal kamu fan.. Berani beraninya godain istri orang."
Dia tersenyum, sempat kulihat dia menggerakkan telapak tangannya membentuk isyarat telepon. Kemudian mulai berjalan menjauh, meninggalkan aku yang juga sedang senyum senyum memandanginya.
"haha, biarin. Siapa suruh udah jadi istri orang tapi masih keliatan kaya perawan.. "
Quote:
So tell me, can you turn around?
I need someone to tear me down
Oh, tell me, can you turn around?
But either way
Hold me while you wait
I wish that I was good enough (Hold me while you wait)
If only I could wake you up (Hold me while you wait)
My love, my love, my love, my love
Won't you stay a while? (Hold me while you wait)
I need someone to tear me down
Oh, tell me, can you turn around?
But either way
Hold me while you wait
I wish that I was good enough (Hold me while you wait)
If only I could wake you up (Hold me while you wait)
My love, my love, my love, my love
Won't you stay a while? (Hold me while you wait)
Hold Me While You Wait - Lewis Capaldi
Diubah oleh saleskambing 19-12-2024 10:26
jenggalasunyi dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas
Tutup