- Beranda
- Stories from the Heart
[TAMAT] Always Be My Baby
...
TS
saleskambing
[TAMAT] Always Be My Baby
![[TAMAT] Always Be My Baby](https://s.kaskus.id/images/2019/03/21/8577467_201903211113170946.png)
Mulustrasi, sumber
Tokoh dan karakter di cerita ini diambil dari cerita ini, boleh dibaca dulu biar tau, tapi lebih baik nggak usah.
Spoiler for Part 1:
Aku menurunkan bocah kecil ini dari gendongan, sedikit berjongkok agar bisa merapikan setelan seragamnya yang agak sedikit berantakan, lalu mulai memandangnya, persis seperti apa yang sedang dilakukan oleh orang tua lain yang juga ada di sini.
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
***
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
***
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
Quote:
You'll always be apart of me
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
🎶 Always Be My Baby - David Cook
Diubah oleh saleskambing 19-11-2025 13:09
jenggalasunyi dan 58 lainnya memberi reputasi
55
57.9K
Kutip
335
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
saleskambing
#73
Part 2
Heaven - Kane Brown
Spoiler for :
"yaahh.. "
"hmm.. "
"coba liat deh, Irfan gambar apa.. "
Aku sedang duduk santai diruang tengah, menonton televisi yang tengah menampilkan acara debat calon presiden, saat bocah kecil yang tidak bisa disuruh diam barang sebentar saja itu tiba tiba saja menghampiriku untuk menunjukkan hasil dari pekerjaan yang sedari tadi dia lakukan. Sebagai seorang ayah yang tampan sekaligus pengertian, aku kemudian menyambut kedatangannya. Lalu mengangkat tubuh mungilnya agar bisa duduk di pangkuanku. Untuk segera mengetahui apa yang dia lakukan terhadap sebuah buku gambar berukuran a4 itu.
"waah, anak ayah gambar apa nih, daritadi kayanya serius banget. " Ucapku mencoba terlihat antusias, meski aku juga sedikit bingung karena setelah kulihat kertas itu nampak masih putih bersih, belum ada tanda tanda alat tulis atau pewarna apapun yang berceceran disana, sebagaimana 'gambaran' bocah lima tahun pada umumnya.
"hehe ini Irfan gambar sapi yang lagi makan rumput yah.. " Sahutnya riang. "Gimana, bagus nggak? "
"ooh sapi yang lagi makan rumput ya.. " Aku mengangguk angguk mendengar ucapannya. Kemudian menanyakan hal paling dasar yang harusnya ada dalam hasil karyanya itu. "terus, rumputnya mana? "
"hehe udah abis yah, kan daritadi dimakanin ama sapinya.. " jawabnya polos, sementara aku mulai sedikit heran sekaligus jengkel dibuatnya.
"lha terus, sapinya mana? "
"ya udah pergi lah yah nyari makan ditempat lain, kan rumputnya udah abis.. hehehe. "
"hehehe.. " Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Lalu mencoba meraih pipi dan hidungnya yang terlihat begitu menggemaskan. "Kamu anaknya siapa sih, pinter banget bikin orang kesel.. "
"ahaha ya anak kamu lah. Yang kelakuannya dari dulu begitu kan cuma ayahnya.. "
Belum sempat aku menumpahkan sedikit rasa jengkel ku pada bocah ini dengan mencoba untuk mencubit pipi dan hidungnya, tiba tiba saja dari arah dapur istriku muncul, lengkap dengan beberapa cemilan dan kata kata yang semakin membuat si 'Irfan Junior' tertawa cengengesan.
Setelah menaruh beberapa makanan ringan itu dimeja, wanita itu kemudian duduk disebelahku. Menyandarkan kepalanya dibahu sebelah kananku, lalu mulai ikut menikmati acara debat yang menurutku entah menghasilkan apa, selain kata kata dan omong kosong nggak penting berkedok visi dan misi andai mereka terpilih untuk memimpin negeri ini selama lima tahun kedepan.
"yee kok anak aku doang sih, kan kita 'bikin' nya bareng.. " Ucapku sambil mengusap kepala dan rambut panjangnya secara perlahan. Sementara wanita yang menurutku punya mental cukup kuat karena mau menjalani sisa hidupnya bersamaku itu terlihat sedang fokus pada layar tv. Tanpa merubah posisinya yang masih bersandar pada bahuku, dia kemudian meraih toples berisi keripik kentang dan mulai menikmatinya.
"haha, kan bener. Yang suka bikin orang jengkel kan cuma kamu, yah. Wajar dong kalo nurun ke anaknya.. "
"haha, kalo gitu anak kita ini pasti juga tampan sekaligus ngangenin.. " Ucapku sedikit jumawa sambil mencium wangi rambutnya. Sementara Irfan yang duduk dipangkuan ku terlihat sudah mulai terlelap. Masih dengan tangannya yang sedang menggenggam buku gambar.
"hmm.. mulai deh, suka kepedean. Emang yang nurunin kulit putih sama hidung mancung nya Irfan Junior siapa sih? "
"ya emang dari bundanya yang cantikk ini sih.. " Ucapku jujur. Ya, aku memang harus jujur mengakui kalau istriku satu satunya ini memang cantik. Bahkan sangat cantik malah untuk ukuran lelaki 'biasa saja' sepertiku. "tapi kan ayahnya juga nggak item dan nggak pesek pesek amat.. "
"ahahaha, iya deh, iyaa.. "
Dia kembali tersenyum, senyum yang entah kenapa selalu saja terlihat begitu menawan meski sudah terlampau sering aku melihatnya. Aku membalas senyumnya, lalu mulai meraih telapak tangan dan mulai menggenggamnya. Tangan lembut itu terasa semakin hangat saat dia mulai membalas genggaman tanganku. Aku begitu menikmati momen momen seperti ini, momen momen yang membuat aku selalu merasa bahwa aku adalah lelaki paling bahagia didunia, meski kenyataannya untuk bergerak sedikit saja aku kesusahan karena ada Irfan yang tidur dipangkuanku dan ada istriku yang masih menyandarkan tubuh wanginya di bahuku. Sepertinya dia memang sengaja menggodaku.
Berbicara sedikit tentang istriku, wanita yang sungguh beruntung bisa dinikahi oleh lelaki tampan sepertiku ini namanya Andhara. Biasa dipanggil Dhara, atau Rara dibeberapa kesempatan. Tapi aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan 'sayang' atau 'bunda'. Sebelum resmi menjadi istriku, kita sudah saling mengenal sejak lama. Dhara adalah teman wanita yang sudah kukenal sejak kecil. Bahkan kita juga pernah beberapa kali 'nyaris' berpacaran, sebelum akhirnya takdir berhasil mempertemukan kita dalam sebuah ikatan suci bernama pernikahan.
Dulu, saat kita masih sama sama remaja, Dhara adalah seorang gadis yang menurutku memiliki dua kepribadian yang saling bertolak belakang dalam satu tubuh. Dhara adalah sosok seorang cewek yang memiliki sisi seorang malaikat, sekaligus sesosok iblis yang juga bersemayam dalam jiwanya. Selain dibekali kecantikan yang mungkin memang sudah bawaan lahir, Dhara juga memiliki sifat absurd sekaligus 'nyeremin' yang suatu saat bisa saja tiba tiba muncul tergantung mood dan suasana hatinya. Aku bahkan pernah berpikir, dosa apa yang pernah kulakukan hingga aku dipertemukan dengan gadis seperti dirinya.
Tetapi seiring berjalannya waktu, sifat 'otoriter' dan suka menang sendiri nya mulai perlahan berkurang, walau juga tidak sepenuhnya hilang. Lambat laun dia bisa bersikap semakin dewasa, terlebih setelah kita memiliki seorang anak. Dhara sepertinya juga sudah mulai mengerti bahwa selain menjadi seorang istri, kini dia adalah seorang ibu.
Selain seorang istri dan juga seorang ibu, istriku itu adalah seorang perawat di sebuah rumah sakit swasta yang letaknya tidak jauh dari tempat kami tinggal. Aku awalnya sedikit tidak percaya bahwa cewek yang dulunya galak setengah mampus itu bisa menjadi seorang perawat. Aku juga sering membayangkan bagaimana dia memberi 'treatment' pada pasien pasiennya. Terlebih pada pasien yang perlu penanganan dan perawatan khusus. Dan aku yakin, orang orang dengan penyakit jantung, stroke, dan pasien pasien yang sudah kelewat 'sepuh' bisa cepat cepat 'wassalam' andai dipertemukan dengan perawat yang sifatnya lebih mirip preman pasar seperti dirinya.
Setelah menggendong Irfan yang sudah sedari tadi terlelap dan merebahkannya dikamar, aku kembali keruang tengah dan kembali menghampiri istriku yang masih duduk manis disana. Saat saat seperti ini adalah saat yang tepat untuk berduaan, saat yang pas untuk ngobrol dan saling terbuka. Istilah jaman sekarang sih mungkin ini saat yang tepat untuk having quality timeberdua. Tanpa takut ada gangguan dari monster cilik bernama Irfan Junior.
"udah tidur, yah? "
"udah, udah ngiler tuh anaknya.. "
"haha.. "
"kenapa? mau bilang ngiler nya nurun dari ayah? " tanyaku setelah melihat dia sedang tersenyum.
"haha, itu gara gara dulu ayah ga nurutin bunda pas ngidam sih.. "
"hehe, lagian ngidam aneh aneh banget sih, tengah malem minta es tebu.. " Ucapku cengengesan sambil mengingat masa lalu, mengingat saat saat dimana aku begitu kebingungan mencari tempat pedagang es tebu. Bertanya kesana kemari, dan akhirnya setelah bolak balik bertanya dan beberapa kali salah jalan, aku akhirnya bisa bertemu dengan pedagangnya. Aku juga berhasil membawakan istriku beberapa bungkus. Namun sayang, saat sudah sampai dirumah hari sudah mulai pagi dan kokokan ayam tetangga sudah terdengar saling bersahutan. Yang artinya gagal lah misiku malam itu, untuk membawakan ratu ku sebungkus es tebu yang sudah ia idam idamkan.
"haha, namanya juga lagi ngidam.. " Ucapnya, kembali sambil menyandarkan kepalanya dibahuku. Yang juga kembali membuatku menikmati wangi tubuh dan aroma shampo nya yang memanjakan penciuman ku.
Kita kemudian saling terdiam selama beberapa saat, aku masih terus menatap layar televisi sambil terus mengelus pelan kepalanya. Kadang sebuah quality time memang tidak selalu diwarnai dengan canda tawa atau sebuah obrolan menyenangkan tanpa ujung. Tetapi menikmati kebersamaan berdua tanpa ada gangguan seperti ini, ini sudah lebih dari cukup untuk membangun quality time versi kita sendiri.
"yaah.. "
"hmm.. "
"serius banget nontonnya, udah tau belum mau milih siapa? "
"udah doong.. "
"mau milih siapa emangnya? "
"hehe, rahasia dong. Kan salah satu azas pemilu itu rahasia. " Ucapku santai. "Tapi bunda nggak usah khawatir, meskipun mereka mati matian buat jadi yang nomor satu di negeri ini, tapi menurut ayah cuma bunda kok yang nomor satu.. "
Aku kembali menggodanya, sambil sesekali menoel sedikit hidungnya yang nampak begitu menggemaskan. Sementara Dhara nampak tengah tersipu setelah mendengar kata kataku, entah kenapa reaksinya selalu saja seperti itu, padahal sepertinya aku sudah ribuan kali menggodanya dengan gombalan 'receh' semacam ini.
"halah gombal, besok pagi pas godain ibu ibu komplek paling bilangnya juga gitu.. "
"hehe, kalo sama mereka kan cuma jaga tali silaturahmi aja.. "
Aku kemudian mematikan televisi, kebetulan setelah itu acara debat yang sedari tadi kita tonton telah berakhir. Dan sepertinya sudah tidak ada acara lain yang menarik perhatian kita. Tetapi meski begitu, kita masih tetap berada di sofa yang ada diruang TV. Terlalu malas untuk beranjak dan merubah posisi yang sedari tadi sudah membuat kita merasa nyaman.
"yaah.. "
"hmm.. " jawabku sambil melirik kearahnya.
"ayah pernah mikir, atau pernah ngira ga? Kalau sekarang kita bisa jadi kaya gini?"
"hmm.. gimana ya. " Balasku sambil mencoba berpikir. "agak nggak kepikiran juga sih, soalnya ayah dulu kan pengennya punya istri yang cantik, jago masak, pinter ngatur keuangan, nggak galak, nggak rewel, pengertian, lemah lembut, anggun, nggak pecicilan, plus perhatian. Eh ternyata dapetnya cuma yang poin satu doang, poin yang lain mah boro boro, haha.. "
"haha dasar.. " Balasnya sambil sedikit mencubit pinggangku. "Bunda dulu pengennya juga punya suami yang ganteng, kaya, baik hati, romantis, bisa benerin genteng, bisa manjat pohon, jago beladiri, sama pinter ngaji. Eh ternyata malah dapet suami yang cuma bisa manjat pohon doang, haha tau gitu mending bunda pelihara beruk aja yah.."
"Haha dasar, masa suami sendiri disamain ama berukk sih.. "
"ahahaha.. " Kita sama sama tertawa, entah menertawakan apa, menertawakan ketidakberuntungan kita tentang kriteria pasangan mungkin.
Masih sambil tersenyum, aku kemudian meraih dagu istriku hingga kita saling berhadapan dari jarak yang cukup dekat. Wangi tubuh serta desahan nafasnya benar benar mampu mendominasi pikiranku. Aku kemudian mulai mengucapkan sesuatu secara perlahan, sebelum aku semakin takluk oleh segala pesonanya.
"Tapi bunda tau nggak? " Ucapku lirih, sementara kita masih saling berpandangan. Aku tetap mencoba tenang meski kini desahan nafasnya sudah terlihat mulai tidak beraturan. "Saat ketemu bunda, kriteria kriteria istri idaman yang tadi ayah sebutin seolah luntur satu persatu. Ayah nggak peduli bunda nggak cantik, ayah juga nggak peduli walau masakan bunda banyakan gak enaknya, ayah nggak peduli bunda suka beli barang barang gak penting, ayah terima terima aja walau bunda kadang kadang galak, ayah juga nggak pernah ambil pusing kalau bunda lebih perhatian sama pasien pasien bunda dibanding suaminya sendiri. Semua itu seolah luntur oleh satu hal.. "
Aku menghentikan sejenak kata kataku, mencoba untuk mungkin memberi kesempatan agar Dhara bisa membalas kata kataku.
"satu hal..?" Balasnya lirih, bibirnya terlihat bergetar. Entah karena apa, merasa gugup mungkin karena kita masih saling berpandangan dari dekat. "a.. apa itu? "
Aku semakin menatap matanya lekat lekat, lalu sambil tersenyum, aku mulai membalas kata katanya.
"Cinta.. "
Masih sambil tersenyum, aku kemudian semakin mendekatkan wajahku kearahnya. Bibirnya yang nampak merekah seolah makin menantang ku untuk segera menyambutnya. Sementara matanya yang terlihat makin sayu seolah sudah pasrah menerima apapun yang sebentar lagi akan terjadi.
Aku semakin mendekatkan wajahku, ujung bibir kita berdua mungkin hanya tinggal berjarak beberapa milimeter, saat tiba tiba saja telapak tangannya bergerak menghantam pipiku.
PLAKKK!!
"Ahahaha jangan disini, ntar kalo Irfan kebangun terus ngeliat gimana? Ke kamar aja yuk.. "
"Yah, yaudah deh.." Ucapku pasrah sambil menggaruk selangkangan. Lalu berjalan mengikutinya menuju kamar.
"hmm.. "
"coba liat deh, Irfan gambar apa.. "
Aku sedang duduk santai diruang tengah, menonton televisi yang tengah menampilkan acara debat calon presiden, saat bocah kecil yang tidak bisa disuruh diam barang sebentar saja itu tiba tiba saja menghampiriku untuk menunjukkan hasil dari pekerjaan yang sedari tadi dia lakukan. Sebagai seorang ayah yang tampan sekaligus pengertian, aku kemudian menyambut kedatangannya. Lalu mengangkat tubuh mungilnya agar bisa duduk di pangkuanku. Untuk segera mengetahui apa yang dia lakukan terhadap sebuah buku gambar berukuran a4 itu.
"waah, anak ayah gambar apa nih, daritadi kayanya serius banget. " Ucapku mencoba terlihat antusias, meski aku juga sedikit bingung karena setelah kulihat kertas itu nampak masih putih bersih, belum ada tanda tanda alat tulis atau pewarna apapun yang berceceran disana, sebagaimana 'gambaran' bocah lima tahun pada umumnya.
"hehe ini Irfan gambar sapi yang lagi makan rumput yah.. " Sahutnya riang. "Gimana, bagus nggak? "
"ooh sapi yang lagi makan rumput ya.. " Aku mengangguk angguk mendengar ucapannya. Kemudian menanyakan hal paling dasar yang harusnya ada dalam hasil karyanya itu. "terus, rumputnya mana? "
"hehe udah abis yah, kan daritadi dimakanin ama sapinya.. " jawabnya polos, sementara aku mulai sedikit heran sekaligus jengkel dibuatnya.
"lha terus, sapinya mana? "
"ya udah pergi lah yah nyari makan ditempat lain, kan rumputnya udah abis.. hehehe. "
"hehehe.. " Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Lalu mencoba meraih pipi dan hidungnya yang terlihat begitu menggemaskan. "Kamu anaknya siapa sih, pinter banget bikin orang kesel.. "
"ahaha ya anak kamu lah. Yang kelakuannya dari dulu begitu kan cuma ayahnya.. "
Belum sempat aku menumpahkan sedikit rasa jengkel ku pada bocah ini dengan mencoba untuk mencubit pipi dan hidungnya, tiba tiba saja dari arah dapur istriku muncul, lengkap dengan beberapa cemilan dan kata kata yang semakin membuat si 'Irfan Junior' tertawa cengengesan.
Setelah menaruh beberapa makanan ringan itu dimeja, wanita itu kemudian duduk disebelahku. Menyandarkan kepalanya dibahu sebelah kananku, lalu mulai ikut menikmati acara debat yang menurutku entah menghasilkan apa, selain kata kata dan omong kosong nggak penting berkedok visi dan misi andai mereka terpilih untuk memimpin negeri ini selama lima tahun kedepan.
"yee kok anak aku doang sih, kan kita 'bikin' nya bareng.. " Ucapku sambil mengusap kepala dan rambut panjangnya secara perlahan. Sementara wanita yang menurutku punya mental cukup kuat karena mau menjalani sisa hidupnya bersamaku itu terlihat sedang fokus pada layar tv. Tanpa merubah posisinya yang masih bersandar pada bahuku, dia kemudian meraih toples berisi keripik kentang dan mulai menikmatinya.
"haha, kan bener. Yang suka bikin orang jengkel kan cuma kamu, yah. Wajar dong kalo nurun ke anaknya.. "
"haha, kalo gitu anak kita ini pasti juga tampan sekaligus ngangenin.. " Ucapku sedikit jumawa sambil mencium wangi rambutnya. Sementara Irfan yang duduk dipangkuan ku terlihat sudah mulai terlelap. Masih dengan tangannya yang sedang menggenggam buku gambar.
"hmm.. mulai deh, suka kepedean. Emang yang nurunin kulit putih sama hidung mancung nya Irfan Junior siapa sih? "
"ya emang dari bundanya yang cantikk ini sih.. " Ucapku jujur. Ya, aku memang harus jujur mengakui kalau istriku satu satunya ini memang cantik. Bahkan sangat cantik malah untuk ukuran lelaki 'biasa saja' sepertiku. "tapi kan ayahnya juga nggak item dan nggak pesek pesek amat.. "
"ahahaha, iya deh, iyaa.. "
Dia kembali tersenyum, senyum yang entah kenapa selalu saja terlihat begitu menawan meski sudah terlampau sering aku melihatnya. Aku membalas senyumnya, lalu mulai meraih telapak tangan dan mulai menggenggamnya. Tangan lembut itu terasa semakin hangat saat dia mulai membalas genggaman tanganku. Aku begitu menikmati momen momen seperti ini, momen momen yang membuat aku selalu merasa bahwa aku adalah lelaki paling bahagia didunia, meski kenyataannya untuk bergerak sedikit saja aku kesusahan karena ada Irfan yang tidur dipangkuanku dan ada istriku yang masih menyandarkan tubuh wanginya di bahuku. Sepertinya dia memang sengaja menggodaku.
Berbicara sedikit tentang istriku, wanita yang sungguh beruntung bisa dinikahi oleh lelaki tampan sepertiku ini namanya Andhara. Biasa dipanggil Dhara, atau Rara dibeberapa kesempatan. Tapi aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan 'sayang' atau 'bunda'. Sebelum resmi menjadi istriku, kita sudah saling mengenal sejak lama. Dhara adalah teman wanita yang sudah kukenal sejak kecil. Bahkan kita juga pernah beberapa kali 'nyaris' berpacaran, sebelum akhirnya takdir berhasil mempertemukan kita dalam sebuah ikatan suci bernama pernikahan.
Dulu, saat kita masih sama sama remaja, Dhara adalah seorang gadis yang menurutku memiliki dua kepribadian yang saling bertolak belakang dalam satu tubuh. Dhara adalah sosok seorang cewek yang memiliki sisi seorang malaikat, sekaligus sesosok iblis yang juga bersemayam dalam jiwanya. Selain dibekali kecantikan yang mungkin memang sudah bawaan lahir, Dhara juga memiliki sifat absurd sekaligus 'nyeremin' yang suatu saat bisa saja tiba tiba muncul tergantung mood dan suasana hatinya. Aku bahkan pernah berpikir, dosa apa yang pernah kulakukan hingga aku dipertemukan dengan gadis seperti dirinya.
Tetapi seiring berjalannya waktu, sifat 'otoriter' dan suka menang sendiri nya mulai perlahan berkurang, walau juga tidak sepenuhnya hilang. Lambat laun dia bisa bersikap semakin dewasa, terlebih setelah kita memiliki seorang anak. Dhara sepertinya juga sudah mulai mengerti bahwa selain menjadi seorang istri, kini dia adalah seorang ibu.
Selain seorang istri dan juga seorang ibu, istriku itu adalah seorang perawat di sebuah rumah sakit swasta yang letaknya tidak jauh dari tempat kami tinggal. Aku awalnya sedikit tidak percaya bahwa cewek yang dulunya galak setengah mampus itu bisa menjadi seorang perawat. Aku juga sering membayangkan bagaimana dia memberi 'treatment' pada pasien pasiennya. Terlebih pada pasien yang perlu penanganan dan perawatan khusus. Dan aku yakin, orang orang dengan penyakit jantung, stroke, dan pasien pasien yang sudah kelewat 'sepuh' bisa cepat cepat 'wassalam' andai dipertemukan dengan perawat yang sifatnya lebih mirip preman pasar seperti dirinya.
Setelah menggendong Irfan yang sudah sedari tadi terlelap dan merebahkannya dikamar, aku kembali keruang tengah dan kembali menghampiri istriku yang masih duduk manis disana. Saat saat seperti ini adalah saat yang tepat untuk berduaan, saat yang pas untuk ngobrol dan saling terbuka. Istilah jaman sekarang sih mungkin ini saat yang tepat untuk having quality timeberdua. Tanpa takut ada gangguan dari monster cilik bernama Irfan Junior.
"udah tidur, yah? "
"udah, udah ngiler tuh anaknya.. "
"haha.. "
"kenapa? mau bilang ngiler nya nurun dari ayah? " tanyaku setelah melihat dia sedang tersenyum.
"haha, itu gara gara dulu ayah ga nurutin bunda pas ngidam sih.. "
"hehe, lagian ngidam aneh aneh banget sih, tengah malem minta es tebu.. " Ucapku cengengesan sambil mengingat masa lalu, mengingat saat saat dimana aku begitu kebingungan mencari tempat pedagang es tebu. Bertanya kesana kemari, dan akhirnya setelah bolak balik bertanya dan beberapa kali salah jalan, aku akhirnya bisa bertemu dengan pedagangnya. Aku juga berhasil membawakan istriku beberapa bungkus. Namun sayang, saat sudah sampai dirumah hari sudah mulai pagi dan kokokan ayam tetangga sudah terdengar saling bersahutan. Yang artinya gagal lah misiku malam itu, untuk membawakan ratu ku sebungkus es tebu yang sudah ia idam idamkan.
"haha, namanya juga lagi ngidam.. " Ucapnya, kembali sambil menyandarkan kepalanya dibahuku. Yang juga kembali membuatku menikmati wangi tubuh dan aroma shampo nya yang memanjakan penciuman ku.
Kita kemudian saling terdiam selama beberapa saat, aku masih terus menatap layar televisi sambil terus mengelus pelan kepalanya. Kadang sebuah quality time memang tidak selalu diwarnai dengan canda tawa atau sebuah obrolan menyenangkan tanpa ujung. Tetapi menikmati kebersamaan berdua tanpa ada gangguan seperti ini, ini sudah lebih dari cukup untuk membangun quality time versi kita sendiri.
"yaah.. "
"hmm.. "
"serius banget nontonnya, udah tau belum mau milih siapa? "
"udah doong.. "
"mau milih siapa emangnya? "
"hehe, rahasia dong. Kan salah satu azas pemilu itu rahasia. " Ucapku santai. "Tapi bunda nggak usah khawatir, meskipun mereka mati matian buat jadi yang nomor satu di negeri ini, tapi menurut ayah cuma bunda kok yang nomor satu.. "
Aku kembali menggodanya, sambil sesekali menoel sedikit hidungnya yang nampak begitu menggemaskan. Sementara Dhara nampak tengah tersipu setelah mendengar kata kataku, entah kenapa reaksinya selalu saja seperti itu, padahal sepertinya aku sudah ribuan kali menggodanya dengan gombalan 'receh' semacam ini.
"halah gombal, besok pagi pas godain ibu ibu komplek paling bilangnya juga gitu.. "
"hehe, kalo sama mereka kan cuma jaga tali silaturahmi aja.. "
Aku kemudian mematikan televisi, kebetulan setelah itu acara debat yang sedari tadi kita tonton telah berakhir. Dan sepertinya sudah tidak ada acara lain yang menarik perhatian kita. Tetapi meski begitu, kita masih tetap berada di sofa yang ada diruang TV. Terlalu malas untuk beranjak dan merubah posisi yang sedari tadi sudah membuat kita merasa nyaman.
"yaah.. "
"hmm.. " jawabku sambil melirik kearahnya.
"ayah pernah mikir, atau pernah ngira ga? Kalau sekarang kita bisa jadi kaya gini?"
"hmm.. gimana ya. " Balasku sambil mencoba berpikir. "agak nggak kepikiran juga sih, soalnya ayah dulu kan pengennya punya istri yang cantik, jago masak, pinter ngatur keuangan, nggak galak, nggak rewel, pengertian, lemah lembut, anggun, nggak pecicilan, plus perhatian. Eh ternyata dapetnya cuma yang poin satu doang, poin yang lain mah boro boro, haha.. "
"haha dasar.. " Balasnya sambil sedikit mencubit pinggangku. "Bunda dulu pengennya juga punya suami yang ganteng, kaya, baik hati, romantis, bisa benerin genteng, bisa manjat pohon, jago beladiri, sama pinter ngaji. Eh ternyata malah dapet suami yang cuma bisa manjat pohon doang, haha tau gitu mending bunda pelihara beruk aja yah.."
"Haha dasar, masa suami sendiri disamain ama berukk sih.. "
"ahahaha.. " Kita sama sama tertawa, entah menertawakan apa, menertawakan ketidakberuntungan kita tentang kriteria pasangan mungkin.
Masih sambil tersenyum, aku kemudian meraih dagu istriku hingga kita saling berhadapan dari jarak yang cukup dekat. Wangi tubuh serta desahan nafasnya benar benar mampu mendominasi pikiranku. Aku kemudian mulai mengucapkan sesuatu secara perlahan, sebelum aku semakin takluk oleh segala pesonanya.
"Tapi bunda tau nggak? " Ucapku lirih, sementara kita masih saling berpandangan. Aku tetap mencoba tenang meski kini desahan nafasnya sudah terlihat mulai tidak beraturan. "Saat ketemu bunda, kriteria kriteria istri idaman yang tadi ayah sebutin seolah luntur satu persatu. Ayah nggak peduli bunda nggak cantik, ayah juga nggak peduli walau masakan bunda banyakan gak enaknya, ayah nggak peduli bunda suka beli barang barang gak penting, ayah terima terima aja walau bunda kadang kadang galak, ayah juga nggak pernah ambil pusing kalau bunda lebih perhatian sama pasien pasien bunda dibanding suaminya sendiri. Semua itu seolah luntur oleh satu hal.. "
Aku menghentikan sejenak kata kataku, mencoba untuk mungkin memberi kesempatan agar Dhara bisa membalas kata kataku.
"satu hal..?" Balasnya lirih, bibirnya terlihat bergetar. Entah karena apa, merasa gugup mungkin karena kita masih saling berpandangan dari dekat. "a.. apa itu? "
Aku semakin menatap matanya lekat lekat, lalu sambil tersenyum, aku mulai membalas kata katanya.
"Cinta.. "
Masih sambil tersenyum, aku kemudian semakin mendekatkan wajahku kearahnya. Bibirnya yang nampak merekah seolah makin menantang ku untuk segera menyambutnya. Sementara matanya yang terlihat makin sayu seolah sudah pasrah menerima apapun yang sebentar lagi akan terjadi.
Aku semakin mendekatkan wajahku, ujung bibir kita berdua mungkin hanya tinggal berjarak beberapa milimeter, saat tiba tiba saja telapak tangannya bergerak menghantam pipiku.
PLAKKK!!
"Ahahaha jangan disini, ntar kalo Irfan kebangun terus ngeliat gimana? Ke kamar aja yuk.. "
"Yah, yaudah deh.." Ucapku pasrah sambil menggaruk selangkangan. Lalu berjalan mengikutinya menuju kamar.
Quote:
Everybody's talking about heaven like they just can't wait to go
Saying how it's gonna be so good, so beautiful
Lying next to you, in this bed with you, I ain't convinced
Cause, I don't know how, I don't know how heaven, heaven
Could be better than this
Saying how it's gonna be so good, so beautiful
Lying next to you, in this bed with you, I ain't convinced
Cause, I don't know how, I don't know how heaven, heaven
Could be better than this
Heaven - Kane Brown
Diubah oleh saleskambing 19-12-2024 10:19
khuman dan 14 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas