- Beranda
- Stories from the Heart
TOPENG WARISAN SETAN
...
TS
breaking182
TOPENG WARISAN SETAN
TOPENG WARISAN SETAN

PROLOG
Quote:
Di atas langit sana, rembulan begitu pucat. Di sekeliling, kegelapan begitu hitam pekat melingkupi permukaan bumi. Kesunyian yang tadi menyergap mulai terusik dengan suara semak belukar dan rumput kering yang tersibak langkah –langkah kaki yang berlari dengan terburu –buru dan membabi buta. Lewat cahaya bulan pucat yang merembes terlihatlah seorang lelaki berpakaian serba gelap berlari seperti dikejar setan. Dalam kegelapan malam.
Tubuhnya beberapa kali membentur pohon, pakaiannya robek-robek terkait duri, bahkan kulitnya penuh dengan barut luka yang menjadi perih akibat teresap keringat. Namun semua itu tidak diperdulikannya. Dia lari terus sekencang yang bisa dilakukannya walau nafasnya mulai menyesak dan terengah -engah. Di tangan kirinya tampak membawa sebuah kotak berbentuk kubus yang besarnya tidak lebih dari sekepalan tangan orang dewasa. Sambil berlari dia berulang kali berpaling ke belakang seperti takut si pengejar telah sampai tepat di belakangnya.
“ Aku harus pergi !" ia merintih.
"Aku harus menjauhi tempat terkutuk ini. .. .! "
Udara sedingin es menusuk tubuhnya yang masih saja bercucuran keringat. Lelaki itu terus saja berlari dan berlari dengan mengumpulkan sisa-sisa tenaga maupun keberanian untuk menerobos kegelapan yang masih saja pekat menghadang di depannya.
"Mana jalan setapak itu! Mana jalan itu! Mana...!" , lelaki itu berlari sembari berteriak-teriak histeris. Tersaruk-saruk. Kakinya yang telanjang menginjak duri dan ranting-ranting patah, membentur akar-akar yang menyembul dari dalam tanah. Jatuh tunggang-langgang mencium tanah, tetapi segera bangkit lagi. Terdengar suara menggeram di dekatnya.
Lelaki itu sontak menghentikan larinya dan tertegun diam. Suara menggeram itu kian dekat.
Endusan napas yang berat disusul suara menggeram lagi. Lalu sepi sejenak. Tiba –tiba sesosok mahkluk hitam besar meloncat dari balik semak belukar. Terbang ke arahnya. Satu dua detik lelaki itu hanya terpana. Awalnya ia hanya melihat dua bintik hijau kemerahan di bagian depan mahkluk hitam tersebut. Detik kemudian baru ia melihat taring-taring putih. Berkilau tajam. Dan kini ia baru sadar, makhluk apa yang menerjangnya. Ia mencoba mengelak. Tetapi ia terlambat beberapa detik.
Dengan pekikan yang menyayat hati, lelaki tadi terhempas dengan mahkluk hitam besar dan berat itu berada di atas tubuhnya. Terdengar suara menggeram, suara mengaum. Kedua tangan lelaki itu meronta-ronta, mendorong-dorong tak terkendali saat telapak tangannya menyentuh benda kenyal, hangat, dan berbulu. Sekuat tenaga ia mendorong tubuh makhluk itu. Ia jauhkan wajahnya dari pancaran mata hijau kemerahan itu, juga dari terkaman taring-taring yang mengancam buas.
Ia bertarung seperti orang gila yang kesurupan, mempertahankan nyawanya yang diancam maut. Kakinya menendang-nendang lalu dijejakkan sekuat-kuatnya ke tanah. Lutut dilipat, kemudian tubuhnya menggeliat untuk membebaskan diri dari impitan makhluk besar hitam itu. Kotak yang berada di genggaman tangannya juga dipukul –pukulkan berulang kali ke samping ke arah kepala mahkluk yang menghimpitnya itu.
Tetapi cakaran demi cakaran kuku mulai merobek bajunya, kulit dada serta perutnya. Ia mulai merasakan pedih dan hangat darah yang merembes dari balik baju. Tenaganya semakin berkurang. Perlawanannya pun semakin mengendur semakin lemah. Tangannya meluncur terkulai. Lehernya kini terbuka tanpa perlindungan, siap direngkah maut. Mata lelaki itu terpejam. Pasrah.
Tetapi maut itu tak pernah datang. Justru menjauh. Ia merasakan endusan napas hangat menerpa lehernya. Tubuh hitam besar yang mengimpitnya, terangkat pelan. Endusan napas makin menjauh, begitu pula suara dengus menggeram makin merendah. Secara perlahan –lahan lelaki itu membuka kelopak matanya. Menaikkan lehernya sedikit saja dan hati - hati.
Dan yang ia lihat justru keanehan. Raja hutan berbulu hitam berkilauan itu bergerak mundur menjauhinya. Sepasang matanya yang tadinya mencorong buas kini meredup tak berdaya. Seringai mulut yang tadinya buas, juga mengendur. Terdengar suara menggumam pelan dan lirih. Harimau kumbang berwarna hitam pekat itu bangkit di atas keempat kakinya yang kekar kukuh, bergerak memutar, lantas dengan suatu lompatan yang tangkas makhluk itu menghilang di balik pepohonan. Tak lama kemudian terdengar suara aumannya, sayup –sayup.
Lelaki tadi berusaha bangkit dengan susah payah akhirnya ia mampu juga untuk duduk. Meski dengan sekujur tubuhnya terasa remuk, persendian terasa mau rontok dan kaki hampir lumpuh. Di belakangnya. terdengar lagi suara menggumam pelan. Suara yang sangat ia kenali. Ia menarik nafas panjang dan pasrah menanti suara orang yang berdiri mungkin di belakangnya itu mendekat.
Tubuhnya beberapa kali membentur pohon, pakaiannya robek-robek terkait duri, bahkan kulitnya penuh dengan barut luka yang menjadi perih akibat teresap keringat. Namun semua itu tidak diperdulikannya. Dia lari terus sekencang yang bisa dilakukannya walau nafasnya mulai menyesak dan terengah -engah. Di tangan kirinya tampak membawa sebuah kotak berbentuk kubus yang besarnya tidak lebih dari sekepalan tangan orang dewasa. Sambil berlari dia berulang kali berpaling ke belakang seperti takut si pengejar telah sampai tepat di belakangnya.
“ Aku harus pergi !" ia merintih.
"Aku harus menjauhi tempat terkutuk ini. .. .! "
Udara sedingin es menusuk tubuhnya yang masih saja bercucuran keringat. Lelaki itu terus saja berlari dan berlari dengan mengumpulkan sisa-sisa tenaga maupun keberanian untuk menerobos kegelapan yang masih saja pekat menghadang di depannya.
"Mana jalan setapak itu! Mana jalan itu! Mana...!" , lelaki itu berlari sembari berteriak-teriak histeris. Tersaruk-saruk. Kakinya yang telanjang menginjak duri dan ranting-ranting patah, membentur akar-akar yang menyembul dari dalam tanah. Jatuh tunggang-langgang mencium tanah, tetapi segera bangkit lagi. Terdengar suara menggeram di dekatnya.
Lelaki itu sontak menghentikan larinya dan tertegun diam. Suara menggeram itu kian dekat.
Endusan napas yang berat disusul suara menggeram lagi. Lalu sepi sejenak. Tiba –tiba sesosok mahkluk hitam besar meloncat dari balik semak belukar. Terbang ke arahnya. Satu dua detik lelaki itu hanya terpana. Awalnya ia hanya melihat dua bintik hijau kemerahan di bagian depan mahkluk hitam tersebut. Detik kemudian baru ia melihat taring-taring putih. Berkilau tajam. Dan kini ia baru sadar, makhluk apa yang menerjangnya. Ia mencoba mengelak. Tetapi ia terlambat beberapa detik.
Dengan pekikan yang menyayat hati, lelaki tadi terhempas dengan mahkluk hitam besar dan berat itu berada di atas tubuhnya. Terdengar suara menggeram, suara mengaum. Kedua tangan lelaki itu meronta-ronta, mendorong-dorong tak terkendali saat telapak tangannya menyentuh benda kenyal, hangat, dan berbulu. Sekuat tenaga ia mendorong tubuh makhluk itu. Ia jauhkan wajahnya dari pancaran mata hijau kemerahan itu, juga dari terkaman taring-taring yang mengancam buas.
Ia bertarung seperti orang gila yang kesurupan, mempertahankan nyawanya yang diancam maut. Kakinya menendang-nendang lalu dijejakkan sekuat-kuatnya ke tanah. Lutut dilipat, kemudian tubuhnya menggeliat untuk membebaskan diri dari impitan makhluk besar hitam itu. Kotak yang berada di genggaman tangannya juga dipukul –pukulkan berulang kali ke samping ke arah kepala mahkluk yang menghimpitnya itu.
Tetapi cakaran demi cakaran kuku mulai merobek bajunya, kulit dada serta perutnya. Ia mulai merasakan pedih dan hangat darah yang merembes dari balik baju. Tenaganya semakin berkurang. Perlawanannya pun semakin mengendur semakin lemah. Tangannya meluncur terkulai. Lehernya kini terbuka tanpa perlindungan, siap direngkah maut. Mata lelaki itu terpejam. Pasrah.
Tetapi maut itu tak pernah datang. Justru menjauh. Ia merasakan endusan napas hangat menerpa lehernya. Tubuh hitam besar yang mengimpitnya, terangkat pelan. Endusan napas makin menjauh, begitu pula suara dengus menggeram makin merendah. Secara perlahan –lahan lelaki itu membuka kelopak matanya. Menaikkan lehernya sedikit saja dan hati - hati.
Dan yang ia lihat justru keanehan. Raja hutan berbulu hitam berkilauan itu bergerak mundur menjauhinya. Sepasang matanya yang tadinya mencorong buas kini meredup tak berdaya. Seringai mulut yang tadinya buas, juga mengendur. Terdengar suara menggumam pelan dan lirih. Harimau kumbang berwarna hitam pekat itu bangkit di atas keempat kakinya yang kekar kukuh, bergerak memutar, lantas dengan suatu lompatan yang tangkas makhluk itu menghilang di balik pepohonan. Tak lama kemudian terdengar suara aumannya, sayup –sayup.
Lelaki tadi berusaha bangkit dengan susah payah akhirnya ia mampu juga untuk duduk. Meski dengan sekujur tubuhnya terasa remuk, persendian terasa mau rontok dan kaki hampir lumpuh. Di belakangnya. terdengar lagi suara menggumam pelan. Suara yang sangat ia kenali. Ia menarik nafas panjang dan pasrah menanti suara orang yang berdiri mungkin di belakangnya itu mendekat.
Diubah oleh breaking182 05-03-2021 17:08
tet762 dan 24 lainnya memberi reputasi
25
18.2K
Kutip
66
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#29
PART 5
Quote:
Kantor redaksi sebuah media cetak besar di Jogjakarta sudah jauh di belakang Lena. Mobil Starlet berwarna merah marun itu berlari sperti di kejar setan. Jalanan lengang dan sepi maklum saja masih dini hari. Lena sesekali melirik arloji yang melingkar dipergelangan tangan kanan. Tepat jam tiga. Profesi sebagai seorang wartawan di salah satu media cetak terbesar di Jogja dan Jawa Tengah mengharuskan Lena memiliki mobilitas yang tinggi. Dan satu lagi mental baja.
Masih segar di ingatannya manakala ia menyelesaikan ketikan nya lalu mengoreksi sambil lalu. la tahu kalau itu adalah artikel terburuk yang dibuatnya satu minggu terakhir ini, tetapi tidak berbuat sesuatu untuk penerbitan esok pagi adalah lebih buruk lagi. Ia akan ditegur Pemimpin Redaksi dan bonus bulanannya kemungkinan dipotong. Dan, kalau hal itu terus – terusan begini bukan tidak mungkin Lena akan dimutasikan ke bagian lain. Kemudian diserahi tugas mengedit berita-berita yang masuk dan merelai press-release.
Sialnya, Lena paling muak ditempatkan sebagai redaktur. Sebabnya cuma satu, ia paling benci duduk seharian di belakang meja ! Nasib baik, setelah satu minggu ini tidak ada sebuah berita yang spektakuler tiba –tiba saja datang telepon itu. Ruri seorang kawannya mengangkat telepon, bicara sepatah dua lantas berseru pada Lena: “Hei, untukmu !”
Lena membalikkan tubuh. Bertanya malas: “Dari siapa?”
Corong telepon ditutup Ruri dengan telapak tangan, lantas bergumam acuh tak acuh: “Maumu dari siapa, Presiden Suharto?”
Lena tampak malas -malasan menerima gagang telepon dari Ruri. Suara seorang laki-laki dari seberang telepon yang suaranya sudah tak asing di telinga Lena: “Lena? Selamat malam, nona cantik. Mau menemaniku sebentar? Ada makanan enak di....”
“Terimakasih pak. Aku sedang...”
“Kalau begitu, kuajak orang lain saja !”
“Astaga!” Lena tersadar.
“Tunggu dulu. Ke mana aku harus datang? Ke kantor bapak?”
“Temui saja aku di...” terdengar suara keretek-keretek seperti seseorang di seberang sana sedang melembari buku notes. Kemudian terdengar suara orang itu menyebut sebuah alamat di daerah Umbulharjo di pinggiran kota Yogyakarta. Disertai sedikit petunjuk agar Lena tidak sukar mencarinya.
“Aku sudah berada di TKP. Punya waktu?”
“Untuk bapak, selalu ada.”
“Syukurlah. Jadi kita ketemu di sana saja ya?”
“ Baik “
Lena meletakkan gagang telepon, lalu bertanya penuh semangat pada Ruri: “Masih ada tempat untuk satu berita lagi?”
“Kalau kau dapat datang kesini sebelum jam dua belas siang hari ini, masih... Hem. Berita besar, kuharap.”
Lena tertawa lantas bergegas meninggalkan kantor Redaksi yang berlokasi di salah satu sudut kota Jogja bagian utara itu, menuju Starlet merah yang mendekam di pojok parkiran.
Masih segar di ingatannya manakala ia menyelesaikan ketikan nya lalu mengoreksi sambil lalu. la tahu kalau itu adalah artikel terburuk yang dibuatnya satu minggu terakhir ini, tetapi tidak berbuat sesuatu untuk penerbitan esok pagi adalah lebih buruk lagi. Ia akan ditegur Pemimpin Redaksi dan bonus bulanannya kemungkinan dipotong. Dan, kalau hal itu terus – terusan begini bukan tidak mungkin Lena akan dimutasikan ke bagian lain. Kemudian diserahi tugas mengedit berita-berita yang masuk dan merelai press-release.
Sialnya, Lena paling muak ditempatkan sebagai redaktur. Sebabnya cuma satu, ia paling benci duduk seharian di belakang meja ! Nasib baik, setelah satu minggu ini tidak ada sebuah berita yang spektakuler tiba –tiba saja datang telepon itu. Ruri seorang kawannya mengangkat telepon, bicara sepatah dua lantas berseru pada Lena: “Hei, untukmu !”
Lena membalikkan tubuh. Bertanya malas: “Dari siapa?”
Corong telepon ditutup Ruri dengan telapak tangan, lantas bergumam acuh tak acuh: “Maumu dari siapa, Presiden Suharto?”
Lena tampak malas -malasan menerima gagang telepon dari Ruri. Suara seorang laki-laki dari seberang telepon yang suaranya sudah tak asing di telinga Lena: “Lena? Selamat malam, nona cantik. Mau menemaniku sebentar? Ada makanan enak di....”
“Terimakasih pak. Aku sedang...”
“Kalau begitu, kuajak orang lain saja !”
“Astaga!” Lena tersadar.
“Tunggu dulu. Ke mana aku harus datang? Ke kantor bapak?”
“Temui saja aku di...” terdengar suara keretek-keretek seperti seseorang di seberang sana sedang melembari buku notes. Kemudian terdengar suara orang itu menyebut sebuah alamat di daerah Umbulharjo di pinggiran kota Yogyakarta. Disertai sedikit petunjuk agar Lena tidak sukar mencarinya.
“Aku sudah berada di TKP. Punya waktu?”
“Untuk bapak, selalu ada.”
“Syukurlah. Jadi kita ketemu di sana saja ya?”
“ Baik “
Lena meletakkan gagang telepon, lalu bertanya penuh semangat pada Ruri: “Masih ada tempat untuk satu berita lagi?”
“Kalau kau dapat datang kesini sebelum jam dua belas siang hari ini, masih... Hem. Berita besar, kuharap.”
Lena tertawa lantas bergegas meninggalkan kantor Redaksi yang berlokasi di salah satu sudut kota Jogja bagian utara itu, menuju Starlet merah yang mendekam di pojok parkiran.
Quote:
LAKI-LAKI yang tergeletak di mulut gang, mengenakan kaos polos putih dan celana pendek hitam sebatas lutut. Sebuah sarung berwarna coklat dengan merk bukan abal –abal melilit di pinggangnya. Berusia sekitar 35 tahun, merupakan salah satu warga di kampung itu. Tak ada tanda-tanda penganiayaan. Sepintas lalu posisinya tampak seperti orang sedang tidur nyenyak. Hanya bedanya, ia memilih tempat untuk tidur yang salah serta wajah yang memperlihatkan tanda-tanda ia sebelumnya seolah telah bermimpi sangat buruk.
Wajah itu kaku dan dingin seperti es balok, pucat seperti kertas. Mulut ternganga memperlihatkan gigi kuning kehitam-hitaman sebagai pertanda ia seorang perokok yang kuat. Dan, matanya? Sepasang mata itu melotot lebar. Seolah ingin bertanya pada orang-orang yang mengerubunginya, mengapa ia sampai terkapar di tempat yang sama sekali tidak nyaman itu.
Lena menjepretkan kameranya beberapa kali. Nyala lampu blitz yang menyambar-nyambar wajah mayat itu membuatnya tampak semakin mengerikan. Bagai ada kutukan terlontar dari balik biji matanya, ditujukan pada orang yang tengah memotretnya. Lena sampai mundur selangkah, dengan bulu kuduk merinding.
“... apa penyebab kematiannya?” ia bertanya, tersendat.
“Jantung, kata pak Johan,” jawab orang setengah baya berpakaian preman yang tadi menyambut kedatangan Lena dan mendampinginya semenjak itu. Johan, adalah dokter kepolisian khusus untuk perkara – perkara pembunuhan.
“Mari kita temui dia untuk mengetahui apa komentarnya tentang korban satunya lagi...”
“Ma… masih ada?”, lidah Lena tiba -tiba kelu.
“Oh, yang barusan kau potret belum seberapa !”
“Maksud bapak ...”
“Ayolah ! Siapkan kameramu.”
Kamera sudah dalam keadaan siap tembak. Tinggal mengatur posisi dan angle, vertikal atau horisontal, sedikit ke atas atau dari bawah. Korban yang kedua layak menempati halaman satu surat-kabarnya. Berita tentangnya patut dijadikan head-line utama.
Karena Lena tidak sekalipun menekan shutter kamera. Alat potret itu lepas tanpa ia sadari, tergantung berayun-ayun dengan tali kulit pada pundaknya. Padahal, betapa sensasionalnya keadaan mayat itu. Berbaring di beranda sebuah rumah kosan berbentuk L dengan sepasang kaki mengangkang, la juga masih bersepatu hak tinggi.
Tetapi rok dan celana dalam yang dipakainya jelas bukan dibuka dengan sukarela. Rok span perempuan itu bagai direnggut tangan-tangan raksasa sehingga robek berkeping keping. Di bagian alat vital korban tampak robek besar meninggalkan luka mengerikan berlumur darah. Sepertinya lubang itu habis dimasuki benda tumpul yang sangat besar. Dan yang lebih mengerikan terletak pada wajahnya, jika itu dapat dikatakan sebuah wajah. Karena di bagian atas leher perempuan yang menjadi korban itu tetap utuh tak terganggu. Memang masih ada kepala. Lengkap dengan rambut serta telinga. Tetapi selebihnya adalah tulang semata. Tulang tanpa kulit maupun daging. Wajah sebuah tengkorak!
Kulit wajahnya seperti direnggut lepas, raib entah kemana. Cairan anyir berwarna merah itu masih terlihat menetes –netes dari renggutan wajah itu dan mengalir sampai ke leher dan dada membasahi kemeja putih dan setelan blazernya. Sehingga tanpa sengaja Lena setengah berlari mundur sambil memegangi wajahnya sendiri, kemudian jatuh terduduk di ujung lain beranda terbuka itu. Kerumunan manusia hilir mudik, suara bentak, teriak, perintah-perintah dan tanya jawab yang bergalau seperti keadaan darurat perang; tak sedikitpun menarik perhatiannya. Lena terduduk diam, lesu dan bagai hilang ingatan.
Nafasnya sesak. Berapa kali ia terpaksa mengurut dada. Beberapa kali pula meludah kasar, tanpa memperdulikan ada orang mendekatinya. Ternyata orang setengah baya tadi, yang kemudian duduk santai di sebelah Lena sambil membujuk: “Kalau mau muntah, silahkan...”
Lena diam. Memang benar isi perutnya serasa diaduk –aduk tetapi bagi seorang wartawan yang sering melihat mayat dengan keadaan apapun juga ia menahan sehingga isi dalam perutnya tidak sampai tertumpah. Menarik nafas panjang, lalu mengeluh setengah mengigau:
“ Menggunakan benda tajam apa yang bisa menguliti kulit wajahnya seperti itu ?”
“Clurit, golok, mungkin juga pisau komando. Itu menurut aku. Tetapi pak Johan bilang, bukan.… he, kau masih mendengar ku, nak?”
“He eh...”
“Seperti kubilang tadi. Aku kuatir, Pak Johan itu sudah mulai pikun. Maklum, usianya sudah tua dan menjelang pensiun tengah tahun ini. Lantas nekad mengambil kesimpulan yang bukan-bukan.”
“Apa?”
“Cakar, katanya. Cakar besar dan runcing luar biasa !”
“Ha… hhari… mau?” mata Lena jelalatan kian kemari. Lena tahu bahwa di dekat tempat kejadian itu memang relatif dekat dengan sebuah Kebun Binatang.
“Seorang pembantuku sudah menelepon ke Kebon Binatang. Petugas yang menerima telepon bilang, tak ada harimau yang lepas. Demikian pula mahluk buas lain… mahluk bercakar! Uh, pak Johan sudah edan barangkali. Jangan-jangan ia mulai percaya tahayul dan segala omong kosong hal mistis”
Lena masih terdiam mendengar perkataan lelaki paruh baya berpakaian preman itu. Entah mengapa keadaan mayat kedua membuat nyalinya menjadi lumer dan hatinya diliputi ketakutan yang ganjil.
Wajah itu kaku dan dingin seperti es balok, pucat seperti kertas. Mulut ternganga memperlihatkan gigi kuning kehitam-hitaman sebagai pertanda ia seorang perokok yang kuat. Dan, matanya? Sepasang mata itu melotot lebar. Seolah ingin bertanya pada orang-orang yang mengerubunginya, mengapa ia sampai terkapar di tempat yang sama sekali tidak nyaman itu.
Lena menjepretkan kameranya beberapa kali. Nyala lampu blitz yang menyambar-nyambar wajah mayat itu membuatnya tampak semakin mengerikan. Bagai ada kutukan terlontar dari balik biji matanya, ditujukan pada orang yang tengah memotretnya. Lena sampai mundur selangkah, dengan bulu kuduk merinding.
“... apa penyebab kematiannya?” ia bertanya, tersendat.
“Jantung, kata pak Johan,” jawab orang setengah baya berpakaian preman yang tadi menyambut kedatangan Lena dan mendampinginya semenjak itu. Johan, adalah dokter kepolisian khusus untuk perkara – perkara pembunuhan.
“Mari kita temui dia untuk mengetahui apa komentarnya tentang korban satunya lagi...”
“Ma… masih ada?”, lidah Lena tiba -tiba kelu.
“Oh, yang barusan kau potret belum seberapa !”
“Maksud bapak ...”
“Ayolah ! Siapkan kameramu.”
Kamera sudah dalam keadaan siap tembak. Tinggal mengatur posisi dan angle, vertikal atau horisontal, sedikit ke atas atau dari bawah. Korban yang kedua layak menempati halaman satu surat-kabarnya. Berita tentangnya patut dijadikan head-line utama.
Karena Lena tidak sekalipun menekan shutter kamera. Alat potret itu lepas tanpa ia sadari, tergantung berayun-ayun dengan tali kulit pada pundaknya. Padahal, betapa sensasionalnya keadaan mayat itu. Berbaring di beranda sebuah rumah kosan berbentuk L dengan sepasang kaki mengangkang, la juga masih bersepatu hak tinggi.
Tetapi rok dan celana dalam yang dipakainya jelas bukan dibuka dengan sukarela. Rok span perempuan itu bagai direnggut tangan-tangan raksasa sehingga robek berkeping keping. Di bagian alat vital korban tampak robek besar meninggalkan luka mengerikan berlumur darah. Sepertinya lubang itu habis dimasuki benda tumpul yang sangat besar. Dan yang lebih mengerikan terletak pada wajahnya, jika itu dapat dikatakan sebuah wajah. Karena di bagian atas leher perempuan yang menjadi korban itu tetap utuh tak terganggu. Memang masih ada kepala. Lengkap dengan rambut serta telinga. Tetapi selebihnya adalah tulang semata. Tulang tanpa kulit maupun daging. Wajah sebuah tengkorak!
Kulit wajahnya seperti direnggut lepas, raib entah kemana. Cairan anyir berwarna merah itu masih terlihat menetes –netes dari renggutan wajah itu dan mengalir sampai ke leher dan dada membasahi kemeja putih dan setelan blazernya. Sehingga tanpa sengaja Lena setengah berlari mundur sambil memegangi wajahnya sendiri, kemudian jatuh terduduk di ujung lain beranda terbuka itu. Kerumunan manusia hilir mudik, suara bentak, teriak, perintah-perintah dan tanya jawab yang bergalau seperti keadaan darurat perang; tak sedikitpun menarik perhatiannya. Lena terduduk diam, lesu dan bagai hilang ingatan.
Nafasnya sesak. Berapa kali ia terpaksa mengurut dada. Beberapa kali pula meludah kasar, tanpa memperdulikan ada orang mendekatinya. Ternyata orang setengah baya tadi, yang kemudian duduk santai di sebelah Lena sambil membujuk: “Kalau mau muntah, silahkan...”
Lena diam. Memang benar isi perutnya serasa diaduk –aduk tetapi bagi seorang wartawan yang sering melihat mayat dengan keadaan apapun juga ia menahan sehingga isi dalam perutnya tidak sampai tertumpah. Menarik nafas panjang, lalu mengeluh setengah mengigau:
“ Menggunakan benda tajam apa yang bisa menguliti kulit wajahnya seperti itu ?”
“Clurit, golok, mungkin juga pisau komando. Itu menurut aku. Tetapi pak Johan bilang, bukan.… he, kau masih mendengar ku, nak?”
“He eh...”
“Seperti kubilang tadi. Aku kuatir, Pak Johan itu sudah mulai pikun. Maklum, usianya sudah tua dan menjelang pensiun tengah tahun ini. Lantas nekad mengambil kesimpulan yang bukan-bukan.”
“Apa?”
“Cakar, katanya. Cakar besar dan runcing luar biasa !”
“Ha… hhari… mau?” mata Lena jelalatan kian kemari. Lena tahu bahwa di dekat tempat kejadian itu memang relatif dekat dengan sebuah Kebun Binatang.
“Seorang pembantuku sudah menelepon ke Kebon Binatang. Petugas yang menerima telepon bilang, tak ada harimau yang lepas. Demikian pula mahluk buas lain… mahluk bercakar! Uh, pak Johan sudah edan barangkali. Jangan-jangan ia mulai percaya tahayul dan segala omong kosong hal mistis”
Lena masih terdiam mendengar perkataan lelaki paruh baya berpakaian preman itu. Entah mengapa keadaan mayat kedua membuat nyalinya menjadi lumer dan hatinya diliputi ketakutan yang ganjil.
Quote:
Ada bayang-bayang hitam mendadak melompat dari sebelah kiri jalan untuk kemudian lari menghilang di seberang kanan. Lena sempat tersentak lalu seketika menginjak rem kuat-kuat. Mobilnya oleng satu dua detik, sebelum kemudian berhenti dengan sentakan keras didahului suara berisik ban saling beradu kuat dengan aspal. Sejenak lamanya Lena hanya terduduk dengan wajah pucat pasi serta jantung bagai loncat di tenggorokan. Baru setelah itu, takut takut ia melirik ke kaca spion.
Mengawasi jalanan di belakangnya. Lampu merkuri di trotoir hanya memperlihatkan jalanan yang lengang dan hampa. Tak tampak adanya sesuatu tergeletak di sana. Lalu kemudian Lena kembali melihat bayang-bayang hitam tadi. Tegak diam-diam di trotoar sebelah kanan, dengan moncong mengarah ke mobil Lena. Terdengar suara gonggongan keras, disahuti oleh gonggongan lain dari kegelapan malam di sekitar. Bayang-bayang hitam itu segera berlari menghilang. Hanya suara gonggongannya saja yang masih terdengar. Mengejar arah datangnya gonggongan susulan tadi.
“Anjing sialab!” Lena mengumpat.
“Kukira apa...”
Sambil tertawa lega bercampur dongkol, Lena menjalankan mobilnya kembali. Namun tidak lagi sekencang tadi. Ia sedikit lebih santai karena perempatan yang dekat dari rumah sudah terlihat, tinggal belok ke kiri. Dan satu kilometer dari perempatan jalan itu sudah sampai ke rumahnya.
Mobil yang dikemudikan Lena masuk ke sebuah pekarangan yang lumayan luas. Dan Lena pun tak perlu repot-repot turun untuk memijit bel, karena pintu gerbang memang dibiarkan tidak terkunci. Lampu rem belakang mobil menyala merah saga manakala pedal rem diinjak perlahan oleh pengemudinya. Lena bergegas turun dari mobil, mendorong gerbang itu sehingga menganga terbuka.
Tidak berapa lama kemudian mobil berwarna merah itu merayap lambat menuju serambi depan rumah. Ia memperhatikan rumah di depannya. Kecuali ruang duduk, bagian lain rumah tampak gelap gulita. Lena tinggal di rumah ini sendirian keluarganya sudah semua berkeluaga. Hanya ada Bi Nining dan suaminya yang masih setia membantu segala keperluan dan melakukan perkerjaan rumah sementara Lena disibukkan dengan profesinya sebagai wartawan.
Setelah, mobil berhenti, ia turun cepat-cepat lalu naik ke serambi. Lena merogoh kunci rumah di saku kemeja jeans yang dikenakan. Setelah memutar anak pintu dan pintu terbuka ia lantas menyelinap masuk ke dalam. Bayangan mayat tanpa kulit wajah tiba –tiba menyeruak di pikirannya. Jantung berdebar. Lena bukan seorang pengecut. Selain itu, ia juga sudah terbiasa menghadapi bahaya. Tetapi malam ini, dan justru di rumahnya sendiri, Lena tiba –tiba merasakan dirinya dihinggapi perasaan takut yang ganjil yang seolah-olah menyeretnya dengan paksa ke sebuah mimpi buruk. Dan Lena saat ini merasa bukan sedang memasuki rumah miliknya sendiri, ia merasa seperti sedang memasuki dunia lain. Sebuah dunia terasing yang menakutkan.
Mengawasi jalanan di belakangnya. Lampu merkuri di trotoir hanya memperlihatkan jalanan yang lengang dan hampa. Tak tampak adanya sesuatu tergeletak di sana. Lalu kemudian Lena kembali melihat bayang-bayang hitam tadi. Tegak diam-diam di trotoar sebelah kanan, dengan moncong mengarah ke mobil Lena. Terdengar suara gonggongan keras, disahuti oleh gonggongan lain dari kegelapan malam di sekitar. Bayang-bayang hitam itu segera berlari menghilang. Hanya suara gonggongannya saja yang masih terdengar. Mengejar arah datangnya gonggongan susulan tadi.
“Anjing sialab!” Lena mengumpat.
“Kukira apa...”
Sambil tertawa lega bercampur dongkol, Lena menjalankan mobilnya kembali. Namun tidak lagi sekencang tadi. Ia sedikit lebih santai karena perempatan yang dekat dari rumah sudah terlihat, tinggal belok ke kiri. Dan satu kilometer dari perempatan jalan itu sudah sampai ke rumahnya.
Mobil yang dikemudikan Lena masuk ke sebuah pekarangan yang lumayan luas. Dan Lena pun tak perlu repot-repot turun untuk memijit bel, karena pintu gerbang memang dibiarkan tidak terkunci. Lampu rem belakang mobil menyala merah saga manakala pedal rem diinjak perlahan oleh pengemudinya. Lena bergegas turun dari mobil, mendorong gerbang itu sehingga menganga terbuka.
Tidak berapa lama kemudian mobil berwarna merah itu merayap lambat menuju serambi depan rumah. Ia memperhatikan rumah di depannya. Kecuali ruang duduk, bagian lain rumah tampak gelap gulita. Lena tinggal di rumah ini sendirian keluarganya sudah semua berkeluaga. Hanya ada Bi Nining dan suaminya yang masih setia membantu segala keperluan dan melakukan perkerjaan rumah sementara Lena disibukkan dengan profesinya sebagai wartawan.
Setelah, mobil berhenti, ia turun cepat-cepat lalu naik ke serambi. Lena merogoh kunci rumah di saku kemeja jeans yang dikenakan. Setelah memutar anak pintu dan pintu terbuka ia lantas menyelinap masuk ke dalam. Bayangan mayat tanpa kulit wajah tiba –tiba menyeruak di pikirannya. Jantung berdebar. Lena bukan seorang pengecut. Selain itu, ia juga sudah terbiasa menghadapi bahaya. Tetapi malam ini, dan justru di rumahnya sendiri, Lena tiba –tiba merasakan dirinya dihinggapi perasaan takut yang ganjil yang seolah-olah menyeretnya dengan paksa ke sebuah mimpi buruk. Dan Lena saat ini merasa bukan sedang memasuki rumah miliknya sendiri, ia merasa seperti sedang memasuki dunia lain. Sebuah dunia terasing yang menakutkan.
Diubah oleh breaking182 10-04-2019 14:59
MontanaRivera dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas