- Beranda
- Stories from the Heart
Cinta Tak Bisa Disalahkan (Part 2)
...
TS
wowonwae
Cinta Tak Bisa Disalahkan (Part 2)

Sebelumnya : Part 1
Part 2

CUITAN DARI ATAS BALKON
Aku memang biasa dipanggil Aik, nama panggilan semenjak kecil yang diberikan orang tuaku. Sebetulnya itu diambil dari nama belakangku, Aji. Buat mudahnya bagi lidah jawa, huruf "j" dihilangkan dan diakhiri konsonan "k", jadilah Aik. Demikian aku berkenalan sama semua orang di sini, nggak dosen, senior, pegawai kampus, tukang parkir, junior sampai orang-orang kampung mengenalku dengan nama Aik.
Yang tampak saat kutolehkan wajahku adalah sebuah rumah besar yang terletak berseberangan dengan rumah kost yang baru akan kutempati. Tertutup pintunya, semacam pintu garasi lebar bersegmen-segmen terbuat dari bahan kayu kayak di senetron-sinetron atau FTV. Tidak tampak seorangpun di depan pintu itu. Kudongakkan kepalaku segera mengikuti sumber suara, ternyata ada dua gadis yang senyum-senyum memandangku di teras balkon lantai 2.
Ya, rumah besar itu memang susun bentuknya, hanya 2 lantai. Lantai pertama yang pintunya tertutup itu garasi buat nyimpen motor anak-anak kost, lantai kedua adalah kamar kost dengan teras balkon los, tak bersekat, memanjang di depan kamar-kamar kos. Empat orang senior cewek, setingkat di atasku memang tinggal di situ. Dan salah satunya itulah yang memanggilku, namanya Ica. Rupanya sejak tadi dia mengamati proses pemindahan barang-barangku dari pick-up ke kamar kost, bersama kawan kostnya.
"Hai !", jawabku setengah berteriak. "Ngapain Ca pagi-pagi nongkrong aja di atas? Nggak pada ngikut ngandong?" tanyaku kemudian. Ica memang setingkat di atasku, tapi tahun kelahiran kita sama, makanya aku takpernah memanggilnya Mbak atau Kak sebagaimana kawan seangkatannya yang lain.
"Lagi males, begadang semalem", jawabnya dengan seulas senyum. Kawan di sebelahnya juga ikut senyum-senyum, malah tampak serius mengamati wajahku meski terkesan jaga image. Senyumnya manis juga dengan deretan gigi yang rapi. Hidungnya mancung lebih mancung dari hidungku, sedang matanya lebar - jelas lebih lebar dari mataku yang sipit ini. Mata kami sejenak beradu, aku menangkap kesan seolah ingin mengajakku berkenalan.
Kualihkan lagi pandanganku ke Ica yang lebih dulu kukenal. Baik anaknya, tergolong pinter dan rajin di angkatannya, aku sering pinjam catatannya atau minta keterangan untuk pelajaran yang aku kurang mengerti. Sebagai anak pintar, Ica tidak egois seperti kebanyakan, dia tidak pernah menolak berbagi catatan dan pemahamannya pada siapa saja.
"Udah sarapan Ca? Yuk!" ajakku.
"Udah dong, pagi tadi kami masak berdua", kata Ica sambil melirik kawan di sebelahnya.
"Widiiih, masak apa? Boleh dong ngicipin...", sahutku berbasa-basi, masih dengan mendongakkan kepala.
Disenggollah dengan sikut kawan di sebelahnya, dua kali. Merah padam mukanya, tawanya lepas sambil memegangi lengan Ica dan mengguncangkannya. Kepalanya digeleng-gelengkan menatap Ica, bahasa isyarat agar masakannya jangan dibagikan. Ica juga tergelak tawanya melihat tingkah itu, dengan sigap lalu dialihkannya pandangan kembali ke bawah - ke arahku.
"Restu malu Ik, kami masih belajar memasaknya, masih agak hambar rasanya. Ini nih chefnya...," kata Ica menunjuk kawan di sebelahnya sambil menahan tawa geli. Sedang kawannya itu mengangguk-angguk, isyarat mengiyakan jawaban Ica dengan ekspresi malu.
"Yo wis ( ya sudah ). Aku pegel ndangak ( aku capek mendongak) terus. Kalau mau lanjut ngobrol sini turun ke bawah", celetukku kemudian.
"Udah kamu sarapan aja dulu !", jawabnya.
"Oke !", jawabku langsung berbalik badan menghampiri motor di depan kamar kostku.
Lupa mengunci pintu kamar, turunlah lagi aku dari motor yang terlanjur sudah kustarter. Setelah yakin aman terkunci, kembali kunaiki motor dan kulajukan mengikuti naluri perut yang sudah keroncongan sejak tadi.
Sepanjang jalan, ingatanku pada percakapan tadi masih mengiang, terutama kesan pada ekspresi spontan kawan kost Ica saat aku berbasa-basi pengin mencicipi masakan mereka.

Continue to part 3 ♡ part4 ♡ part5 ♡ part6 ♡ part7 ♡ part8 ♡ part9 ♡ part10 ♡ Interlog ♡ Part11 ♡ Part12 ♡ Part13 ♡ Part14 ♡ Part15 ♡ Part16 ♡ Part17 ♡ Part18 ♡ Part19 ♡ Part20 ♡ Part21 ♡ Part22 ♡ Part23 ♡ Part24 ♡ Part25 ♡ Selembar Testimoni ♡ Part26 ♡ Part27 ♡ Part28 ♡ Part29 ♡ Part30
Diubah oleh wowonwae 08-05-2019 13:00
yambu668 dan 14 lainnya memberi reputasi
13
10.6K
63
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
wowonwae
#17
Part 12

Perjuangan Tak Sia-sia
"Berapa banyak Ik?" tanya Yuna setengah teriak sambil menoleh ke arahku. Dia berdiri di depan kios penjual kue bandung, sedang aku duduk di atas motor agak jauh di belakangnya. Dia sendiri yang mengajukan diri memesan kue bandung, kuberikan selembar uang 20 ribuan.
"Tiga porsi!" jawabku setengah berteriak pula. "Spesial coklat-keju!"
Lalu-lalang kendaraan dengan kepulan asapnya makin menambah dekil kami berdua. Bayangkan saja, jam segini (18.10 wib) kita baru pulang dari kampus sedari pagi. Debu yang menempel di tubuh bertambah akibat perjalanan naik motor 15 menit menerobos kemacetan untuk sampai kios kue bandung. Dan sekarang, asap-asap knalpot itu mengirimkan molekul karbondioksida ke seluruh badan, bak bedak make up artis sebelum disorot lampu kamera. Lengkaplah wajah kami ini memancarkan aura yang teramat kusut.
Jadwal rapat HMJ pun spontan kucanceltadi, aku terhipnotis ucapan Ica di kantin yang bikin syahwat berorganisasiku luntur seketika, berganti dengan naluri detektif menguak misteri. Irin sebetulnya protes keras atas pamitku tadi, gak asyik dia kalau mbahas rencana acara tanpaku. Irin adalah mahasiswi 2 tingkat di bawahku yang sudah menganggapku seperti kakak kandungnya sendiri. Perlu waktu agak lama tadi buat menenangkan Irin agar gak ikutan bolos rapat malam ini.
Kulihat Yuna masih menunggu si abang tukang kue bandung memanggang adonan, tampaknya tinggal satu porsi lagi untuk menggenapi pesanan. Aku sudah taksabar rasanya, kakiku bergerak-gerak sendiri menghentak berirama. Ucapan Ica di kantin tadi seolah lagu yang diputar dalam mode auto reply, terus mengiang menembus bawah sadar. Seandainya kupakai tidur, pasti bakalan ngigau. Takmau aku jika itu menjadi ilusi, semua meski jelas malam ini.
"Yuk tarik bro !" kata Yuna menghampiriku lanjut naik membonceng di jok belakang motor. Kutoleh bungkusan yang dia bawa untuk memastikan jumlah yang dipesan telah sesuai kemauanku. Genap ada 3 kardus kecil di dalam bungkusan yang ditentengnya, artinya 3 porsi kue bandung spesial coklat-keju terbungkus sudah. Dua untuk Ica, satu untuk calon kekasihku Restu.
Meluncur kami berdua menuju kost Ica dan Restu, kutarik kencang gas motor mempercepat laju. Yuna terus pegangi pundakku sesekali memijit kuat-kuat, khawatir aku terbawa nafsu sehingga kurang waspada. Mungkin juga sambil senyum-senyum di belakang lihat kelakuanku yang sedang dibakar api asmara ini. Seperti api unggunnya anak Pramuka yang makin malam makin menyala-nyala.
Sesampainya, kuparkir motor di depan kost, tanpa mampir dulu ke kost ku sendiri. Sudah ada planning sebelumnya yang kurancang dengan Yuna. Dia akan menemaniku sebentar sampai berkenalan juga dengan Restu, lalu pamit duluan dan bawa motorku sama Ano ke game center.
Yuna dan Ano sudah kukenalkan sejak semester awal, langsung akrab mereka karena sama-sama berdarah Sumatra. Ano dari Palembang, sedang Yuna kedua orang tuanya asli Padang tapi tinggal di Cilacap. Berdua kalau sudah beradu main Counter Strike, se-ruangan game center akan segera heboh dengan teriakan-teriakan tabu. Para gamers pelanggan yang lain sangat hapal mereka berdua. Bahkan rencananya mau dijadikan ikon sama pemilik game center.
Pintu kost Ica sudah terbuka 2 segmen, tapi tak tampak ada orang. Kupencet bel 2 kali beruntun pendek, ulang lagi, lalu 1 kali agak panjang. Itu adalah kode khusus buat tamu yang cari Ica di malam hari, menghindari berteriak supaya tidak gaduh. Di gang kompleks tempat kost kami ada aturan jam tenang sebagai bentuk perhatian warga terhadap kenyamanan kegiatan belajar mahasiswa.
Ica pun muncul menuruni tangga dengan tawa riang menyambut kami, pastinya sedari tadi sudah menunggu. Tawanya bertambah keras saat menatap kami berdua yang tampak dekil dan lusuh.
"Ampuuuun! Pasti belum pada mandi deh... Sini masuk!"
Aku dan Yuna segera mengambil tempat duduk berbentuk bangku memanjang bersandar berbahan kayu jati itu. Seperti biasa, aku ambil posisi yang di dekat pintu. Yuna segera mengulurkan bungkusan kue bandung yang ditentengnya sedari tadi.
"Ye....! Masih anget!" teriak Ica girang bukan kepalang, bakal terpenuhi keinginan menikmati makanan favoritnya.
"Eeeniiii.....!" teriaknya kemudian, kencang sekali sampai menggema, terpantul tembok kost yang tinggi dan tebal.
"Ya mbaaa...k" sahut suara dari arah lantai dua.
"Sini doooo....ng turun sebentar!"
Yang dipanggil dengan nama Eni muncul, rupanya anak kost baru - tampak jelas dari tampangnya yang masih belia dan culun. Diulurkan bungkusan kue bandung di tangan Ica kepada Eni.
"Ini tolong ya ditaruh piring, terus nanti bawa ke sini yang satu porsi buat nyuguhin mas-masnya. Eh, kenalan dulu sini..."
Eni mengulurkan jabat tangannya padaku sambil membungkuk sopan sekali, perilaku seorang junior terhadap senior yang telah jadi budaya - gak di kampus - gak di kompleks. Artinya sudah begitu mengakar di wilayah seputar kampus.
"Eni...", katanya halus.
"Aik", balasku ja-im (jaga image)
"Eni...", katanya lagi gantian kepada Yuna dengan uluran jabat tangannya lagi.
Yuna yang berdarah Sumatra pun tak menyia-nyiakan kesempatan. Sekalipun culun, si bocah ini menyimpan wajah manis yang mengundang gairah menggoda. Dijabatnya tangan Eni tak segera dilepaskan sambil berkata dalam nada rayuan : "Yuna. Emmm..., Eni siapa kepanjangannya?"
"Eni Rahmawati kak..."
"Ambil jurusan apa?"
"Saya di administrasi niaga kak..."
"Politeknik dong ?!" sambung Yuna. Yang ditanya mengangguk malu-malu.
"Eeeh, sudah..sudah!" bentak Ica sambil memaksa lepas jabat tangan Yuna - Eni, bermaksud melindungi junior kostnya dari rayuan berbahaya. "Sana! Cepet dikit ya En...!"
"Iya kak !" jawab Eni tegas, kesadarannya pulih oleh bentakan Ica. Loloslah dia dari nada rayu Yuna setelah sempat terbuai.
"Eiiit !!!" cegahku yang dari tadi was-was. "Yang satu kardus..."
"Yang satu kardus kasihkan Mbak Restu! Bilang kalau itu dari Mas Aik...!" potong Ica.
"Betul kan Ik?!" katanya gantian menatapku, meminta pembenaran bahwa dia paham maksudku. Akupun mengangguk meng-iya-kan.
Eni yang disuruh juga hanya mengangguk - takmenjawab, segera melangkah cepat membawa bungkusan menaiki tangga ke lantai dua. Yuna wajahnya kecut ditinggalkan Eni, rayuannya putus di tengah jalan. Diliriknya Ica tanda kecewa - protes, dibalas Ica dengan tatapan tajam mempertahankan diri. Aku senyum-senyum geli melihatnya, pengin kujengguk kepala Yuna tapi kuurungkan. Dia marah besar kalau kepalanya disentuh, katanya itu sebuah penghinaan bagi orang Padang.
"Kamu ngapain sih Ik bawa-bawa Yuna segala? Mosok laki gak berani sendiri..." sindir Ica lebih kepada Yuna. Sama kayak Restu, Ica juga sensitif sama lelaki perayu.
"Kamu tuh sentimen ya emang dari dulu...?!" kata Yuna kesal.
"Kalau iya terus kenapa ?!" jawab Ica ketus sambil berkacak pinggang.
"Uwis...uwis...( sudah...sudah... )!" kataku melerai. Terpaksa bangkit aku dari duduk lalu mengambil tempat di antara mereka berdua. Kusenggol Yuna agar bergeser biar agak jauh posisinya dari Ica.
Takberapa lama Eni nongol lagi dengan sepiring kue bandung spesial coklat-keju yang uapnya yang masih mengepul. Iklim di wilayah kita tinggal ini tergolong dingin dan lembab, sering berkabut kalau malam. Makanan dan minuman yang hangat saja akan menampakkan kepulan asap di atasnya. Wajah Yuna yang tadi kecut sementara cerah kembali, begitu juga kerutan wajah Ica mulai pudar. Yuna senang melihat Eni, sedang Ica senang melihat kue bandung favoritnya.
"Situ saja dek, taruh deketnya Mbak Ica !" kataku sambil menunjuk space kosong sebelah Ica. Sengaja kudahului sebelum Ica yang memerintah sambil kuinjak telapak kaki Yuna, sebuah kode biar dia nggak berulah lagi.
"Eee..., Mbak Restu nitip nanya mbak : bolehkah ikut bergabung?" tanya Eni sambil meletakkan sepiring kue dekat Ica.
Yang ditanya takmenjawab, hanya kasih kode pakai tangan tanda gak boleh. Lalu kasih kode lagi agar Eni segera kembali ke atas. Eni menurut. Dilempar pandangan Ica kemudian ke arahku. Aku mengerti, artinya sudah ada plan yang sudah diatur Ica. Yuna menghela nafas, urung terjawab penasarannya tentang seperti apa rupa Restu yang membuatku jatuh hati.
"Icipin Ca' kuenya, coba gimana rasanya menurutmu..." responku segera untuk menunjukkan bahwa aku sudah menangkap kode tatapannya.
"Ica aja yang kau tawarin Ik?" protes Yuna sambil menelan ludah.
"Aku nggak nawarin Yun, cuma minta testimoni aja. Kau sendiri yang kasihkan kue itu waktu masih bungkusan tadi ke Ica, berarti kan sudah jadi miliknya Ica. Ica dong yang berhak nawarin..."
Ica sementara takmenggubris, diambilnya sepotong kue bandung dan dinikmatinya penuh penghayatan. Satu gigitan dikunyahnya pelan-pelan sebelum akhirnya ditelan.
"Mantap Ik !" kata Ica dengan rona muka penuh kepuasan. Digigitnya lagi potongan kue dan dikunyah pelan sambil melirik menggoda Yuna.
"Udah Ca' habisinlah sendiri! Aku jadi hilang nafsu lihat kau makan kue", kata Yuna membalas. "Gak tega aku melihatnya..."
Aku tertawa-tawa menyaksikan tingkah kedua kawanku ini. Ica berdiri dari tempat duduknya, diambilnya sepiring kue itu dan disodorkannya ke Yuna. Yuna ambil sepotong. Disodorkannya padaku, aku menggeleng. Dibawanya lagi sepiring kue itu duduk bersamanya. Yuna geleng-geleng kepala melihatnya. Aku kembali tertawa-tawa terhibur tingkah Ica yang seperti anak kecil, yang tak begitu rela berbagi makanan kesukaannya.
Kulirik jam dinding yang tergantung di tembok, posisinya kali ini tepat di atas kepala Ica. Kurogoh saku celana menggapai kunci motor lalu kusodorkan ke Yuna. Kutatap matanya kuat-kuat, kode bahwa sudah waktunya ditinggalkannya kami berdua. Dimasukkanlah potongan kue terakhir Yuna ke mulut lalu disambutnya kunci motor yang kusodorkan. Mulutnya penuh kue tak bisa bicara sehingga hanya melambaikan tangan ke Ica untuk berpamitan. Ditinggalkan kami berdua lalu kabur bersama motorku sesuai rencana yang sudah kami sepakati tadi.
"Itu kue bandung yang kiosnya dekat kost lamaku Ca'. Dulu kawan-kawan kost lama kalau beli pada di situ. Aku pernah ikut nyobain, menurutku sih enak. Ya syukurlah kalau pendapatmu juga sama", kataku membuka pembicaraan sebelum nanti menuju ke serius.
"Ngapain sih Ik jauh-jauh? Di sekitar sini kan ada juga yang jual. Widiiih..., penuh perjuangan nih artinya?"
"Lha menurutmu lebih enak mana kalau dibandingin ?"
"Iya sih, lebih enakan ini. Kenyalnya kue pas gitu lho! Kejunya juga kayaknya pakai yang merek bagus deh".
"Berarti perjuanganku tak sia-sia kan ?!"
"Boleh juga perjuanganmu Ik. Makasih ya...?!"
"Nggak makasih aja kan?"
"Iya iya...", jawab Ica sambil tertawa kecil. "Terus kamu mau ceritaku apa mau ketemu ketemu sama Restu?" sambungnya sambil menunjuk jam dinding.
"Iya Ca', dilema memang. Perjuanganku membelikanmu kue bandung berakibat terpotong banyak durasi waktu yang tersisa".
"Dasar kamu itu Ik, jadi keliatan kan sekarang kalau kamu lebih cenderung memburu rasa penasaranmu daripada pengin ketemu Ica?"
Ah! Lagi-lagi betul ucapan Ica. Gumamku dalam hati. Aku menunduk sambil garuk-garuk kepala. Ica tersenyum.
"Nanti setelah dengar ceritaku, kamu anterin tuh si Restu ke kampus. Dia mau nge-lab, selesaiin UP (Usulan Penelitian) nya" jawab Ica kembali takterduga. Nge-lab adalah istilah bagi aktivitas mahasiswa pake ruang dan fasilitas laboratorium.
Aku terbelalak, kudongakkan kepala memandang wajah Ica. Senyumku mengembang, salut sama plan Ica. Kuulurkan jabat tangan dan dibalasnya dengan senyum bangga. Kalau sesama laki-laki mungkin sudah kupeluk si Ica.
Kurapikan sikap dudukku, kurapikan juga kerah bajuku. Tandanya aku bersiap mendengar cerita Ica dengan sungguh-sungguh. Ica menangkap perubahan sikapku, diusap mulutnya dengan tissue untuk juga bersiap memulai cerita.

Continue to Part 13

Perjuangan Tak Sia-sia
"Berapa banyak Ik?" tanya Yuna setengah teriak sambil menoleh ke arahku. Dia berdiri di depan kios penjual kue bandung, sedang aku duduk di atas motor agak jauh di belakangnya. Dia sendiri yang mengajukan diri memesan kue bandung, kuberikan selembar uang 20 ribuan.
Pembaca millenial jangan heran, duit waktu itu belum terlalu jatuh nilainya kayak sekarang. Makan bergizi standard minimal a-la anak kost berupa nasi dengan lauk sayur plus telur saja cuma 2.000 rupiah. Sama teh manis hangat tinggal nambah 500 rupiah. Nah, menu spesial kue bandung waktu itu hanya dijual 6.000 rupiah satu porsinya.
"Tiga porsi!" jawabku setengah berteriak pula. "Spesial coklat-keju!"
Lalu-lalang kendaraan dengan kepulan asapnya makin menambah dekil kami berdua. Bayangkan saja, jam segini (18.10 wib) kita baru pulang dari kampus sedari pagi. Debu yang menempel di tubuh bertambah akibat perjalanan naik motor 15 menit menerobos kemacetan untuk sampai kios kue bandung. Dan sekarang, asap-asap knalpot itu mengirimkan molekul karbondioksida ke seluruh badan, bak bedak make up artis sebelum disorot lampu kamera. Lengkaplah wajah kami ini memancarkan aura yang teramat kusut.
Jadwal rapat HMJ pun spontan kucanceltadi, aku terhipnotis ucapan Ica di kantin yang bikin syahwat berorganisasiku luntur seketika, berganti dengan naluri detektif menguak misteri. Irin sebetulnya protes keras atas pamitku tadi, gak asyik dia kalau mbahas rencana acara tanpaku. Irin adalah mahasiswi 2 tingkat di bawahku yang sudah menganggapku seperti kakak kandungnya sendiri. Perlu waktu agak lama tadi buat menenangkan Irin agar gak ikutan bolos rapat malam ini.
Kulihat Yuna masih menunggu si abang tukang kue bandung memanggang adonan, tampaknya tinggal satu porsi lagi untuk menggenapi pesanan. Aku sudah taksabar rasanya, kakiku bergerak-gerak sendiri menghentak berirama. Ucapan Ica di kantin tadi seolah lagu yang diputar dalam mode auto reply, terus mengiang menembus bawah sadar. Seandainya kupakai tidur, pasti bakalan ngigau. Takmau aku jika itu menjadi ilusi, semua meski jelas malam ini.
"Yuk tarik bro !" kata Yuna menghampiriku lanjut naik membonceng di jok belakang motor. Kutoleh bungkusan yang dia bawa untuk memastikan jumlah yang dipesan telah sesuai kemauanku. Genap ada 3 kardus kecil di dalam bungkusan yang ditentengnya, artinya 3 porsi kue bandung spesial coklat-keju terbungkus sudah. Dua untuk Ica, satu untuk calon kekasihku Restu.
Meluncur kami berdua menuju kost Ica dan Restu, kutarik kencang gas motor mempercepat laju. Yuna terus pegangi pundakku sesekali memijit kuat-kuat, khawatir aku terbawa nafsu sehingga kurang waspada. Mungkin juga sambil senyum-senyum di belakang lihat kelakuanku yang sedang dibakar api asmara ini. Seperti api unggunnya anak Pramuka yang makin malam makin menyala-nyala.
Sesampainya, kuparkir motor di depan kost, tanpa mampir dulu ke kost ku sendiri. Sudah ada planning sebelumnya yang kurancang dengan Yuna. Dia akan menemaniku sebentar sampai berkenalan juga dengan Restu, lalu pamit duluan dan bawa motorku sama Ano ke game center.
Yuna dan Ano sudah kukenalkan sejak semester awal, langsung akrab mereka karena sama-sama berdarah Sumatra. Ano dari Palembang, sedang Yuna kedua orang tuanya asli Padang tapi tinggal di Cilacap. Berdua kalau sudah beradu main Counter Strike, se-ruangan game center akan segera heboh dengan teriakan-teriakan tabu. Para gamers pelanggan yang lain sangat hapal mereka berdua. Bahkan rencananya mau dijadikan ikon sama pemilik game center.
Pintu kost Ica sudah terbuka 2 segmen, tapi tak tampak ada orang. Kupencet bel 2 kali beruntun pendek, ulang lagi, lalu 1 kali agak panjang. Itu adalah kode khusus buat tamu yang cari Ica di malam hari, menghindari berteriak supaya tidak gaduh. Di gang kompleks tempat kost kami ada aturan jam tenang sebagai bentuk perhatian warga terhadap kenyamanan kegiatan belajar mahasiswa.
Ica pun muncul menuruni tangga dengan tawa riang menyambut kami, pastinya sedari tadi sudah menunggu. Tawanya bertambah keras saat menatap kami berdua yang tampak dekil dan lusuh.
"Ampuuuun! Pasti belum pada mandi deh... Sini masuk!"
Aku dan Yuna segera mengambil tempat duduk berbentuk bangku memanjang bersandar berbahan kayu jati itu. Seperti biasa, aku ambil posisi yang di dekat pintu. Yuna segera mengulurkan bungkusan kue bandung yang ditentengnya sedari tadi.
"Ye....! Masih anget!" teriak Ica girang bukan kepalang, bakal terpenuhi keinginan menikmati makanan favoritnya.
"Eeeniiii.....!" teriaknya kemudian, kencang sekali sampai menggema, terpantul tembok kost yang tinggi dan tebal.
"Ya mbaaa...k" sahut suara dari arah lantai dua.
"Sini doooo....ng turun sebentar!"
Yang dipanggil dengan nama Eni muncul, rupanya anak kost baru - tampak jelas dari tampangnya yang masih belia dan culun. Diulurkan bungkusan kue bandung di tangan Ica kepada Eni.
"Ini tolong ya ditaruh piring, terus nanti bawa ke sini yang satu porsi buat nyuguhin mas-masnya. Eh, kenalan dulu sini..."
Eni mengulurkan jabat tangannya padaku sambil membungkuk sopan sekali, perilaku seorang junior terhadap senior yang telah jadi budaya - gak di kampus - gak di kompleks. Artinya sudah begitu mengakar di wilayah seputar kampus.
"Eni...", katanya halus.
"Aik", balasku ja-im (jaga image)
"Eni...", katanya lagi gantian kepada Yuna dengan uluran jabat tangannya lagi.
Yuna yang berdarah Sumatra pun tak menyia-nyiakan kesempatan. Sekalipun culun, si bocah ini menyimpan wajah manis yang mengundang gairah menggoda. Dijabatnya tangan Eni tak segera dilepaskan sambil berkata dalam nada rayuan : "Yuna. Emmm..., Eni siapa kepanjangannya?"
"Eni Rahmawati kak..."
"Ambil jurusan apa?"
"Saya di administrasi niaga kak..."
"Politeknik dong ?!" sambung Yuna. Yang ditanya mengangguk malu-malu.
"Eeeh, sudah..sudah!" bentak Ica sambil memaksa lepas jabat tangan Yuna - Eni, bermaksud melindungi junior kostnya dari rayuan berbahaya. "Sana! Cepet dikit ya En...!"
"Iya kak !" jawab Eni tegas, kesadarannya pulih oleh bentakan Ica. Loloslah dia dari nada rayu Yuna setelah sempat terbuai.
"Eiiit !!!" cegahku yang dari tadi was-was. "Yang satu kardus..."
"Yang satu kardus kasihkan Mbak Restu! Bilang kalau itu dari Mas Aik...!" potong Ica.
"Betul kan Ik?!" katanya gantian menatapku, meminta pembenaran bahwa dia paham maksudku. Akupun mengangguk meng-iya-kan.
Eni yang disuruh juga hanya mengangguk - takmenjawab, segera melangkah cepat membawa bungkusan menaiki tangga ke lantai dua. Yuna wajahnya kecut ditinggalkan Eni, rayuannya putus di tengah jalan. Diliriknya Ica tanda kecewa - protes, dibalas Ica dengan tatapan tajam mempertahankan diri. Aku senyum-senyum geli melihatnya, pengin kujengguk kepala Yuna tapi kuurungkan. Dia marah besar kalau kepalanya disentuh, katanya itu sebuah penghinaan bagi orang Padang.
"Kamu ngapain sih Ik bawa-bawa Yuna segala? Mosok laki gak berani sendiri..." sindir Ica lebih kepada Yuna. Sama kayak Restu, Ica juga sensitif sama lelaki perayu.
"Kamu tuh sentimen ya emang dari dulu...?!" kata Yuna kesal.
"Kalau iya terus kenapa ?!" jawab Ica ketus sambil berkacak pinggang.
"Uwis...uwis...( sudah...sudah... )!" kataku melerai. Terpaksa bangkit aku dari duduk lalu mengambil tempat di antara mereka berdua. Kusenggol Yuna agar bergeser biar agak jauh posisinya dari Ica.
Takberapa lama Eni nongol lagi dengan sepiring kue bandung spesial coklat-keju yang uapnya yang masih mengepul. Iklim di wilayah kita tinggal ini tergolong dingin dan lembab, sering berkabut kalau malam. Makanan dan minuman yang hangat saja akan menampakkan kepulan asap di atasnya. Wajah Yuna yang tadi kecut sementara cerah kembali, begitu juga kerutan wajah Ica mulai pudar. Yuna senang melihat Eni, sedang Ica senang melihat kue bandung favoritnya.
"Situ saja dek, taruh deketnya Mbak Ica !" kataku sambil menunjuk space kosong sebelah Ica. Sengaja kudahului sebelum Ica yang memerintah sambil kuinjak telapak kaki Yuna, sebuah kode biar dia nggak berulah lagi.
"Eee..., Mbak Restu nitip nanya mbak : bolehkah ikut bergabung?" tanya Eni sambil meletakkan sepiring kue dekat Ica.
Yang ditanya takmenjawab, hanya kasih kode pakai tangan tanda gak boleh. Lalu kasih kode lagi agar Eni segera kembali ke atas. Eni menurut. Dilempar pandangan Ica kemudian ke arahku. Aku mengerti, artinya sudah ada plan yang sudah diatur Ica. Yuna menghela nafas, urung terjawab penasarannya tentang seperti apa rupa Restu yang membuatku jatuh hati.
"Icipin Ca' kuenya, coba gimana rasanya menurutmu..." responku segera untuk menunjukkan bahwa aku sudah menangkap kode tatapannya.
"Ica aja yang kau tawarin Ik?" protes Yuna sambil menelan ludah.
"Aku nggak nawarin Yun, cuma minta testimoni aja. Kau sendiri yang kasihkan kue itu waktu masih bungkusan tadi ke Ica, berarti kan sudah jadi miliknya Ica. Ica dong yang berhak nawarin..."
Ica sementara takmenggubris, diambilnya sepotong kue bandung dan dinikmatinya penuh penghayatan. Satu gigitan dikunyahnya pelan-pelan sebelum akhirnya ditelan.
"Mantap Ik !" kata Ica dengan rona muka penuh kepuasan. Digigitnya lagi potongan kue dan dikunyah pelan sambil melirik menggoda Yuna.
"Udah Ca' habisinlah sendiri! Aku jadi hilang nafsu lihat kau makan kue", kata Yuna membalas. "Gak tega aku melihatnya..."
Aku tertawa-tawa menyaksikan tingkah kedua kawanku ini. Ica berdiri dari tempat duduknya, diambilnya sepiring kue itu dan disodorkannya ke Yuna. Yuna ambil sepotong. Disodorkannya padaku, aku menggeleng. Dibawanya lagi sepiring kue itu duduk bersamanya. Yuna geleng-geleng kepala melihatnya. Aku kembali tertawa-tawa terhibur tingkah Ica yang seperti anak kecil, yang tak begitu rela berbagi makanan kesukaannya.
Kulirik jam dinding yang tergantung di tembok, posisinya kali ini tepat di atas kepala Ica. Kurogoh saku celana menggapai kunci motor lalu kusodorkan ke Yuna. Kutatap matanya kuat-kuat, kode bahwa sudah waktunya ditinggalkannya kami berdua. Dimasukkanlah potongan kue terakhir Yuna ke mulut lalu disambutnya kunci motor yang kusodorkan. Mulutnya penuh kue tak bisa bicara sehingga hanya melambaikan tangan ke Ica untuk berpamitan. Ditinggalkan kami berdua lalu kabur bersama motorku sesuai rencana yang sudah kami sepakati tadi.
"Itu kue bandung yang kiosnya dekat kost lamaku Ca'. Dulu kawan-kawan kost lama kalau beli pada di situ. Aku pernah ikut nyobain, menurutku sih enak. Ya syukurlah kalau pendapatmu juga sama", kataku membuka pembicaraan sebelum nanti menuju ke serius.
"Ngapain sih Ik jauh-jauh? Di sekitar sini kan ada juga yang jual. Widiiih..., penuh perjuangan nih artinya?"
"Lha menurutmu lebih enak mana kalau dibandingin ?"
"Iya sih, lebih enakan ini. Kenyalnya kue pas gitu lho! Kejunya juga kayaknya pakai yang merek bagus deh".
"Berarti perjuanganku tak sia-sia kan ?!"
"Boleh juga perjuanganmu Ik. Makasih ya...?!"
"Nggak makasih aja kan?"
"Iya iya...", jawab Ica sambil tertawa kecil. "Terus kamu mau ceritaku apa mau ketemu ketemu sama Restu?" sambungnya sambil menunjuk jam dinding.
"Iya Ca', dilema memang. Perjuanganku membelikanmu kue bandung berakibat terpotong banyak durasi waktu yang tersisa".
"Dasar kamu itu Ik, jadi keliatan kan sekarang kalau kamu lebih cenderung memburu rasa penasaranmu daripada pengin ketemu Ica?"
Ah! Lagi-lagi betul ucapan Ica. Gumamku dalam hati. Aku menunduk sambil garuk-garuk kepala. Ica tersenyum.
"Nanti setelah dengar ceritaku, kamu anterin tuh si Restu ke kampus. Dia mau nge-lab, selesaiin UP (Usulan Penelitian) nya" jawab Ica kembali takterduga. Nge-lab adalah istilah bagi aktivitas mahasiswa pake ruang dan fasilitas laboratorium.
Aku terbelalak, kudongakkan kepala memandang wajah Ica. Senyumku mengembang, salut sama plan Ica. Kuulurkan jabat tangan dan dibalasnya dengan senyum bangga. Kalau sesama laki-laki mungkin sudah kupeluk si Ica.
Kurapikan sikap dudukku, kurapikan juga kerah bajuku. Tandanya aku bersiap mendengar cerita Ica dengan sungguh-sungguh. Ica menangkap perubahan sikapku, diusap mulutnya dengan tissue untuk juga bersiap memulai cerita.

Continue to Part 13
Diubah oleh wowonwae 10-04-2019 00:36
pulaukapok memberi reputasi
1