- Beranda
- Stories from the Heart
CEREBRO : KUMPULAN CERITA CINTA PAKAI OTAK
...
TS
reloaded0101
CEREBRO : KUMPULAN CERITA CINTA PAKAI OTAK
Judul thread ini ane ganti, sekarang tidak semua cerpennya mengisahkan cinta. Tetapi temanya lebih umum, ada detektif,sci-fi,horor,thriller,drama dan lain-lain yang tidak selalu melibatkan percintaan antar karakternya.
INDEX BARU:
CERITA 2020
AZAB ILMU PELET
MUDIK 2020
Terima kasih untuk Agan Gauq yang sudah membuatkan index cerita ini.
Index by Gauq:
INDEX
INDEX lanjutan
Cerita baru 2019:
KISAH-KISAH MANTAN DETEKTIF CILIK di postingan terakhir halaman terakhir
INDEX PART 3
INDEX PART 4-new
Langsung saja cerpen pertama
Apa yang akan kau lakukan ketika dia yang kaucinta meminta syarat berupa rumah dengan 1000 jendela sebelum menerima cintamu?
Leo merogoh saku belakang celana hitam barunya. Sebuah sisir kecil diambilnya dari kantong itu. Sambil melihat spion, ia merapikan kembali rambut yang sempat dipermainkan angin selama dalam perjalanan, maklum saja kaca pintu depan mobilnya rusak dan hanya bisa ditutup setengahnya saja. Setelah dirasa sudah rapi, Leo dan rambutnya keluar dari roda empatnya kemudian berjalan dengan jantung berdegup kencang menuju rumah nomor 2011 dan menekan belnya. Sang pembantu rumah keluar dan menyapanya
“Oh Mas Leo ”
“Riska-nyaada Bi?”
“Oh ada, sebentar saya panggilkan.”
Beberapa menit kemudian seorang wanita muda cantik berusia 20 tahunan awal keluar, mendapati Leo yang sedang menghirup teh celup panas buatan Bibi.
“Mau pergi ke pestanya siapa? Perasaan teman kita nggak ada yang ulang tahun atau nikah hari ini.”
Tanya Riska.
“Memang tidak ada.”
“Kalau nggak ke kondangan, mengapa pakai baju serapi ini? Sok formal banget. ”
“ Harus formal, kan mau melamar.”
“Ngelamar kerja?”
Leo menggeleng. Jantungnya berdegup makin kencang.
“Bukan.”
“Lalu melamar apa?”
“Kamu.”
Kata Leo sambil bersimpuh dan mengeluarkan sebuah kotak merah berisi cincin emas dengan sebuah berlian berukuran mini di tengahnya. Sementara itu Riska mundur beberapa langkah ke belakang.
“Aku? kita kan nggak pernah pacaran?”
“Tetapi kita sudah saling mengenal belasan tahun Ris. Aku tahu apa yang kamu suka, aku tahu apa yang kamu tidak suka, aku tahu bagaimana kamu selalu menghentakkan kaki kirimu ke tanah ketika mendengar kabar gembira,
aku tahu bagaimana kau selalu mencengkeram erat kertas tisu di tanganmu waktu kau sedang gugup, dan aku tahu aku mencintaimu. ”
“Tapi kamu kan nggak tahu apakah aku juga cinta kamu?
“Karena aku tidak tahu, bagaimana kalau kamu beritahukan padaku sekarang.”
“Mmm, gimana ya? Untuk urusan cinta, apalagi orientasinya nikah. Tentu aku maunya sama pria yang sungguh-sungguh.”
“Cintaku kepadamu sungguhan Ris, bukan bohongan atau tren musiman.”
“Sejak kapan lidah punya tulang?”
“Kau tidak percaya pada kata-kataku?”
“Aku butuh bukti Yo, bukan janji.”
“Baik, bukti seperti apa yang kauminta Ris?”
“Tidak ada yang mustahil untuk orang yang sungguh-sungguh. Demi cinta Shah Jehan mampu menciptakan Taj Mahal untuk istrinya.”
“Lalu apa yang kau inginkan agar mau menjadi istriku Ris?”
“Buatkan aku rumah dengan 1000 jendela.”
“Baik”
“Jika kau mampu menyelesaikannya dalam waktu 24 jam aku akan menerimamu tetapi jika tidak ya kita temenan saja ya Yo.”
“Buat rumah 1000 jendela dalam waktu 24 jam. Sudah itu saja?”
“Memangnya kamu bisa?”
“Akan kucoba semampuku.”
“Baik aku tunggu hasilnya besok. Good luck.”
Leo pun pergi dari halaman rumah itu dan menuju mobilnya sambil mengambil nafas panjang. Ia memacu kendaraannya dan pergi ke beberapa toko kelontong dan toko bangunan. Banyak hal yang dibelinya. Setelah selesai berbelanja, benda-benda itu dibungkus dalam beberapa kantong kresek dan kardus yang dijejalkan ke bagasi mobil.
Pulang ke rumah Ia langsung menuju ke halaman belakang yang luas dan masih berupa lahan kosong yang hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
Leo mengambil nafas panjang lalu menghelanya dan mulai bekerja. Ia menurunkan semua barang yang ia beli. Tak lama kemudian suara gaduh dari palu bertemu paku terdengar berulang-ulang hingga malam tiba.
Malam harinya halilintar menyambar, disusul hujan yang turun sederas-derasnya. Air membanjiri halaman belakang yang masih tetap kosong dan hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
“Ris bisa mampir kerumah sekarang? ada sesuatu yang mau kuperlihatkan padamu.”
Kata Leo keesokan harinya lewat ponsel yang dijawab dengan gugup oleh Riska.
“I...iya.”
Dalam hati gadis itu berpikir, bagaimana ini? Apa Leo bisa menyelesaikan permintaan yang mustahil itu? Memang sih dia itu baik, cerdas dan tidak sombong tapi Riska tidak mencintainya. Ia memberikan syarat itu dengan tujuan agar Leo gagal dan mereka berdua bisa kembali happily everafter...meskipun hanya di friend zone saja.
Riska sampai di depan rumah Leo dan heran mendapati mobil ayahnya terparkir di halaman. Ketika masuk ke dalam ia mendapati ayahnya sednag bercakap-cakap di beranda bersama Leo.
“Kok Papi bisa ada di sini?”
“Aneh kamu ini Ris, Masak Papi nggak boleh sowan ke rumah calon suamimu?”
“Calon suami? Calon suami apa?”
“Kan kamu sendiri yang mengajukan syarat, kalau Nak Leo bisa membuat rumah yang memiliki 1000 jendela dalam waktu 24 jam, kau akan menikahinya?”
“Memangnya bisa?”
“Nak Leo tunjukkan!”
Leo masuk ke dalam dan mengambil sebuah benda yang ditutup taplak meja.
“Apaan nih?”
Tanya Riska dengan tanda tanya menggantung di atas kepalanya.
“Yang kau minta.”
Kata Leo sambil membuka taplak meja itu dan memperlihatkan sebuah rumah berukuran sedikit lebih besar dari telapak tangan yang terbuat dari ribuan tusuk gigi.
“Papi sudah hitung sendiri jendelanya ada 1000 pas.”
“Tapi ini kan kecil sekali.”
“Di syaratmu tidak disebutkan ukurannya harus besar.”
“Tapi ini...definisi rumah kan tempat tinggal, siapa yang bisa tinggal di rumah sekecil ini. Paling-paling juga semut.”
“Di syarat yang kamu ajukan tidak ada keterangan kalau harus rumah manusia. Rumah semut kan juga termasuk dalam kategori rumah.”
Riska serasa disambar geledek. Ia menyesal mengapa tidak jelas dan detail ketika meminta syarat itu kemarin.
“Papi say something dong, belain Riska?”
“Menurut Papi rumah buatan Nak leo ini sudah memenuhi syarat.”
“Jadi Papi setuju punya menantu seperti dia ini?”
“Tentu saja setuju, kalian sudah kenal dari kecil, Papi juga kenal Nak Leo dari kecil. dia juga cerdas dan pernah magang di kantor kita jadi tahu kultur organisasi kita kayak gimana. Nanti kan bisa bantuin kamu waktu gantiin Papi megang perusahaan.”
“Tidaaaaak!!!!”
Riska pun pingsan karena shock. Otak kanannya seolah mengejek, melakukan bullying bawah sadar terhadapnya sambil terus-menerus berkata.
“Makanya Ris, kalau minta sesuatu itu yang jelas.”
INDEX BARU:
CERITA 2020
AZAB ILMU PELET
MUDIK 2020
Terima kasih untuk Agan Gauq yang sudah membuatkan index cerita ini.
Index by Gauq:
INDEX
INDEX lanjutan
Cerita baru 2019:
KISAH-KISAH MANTAN DETEKTIF CILIK di postingan terakhir halaman terakhir
Spoiler for :
Quote:
INDEX
RUMAH SERIBU JENDELA DI POST INI
SETIA
DEAD OR ALIVE
MAKAN TUH CINTA
KALAU JODOH TAK LARI KEMANA
OUTLIER
MAKAN BATU
TA'ARUF
SETIA
DEAD OR ALIVE
MAKAN TUH CINTA
KALAU JODOH TAK LARI KEMANA
OUTLIER
MAKAN BATU
TA'ARUF
INDEX PART 3
INDEX PART 4-new
Langsung saja cerpen pertama
Apa yang akan kau lakukan ketika dia yang kaucinta meminta syarat berupa rumah dengan 1000 jendela sebelum menerima cintamu?
Spoiler for :
RUMAH SERIBU JENDELA
Leo merogoh saku belakang celana hitam barunya. Sebuah sisir kecil diambilnya dari kantong itu. Sambil melihat spion, ia merapikan kembali rambut yang sempat dipermainkan angin selama dalam perjalanan, maklum saja kaca pintu depan mobilnya rusak dan hanya bisa ditutup setengahnya saja. Setelah dirasa sudah rapi, Leo dan rambutnya keluar dari roda empatnya kemudian berjalan dengan jantung berdegup kencang menuju rumah nomor 2011 dan menekan belnya. Sang pembantu rumah keluar dan menyapanya
“Oh Mas Leo ”
“Riska-nyaada Bi?”
“Oh ada, sebentar saya panggilkan.”
Beberapa menit kemudian seorang wanita muda cantik berusia 20 tahunan awal keluar, mendapati Leo yang sedang menghirup teh celup panas buatan Bibi.
“Mau pergi ke pestanya siapa? Perasaan teman kita nggak ada yang ulang tahun atau nikah hari ini.”
Tanya Riska.
“Memang tidak ada.”
“Kalau nggak ke kondangan, mengapa pakai baju serapi ini? Sok formal banget. ”
“ Harus formal, kan mau melamar.”
“Ngelamar kerja?”
Leo menggeleng. Jantungnya berdegup makin kencang.
“Bukan.”
“Lalu melamar apa?”
“Kamu.”
Kata Leo sambil bersimpuh dan mengeluarkan sebuah kotak merah berisi cincin emas dengan sebuah berlian berukuran mini di tengahnya. Sementara itu Riska mundur beberapa langkah ke belakang.
“Aku? kita kan nggak pernah pacaran?”
“Tetapi kita sudah saling mengenal belasan tahun Ris. Aku tahu apa yang kamu suka, aku tahu apa yang kamu tidak suka, aku tahu bagaimana kamu selalu menghentakkan kaki kirimu ke tanah ketika mendengar kabar gembira,
aku tahu bagaimana kau selalu mencengkeram erat kertas tisu di tanganmu waktu kau sedang gugup, dan aku tahu aku mencintaimu. ”
“Tapi kamu kan nggak tahu apakah aku juga cinta kamu?
“Karena aku tidak tahu, bagaimana kalau kamu beritahukan padaku sekarang.”
“Mmm, gimana ya? Untuk urusan cinta, apalagi orientasinya nikah. Tentu aku maunya sama pria yang sungguh-sungguh.”
“Cintaku kepadamu sungguhan Ris, bukan bohongan atau tren musiman.”
“Sejak kapan lidah punya tulang?”
“Kau tidak percaya pada kata-kataku?”
“Aku butuh bukti Yo, bukan janji.”
“Baik, bukti seperti apa yang kauminta Ris?”
“Tidak ada yang mustahil untuk orang yang sungguh-sungguh. Demi cinta Shah Jehan mampu menciptakan Taj Mahal untuk istrinya.”
“Lalu apa yang kau inginkan agar mau menjadi istriku Ris?”
“Buatkan aku rumah dengan 1000 jendela.”
“Baik”
“Jika kau mampu menyelesaikannya dalam waktu 24 jam aku akan menerimamu tetapi jika tidak ya kita temenan saja ya Yo.”
“Buat rumah 1000 jendela dalam waktu 24 jam. Sudah itu saja?”
“Memangnya kamu bisa?”
“Akan kucoba semampuku.”
“Baik aku tunggu hasilnya besok. Good luck.”
Leo pun pergi dari halaman rumah itu dan menuju mobilnya sambil mengambil nafas panjang. Ia memacu kendaraannya dan pergi ke beberapa toko kelontong dan toko bangunan. Banyak hal yang dibelinya. Setelah selesai berbelanja, benda-benda itu dibungkus dalam beberapa kantong kresek dan kardus yang dijejalkan ke bagasi mobil.
Pulang ke rumah Ia langsung menuju ke halaman belakang yang luas dan masih berupa lahan kosong yang hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
Leo mengambil nafas panjang lalu menghelanya dan mulai bekerja. Ia menurunkan semua barang yang ia beli. Tak lama kemudian suara gaduh dari palu bertemu paku terdengar berulang-ulang hingga malam tiba.
Malam harinya halilintar menyambar, disusul hujan yang turun sederas-derasnya. Air membanjiri halaman belakang yang masih tetap kosong dan hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
“Ris bisa mampir kerumah sekarang? ada sesuatu yang mau kuperlihatkan padamu.”
Kata Leo keesokan harinya lewat ponsel yang dijawab dengan gugup oleh Riska.
“I...iya.”
Dalam hati gadis itu berpikir, bagaimana ini? Apa Leo bisa menyelesaikan permintaan yang mustahil itu? Memang sih dia itu baik, cerdas dan tidak sombong tapi Riska tidak mencintainya. Ia memberikan syarat itu dengan tujuan agar Leo gagal dan mereka berdua bisa kembali happily everafter...meskipun hanya di friend zone saja.
Riska sampai di depan rumah Leo dan heran mendapati mobil ayahnya terparkir di halaman. Ketika masuk ke dalam ia mendapati ayahnya sednag bercakap-cakap di beranda bersama Leo.
“Kok Papi bisa ada di sini?”
“Aneh kamu ini Ris, Masak Papi nggak boleh sowan ke rumah calon suamimu?”
“Calon suami? Calon suami apa?”
“Kan kamu sendiri yang mengajukan syarat, kalau Nak Leo bisa membuat rumah yang memiliki 1000 jendela dalam waktu 24 jam, kau akan menikahinya?”
“Memangnya bisa?”
“Nak Leo tunjukkan!”
Leo masuk ke dalam dan mengambil sebuah benda yang ditutup taplak meja.
“Apaan nih?”
Tanya Riska dengan tanda tanya menggantung di atas kepalanya.
“Yang kau minta.”
Kata Leo sambil membuka taplak meja itu dan memperlihatkan sebuah rumah berukuran sedikit lebih besar dari telapak tangan yang terbuat dari ribuan tusuk gigi.
“Papi sudah hitung sendiri jendelanya ada 1000 pas.”
“Tapi ini kan kecil sekali.”
“Di syaratmu tidak disebutkan ukurannya harus besar.”
“Tapi ini...definisi rumah kan tempat tinggal, siapa yang bisa tinggal di rumah sekecil ini. Paling-paling juga semut.”
“Di syarat yang kamu ajukan tidak ada keterangan kalau harus rumah manusia. Rumah semut kan juga termasuk dalam kategori rumah.”
Riska serasa disambar geledek. Ia menyesal mengapa tidak jelas dan detail ketika meminta syarat itu kemarin.
“Papi say something dong, belain Riska?”
“Menurut Papi rumah buatan Nak leo ini sudah memenuhi syarat.”
“Jadi Papi setuju punya menantu seperti dia ini?”
“Tentu saja setuju, kalian sudah kenal dari kecil, Papi juga kenal Nak Leo dari kecil. dia juga cerdas dan pernah magang di kantor kita jadi tahu kultur organisasi kita kayak gimana. Nanti kan bisa bantuin kamu waktu gantiin Papi megang perusahaan.”
“Tidaaaaak!!!!”
Riska pun pingsan karena shock. Otak kanannya seolah mengejek, melakukan bullying bawah sadar terhadapnya sambil terus-menerus berkata.
“Makanya Ris, kalau minta sesuatu itu yang jelas.”
end
Diubah oleh reloaded0101 15-05-2020 14:17
indrag057 dan 37 lainnya memberi reputasi
34
190.6K
Kutip
1.1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
reloaded0101
#1106
Waktu SD pada pelajaran Bahasa Indonesia sering sekali ane bikin karangan dengan tema perjalanan ke rumah nenek di desa. Apa yang terjadi kalau sekarang ane memodifikasi cerita karangan ane jaman kecil dulu? Kira-kira jadinya seperti di bawah ini.
KE RUMAH NENEK
Spoiler for :
Angka kalender umumnya dua warna, hitam dan merah. Aku lebih suka merah dan aku yakin orang-orang lain dalam minibus inipun sama sepertiku. Hari itu Jum’at tanggal merah, esoknya sabtu dan lusanya minggu, libur tiga hari berturut-turut terlalu sayang untuk dilewatkan dengan beraktivitas di rumah saja.
Bosan dengan suasana kota, ayahku mengajak ibu dan aku untuk berwisata ke sebuah desa. Selain melancong tujuan kami adalah menengok nenek di rumahnya. Liburan tahun lalu kami tidak bisa mudik karena ayah harus ikut workshop instalasi jaringan 5G di ibukota, karena itu momen libur tiga hari ini dia rasa tepat untuk digunakan menjenguk mertuanya yang tinggal seorang diri tersebut. Nenekku namanya Welas Darminah, delapan puluhan tahun tetapi masih sehat tak butuh tongkat atau kacamata seperti kebanyakan lansia seusianya.
“Fen, kamu ingat tidak makam Kakek dulu di sebelah mana?”
Tanya Ayah padaku. Oh ya Fen namaku kependekan dari Fenny.
“Dekat pohon nangka kan Pa?”
Responsku, lupa-lupa ingat. Ayah terdiam sebentar lalu menjawab.
“Semoga saja pohonnya masih ada.”
“Mau nyekar dulu atau ke rumah dulu Pa?”
Tanya Ibuku. Kuburan desa letaknya lebih dekat dari jalan utama dibandingkan dengan rumah nenek yang berada pada bagian lereng bukit.
“Nyekar dulu saja Ma, habis itu baru kita ke rumah Ibu.”
“Bukannya lebih baik kita jenguk ibu dulu, lalu bareng-bareng naik mobilmu yang Sudah butut ini ke makam ayah?”
“Kamu ini bagaimana sih Ma?! Jelas-jelas lebih praktis ke makam dulu.”
“Iya, tapi jadinya neneknya Fenny tidak bisa ikut.”
“Ibu kan sudah tua, apa tidak bahaya ke area makam yang licin banyak batunya?”
“Kan ada kita.”
Mulai lagi, kedua orangtuaku bertengkar kembali. Satu minggu ini frekuensinya semakin sering. Penyebab pertengkaran bervariasi mulai dari masakan kurang asin lah, lupa menaruh kunci lah sampai yang ini, nyekar dulu VS pulang dulu.
“Kalau menurutmu Fen?” Tanya ayah dan ibu bersamaan.
“Entahlah.”
Mau jawab ziarah lebih dulu, aku akan dimarahi ibu. Kalau bilang jenguk nenek dulu ayah yang sinis kepadaku. Oh simalakama, ternyata kau memang benar-benar ada.
“Oh Fenny cucuku.”
“Ya Nek.” Kataku sambil sungkem di kakinya.
“Sudah besar Bu, tahun depan sudah kuliah.” Timpal ibuku.
“Kamu sendiri Mir? Masih jadi ibu rumah tangga atau ikut-ikutan kerja seperti wanita jaman sekarang?” Tanyanya pada Mirna ibuku.
“Mirna, masih kerja Bu.”
“….”
Nenek diam saja, aku tahu ia tidak setuju dengan keputusan ibuku bekerja di kantor temannya. Tetapi kekecewaan itu dipendamnya saja agar suasana pertemuan yang menyenangkan ini tidak rusak hanya karena perbedaan pendapat.
“Nek, ini buat Nenek.”
Kataku mencoba mencairkan suasana sambil memberikan bingkisan yang kubeli di minimarket kemarin.
“Apa ini Cu?”
“Wedang jahe serbuk Nek, enak diminum pas dingin-dingin kayak sekarang.”
“Oh…..”
“Ibu sendiri bagaimana?” Tanya ayahku
“Bagaiamana apanya Ris?” Nenekku bertanya balik-Oh ya nama ayahku Haris.
“Kondisi Ibu, kesehatan Ibu?”
“Baik-baik saja. Usaha kamu bagaimana?”
“Baik Bu, sangat baik.”
“Kalian pasti Lelah, istirahat saja dulu.”
Ayah ibu ke kamar depan, aku ke kamar di belakang rumah dekat sumur dan nenek di tengah dekat dapur. Oh ya, tadi akhirnya kami memutuskan ke kuburan dulu sesuai keinginan ayah. Apakah ibu marah? Sangat. Mereka berdua cekcok hebat sepanjang jalan. Aku sendiri heran, mengapa ibu begitu marahnya hanya gara-gara soal sepele seperti ini.
Entahlah, tetapi sepertinya ribut-ribut mereka karena masalah uang. Tadi ayah berbohong pada nenek, setelah ikut workshop tahun lalu beliau dipercaya untuk memasang jaringan 5G di kota kami, hasilnya gagal total akibatnya perusahaan diprotes warga sekitar dan pecinta lingkungan karena sejak jaringan terpasang banyak burung dan satwa yang mati terpapar radiasi.
Ibu sendiri sudah tidak bekerja di kantor temannya karena sudah diberhentikan dengan tidak hormat akibat menggelapkan uang perusahaan.
Ironisnya uang hasil korupsi itu digunakan untuk membiayai operasi penyakitku yang tidak masuk dalam tanggungan asuransi. Sejak papa dipecat, sejak mama juga dipecat keuangan keluarga kami kondisinya semakin buruk. Satu per satu perhiasan dan perabotan dijual untuk mengganti uang yang mama gelapkan, pekarangan depan rumahpun ikut terjual dan kami hampir-hampir tak punya furnitur tersisa kecuali meja kursi murah di ruang tamu dan ruang keluarga. Satu-satunya harta berharga yang tersisa hanya mobil 200 juta punya papa yang sudah agak butut karena lama tak diservis rutin.
Sempat aku berpikir, kunjungan kami ke rumah nenek kali ini bukan hanya silaturahmi biasa. Ya mungkin saja mama dan papa ingin minta bantuan nenek agar menjual rumah di desa atau masih ada tanah lain milik keluarga kami yang tak kutahu.
TOK TOK TOK
Sayup-sayup kudengar pintu diketuk dari luar. Kubuka mata sudah jam sebelas. Siapa yang ingin bertemu denganku malam-malam begini?
“Fen…ini nenek.”
Kubuka pintu
“Ada apa Nek?”
Nenek menunjuk pintu ruang tamu yang terbuka lebar. Tak lama kemudian suara mobil ayah yang distarter dan dijalankan semakin lama semakin cepatpun terdengar meraung di malam sepi.
“Ayah sama ibu mau ke mana malam-malam begini Nek?”
Nenek mundur ke belakang sambil memegangi kepalanya, penuh tatapan iba ia memandangiku yang berdiri keheranan.
“Duduk dulu Nek.” Aku berusaha menenangkannya.
“Tadi waktu kamu tidur…..Mirna ibumu cerita semuanya sama nenek.”
“Kami memang kesulitan keuangan Nek.”
“Karena itu Nenek tawarkan sertifikat rumah ini untuk membantu mereka.”
“Lalu Nenek tinggal dimana?”
“Rencananya Nenek mau ikut kalian tinggal di kota.”
“Rencananya?”
“Ya semua cuma rencana.”
“Mama sama Papa menolak?”
Nenek mengangguk pelan penuh kesedihan.
“Kata Mirna dan Haris, hasil penjualan rumah ini belum cukup. Jadi mereka….pakai cara lain.”
“Cara lain bagaimana Nek?”
“Ja…jadi kamu belum tahu?”
“Fenny bingung Nek.”
“Alasan Mirna dan ayahmu pulang adalah kau.”
“Aku?” Aku keheranan.
“Ya, cuma kamu Fen yang bisa menyelesaikan masalah ayah dan ibumu.”
“Memangnya Fenny bisa apa Nek?”
Nenek tidak menjawab, ia malah menangis tersedu-sedu. Tak lama kemudian papa mama datang kembali dan keesokan harinya seorang pria parlente dengan cerutu impor di tangan datang ke rumah kami.
“Oh ini Fenny? Cantik sekali” Kata kakek itu.
“Fen kenalkan ini….”
“Sugiono.” Jawab Sang kakek sambil menjentikkan abu cerutu ke atas asbak.
“Kakek ini siapa ya?” Tanyaku keheranan.
“Juragan Sugiono calon suamimu.” Jawab ayahku datar.
Tak kusangka tak kuduga, kepulangan kami ke rumah nenek kali ini adalah untuk mengawinkanku dengan duda kaya penyuka gadis remaja. Aku tidak bisa apa-apa selain menerimanya. Karena penyakitku ibu jadi berhutang dan saatnya aku harus membayar pengorbanan itu dengan menerima pinangan juragan terkaya sedesa ini.
Pada hari baik yang disepakati kami pun menikah,dalam waktu singkat hutang ibuku lunas dan ayahku pun menjadi tuan tanah pemilik lahan jati nan luas. Aku tak jadi kembali ke rumah di kota, tak jadi kuliah di fakultas informatika idamanku.
Kini aku tinggal di desa ini, desanya nenek sekaligus desaku yang baru, sebagai Nyonya Sugiono dan dini hari ini melalui dunia maya, dalam keadaan hamil tua kuceritakan kisah ini padamu.
Bosan dengan suasana kota, ayahku mengajak ibu dan aku untuk berwisata ke sebuah desa. Selain melancong tujuan kami adalah menengok nenek di rumahnya. Liburan tahun lalu kami tidak bisa mudik karena ayah harus ikut workshop instalasi jaringan 5G di ibukota, karena itu momen libur tiga hari ini dia rasa tepat untuk digunakan menjenguk mertuanya yang tinggal seorang diri tersebut. Nenekku namanya Welas Darminah, delapan puluhan tahun tetapi masih sehat tak butuh tongkat atau kacamata seperti kebanyakan lansia seusianya.
“Fen, kamu ingat tidak makam Kakek dulu di sebelah mana?”
Tanya Ayah padaku. Oh ya Fen namaku kependekan dari Fenny.
“Dekat pohon nangka kan Pa?”
Responsku, lupa-lupa ingat. Ayah terdiam sebentar lalu menjawab.
“Semoga saja pohonnya masih ada.”
“Mau nyekar dulu atau ke rumah dulu Pa?”
Tanya Ibuku. Kuburan desa letaknya lebih dekat dari jalan utama dibandingkan dengan rumah nenek yang berada pada bagian lereng bukit.
“Nyekar dulu saja Ma, habis itu baru kita ke rumah Ibu.”
“Bukannya lebih baik kita jenguk ibu dulu, lalu bareng-bareng naik mobilmu yang Sudah butut ini ke makam ayah?”
“Kamu ini bagaimana sih Ma?! Jelas-jelas lebih praktis ke makam dulu.”
“Iya, tapi jadinya neneknya Fenny tidak bisa ikut.”
“Ibu kan sudah tua, apa tidak bahaya ke area makam yang licin banyak batunya?”
“Kan ada kita.”
Mulai lagi, kedua orangtuaku bertengkar kembali. Satu minggu ini frekuensinya semakin sering. Penyebab pertengkaran bervariasi mulai dari masakan kurang asin lah, lupa menaruh kunci lah sampai yang ini, nyekar dulu VS pulang dulu.
“Kalau menurutmu Fen?” Tanya ayah dan ibu bersamaan.
“Entahlah.”
Mau jawab ziarah lebih dulu, aku akan dimarahi ibu. Kalau bilang jenguk nenek dulu ayah yang sinis kepadaku. Oh simalakama, ternyata kau memang benar-benar ada.
“Oh Fenny cucuku.”
“Ya Nek.” Kataku sambil sungkem di kakinya.
“Sudah besar Bu, tahun depan sudah kuliah.” Timpal ibuku.
“Kamu sendiri Mir? Masih jadi ibu rumah tangga atau ikut-ikutan kerja seperti wanita jaman sekarang?” Tanyanya pada Mirna ibuku.
“Mirna, masih kerja Bu.”
“….”
Nenek diam saja, aku tahu ia tidak setuju dengan keputusan ibuku bekerja di kantor temannya. Tetapi kekecewaan itu dipendamnya saja agar suasana pertemuan yang menyenangkan ini tidak rusak hanya karena perbedaan pendapat.
“Nek, ini buat Nenek.”
Kataku mencoba mencairkan suasana sambil memberikan bingkisan yang kubeli di minimarket kemarin.
“Apa ini Cu?”
“Wedang jahe serbuk Nek, enak diminum pas dingin-dingin kayak sekarang.”
“Oh…..”
“Ibu sendiri bagaimana?” Tanya ayahku
“Bagaiamana apanya Ris?” Nenekku bertanya balik-Oh ya nama ayahku Haris.
“Kondisi Ibu, kesehatan Ibu?”
“Baik-baik saja. Usaha kamu bagaimana?”
“Baik Bu, sangat baik.”
“Kalian pasti Lelah, istirahat saja dulu.”
Ayah ibu ke kamar depan, aku ke kamar di belakang rumah dekat sumur dan nenek di tengah dekat dapur. Oh ya, tadi akhirnya kami memutuskan ke kuburan dulu sesuai keinginan ayah. Apakah ibu marah? Sangat. Mereka berdua cekcok hebat sepanjang jalan. Aku sendiri heran, mengapa ibu begitu marahnya hanya gara-gara soal sepele seperti ini.
Entahlah, tetapi sepertinya ribut-ribut mereka karena masalah uang. Tadi ayah berbohong pada nenek, setelah ikut workshop tahun lalu beliau dipercaya untuk memasang jaringan 5G di kota kami, hasilnya gagal total akibatnya perusahaan diprotes warga sekitar dan pecinta lingkungan karena sejak jaringan terpasang banyak burung dan satwa yang mati terpapar radiasi.
Ibu sendiri sudah tidak bekerja di kantor temannya karena sudah diberhentikan dengan tidak hormat akibat menggelapkan uang perusahaan.
Ironisnya uang hasil korupsi itu digunakan untuk membiayai operasi penyakitku yang tidak masuk dalam tanggungan asuransi. Sejak papa dipecat, sejak mama juga dipecat keuangan keluarga kami kondisinya semakin buruk. Satu per satu perhiasan dan perabotan dijual untuk mengganti uang yang mama gelapkan, pekarangan depan rumahpun ikut terjual dan kami hampir-hampir tak punya furnitur tersisa kecuali meja kursi murah di ruang tamu dan ruang keluarga. Satu-satunya harta berharga yang tersisa hanya mobil 200 juta punya papa yang sudah agak butut karena lama tak diservis rutin.
Sempat aku berpikir, kunjungan kami ke rumah nenek kali ini bukan hanya silaturahmi biasa. Ya mungkin saja mama dan papa ingin minta bantuan nenek agar menjual rumah di desa atau masih ada tanah lain milik keluarga kami yang tak kutahu.
TOK TOK TOK
Sayup-sayup kudengar pintu diketuk dari luar. Kubuka mata sudah jam sebelas. Siapa yang ingin bertemu denganku malam-malam begini?
“Fen…ini nenek.”
Kubuka pintu
“Ada apa Nek?”
Nenek menunjuk pintu ruang tamu yang terbuka lebar. Tak lama kemudian suara mobil ayah yang distarter dan dijalankan semakin lama semakin cepatpun terdengar meraung di malam sepi.
“Ayah sama ibu mau ke mana malam-malam begini Nek?”
Nenek mundur ke belakang sambil memegangi kepalanya, penuh tatapan iba ia memandangiku yang berdiri keheranan.
“Duduk dulu Nek.” Aku berusaha menenangkannya.
“Tadi waktu kamu tidur…..Mirna ibumu cerita semuanya sama nenek.”
“Kami memang kesulitan keuangan Nek.”
“Karena itu Nenek tawarkan sertifikat rumah ini untuk membantu mereka.”
“Lalu Nenek tinggal dimana?”
“Rencananya Nenek mau ikut kalian tinggal di kota.”
“Rencananya?”
“Ya semua cuma rencana.”
“Mama sama Papa menolak?”
Nenek mengangguk pelan penuh kesedihan.
“Kata Mirna dan Haris, hasil penjualan rumah ini belum cukup. Jadi mereka….pakai cara lain.”
“Cara lain bagaimana Nek?”
“Ja…jadi kamu belum tahu?”
“Fenny bingung Nek.”
“Alasan Mirna dan ayahmu pulang adalah kau.”
“Aku?” Aku keheranan.
“Ya, cuma kamu Fen yang bisa menyelesaikan masalah ayah dan ibumu.”
“Memangnya Fenny bisa apa Nek?”
Nenek tidak menjawab, ia malah menangis tersedu-sedu. Tak lama kemudian papa mama datang kembali dan keesokan harinya seorang pria parlente dengan cerutu impor di tangan datang ke rumah kami.
“Oh ini Fenny? Cantik sekali” Kata kakek itu.
“Fen kenalkan ini….”
“Sugiono.” Jawab Sang kakek sambil menjentikkan abu cerutu ke atas asbak.
“Kakek ini siapa ya?” Tanyaku keheranan.
“Juragan Sugiono calon suamimu.” Jawab ayahku datar.
Tak kusangka tak kuduga, kepulangan kami ke rumah nenek kali ini adalah untuk mengawinkanku dengan duda kaya penyuka gadis remaja. Aku tidak bisa apa-apa selain menerimanya. Karena penyakitku ibu jadi berhutang dan saatnya aku harus membayar pengorbanan itu dengan menerima pinangan juragan terkaya sedesa ini.
Pada hari baik yang disepakati kami pun menikah,dalam waktu singkat hutang ibuku lunas dan ayahku pun menjadi tuan tanah pemilik lahan jati nan luas. Aku tak jadi kembali ke rumah di kota, tak jadi kuliah di fakultas informatika idamanku.
Kini aku tinggal di desa ini, desanya nenek sekaligus desaku yang baru, sebagai Nyonya Sugiono dan dini hari ini melalui dunia maya, dalam keadaan hamil tua kuceritakan kisah ini padamu.
THE END
Diubah oleh reloaded0101 05-04-2019 23:19
triadiaureus dan adhiecoolman memberi reputasi
2
Kutip
Balas