- Beranda
- Stories from the Heart
Tak Punya Hati ?
...
TS
seenue
Tak Punya Hati ?
Ada saat, dimana kehidupan hanyalah omong kosong belaka.
Spoiler for Index:
Adakah Senyum di Semarang,
Spoiler for Index:
Diubah oleh seenue 06-05-2020 14:27
dbase51 dan 25 lainnya memberi reputasi
26
30.5K
264
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
seenue
#1
Aku pulang..
Diiringi rintik yang kelak akan menjadi hujan. Dan benar, selama perjalanan.. aku hanya ditemani radio dan sapaan basah diluar sana.
Jika sedang suntuk, apalagi saat di apartemen.. aku sering berdiam diantara hujan, sesekali.. kaki ini aku julurkan, semata-mata.. biar ada yang menyapa, seperti percik.. dan kesejukanya.. yang terkadang bisa meluruhkan segenap asa yang kian mengerak.
Kota demi kota sudah ku lewati, tanpa apa dan harus bagaimana, mungkin.. ini adalah jalan panjang atas hidup.. dan diriku yang masih melayang. Tak pernah terbayang, kapan akan pulang. Pun jika aku pulang, pulang macam apa yang aku harapkan?. Karena faktanya, aku pulang hanya pulang atas nama rumah dan tempat kelahiran, bukan pulang dalam jamaknya makna.
Sunguh absurd, apa dan bagaimana saja aku tak pernah bisa mengejawantahkan. Mungkin.. aku butuh cinta sekarang, lebih tepatnya.. aku pribadi yang harus menaruh hati, bukan mereka. Biar, apa yang ada pada diriku.. bangun, berdiri.. dan jalan seperti saat aku masih menjadi manusia.
CINTA..
Apa sebenarnya cinta itu?
REALITA..
Apa realita itu?
Cinta, bagiku bisa musnah karena realita. Realita pun bisa jungkir balik karena cinta. Sungguh, makrifatul jancuk manalagi untuk mendeskripsikan sekata cinta. Kata yang pernah memporak-porandakan manusia.. di setiap zaman, berulang dan terus berkelindan. Namun.. apa mau dikata, banyak darinya juga tidak pernah peduli. Misalnya aku, aku adalah manusia yang nggak mau menerima apa yang bersumber katanya, terlalu receh. Bagiku, lubang-an dan comberan yang mereka anggap harus di hindari.. untukku tidak, paling nggak.. kakiku harus mencicipi, pait getirnya perjalanan. Dan aku.. sering menikmati itu, meski harus terjerembab untuk sekian lama, terasing, sepi.. mati.
Namun satu yang aku syukuri, jiwaku kian tebal.
Apakah karena itu, sampai-sampai.. mataku tak bisa lagi mencerna—membedakan mana gadis cantik dan mana yang rupawan. Apakah sampai separah itu!? Kematianku?. Aku juga tidak tau, atau sok mau tau.. aku hanya tak ingin peduli atas apa yang menjerat dan memberati pundakku. Asal, jiwaku masih bisa berkelana tanpa apa dan bagimana, aku sudah bisa bahagia.
Kini, aku mulai menarik nafas panjang-panjang, setelah jendela ford-y ku terbuka lebar. Pertanda, hujan sudah reda dan aku sudah berada di tengah-tengah perkebunan, ladang, hutan dan permukiman ala desa di pegunungan.
Ya.. aku sudah mau sampai rumah, setelah perjalanan tiga setengah jam lamanya. Lebih tepatnya desa sebelum desaku. Tapi, meski di desa.. terpelosok, jalan sudah bagus semua, tidak seperti beberapa tahun yang lalu. Disana-sini masih ada batu, longsor, jalan rusak berbatu, genangan air, jembatan lobang dan banyak pohon pisang disana-sini, bukan nyindir atau bagaimana.. hanya untuk tanda, bahwasanya.. ada lubang yang cukup dalam diantara genagan air. Mangkanya di kasih rambu-rambu pohon pisang.
Sebagai orang desa, meski sudah lama di kota.. perihal isu-isu, narasi-narasi.. aku cukup intens, mengikuti dan mempelajari, jadi.. cukup tau jika ada narasi, isu dan cerita yang memang nggak masuk akal.
Sebagai orang desa, akses jalan, jembatan adalah harga mati.
Jadi, kalau masih ada manusia yang PICIK dan SINIS akan adanya infrastruktur, bisa jadi.. orang itu lahirnya di Gurun Pasir, dan lagi KERE terus minta suaka ke Indonesia. Dari yang awalnya susah makan, hudup juga ber-pasir-pasir, susah.. panas.. kini mereka berada di surga, air jernih melimpah.. buah-buahan melimpah.. gadis cantik-cantik.. dan apapaun imajinasi surge di kepala mereka ada di Indonesia. Namun satu yang nggak mereka sadari, kaki mereka masih menginjak di bumi Indonesia, bumi dengan segenap warna-warninya, bumi dengan segenap ketimpanganya.. yang nggak hanya penyedia makanan bagi perut-perut mereka, tapi juga butuh jalan dan akses yang mudah untuk meneruskan bahan makanan dari ujung ke ujung. Bukan dari dan untuk cangkem-cangkem mereka saja.
Sungguh, miris sekali melihat kebodohan akut bangsaku.. bangsa yang katanya berbudaya, bangsa yang beriman, bangsa yang bermartabat dan bangsa yang begini dan begitu.. tapi !! karena beda pandangan, beda keyakinan, kebencian menjalar kesegenap penjuru kewarasan, hingga akal dan nalar tak lagi digunakan.
Miris..
***
Akhirnya, aku sampai di pintu masuk desa. Pintu masuk yang ditandai dengan adanya dua buah tugu brawijaya. Tugu yang berdiri entah sejak kapan, dulu.. mungkin dulu sekali, seingatku.. kedua tugu itu sudah ada sejak aku kenal kalau tugu itu bernama Brawijaya.
Dan ya, aku adalah trah Mataraman, tapi aku juga nggak tau.. bagaimana bisa.. sesepuhku dulu sampai di tempat ini, tepatnya di atas bukit..jauh dari kota satu dan yang lainya, yang kalau dilihat dari atas, desaku berada di punggug ujung sebuah pegunungan yang kepalanya ada di sisi utara. Mungkin, sesepuhku dulu adalah pengembara, dan karena perjalanan jauh.. mereka memutuskan untuk menetap disini. Hingga beranak-pinak seperti sekarang ini. Cuma, siapa yang pertama babat alas, makamnya nggak ada.
Ada satu petilasan, dimana.. kata kakekku adalah tempat Kanjeng Sunan Kalijogo beristirahat. Mungkin, beliau sedang mengembara.. dari Mataram lama ke Majapahit? atau sebaliknya. Ada juga petilasan batu, tapi nggak banyak orang yang tau, di atasnya ada tapak kuda.. menurut cerita yang sudah turun temurun, jejak atau tapak kuda itu adalah kuda yang dikendarai seorang wali, entah walinya yang siapa.. yang jelas beliau orang sakti, kalau sekarang Unicron, kuda bersayap.. nggak tau ada tandukya apa tidak. Lokasinya cukup jauh, antara batu tapak kuda dan petilasan, yang satu di ujung bukit selatan sedangkan petilasan, ada di ujung bukit utara, yang dipisahkan sebuah sungai. Dan konon katanya, sungai itu adalah sungai yang dibuat Kanjeng Sunan, gara-gara.. daerah rendah di sisi barat desaku dilanda kekeringan bertahun-tahun. Menurut cerita, sungai itu muncul setelah Kanjeng Sunan menyeret tongkatnya. Entah benar atau tidak, cerita itu sudah turun temurun.
Yang sebelumya adalah seorang kakek-kakek yang sedang melakukan perjalanan, saat beliau haus dan minta minum ke rumah penduduk, tapi.. nggak dikasih, entah kena kutukan atau apa.. daerah itu.. sampai sekarang nggak ada pemukimanya, padahal.. loksinya strategis, pingir jalan dan pas untuk pemukiman, seperti yang dikatakan penduduk, di lokasi itu sudah banyak keluarga yang akhirnya gagal, entah sakit-sakitan, sering celaka, mati nggak wajar dan banyak lainya, adapun yang sok kuat.. pasti kehidupan keluarganya panas terus, cerai.. geger.. sudah bukan cerita baru, mangkanya.. sekarang nggak ada yang menguni. Mentok, jadi ladang Sengon dan kebun Jagung.
Akhirnya, setelah melewati daerah yang ngak ada penduduknya itu, aku sampai di ujung pemukiman, rumah sudah bagus-bagus sekarang, rata-rata sudah tembok semua, minim.. tembok batako.
Dan satu hal yang aku sukai, penduduk desaku ramah-ramah, entah siapa yang lewat.. pasti disapa, disuruh mampir.. meski itu Cuma ramah-tamah semata, mampir monggo nggak mampir juga nggak apa.
Tak lama, aku sudah sampai depan rumah. Karena memang, rumahku pingir jalan utama. Rumahku rumah lama, bangunan tahun dua ribuanan, saat Ibuku merantau ke Batam. Rumah yang mewah kala itu, dan kini menjadi rumah yang sangat sederhana untuk ukuran orang sekarang. Bedanya, rumah sekarang.. dari bawah sampai atas cor semua, adapun kayu Cuma rangka atas yang kecil-kecil dan printilan bawah jendela-pintu. Kayunya juga asal kayu. Kalaupun kayu jati, ya jati muda.
Beda dengan rumahku, rumah yang berukuran tuju kali limabelas meter itu masih pure bata merah, printilan jendel.. pintu.. full jati korak, bagian atas juga jati semua.. minus di bagian rengg penyanga genting, rata-rata maghoni semua. Dan perlu kamu ketauhi, meski ortu Bapak adalah orang punya, tapi.. apa-apa yang ada di rumah, semua hasil jerih payah Ibuk. Untuk tanah, juga dari pihak Ibuk. Karena memang, dari pihak Ibuk tanahnya luas-luas, meski bukan tanah sawah, tapi.. zaman itu.. tanah luas bukan berarti orang kaya, beda dengan orang sekarang. Sedangkan dari pihak keluarga bapak adalah keluarga pedagang, dan tempat orang darimana-mana.. ingat lagi, kakek ku dari pihak Ayah adalah orang terpandang, tetua dan sakti dizamanya. Apalagi, beliau adalah tetua keyakinan jawa, jadi ya.. yang datang nggak Cuma dari sekitaran kota, luar pulau juga ada. Tapi sekarang, nggak ada yang seperti beliau, ilmunya dibawa mati, adapun muridnya yang mencoba mengunakan ilmunya buat pagar-pagar orang punya hajatan, mati duluan. Begitu ceritanya, jika kuat ya akan digdaya, kalau ngak kuat.. nyawa yang jadi taruhanya.
Sesampai di rumah, aku jarang langsung masuk rumah, kebanyakan.. jalan-jalan keliling halaman, pekarangan dan lihat durian, bulan-bulan ini sedang musim durian. sampai di bawah pohon durian, diatas masih ada buah sekitar lima belas sampai duapuluhan. dan bau-baunya sudah ada yang matang, maksudnya.. pernah ada yang matang, kan.. tinggal kulitnya saja masih ada bau-baunya.
Next, aku balik.
Dan perlu kamu ketauhi, Ibuku memang nggak di rumah. Beliau ada di luar kota, ngurusi yayasannya, sedangkan Bapak.. pasti sibuk dengan tanamanya, entah cabe.. jagung, terong, pisang, padi.. dan banyak lagi. Maklum, musim penghujan.
Dulu, bapak pernah punya sapi, tapi di jual.. buat nambah beli tanah warisan. Lebih tepatnya, tanah warisannya Pakde buat berangkat Kaji, berobat lalu di jual ke bapak.
Meski aku nggak begitu dekat sama bapak, tapi ya gimana.. gimana-gimana aku masih putranya. Sampai detik ini, aku masih belum bisa menerima, tentang.. keadaan atau hal-hal yang terjadi dimasa lalu.
Aku.. masih menikmati suasana, di halaman. Dan satu yang aku suka, rumahku banyak bunganya, meski kebanyakan bunga Bougenvile sama Melati, tapi rata-rata sudah menjadi bonsai semua, dan akan mencapai titik mekar saat lebaran tiba. Cuma, kalau musim penghujan seperti ini, mekar tapi tidak semuanya, sebab.. akarnya banyak yang masuk ke tanah, jadi.. suburnya surplus, tandanya.. nggak berbunga lebat dan daunya yang lebat. Nah.. kalau sudah mendekati musim panas, akar-akarnya yang tandinya menjulur ke tanah di putus, biar keluar bunganya. Begitu.
Untuk melati, hamper nggak mengenal musim, asal sering di semprot obat ulat, dan sering dibuang pucuk-pucuk semainya, sudah pasti bungga akan terus dan terus. Sering juga, saat sore aku manen bunga melati yang masih kuncup, kadang dapet satu mangkuk kadang satu gengaman. Kenapa yang masih kuncup, yak arena.. melati mekarnya malam.
So, sorenya dipetik.. malamnya mekar-meker, dan aromanya bisa kuat sampai dua hari.
Emang.. kalau di desa itu serba keren. Tapi ya itu, kalau lama-lama aku yang mati, sebab.. mau apa juga bingung, mau bantu.. aku yang nggak kuatan, cepet capek dan gatal-gatal. Dasar.
Paling lama, dua minggu.. dan paling cepat tiga hari, haruus sudah balik ke habitat asalnya, kalau nggak.. aku yang jadi aneh.
“Mas.. e, kapan pulang..?”
Sapa salah seorang tetangga, mungkin dia dari took atau darimana, tapi rumahnya memang lewat halaman rumahku kalau Cuma jalan kaki.kalau pake motor ya lewat jalan depan rumah.
“Baru ae.. lek..”
Dan ya, khas orang desa adalah ramah, Tanya ini itu.. yang sudah pasti diiringi senyum dan keantusiasan yang lebih.
Sungguh, negeriku yang hangat jangan sampai berlumuran darah lagi. Atas apa dan untuk alasan apapun, siapa yang bikin kegaduhan, siapa yang bikin kericuhan, atas dasar apapaun itu.. kami tidak akan membenarkan, selagi masih ada Pancasila dan salah satunya ada kalimat.. Permusyawaratan, yang itu bisa dinarasikan di artikan juga sebagai musyawarah, maka apa salahnya jika kita yang berbeda, duduk bersama.. berbicara.. salahnya dimana, cara biar ngak salah gimana caranya, kalau ada solusi yang lebih baik.. apa solusinya, insya alloh.. pasti ada mufakat untuk jiwa-jiwa yang murni untuk kepentingan bangsa dan Negara. Bukan menutup mata, bukan keras hati dan kian picik tuk sekedar di cerna.
ANDA..
Kalau masih manusia, GUNAKAN KACAMATA MANUSIA !!
Diiringi rintik yang kelak akan menjadi hujan. Dan benar, selama perjalanan.. aku hanya ditemani radio dan sapaan basah diluar sana.
Jika sedang suntuk, apalagi saat di apartemen.. aku sering berdiam diantara hujan, sesekali.. kaki ini aku julurkan, semata-mata.. biar ada yang menyapa, seperti percik.. dan kesejukanya.. yang terkadang bisa meluruhkan segenap asa yang kian mengerak.
Kota demi kota sudah ku lewati, tanpa apa dan harus bagaimana, mungkin.. ini adalah jalan panjang atas hidup.. dan diriku yang masih melayang. Tak pernah terbayang, kapan akan pulang. Pun jika aku pulang, pulang macam apa yang aku harapkan?. Karena faktanya, aku pulang hanya pulang atas nama rumah dan tempat kelahiran, bukan pulang dalam jamaknya makna.
Sunguh absurd, apa dan bagaimana saja aku tak pernah bisa mengejawantahkan. Mungkin.. aku butuh cinta sekarang, lebih tepatnya.. aku pribadi yang harus menaruh hati, bukan mereka. Biar, apa yang ada pada diriku.. bangun, berdiri.. dan jalan seperti saat aku masih menjadi manusia.
CINTA..
Apa sebenarnya cinta itu?
REALITA..
Apa realita itu?
Cinta, bagiku bisa musnah karena realita. Realita pun bisa jungkir balik karena cinta. Sungguh, makrifatul jancuk manalagi untuk mendeskripsikan sekata cinta. Kata yang pernah memporak-porandakan manusia.. di setiap zaman, berulang dan terus berkelindan. Namun.. apa mau dikata, banyak darinya juga tidak pernah peduli. Misalnya aku, aku adalah manusia yang nggak mau menerima apa yang bersumber katanya, terlalu receh. Bagiku, lubang-an dan comberan yang mereka anggap harus di hindari.. untukku tidak, paling nggak.. kakiku harus mencicipi, pait getirnya perjalanan. Dan aku.. sering menikmati itu, meski harus terjerembab untuk sekian lama, terasing, sepi.. mati.
Namun satu yang aku syukuri, jiwaku kian tebal.
Apakah karena itu, sampai-sampai.. mataku tak bisa lagi mencerna—membedakan mana gadis cantik dan mana yang rupawan. Apakah sampai separah itu!? Kematianku?. Aku juga tidak tau, atau sok mau tau.. aku hanya tak ingin peduli atas apa yang menjerat dan memberati pundakku. Asal, jiwaku masih bisa berkelana tanpa apa dan bagimana, aku sudah bisa bahagia.
Kini, aku mulai menarik nafas panjang-panjang, setelah jendela ford-y ku terbuka lebar. Pertanda, hujan sudah reda dan aku sudah berada di tengah-tengah perkebunan, ladang, hutan dan permukiman ala desa di pegunungan.
Ya.. aku sudah mau sampai rumah, setelah perjalanan tiga setengah jam lamanya. Lebih tepatnya desa sebelum desaku. Tapi, meski di desa.. terpelosok, jalan sudah bagus semua, tidak seperti beberapa tahun yang lalu. Disana-sini masih ada batu, longsor, jalan rusak berbatu, genangan air, jembatan lobang dan banyak pohon pisang disana-sini, bukan nyindir atau bagaimana.. hanya untuk tanda, bahwasanya.. ada lubang yang cukup dalam diantara genagan air. Mangkanya di kasih rambu-rambu pohon pisang.
Sebagai orang desa, meski sudah lama di kota.. perihal isu-isu, narasi-narasi.. aku cukup intens, mengikuti dan mempelajari, jadi.. cukup tau jika ada narasi, isu dan cerita yang memang nggak masuk akal.
Sebagai orang desa, akses jalan, jembatan adalah harga mati.
Jadi, kalau masih ada manusia yang PICIK dan SINIS akan adanya infrastruktur, bisa jadi.. orang itu lahirnya di Gurun Pasir, dan lagi KERE terus minta suaka ke Indonesia. Dari yang awalnya susah makan, hudup juga ber-pasir-pasir, susah.. panas.. kini mereka berada di surga, air jernih melimpah.. buah-buahan melimpah.. gadis cantik-cantik.. dan apapaun imajinasi surge di kepala mereka ada di Indonesia. Namun satu yang nggak mereka sadari, kaki mereka masih menginjak di bumi Indonesia, bumi dengan segenap warna-warninya, bumi dengan segenap ketimpanganya.. yang nggak hanya penyedia makanan bagi perut-perut mereka, tapi juga butuh jalan dan akses yang mudah untuk meneruskan bahan makanan dari ujung ke ujung. Bukan dari dan untuk cangkem-cangkem mereka saja.
Sungguh, miris sekali melihat kebodohan akut bangsaku.. bangsa yang katanya berbudaya, bangsa yang beriman, bangsa yang bermartabat dan bangsa yang begini dan begitu.. tapi !! karena beda pandangan, beda keyakinan, kebencian menjalar kesegenap penjuru kewarasan, hingga akal dan nalar tak lagi digunakan.
Miris..
***
Akhirnya, aku sampai di pintu masuk desa. Pintu masuk yang ditandai dengan adanya dua buah tugu brawijaya. Tugu yang berdiri entah sejak kapan, dulu.. mungkin dulu sekali, seingatku.. kedua tugu itu sudah ada sejak aku kenal kalau tugu itu bernama Brawijaya.
Dan ya, aku adalah trah Mataraman, tapi aku juga nggak tau.. bagaimana bisa.. sesepuhku dulu sampai di tempat ini, tepatnya di atas bukit..jauh dari kota satu dan yang lainya, yang kalau dilihat dari atas, desaku berada di punggug ujung sebuah pegunungan yang kepalanya ada di sisi utara. Mungkin, sesepuhku dulu adalah pengembara, dan karena perjalanan jauh.. mereka memutuskan untuk menetap disini. Hingga beranak-pinak seperti sekarang ini. Cuma, siapa yang pertama babat alas, makamnya nggak ada.
Ada satu petilasan, dimana.. kata kakekku adalah tempat Kanjeng Sunan Kalijogo beristirahat. Mungkin, beliau sedang mengembara.. dari Mataram lama ke Majapahit? atau sebaliknya. Ada juga petilasan batu, tapi nggak banyak orang yang tau, di atasnya ada tapak kuda.. menurut cerita yang sudah turun temurun, jejak atau tapak kuda itu adalah kuda yang dikendarai seorang wali, entah walinya yang siapa.. yang jelas beliau orang sakti, kalau sekarang Unicron, kuda bersayap.. nggak tau ada tandukya apa tidak. Lokasinya cukup jauh, antara batu tapak kuda dan petilasan, yang satu di ujung bukit selatan sedangkan petilasan, ada di ujung bukit utara, yang dipisahkan sebuah sungai. Dan konon katanya, sungai itu adalah sungai yang dibuat Kanjeng Sunan, gara-gara.. daerah rendah di sisi barat desaku dilanda kekeringan bertahun-tahun. Menurut cerita, sungai itu muncul setelah Kanjeng Sunan menyeret tongkatnya. Entah benar atau tidak, cerita itu sudah turun temurun.
Yang sebelumya adalah seorang kakek-kakek yang sedang melakukan perjalanan, saat beliau haus dan minta minum ke rumah penduduk, tapi.. nggak dikasih, entah kena kutukan atau apa.. daerah itu.. sampai sekarang nggak ada pemukimanya, padahal.. loksinya strategis, pingir jalan dan pas untuk pemukiman, seperti yang dikatakan penduduk, di lokasi itu sudah banyak keluarga yang akhirnya gagal, entah sakit-sakitan, sering celaka, mati nggak wajar dan banyak lainya, adapun yang sok kuat.. pasti kehidupan keluarganya panas terus, cerai.. geger.. sudah bukan cerita baru, mangkanya.. sekarang nggak ada yang menguni. Mentok, jadi ladang Sengon dan kebun Jagung.
Akhirnya, setelah melewati daerah yang ngak ada penduduknya itu, aku sampai di ujung pemukiman, rumah sudah bagus-bagus sekarang, rata-rata sudah tembok semua, minim.. tembok batako.
Dan satu hal yang aku sukai, penduduk desaku ramah-ramah, entah siapa yang lewat.. pasti disapa, disuruh mampir.. meski itu Cuma ramah-tamah semata, mampir monggo nggak mampir juga nggak apa.
Tak lama, aku sudah sampai depan rumah. Karena memang, rumahku pingir jalan utama. Rumahku rumah lama, bangunan tahun dua ribuanan, saat Ibuku merantau ke Batam. Rumah yang mewah kala itu, dan kini menjadi rumah yang sangat sederhana untuk ukuran orang sekarang. Bedanya, rumah sekarang.. dari bawah sampai atas cor semua, adapun kayu Cuma rangka atas yang kecil-kecil dan printilan bawah jendela-pintu. Kayunya juga asal kayu. Kalaupun kayu jati, ya jati muda.
Beda dengan rumahku, rumah yang berukuran tuju kali limabelas meter itu masih pure bata merah, printilan jendel.. pintu.. full jati korak, bagian atas juga jati semua.. minus di bagian rengg penyanga genting, rata-rata maghoni semua. Dan perlu kamu ketauhi, meski ortu Bapak adalah orang punya, tapi.. apa-apa yang ada di rumah, semua hasil jerih payah Ibuk. Untuk tanah, juga dari pihak Ibuk. Karena memang, dari pihak Ibuk tanahnya luas-luas, meski bukan tanah sawah, tapi.. zaman itu.. tanah luas bukan berarti orang kaya, beda dengan orang sekarang. Sedangkan dari pihak keluarga bapak adalah keluarga pedagang, dan tempat orang darimana-mana.. ingat lagi, kakek ku dari pihak Ayah adalah orang terpandang, tetua dan sakti dizamanya. Apalagi, beliau adalah tetua keyakinan jawa, jadi ya.. yang datang nggak Cuma dari sekitaran kota, luar pulau juga ada. Tapi sekarang, nggak ada yang seperti beliau, ilmunya dibawa mati, adapun muridnya yang mencoba mengunakan ilmunya buat pagar-pagar orang punya hajatan, mati duluan. Begitu ceritanya, jika kuat ya akan digdaya, kalau ngak kuat.. nyawa yang jadi taruhanya.
Sesampai di rumah, aku jarang langsung masuk rumah, kebanyakan.. jalan-jalan keliling halaman, pekarangan dan lihat durian, bulan-bulan ini sedang musim durian. sampai di bawah pohon durian, diatas masih ada buah sekitar lima belas sampai duapuluhan. dan bau-baunya sudah ada yang matang, maksudnya.. pernah ada yang matang, kan.. tinggal kulitnya saja masih ada bau-baunya.
Next, aku balik.
Dan perlu kamu ketauhi, Ibuku memang nggak di rumah. Beliau ada di luar kota, ngurusi yayasannya, sedangkan Bapak.. pasti sibuk dengan tanamanya, entah cabe.. jagung, terong, pisang, padi.. dan banyak lagi. Maklum, musim penghujan.
Dulu, bapak pernah punya sapi, tapi di jual.. buat nambah beli tanah warisan. Lebih tepatnya, tanah warisannya Pakde buat berangkat Kaji, berobat lalu di jual ke bapak.
Meski aku nggak begitu dekat sama bapak, tapi ya gimana.. gimana-gimana aku masih putranya. Sampai detik ini, aku masih belum bisa menerima, tentang.. keadaan atau hal-hal yang terjadi dimasa lalu.
Aku.. masih menikmati suasana, di halaman. Dan satu yang aku suka, rumahku banyak bunganya, meski kebanyakan bunga Bougenvile sama Melati, tapi rata-rata sudah menjadi bonsai semua, dan akan mencapai titik mekar saat lebaran tiba. Cuma, kalau musim penghujan seperti ini, mekar tapi tidak semuanya, sebab.. akarnya banyak yang masuk ke tanah, jadi.. suburnya surplus, tandanya.. nggak berbunga lebat dan daunya yang lebat. Nah.. kalau sudah mendekati musim panas, akar-akarnya yang tandinya menjulur ke tanah di putus, biar keluar bunganya. Begitu.
Untuk melati, hamper nggak mengenal musim, asal sering di semprot obat ulat, dan sering dibuang pucuk-pucuk semainya, sudah pasti bungga akan terus dan terus. Sering juga, saat sore aku manen bunga melati yang masih kuncup, kadang dapet satu mangkuk kadang satu gengaman. Kenapa yang masih kuncup, yak arena.. melati mekarnya malam.
So, sorenya dipetik.. malamnya mekar-meker, dan aromanya bisa kuat sampai dua hari.
Emang.. kalau di desa itu serba keren. Tapi ya itu, kalau lama-lama aku yang mati, sebab.. mau apa juga bingung, mau bantu.. aku yang nggak kuatan, cepet capek dan gatal-gatal. Dasar.
Paling lama, dua minggu.. dan paling cepat tiga hari, haruus sudah balik ke habitat asalnya, kalau nggak.. aku yang jadi aneh.
“Mas.. e, kapan pulang..?”
Sapa salah seorang tetangga, mungkin dia dari took atau darimana, tapi rumahnya memang lewat halaman rumahku kalau Cuma jalan kaki.kalau pake motor ya lewat jalan depan rumah.
“Baru ae.. lek..”
Dan ya, khas orang desa adalah ramah, Tanya ini itu.. yang sudah pasti diiringi senyum dan keantusiasan yang lebih.
Sungguh, negeriku yang hangat jangan sampai berlumuran darah lagi. Atas apa dan untuk alasan apapun, siapa yang bikin kegaduhan, siapa yang bikin kericuhan, atas dasar apapaun itu.. kami tidak akan membenarkan, selagi masih ada Pancasila dan salah satunya ada kalimat.. Permusyawaratan, yang itu bisa dinarasikan di artikan juga sebagai musyawarah, maka apa salahnya jika kita yang berbeda, duduk bersama.. berbicara.. salahnya dimana, cara biar ngak salah gimana caranya, kalau ada solusi yang lebih baik.. apa solusinya, insya alloh.. pasti ada mufakat untuk jiwa-jiwa yang murni untuk kepentingan bangsa dan Negara. Bukan menutup mata, bukan keras hati dan kian picik tuk sekedar di cerna.
ANDA..
Kalau masih manusia, GUNAKAN KACAMATA MANUSIA !!
Diubah oleh seenue 25-03-2019 20:06
tikusil dan 4 lainnya memberi reputasi
5