chemical.saptoAvatar border
TS
chemical.sapto
Dampak Pariwisata Yang Ubah Hidup Orang-orang Komodo
abuan Bajo - Ratusan turis mancanegara turun dari kapal pesiar Norwegian Jewel menuju Loh Liang, Pulau Komodo. Suasana inilah yang selalu dinanti warga Pulau Komodo.

Tengah hari setelah puas melihat kadal purba, turis-turis mulai berjalan ke pasar. Dolar-dolar dari tangan mereka siap berpindah tangan ke para pedagang. Meski para turis masih berjarak sekitar 50 meter, Ibu Anita (26) sudah tersenyum di pintu pasar.

"Saya bisa untung Rp 1 juta sehari kalau sedang ramai seperti ini," kata Anita.

Tentu saja, kapal pesiar ini tak setiap hari datang ke Pulau Komodo. Pendapatan yang tinggi saat kapal pesiar datang bakal digunakan untuk mencukupi kebutuhan ketika Pulau Komodo sedang sepi. 

Turis yang tengah turun dari kapal pesiar (Dikhy Sasra/detikcom)

Namun, masih ada wisatawan non-kapal pesiar yang juga turut menjadi penyumbang rezeki. Minimal RP 100 ribu hingga Rp 300 ribu per hari. Dengan modal awal Rp 10 juta, pendapatan sebesar ini sungguh berarti bagi Anita sekeluarga.

"Hasilnya untuk anak saya, usianya delapan tahun, karena pekerjaan saya ya jual suvenir saja. Suami saya juga jualan suvenir," kata dia. 

Suaminya bahkan pernah meraup Rp 10 juta bila wisatawan sedang sangat ramai. Berbekal solar yang memadai, sang suami beroperasi menggunakan kapal untuk jualan ke titik wisata Gili Lawa, Manta Point, hinggga Pulau Padar. 

"Tapi kalau sepi ya kadang seminggu tidak dapat apa-apa," imbuh Anita.

Di pojokan pasar, ada Eros Wandi (25) yang sedang mengukir kayu dengan pisau tajam. Dengan terampil, dia mengukir guratan-guratan leher komodo di patung seukuran remot televisi. 

Suvenir komodo yang dijajakan pedagang setempat (Dikhy Sasra/detikcom)

Eros sudah tiga tahun membuat dan berjualan patung komodo berbahan kayu. Hasilnya untuk mencukupi keluarganya yang sudah dikaruniai satu anak usia tiga tahun. Istrinya juga berjualan suvenir di Pulau Padar.

"Ini pekerjaan utama saya. Sehari kadang dapat RP 200 ribu, kadang-kadang kosong juga, hahaha," ujar Eros dengan santai. "Kalau ramai bisa Rp 1 juta sehari."

Kebanyakan pedagang suvenir di sini adalah penduduk Pulau Komodo dan sekitarnya yang punya latar belakang nelayan. Mereka sudah meninggalkan aktivitas mencari ikan di laut karena merasa rezeki di sektor pariwisata jauh lebih baik. 
"Penghasilan nelayan jauh di bawah dagang suvenir," kata Suharin (35), pria pedagang suvenir beranak dua.

Anita, Eros, Suharin, dan banyak warga yang menggantungkan nasibnya pada sektor pariwisata kini tengah mengikuti isu yang sangat berkaitan dengan hidup mereka, yakni penutupan Taman Nasional Komodo dari wisatawan. Mereka mendengar penutupan direncanakan mulai tahun 2020 khusus untuk Pulau Komodo. 

"Kalau misalnya ini (Pulau Komodo) ditutup, mati sudah. Soalnya kita tidak ada pekerjaan lain. Istri saya juga jualan suvenir," kata Suharin.

Warga lokal yang tengah menjajakan Komodo (Dikhy Sasra/detikcom)

Topik mengenai penutupan Pulau Komodo dari wisatawan selalu dibicarakan di pojok-pojok pasar akhir-akhir ini. "Kalau tutup, mau makan apa kita ini? 99% Orang Pulau Komodo kan mencari nafkah dari suvenir," kata Anita menanggapi. "Sangat tidak setuju!" timpal Marhanah (48) di sampingnya, tiba-tiba, karena mendengar pembicaraan kami.

Namun, Eros memilih menunggu saja sambil terus menyelesaikan patung komodo kecilnya. Bila saja kebijakan itu benar-benar dieksekusi, maka dia akan kembali menjadi nelayan sebagaimana pekerjaan sebelumnya, meski harus dilakukan dengan berat hati.

"Kalau Pulau Komodo ditutup, ya terpaksa jadi nelayan, mancing," kata Eros. 
Masyarakat di sini menangkap ikan dengan cara memancing. Pukat (jala) cincin dengan ukuran lubang satu jari tidak diperbolehkan untuk digunakan di area ini, soalnya ikan-ikan anakan berisiko besar ikut terangkut. Meski dengan pancing, nelayan juga tidak boleh mencari ikan di sembarang lokasi di area Taman Nasional. 

Kepala Desa Komodo, Haji Aksan (54), menjelaskan penduduk desanya berjumlah 1.740 juta jiwa dengan 470 kepala keluarga. Berkembangnya pariwisata telah mengubah kehidupan penduduk di sini, terdiri dari Suku Komodo ditambah orang Sumba, Bajo, hingga Manggarai.

"Sebelum jadi pariwisata, mayoritas warga adalah nelayan sambil menjadi penggarap ladang, menanam jagung ubi, pepaya," kata Aksan di kantornya yang tak jauh dari dermaga kayu.

Dia menguraikan kronik sejarah orang-orang Komodo keturunan Ompu Najo, Ompu Dato, Ina Babu, dan Ina Krawo. Nama-nama itu adalah nenek moyang Suku Komodo. Pada 1960-an, masyarakat masih hidup berladang, berburu, dan meramu di kawasan Gunung Ara pulau ini.

Tahun ketujuh dekade itu, masyarakat berpindah ke teluk bernama Loh Lawi di pulau ini. Pada dekade itu juga, masyarakat juga mulai bermukim di Loh Liang yang saat ini menjadi pintu masuk wisatawan kawasan Taman Nasional Komodo.

Masyarakat mulai pergi dari Loh Liang yang sudah menjadi cagar alam, cara hidup berburu pelan-pelan mulai ditinggalkan. Medio '80-an setelah terbentuknya Taman Nasional Komodo, wisatawan mulai bertambah banyak. 

Taman Nasional ini kemudian secara langsung dinobatkan mejadi 'The New 7 Wonders World' atau tujuh keajaiban dunia yang baru, semakin banyak nelayan yang beralih profesi menjadi pedagang atau pengrajin suvenir, ada pula yang mulai membuka homestay. 

Penduduk lokal yang tengah menanti turis (Dikhy Sasra/detikcom)

Namun, kini ada berita soal rencana penutupan Pulau Komodo. Latar belakangnya, negara ingin mengendalikan perburuan rusa oleh manusia yang berakibat pada berkurangnya mangsa komodo. 

Aksan menjamin, pemburu rusa di era sekarang bukanlah penduduk area Taman Nasional Komodo. Daripada menutup pulau, lebih baik pemerintah memperketat pengawasan saja supaya pemburu tidak masuk ke pulau.

"Kami mohon pemerintah untuk menjelaskan di tengah-tengah masyarakat. Saya lebih setuju bila pemerintah membuat tim pemburu perburuan liar itu (ketimbang melakukan penutupan Pulau Komodo)," kata Aksan.

Di luar Pulau Komodo, ada Pulau Rinca yang juga masuk area Taman Nasional. Sekretaris Desa Pasir Panjang Pulau Rinca Ibrahim Hamso menjelaskan di sini ada 1.640 penduduk dalam 468 kepala keluarga. 

Penduduk di desa ini rata-rata adalah nelayan, sebagian juga berjualan suvenir sebagai sampingan. Di Pulau Rinca, ada Loh Buaya sebagai pintu masuk wisatawan untuk melihat reptil komodo. 

Haji Ishaka yang merupakan pengusaha suvenir di Rinca menanggapi perihal penutupan Pulau Komodo dari wisatawan. Menurutnya, itu bisa menguntungkan warga Rinca. 

"Kami justru senang, karena itu berarti tamu-tamu akan ke sini (Pulau Rinca) semua, supaya Pulau Rinca diperhatikan," kata Ishaka santai.


https://m.detik.com/travel/domestic-...nt=detiktravel

Repot juga ya kalo pulau komodo ditutup
0
1.7K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.3KThread40.5KAnggota
Tampilkan semua post
haf2Avatar border
haf2
#8
Ane tahun 2011 pernah patroli di pulau rinca 4 hari, sbg mahasiswa magang.
Waktu itu memang wisata fokus ke pulau komodo, jd bisa dibilang komodo disana sudah jinak dan terbiasa dg adanya manusia.
Kalau pulau rinca memang masih alami, komodo di sana lari kalau liat manusia. Masih banyak rusa, monyet, kerbau. Ada kuburan kuno juga.

Kalau pulau rinca yg dibuka, sayang sekali nanti alaminya berkurang.
.
edit:
burung gosong kaki merah juga masih banyak, meskipun terancam punah. Keren itu burung. Sarangnya besar, bahkan kadang dipinjam komodo utk bertelur.
emoticon-Leh Uga
Sama ular viper hijau ekor merah jg banyak.
Diubah oleh haf2 21-03-2019 06:41
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.