- Beranda
- Stories from the Heart
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)
...
TS
ayahnyabinbun
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)

Assalamualaikum semua.
Ini hanya goresan tinta imajinasi seorang lelaki tua yang telat menemukan hasratnya dalam hal menulis.
No Junk.
No Spam.
Pokoknya ikuti Rules dari Kaskus ya.
Cerita ini murni Fiksi, jadi kalau ada kesamaan nama tokoh dan tempat mohon di maklumi.
Terakhir.
Selamat menikmati bacaan ringan ini.
Spoiler for Prolog:
-Jakarta-
UGD RS di jakarta.
"Bagaimana istri saya sus!? " tanya seorang pria kepada suster yang baru saja keluar dari ruang UGD.
"Maaf pak masih kritis saya tidak bisa memberitahu lebih rinci kondisi istri bapak, itu wewenang dokter," jawab suster cepat kemudian dia berlalu meninggalkan lelaki itu.
Lelaki itu pun bersandar di tembok rumah sakit, raut mukanya terlihat lemas dan pucat kedua tangannya gemetar tatkala menutup wajahnya.
"Maafkan aku Naura, hiks, maafkan aku, " gumam lelaki itu sambil terisak menangis tersedu-sedu.
Seberkas cahaya membentuk sosok manusia berjongkok di depan lelaki itu, "jangan menangis sayang, ini memang sudah waktuku, jaga anak kita ya, dia ganteng seperti kamu, cup. " seru sesosok cahaya tersebut sambil mencium kening sang lelaki, dan cahaya itu pun berlalu bersama sesosok laki-laki berjubah putih yang menemaninya.
Lelaki itu mengangguk lesu sambil tersenyum tipis, melihat ruh istrinya menghilang menuju ufuk matahari dikala senja.
"Krieeek" suara pintu UGD terbuka, keluar seorang dokter dan beberapa suster menggendong seorang bayi.
"Pak Bagas, bayi bapak kami bersihkan dulu di ruang bayi ya pak, dokter ingin bicara dengan bapak," jawab suster dengan lemah lembut ke lelaki itu.
Lelaki itu pun berdiri, berjalan pelan menuju dokter yang menundukkan kepala di depan lelaki itu, gurat penyesalan terlihat dari wajah sang dokter.
"Sudah tidak apa-apa dok, saya sudah tahu, sehebat apapun anda tidak bisa melawan takdir, " jawab lelaki itu sambil menepuk pundak sang dokter.
"Ba-bagaimana bapak bisa tahu!? " jawab dokter dengan rona kebingungan.
Lelaki itu kemudian berlalu menuju ruangan bayi, langkah demi langkah terasa berat, tangisan tak terbendung dari kedua matanya, lelaki itu memukul-mukul dadanya agar menyisakan kelegaan saat ia bernafas.
"OOOEeeeK...OOOEEEEK...OOOEEEK," seketika tangis bayi memecah kesunyian lorong rumah sakit, lelaki itu mempercepat langkah demi langkahnya, terlihat seorang bayi sedang di gendong suster, menangis dengan kencangnya.
"Silakan pak di gendong anaknya, sudah saya bersihkan dedek bayinya," jawab suster ke lelaki itu.
Sang lelaki menerima si bayi dari tangan suster, menggendong dengan penuh kehati-hatian, sang bayi yang tadi menangis kencang seketika terdiam di pelukan lembut sang ayah.
"Mau di beri nama siapa pak bayinya?" tanya suster.
"Surya, Surya dikala senja. " jawab bapak Bagas lirih.
Spoiler for Chapter 1 : sang Surya:
Jakarta, 2018.
"TENG!! TENG!! TENG!!" bunyi bel terdengar hingga ujung jalan setapak depan sebuah sekolah, segerombolan anak tunggang langgang berlarian menuju gerbang sekolah tersebut.
Pak Kusni penjaga sekolah, merangkap satpam, merangkap manusia terlihat mendorong gerbang dengan kepayahan, faktor usia seperti menggerogoti tenaganya yang dulu seperti kuda jantan, nafasnya terdengar mengebu-gebu seperti pemain film erotis tahun 80an, padahal gerbang sekolahnya hanya ada satu, bayangkan bila sekolah ini memiliki 7 gerbang layaknya pintu neraka, mungkin senin beliau sudah di kebumikan.
Dari ufuk timur terdengar suara dengan lantang.
"HEI KUSNI!!! HENTIKAN!!! GUA MASIH MAU SEKOLAH KUSNI!!!"
Remaja itu berlari bersama gerombolan murid yang telat bagai babi hutan.
Pak Kusni yang sedang mendorong gerbang terdiam sesaat, lalu melihat asal suara tersebut, matanya melotot melihat remaja tersebut berlari seperti maling BH yang dikejar warga, dengan sisa tenaga tuanya di dorong gerbang itu dengan tergesa-gesa,
"bocah sialan itu tak boleh masuk..! TIDAK BOLEH MASUK..! YOU SHALL NOT PASS..!" gumam lelaki tua itu sambil mengutip kata-kata Gandalf Lord Of The Ring.
"SIALAN KAU KUSNI! GUA TIDAK AKAN KALAH DENGAN TUA BANGKA MACAM KAU KUSNI!!" teriak lagi remaja itu dengan lantang, langkah kakinya semakin kencang ia sampai lupa resleting celananya masih menganga memberikan sensasi cooling breeze di sekujur pangkal pahanya.
Mendengar itu Kusni geram, ia semakin menggebu-gebu mendorong gerbang, akan tetapi, "KREEK!!" suara tulang bergeser bersua, teriakan tertahan mengema di kalbu Kusni.
"AAARRRGGHH!! AMPUN GUSTI!! PINGGANGKU!!" sakit encok strata tiga Kusni kambuh, tubuh kusni tertahan gerbang, tanpa adanya gerbang mungkin tubuh Kusni akan tersungkur ke tanah, ada hubungan simbiosis mutualisme yang ironis antara Kusni dan gerbang.
"Pagi beh, kambuh?! AHAAY!" ejek remaja itu ke pak Kusni sambil berlenggang menuju kelas.
Sakit, malu, vertigo menjadi satu, itulah yang di rasakan Kusni sekarang, melihat murid itu berlalu membuat matanya berkaca-kaca seutas kata terucap dari bibir Kusni.
"Dasar bocah KAMPRET!!" Kusni tertahan mematung sambil menggenggam gerbang sekolah yang masih seperempat terbuka.
Kelas 2-A sudah di penuhi manusia-manusia unggulan, datang setiap pagi untuk mencari ilmu, bersiap-siap menatap masa depan dengan penuh harapan cemerlang, di belakang dua insan lelaki saling bercakap.
"Cok, film bokep yang kemaren elu kirim crash, kirim lagi dong bro," celoteh Bambang ke Ucok di baris belakang.
"BAH!! Handphone kau saza yang zadul Bams, buktinya zalan-zalan zaja tuh di hp ku, makanya beli hape zangan di pasar malam lai," jawab Ucok dengan logat medannya yang kental, sungguh percakapan yang menginspirasi kaum muda mudi INDONESIA.
"Eh eh eh, guru guru guru!" riuh anak-anak kelas 2-a, sesosok lelaki tinggi, atletis nan tampan terlihat di depan pintu, kemudian berlalu, berganti menjadi lelaki pendek, tambun dengan kepala botak di tengah layaknya lapangan bola, sekilas adegan tadi seperti iklan L-men yang gagal.
Pak Hartono masuk ke dalam kelas, melihat sekeliling kelas sambil menyapa.
"Pagi anak-anak!!", sapa pak Hartono.
"PAGI PAK GURUUU!!" Jawab murid-murid dengan serentak dan kompak.
Tiba-tiba seorang anak berdiri di depan pintu kelas, wajahnya terlihat kecapaian dan pucat.
"Yaaah! Telat!" ujar anak itu, pak Hartono menelisik dengan teliti anak yang terlambat itu, kemudian berujar "hei kamu! Berani kamu telat di jam saya! Kesini kamu!" perintah pak Hartono dengan galaknya, anak itu pun maju dengan perlahan, kepalanya menunduk malu tidak bisa menatap pak Hartono, "Push up 25 kali! Jikalau tidak sanggup silakan keluar kelas saya!!" ujar pak Hartono dengan tegas, ketika anak itu mengambil ancang-ancang untuk melakukan push up, sesosok mahkluk mengintip dari balik jendela di barisan pojok kanan belakang, matanya nanar namun tajam melihat situasi kelas.
"oke situasi aman," ujarnya dengan percaya diri, dengan mode silent ia menyelundupkan tasnya dari balik jendela menuju bangku belajar, lalu ia merangsek masuk dari celah jendela, bak ular kadut dengan licinnya ia masuk melewati celah lumayan sempit itu, setengah badannya sudah masuk ke dalam ruang kelas, tangan kirinya menyentuh meja kemudian ia mendorong sisa tubuhnya melalui tembok menggunakan tangan kanan, dengan sangat cepat dan tanpa satu makhluk pun mengetahui ia sudah masuk ke dalam kelas, dengan posisi menungging di atas meja, misi pun berhasil, ia turun dari meja kemudian menikmati pemandangan Budi yang sedang push up.
"Budi, terima kasih ya, tanpa elu sebagai pengalih perhatian gua ngak bisa sampai di dalam kelas, Budi, kamu, numero uno," gumam pria itu di dalam hati.
Iya, pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Surya, anak dari bapak Bagas prakasa yang kalian liat kisah pilunya di prolog, anak ini tumbuh besar menjadi sosok lelaki tampan, pintar dan soleh, itu hanya menurut penuturan bapaknya sendiri.
Push up Budi sudah berada di angka 23 kali, keringat bercucuran dari kening sampai badan Budi, bahkan sampai muncul bercak basah di daerah selangkangannya, pergelangan tangannya mulai goyah, lututnya bergetar 4,5 skala richter, tubuh yang di rancang untuk main warnet seharian itu tidak mampu menerima push up lebih dari 20 kali.
"Pak, sudah ya pak, saya sudah tidak sanggup," nego Budi ke pak Hartono.
Pak Hartono sedikit terenyuh melihat Budi yang kecapaian, "aduh, kasihan kamu nak, ya sudah … tambah lima lagi push upnya, biar genap jadi 30," tutur pak Hartono dengan melepas topeng kesedihannya, mata Budi nanar namun kosong menatap lantai, terlihat raut penyesalan teramat sangat dari wajah Budi.
Pak Hartono mulai menuju meja ia mengambil daftar absensi lalu mulai mengabsen satu per satu muridnya, dimulai dari Ani, Deni dan seterusnya, murid-murid saling bersahutan saat nama mereka disebut pak Hartono, ketika mulut pak Hartono menyebut nama Surya, "HADIR PAK..!" sahut seseorang pemuda dari belakang dengan lantang.
Seisi kelas kaget, terperanga sambil menganga melihat Surya sudah di dalam kelas, pertanyaan dan praduga berkecamuk di hati mereka.
"Bagaimana ia bisa masuk!?"
"Sejak kapan ia ada di kelas?!"
"Kenapa aku ada di kelas ini!!" gumam Ari yang seharusnya masuk kelas 2-d.
semua perhatian itu berbanding terbalik dengan kondisi Budi yang tanpa perhatian satupun dari teman-temannya.
"Sakit, banget, tapi tak berdarah, sungguh biadab temen-temen gua, kata mereka kita teman sejati, selalu di hati, HILIH KINTHIL!!" ujar Budi di dalam hati kesal dengan teman-temannya.
Pelajaran berjalan setelah sesi absensi, pak Hartono mulai menjelaskan di depan kelas, suasana hening terasa, murid-murid mulai mendengarkan dengan seksama, kecuali Surya yang sedang terlelap di mejanya, posisinya yang berada paling belakang dan di tutupi Bambang yang jangkung dan Ucok yang bulat menjadikan tempat duduknya seperti vila di puncak, tempat paling nyaman untuk beristirahat.
"TOK TOK TOK TOK" bunyi ketukan pintu memecah keheningan kelas, pak Zul sang kepala sekolah sedang berdiri dengan seorang gadis cantik nan manis di sebelahnya, "pagi pak, maaf ganggu kelasnya, ini ada murid baru kelas 2-a," ujar pak Zul, "oh iya pak, silakan neng masuk, perkenalkan diri dulu sama teman yang lain," jawab pak Hartono sambil mempersilakan gadis itu masuk.
Sesosok gadis manis memakai hijab putih berjalan perlahan menuju depan kelas, wajah manisnya terlihat malu-malu ketika bertatap muka dengan murid-murid kelas 2-A, "pagi semua, nama aku Naura kelana subhi, panggil saja Naura," jawab Naura sambil tersenyum simpul memperlihatkan lesung pipinya, seketika itu juga rentetan panah asmara menusuk hati para lelaki di kelas 2-A, kecuali Surya yang sedang berkelana di pulau kapuk dan para murid perempuan yang menunjukkan ekspresi tersaingi secara jasmani dan rohani.
"kamu duduk di belakang ya nak Naura, soalnya bangku yang kosong cuman ada di sebelah sana, " ujar pak Hartono sambil menunjuk bangku disebelah Surya.
Naura pun berjalan menuju bangkunya, diiringi tatapan nakal murid laki-laki di kelas itu, ia kemudian duduk sambil mulai mengeluarkan peralatan belajarnya.
Bambang dan Ucok yang duduk di depan Naura pun sontak membalikkan badan untuk berkenalan.
"Hai Naura, namanya cantik secantik orangnya," puji Bambang dengan gaya sok coolnya.
"hei Naura, cantik kali kau, nanti pulang ku antar pakai motor ninja ku mau tak?" goda Ucok sambil menyisir jambul khatulistiwa miliknya.
Melihat gelagat kedua lelaki di depannya naura langsung ilfeel stadium akhir, didalam hatinya ia berteriak "TIDAAAAAAK..!" akan tetapi Naura hanya membalas dengan senyum malu tapi palsu ke kedua orang utan itu.
"ikh amit-amit jabang bayi, masa hari pertama di sekolah baru gua udah di godain cowok alay macem keset kayak gini, Ya tuhan salah apa hambamu ini, " ketus Naura di dalam hati.
"Jangan di anggap serius, mereka cuman bercanda."
"DEG...!!"
Rona wajah Naura terlihat terkejut, sebuah telepati terkirim langsung menuju fikirannya, ia mencari sumber telepati itu, dan matanya tertuju pada punggung lelaki teman sebangkunya, Surya.
Spoiler for Index:
PART 1
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
PART 2
CHAPTER 2.1
CHAPTER 2.2
CHAPTER 2.3
CHAPTER 2.4
CHAPTER 2.5
CHAPTER 2.6
CHAPTER 2.7
CHAPTER 2.8
CHAPTER 2.9
CHAPTER 2.10
CHAPTER 2.11
CHAPTER 2.12
CHAPTER 2.13
CHAPTER 2.14
CHAPTER 2.15
CHAPTER 2.16
CHAPTER 2.17
CHAPTER 2.18
CHAPTER 2.19
CHAPTER 2.20
CHAPTER 2.21
CHAPTER 2.22
CHAPTER 2.23
CHAPTER 2.24
CHAPTER 2.25
CHAPTER 2.26
CHAPTER 2.27
CHAPTER 2.28
CHAPTER 2.29
Diubah oleh ayahnyabinbun 29-05-2022 00:42
namakuve dan 116 lainnya memberi reputasi
115
161.2K
Kutip
916
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ayahnyabinbun
#251
Chapter 2.3
Spoiler for sang Jendral:
Dua gagak hitam tengah bertengger disebuah dahan pohon tua tak berdaun, mereka memantau kebawah menatap kearah iring-iringan upeti yang akan dibawa menuju kerajaan pujakerana.
Suasana sepi menyeruak sepanjang jalan, kabut tipis menemani tiap langkah kuda-kuda hitam yang menarik gerobak upeti, tiba-tiba langkah mereka terhenti tatkala melihat jalan didepan terhalang sebuah batang pohon besar nan rindang.
Para prajurit kerajaan Pujakerana yang mengawal rombongan itu segera berjalan kearah depan untuk memeriksa dan membersihkan jalur mereka dari pohon besar tersebut, namun belum sampai ketujuan kaki mereka terikat dan tertarik jebakan yang membuat tubuh mereka terangkat dan terjebak dalam sebuah jaring besar.
-Shuut-
-Shuut-
-Shuut-
Tembakan panah pembius bertubi-tubi terlontar dari semak-semak membuat para prajurit pujakerana langsung tak sadarkan diri dibuatnya. Sang kusir berkumis putih diatas gerobak segera turun dari kursinya dan hendak kabur, namun...
-Bruak-
Sang kusir tua menabrak sebuah tubuh besar pemilik dada bidang dengan bulu-bulu berwarna merah disekujur tubuhnya, ia terjatuh dibuatnya dan merangkak untuk pergi berlawanan arah namun ia segera dikepung oleh para jin kera yang keluar dari semak-semak.
"To-tolong Am-ampuni saya, saya hanya disuruh untuk mengantarkan upeti ini," sembah sang kusir tua kepada para jin kera tersebut.
"Pergilah orang tua dan sampaikan kepada Gundara kami para prajurit pembebas Pujakerana mengambil upeti miliknya dan akan di kembalikan lagi kepada rakyat yang lebih membutuhkan," ujar jin kera merah tersebut dengan bijak.
"Te-terima kasih tuan kera," seru sang kusir tua yang langsung berlari tunggang langgang meninggalkan tempat itu.
"Kalian turunkan para prajurit dan bawa mereka ketempat persembunyian," perintah Jin kera berbulu merah tersebut.
"Baik jendral!!" seru para prajurit pembebasan bersamaan.
Salah satu prajurit mendekat kehadapan sang kera merah, "jendral Arga maafkan saya lancang untuk bertanya, apa tidak apa-apa melepas kusir tadi?" tanya sang prajurit.
"Biarkanlah dia, jika kita membunuh kusir tadi kita sama saja seperti Gundara," seru sang jendral, Arga mengelus puncak kepala sang bawahan sembari tersenyum simpul.
Selesai mengikat para tahanan jendral Arga dan para prajuritnya bersiap untuk kembali ketempat persembunyian, mereka berjalan dan terus berjalan semakin dalam di hutan belantara itu. Hutan belantara yang disebut dengan nama hutan angkora, hutan yang beberapa tahun ini dijadikan basis markas para prajurit pembebasan pujakerana. Rindangnya pepohonan didalam hutan angkora dan geografi tanah yang sulit dilewati menjadi keuntungan untuk pasukan gerilya pembebas pujakerana.
Setelah hampir setengah jam berjalan sang jendral dan anak buahnya sampai disebuah air terjun besar, sang jendral memberi aba-aba pada prajurit diatas air terjun dan seketika deras air terjun terbelah memperlihatkan jalan masuk kedalam sebuah goa, mereka masuk sambil membopong upeti dan beberapa tawanan kedalam goa tersebut.
"Bawa para prajurit ini kedalam sel pemulihan," seru Arga ke salah satu penjaga.
"Baik jendral, laksanakan!"
Salah satu penjaga goa mendekati Arga dan memberi hormat pada sang jendral, "lapor jendral, kami telah menginterogasi genderuwo hitam itu dan …"
Arga menaikkan kedua alis matanya dan bertanya, "dan apa?"
"Dia mengatakan bahwa dia bukan budak manusia tersebut melainkan temannya," jelas sang penjaga.
"Teman? Manusia dan genderuwo itu berteman!?" seru Arga kaget.
"Oh iya jendral satu lagi yang harus saya beritahukan kepada jendral," pungkas sang penjaga sambil menoleh kekanan kekiri .
"Apa lagi?"
Sang penjaga membisikkan sesuatu di kuping Arga yang langsung membuat Arga mendelik tak percaya, "benarkah kenyataan yang kau bisikkan itu?" tanya Arga memastikan.
"Tentu saja tuan, mana berani saya berbohong," timpal sang penjaga. Arga terdiam sesaat mencoba menelaah kata-kata sang penjaga kepada dirinya, "aku akan keruang tahanan, kau bisa pergi sekarang" pungkas Arga pada sang penjaga.
Tak beberapa lama diruang tahanan.
"Hei bangun manusia!!" seru salah satu penjaga sel dari balik jeruji penjara.
-Splash-
Wajah sang manusia basah terkena siraman air sedingin es dengan kedua tangan terikat dibelakang pinggangnya, perlahan ia membuka kedua kelopak mata dengan setengah sadar ia menatap sekeliling dan mendapati seekor jin kera merah tengah duduk dihadapannya sambil menatap tajam.
"Urgh … dimana aku?" gumam Senja pelan.
"Lihat sekelilingmu, kau sedang berada diruang tahanan, sekarang jawab pertanyaanku, siapa kau? Dan apa yang akan kau lakukan di Pujakerana?" tanya Arga.
Senja terdiam sesaat kemudian menatap lawan bicaranya, "aku akan menjawab pertanyaanmu setelah aku mengetahui keadaan Raka?" tanya Senja.
"Oh genderuwo temanmu itu, kau bisa tenang karena dia baik-baik saja, ruangannya berbeda denganmu karena tubuhnya yang besar tidak muat di sel ini," jelas Arga, "sekarang aku mohon jawab pertanyaanku," sambung Arga.
"Fiuh … syukurlah, baik … aku akan menjawab pertanyaanmu, namaku Senja dan aku disini untuk menyelamatkan teman-temanku yang telah diculik oleh kera putih," jelas Senja.
"Hmm … Sangat jarang aku mendapati seorang manusia berkeliaran di dimensi ini, terlebih lagi manusia itu peduli dengan bangsa jin seperti kami," seru Arga, "biasanya manusia datang kesini untuk menculik dan menjadikan jin sebagai budak mereka di dimensi manusia, beberapa datang untuk membentuk aliansi dengan para penguasa di dimensi ini sebagai pengumpul jiwa-jiwa tercela," seru Arga kembali kala itu.
"Jadi … apa kau bisa membuka ikatan ini?" tanya Senja.
"Belum, ada tes terakhir untukmu."
"Tes? Apa maksudmu dengan tes?"
"Aku mendapatkan berita bahwa kau adalah sang naga hitam yang tersohor," tanya Arga menatap tajam kearah wajah Senja.
Senja mendesal nafas panjang lalu terdiam.
"Jadi … kau memilih untuk diam setelah mengetahui itu … baiklah, penjaga! Giring tuan Senja ini sekarang ke ruang latihan prajurit," perintah Arga.
"Siap jendral," seru penjaga.
"Disana kita akan lihat siapa kau sebenarnya," seru Arga sambil berdiri memunggungi Senja.
Sementara di tempat lain.
Sepasang gadis remaja dengan jaket panjang berhoodie menutupi puncak kepala sedang berjalan di pinggir jalan raya, Naura dan Luna tengah berjalan di tengah kota Batavia berdesakan dengan para arwah dan jin-jin yang berlalu lalang disekitar mereka. Luna dengan mantap memimpin jalan sementara Naura hanya bisa mengekor dibelakangnya.
"Luna apa masih jauh?" tanya Naura.
"Sedikit lagi kita sampai, apa kau mulai kecapaian?"
"Tidak, aku hanya tidak nyaman berada disekitar jin sebanyak ini, terlebih lagi mereka seakan melihat kita dengan tatapan curiga," ujar Naura.
"Di dalam dimensi ini manusia sangat langka untuk berjalan diantara para jin, kalau kita tidak memakai emblem Other ini kita sudah di cap sebagai manusia tercela bagi mereka," terang Luna.
"Manusia tercela?" tanya Naura heran.
"Manusia-manusia yang digunakan sebagai tumbal atau terikat kontrak dengan para penguasa disini, mereka yang derajatnya lebih rendah daripada jin-jin di dimensi ini," seru Luna.
"Maksud kamu seperti budak?"
"Iya, budak bagi para jin penguasa disini, gamblangnya seperti itu, ada beberapa tipe manusia yang berada di dimensi ini Ra, pertama adalah gifted seperti kita atau paranormal seperti dukun yang mencari kekuatan melalui perantara penguasa di dimensi ini, kedua adalah manusia tersesat yang biasanya manusia-manusia yang tidak sengaja menemukan portal dan masuk kedalam dimensi ini, dan yang terakhir adalah manusia tercela yang derajatnya lebih rendah daripada jin-jin disini," jelas Luna.
"Oh, aku mengerti sekarang."
Langkah Luna terhenti dan menatap Naura tajam, "Oh iya satu hal lagi sebelum kita melanjutkan perjalanan kita, tidak seperti di dimensi manusia disini kekuatan kita akan terlihat jelas oleh semuanya, jadi berhati-hatilah untuk mengeluarkan kekuatanmu," terang Luna.
"Ba-baik Luna," jawab Naura.
Luna kembali berjalan menaiki deretan tangga dengan Naura yang menyusulnya, mereka sampai di sebuah gedung stasiun tua dengan gaya arsitektur kolonial belanda, Luna pergi kekasir untuk mendapatkan tiket sementara Naura menunggu di sebuah bangku panjang dipinggir peron stasiun.
Sepanjang menunggu Naura banyak melihat noni-noni belanda dan beberapa menir-menir belanda berlalu lalang, ia seakan-akan kembali ke zaman kolonial.
"Hei jangan melamun," seru Luna membuyarkan lamunan Naura.
"I-iya maaf," jawab Naura.
"Kereta kita lima belas menit lagi akan datang jadi kita akan menunggu disini," jelas Luna.
"Luna boleh aku bertanya lagi?"
"Tanya apa?"
"Mengapa disini banyak sekali arwah orang-orang belanda?"
"Oh … mereka adalah arwah-arwah yang telah menyelesaikan urusannya di dimensi batas," jelas Luna.
"Maksudnya?"
"Seperti yang kamu tahu dimensi diantara dimensi manusia dan dimensi kedua adalah dimensi batas, arwah-arwah yang telah menyelesaikan urusannya di dimensi batas akan menuju dimensi ini," jelas Luna kembali.
"Oh … maksud kamu qarin!"
"Iya, dalam perspektif agama kamu seperti itu," sambung Luna.
"Jadi qarin para penjajah terdahulu menuju kesini menunggu sampai akhir dunia, jadi itu alasan kota ini bernama kota Batavia," seru Naura.
"Iya Ra, Batavia juga dibagi menjadi lima distrik dan distrik pusat yang sekarang kita duduki adalah distrik milik kolonial belanda itu mengapa banyak arwah orang-orang belanda disini," jelas luna
"Oh … begitu, aku jadi heran deh sebenarnya ada berapa dimensi sih di alam ini? Apakah ada tujuh seperti lapisan langit?" tanya Naura kembali.
"Untuk itu aku tidak tahu menahu Ra, kadang mengetahui yang seharusnya tidak diketahui adalah kutukan."
"Maksud kamu?"
"Ya seperti sekarang, kita manusia tidak seharusnya berada disini, tidak seharusnya melihat para jin dan arwah ini, tidak seharusnya memiliki kekuatan diluar nalar seperti ini, mungkin beberapa menganggap ini adalah anugerah namun beberapa yang lainnya tidak berfikir demikian," seru Luna sambil menundukkan kepalanya.
"Aku mengerti yang kamu rasakan Luna," seru Naura sambil menggenggam tangan Luna sambil tersenyum simpul.
-Ting-
-Tong-
-Ting-
-Tong-
"Itu kereta kita! Bersiaplah Ra," pungkas Luna.
"Baik, kita mau kemana dengan kereta uap ini?" tanya Naura.
"Menuju perbatasan Batavia yang menuju Pujakerana dan dari sanalah kita akan mulai mencari keberadaan Surya," jelas Luna.
Bersambung..
Suasana sepi menyeruak sepanjang jalan, kabut tipis menemani tiap langkah kuda-kuda hitam yang menarik gerobak upeti, tiba-tiba langkah mereka terhenti tatkala melihat jalan didepan terhalang sebuah batang pohon besar nan rindang.
Para prajurit kerajaan Pujakerana yang mengawal rombongan itu segera berjalan kearah depan untuk memeriksa dan membersihkan jalur mereka dari pohon besar tersebut, namun belum sampai ketujuan kaki mereka terikat dan tertarik jebakan yang membuat tubuh mereka terangkat dan terjebak dalam sebuah jaring besar.
-Shuut-
-Shuut-
-Shuut-
Tembakan panah pembius bertubi-tubi terlontar dari semak-semak membuat para prajurit pujakerana langsung tak sadarkan diri dibuatnya. Sang kusir berkumis putih diatas gerobak segera turun dari kursinya dan hendak kabur, namun...
-Bruak-
Sang kusir tua menabrak sebuah tubuh besar pemilik dada bidang dengan bulu-bulu berwarna merah disekujur tubuhnya, ia terjatuh dibuatnya dan merangkak untuk pergi berlawanan arah namun ia segera dikepung oleh para jin kera yang keluar dari semak-semak.
"To-tolong Am-ampuni saya, saya hanya disuruh untuk mengantarkan upeti ini," sembah sang kusir tua kepada para jin kera tersebut.
"Pergilah orang tua dan sampaikan kepada Gundara kami para prajurit pembebas Pujakerana mengambil upeti miliknya dan akan di kembalikan lagi kepada rakyat yang lebih membutuhkan," ujar jin kera merah tersebut dengan bijak.
"Te-terima kasih tuan kera," seru sang kusir tua yang langsung berlari tunggang langgang meninggalkan tempat itu.
"Kalian turunkan para prajurit dan bawa mereka ketempat persembunyian," perintah Jin kera berbulu merah tersebut.
"Baik jendral!!" seru para prajurit pembebasan bersamaan.
Salah satu prajurit mendekat kehadapan sang kera merah, "jendral Arga maafkan saya lancang untuk bertanya, apa tidak apa-apa melepas kusir tadi?" tanya sang prajurit.
"Biarkanlah dia, jika kita membunuh kusir tadi kita sama saja seperti Gundara," seru sang jendral, Arga mengelus puncak kepala sang bawahan sembari tersenyum simpul.
Selesai mengikat para tahanan jendral Arga dan para prajuritnya bersiap untuk kembali ketempat persembunyian, mereka berjalan dan terus berjalan semakin dalam di hutan belantara itu. Hutan belantara yang disebut dengan nama hutan angkora, hutan yang beberapa tahun ini dijadikan basis markas para prajurit pembebasan pujakerana. Rindangnya pepohonan didalam hutan angkora dan geografi tanah yang sulit dilewati menjadi keuntungan untuk pasukan gerilya pembebas pujakerana.
Setelah hampir setengah jam berjalan sang jendral dan anak buahnya sampai disebuah air terjun besar, sang jendral memberi aba-aba pada prajurit diatas air terjun dan seketika deras air terjun terbelah memperlihatkan jalan masuk kedalam sebuah goa, mereka masuk sambil membopong upeti dan beberapa tawanan kedalam goa tersebut.
"Bawa para prajurit ini kedalam sel pemulihan," seru Arga ke salah satu penjaga.
"Baik jendral, laksanakan!"
Salah satu penjaga goa mendekati Arga dan memberi hormat pada sang jendral, "lapor jendral, kami telah menginterogasi genderuwo hitam itu dan …"
Arga menaikkan kedua alis matanya dan bertanya, "dan apa?"
"Dia mengatakan bahwa dia bukan budak manusia tersebut melainkan temannya," jelas sang penjaga.
"Teman? Manusia dan genderuwo itu berteman!?" seru Arga kaget.
"Oh iya jendral satu lagi yang harus saya beritahukan kepada jendral," pungkas sang penjaga sambil menoleh kekanan kekiri .
"Apa lagi?"
Sang penjaga membisikkan sesuatu di kuping Arga yang langsung membuat Arga mendelik tak percaya, "benarkah kenyataan yang kau bisikkan itu?" tanya Arga memastikan.
"Tentu saja tuan, mana berani saya berbohong," timpal sang penjaga. Arga terdiam sesaat mencoba menelaah kata-kata sang penjaga kepada dirinya, "aku akan keruang tahanan, kau bisa pergi sekarang" pungkas Arga pada sang penjaga.
Tak beberapa lama diruang tahanan.
"Hei bangun manusia!!" seru salah satu penjaga sel dari balik jeruji penjara.
-Splash-
Wajah sang manusia basah terkena siraman air sedingin es dengan kedua tangan terikat dibelakang pinggangnya, perlahan ia membuka kedua kelopak mata dengan setengah sadar ia menatap sekeliling dan mendapati seekor jin kera merah tengah duduk dihadapannya sambil menatap tajam.
"Urgh … dimana aku?" gumam Senja pelan.
"Lihat sekelilingmu, kau sedang berada diruang tahanan, sekarang jawab pertanyaanku, siapa kau? Dan apa yang akan kau lakukan di Pujakerana?" tanya Arga.
Senja terdiam sesaat kemudian menatap lawan bicaranya, "aku akan menjawab pertanyaanmu setelah aku mengetahui keadaan Raka?" tanya Senja.
"Oh genderuwo temanmu itu, kau bisa tenang karena dia baik-baik saja, ruangannya berbeda denganmu karena tubuhnya yang besar tidak muat di sel ini," jelas Arga, "sekarang aku mohon jawab pertanyaanku," sambung Arga.
"Fiuh … syukurlah, baik … aku akan menjawab pertanyaanmu, namaku Senja dan aku disini untuk menyelamatkan teman-temanku yang telah diculik oleh kera putih," jelas Senja.
"Hmm … Sangat jarang aku mendapati seorang manusia berkeliaran di dimensi ini, terlebih lagi manusia itu peduli dengan bangsa jin seperti kami," seru Arga, "biasanya manusia datang kesini untuk menculik dan menjadikan jin sebagai budak mereka di dimensi manusia, beberapa datang untuk membentuk aliansi dengan para penguasa di dimensi ini sebagai pengumpul jiwa-jiwa tercela," seru Arga kembali kala itu.
"Jadi … apa kau bisa membuka ikatan ini?" tanya Senja.
"Belum, ada tes terakhir untukmu."
"Tes? Apa maksudmu dengan tes?"
"Aku mendapatkan berita bahwa kau adalah sang naga hitam yang tersohor," tanya Arga menatap tajam kearah wajah Senja.
Senja mendesal nafas panjang lalu terdiam.
"Jadi … kau memilih untuk diam setelah mengetahui itu … baiklah, penjaga! Giring tuan Senja ini sekarang ke ruang latihan prajurit," perintah Arga.
"Siap jendral," seru penjaga.
"Disana kita akan lihat siapa kau sebenarnya," seru Arga sambil berdiri memunggungi Senja.
Sementara di tempat lain.
Sepasang gadis remaja dengan jaket panjang berhoodie menutupi puncak kepala sedang berjalan di pinggir jalan raya, Naura dan Luna tengah berjalan di tengah kota Batavia berdesakan dengan para arwah dan jin-jin yang berlalu lalang disekitar mereka. Luna dengan mantap memimpin jalan sementara Naura hanya bisa mengekor dibelakangnya.
"Luna apa masih jauh?" tanya Naura.
"Sedikit lagi kita sampai, apa kau mulai kecapaian?"
"Tidak, aku hanya tidak nyaman berada disekitar jin sebanyak ini, terlebih lagi mereka seakan melihat kita dengan tatapan curiga," ujar Naura.
"Di dalam dimensi ini manusia sangat langka untuk berjalan diantara para jin, kalau kita tidak memakai emblem Other ini kita sudah di cap sebagai manusia tercela bagi mereka," terang Luna.
"Manusia tercela?" tanya Naura heran.
"Manusia-manusia yang digunakan sebagai tumbal atau terikat kontrak dengan para penguasa disini, mereka yang derajatnya lebih rendah daripada jin-jin di dimensi ini," seru Luna.
"Maksud kamu seperti budak?"
"Iya, budak bagi para jin penguasa disini, gamblangnya seperti itu, ada beberapa tipe manusia yang berada di dimensi ini Ra, pertama adalah gifted seperti kita atau paranormal seperti dukun yang mencari kekuatan melalui perantara penguasa di dimensi ini, kedua adalah manusia tersesat yang biasanya manusia-manusia yang tidak sengaja menemukan portal dan masuk kedalam dimensi ini, dan yang terakhir adalah manusia tercela yang derajatnya lebih rendah daripada jin-jin disini," jelas Luna.
"Oh, aku mengerti sekarang."
Langkah Luna terhenti dan menatap Naura tajam, "Oh iya satu hal lagi sebelum kita melanjutkan perjalanan kita, tidak seperti di dimensi manusia disini kekuatan kita akan terlihat jelas oleh semuanya, jadi berhati-hatilah untuk mengeluarkan kekuatanmu," terang Luna.
"Ba-baik Luna," jawab Naura.
Luna kembali berjalan menaiki deretan tangga dengan Naura yang menyusulnya, mereka sampai di sebuah gedung stasiun tua dengan gaya arsitektur kolonial belanda, Luna pergi kekasir untuk mendapatkan tiket sementara Naura menunggu di sebuah bangku panjang dipinggir peron stasiun.
Sepanjang menunggu Naura banyak melihat noni-noni belanda dan beberapa menir-menir belanda berlalu lalang, ia seakan-akan kembali ke zaman kolonial.
"Hei jangan melamun," seru Luna membuyarkan lamunan Naura.
"I-iya maaf," jawab Naura.
"Kereta kita lima belas menit lagi akan datang jadi kita akan menunggu disini," jelas Luna.
"Luna boleh aku bertanya lagi?"
"Tanya apa?"
"Mengapa disini banyak sekali arwah orang-orang belanda?"
"Oh … mereka adalah arwah-arwah yang telah menyelesaikan urusannya di dimensi batas," jelas Luna.
"Maksudnya?"
"Seperti yang kamu tahu dimensi diantara dimensi manusia dan dimensi kedua adalah dimensi batas, arwah-arwah yang telah menyelesaikan urusannya di dimensi batas akan menuju dimensi ini," jelas Luna kembali.
"Oh … maksud kamu qarin!"
"Iya, dalam perspektif agama kamu seperti itu," sambung Luna.
"Jadi qarin para penjajah terdahulu menuju kesini menunggu sampai akhir dunia, jadi itu alasan kota ini bernama kota Batavia," seru Naura.
"Iya Ra, Batavia juga dibagi menjadi lima distrik dan distrik pusat yang sekarang kita duduki adalah distrik milik kolonial belanda itu mengapa banyak arwah orang-orang belanda disini," jelas luna
"Oh … begitu, aku jadi heran deh sebenarnya ada berapa dimensi sih di alam ini? Apakah ada tujuh seperti lapisan langit?" tanya Naura kembali.
"Untuk itu aku tidak tahu menahu Ra, kadang mengetahui yang seharusnya tidak diketahui adalah kutukan."
"Maksud kamu?"
"Ya seperti sekarang, kita manusia tidak seharusnya berada disini, tidak seharusnya melihat para jin dan arwah ini, tidak seharusnya memiliki kekuatan diluar nalar seperti ini, mungkin beberapa menganggap ini adalah anugerah namun beberapa yang lainnya tidak berfikir demikian," seru Luna sambil menundukkan kepalanya.
"Aku mengerti yang kamu rasakan Luna," seru Naura sambil menggenggam tangan Luna sambil tersenyum simpul.
-Ting-
-Tong-
-Ting-
-Tong-
"Itu kereta kita! Bersiaplah Ra," pungkas Luna.
"Baik, kita mau kemana dengan kereta uap ini?" tanya Naura.
"Menuju perbatasan Batavia yang menuju Pujakerana dan dari sanalah kita akan mulai mencari keberadaan Surya," jelas Luna.
Bersambung..
simounlebon dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Kutip
Balas