Aku tergopoh-gopoh memasuki kereta. Menghitung dari depan, mencari-cari kursi nomor 14A di kereta ekonomi empat. Sudah ada seorang ibu dan anak perempuannya duduk di depan kursiku, kursi 13A dan 13B. Di kursi 14B sudah ada seorang pria yang lebih tua dariku. Aku lantas menaruh tas di atas, kemudian duduk. Kursi di dekat jendela memang sudah menjadi favoritku saat naik kereta. Tak berapa lama, kereta berangkat.



"Mau turun di mana, Mas?" Tanya ibu itu.

"Kiaracondong, Bu." Jawabku sekenanya sembari tersenyum. Aku kemudian kembali melihat ke arah telepon selulerku yang sedari tadi kugenggam. Sesekali aku melihat ke luar jendela saat menunggu balasan pesan dari seseorang.



Sebuah pesan masuk. Kali ini berupa foto. Masih dari seseorang yang kuharapkan. Aku tersenyum.
"Gimana dekornya? Berlebihan nggak? Haha." Begitu isi pesannya.

Aku membalasnya, "Enggak ah. Bagus."

Aku mengetik lagi, "Aku ada tebakan. Apa bedanya kamu dengan bangun jam sembilan?" Aku menekan tombol kirim lagi.

Kali ini balasan masuk dengan cepat. "Apaan? Nggak tau."

"Kalau bangun jam sembilan itu namanya kesiangan. Kalau kamu namanya kesayangan." Aku menekan tombol kirim.

"Wahahaha." Balasnya.

Kereta berhenti di Stasiun Kutoarjo cukup lama. Aku sempat pergi ke luar kereta dan menuju ke ruang PPKA untuk memberikan oleh-oleh pada seseorang yang kuketahui dari Twitter.

"Aduh, gimana ini teh?" Ia mengirimkankan pesan lagi.

"Apanya yang gimana?" Aku balik bertanya.

"Enggak tau nih, campur aduk. Hahaha."

"Banyakin baca Al Fatihah dan Salawat." Balasku yang hanya dijawab sebuah emoji.

Telepon seluler kembali sepi. Aku asyik melihat ke luar jendela. Sawah-sawah, rumah-rumah di pedesaan, dan perbukitan Menoreh menjadi latar. Aku mengambil charger dari dalam tas berwarna hitam yang sudah jebol bagian atasnya itu. Memasangnya ke telepon dan memasukkan kepala charger pada soket yang tersedia di bawah meja kecil di depan kursi kereta. AC kereta tidak terlalu dingin.

Aku mengambil kembali telepon selulerku, tidak ada pesan masuk. Aku memilih untuk membuka aplikasi Youtube. Memilih video yang akan diputar. Pilihan berhenti pada video klip milik sebuah band beraliran jazz, Maliq & D'Essential berjudul Bagaimana Kutahu. Agar dapat dinikmati sewaktu-waktu, aku memilih untuk mengunduh video tersebut. Kembali aku terhenyak dengan pemandangan di luar sana. Langit tampak berawan kelabu. Mendung. Namun tak ada tanda-tanda akan hujan.

"Aku deg-degan. Hahaha." Sebuah pesan masuk dari orang yang sama.

Aku tahu, kata "hahaha" hanyalah klise karena sesungguhnya ia pasti sedang tidak keruan hati dan pikirannya. Aku menghela napas sebentar, tersenyum, lalu membalas pesan itu.

"Aku juga deg-degan."

Entah kenapa aku malah membalasnya begitu. Meski nyatanya memang begitu yang aku rasakan saat ini.

"Lebay. Hahaha. Kalau nggak deg-degan, mati dong." Balasnya.

"Krik.. krik.." Aku membalasnya sembari sedikit menggodanya.

"Aku ada tebakan lagi. Setelah Rabu itu hari apa?"

"Kamis?"

"Kalau ditambah 'you'?"

Ia baru membalas setelah beberapa menit kemudian."Aku sudah mau lamaran sama orang. Kalau mau temenan, temenan biasa aja. Jangan mancing-mancing."



Perjalanan ke Bandung memang tidak akan pernah menjadi perjalanan yang biasa-biasa saja bagiku. Karena di Bandung, adalah kota yang pas untuk jatuh cinta, dan patah hati. Dan perjalanan ini akan terasa sangat panjang.

Perlahan sebuah lagu terputar dari ponsel pintarku. Aku mendengarkan dengan seksama setiap alunan musik dan liriknya.