- Beranda
- Stories from the Heart
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)
...
TS
ayahnyabinbun
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)

Assalamualaikum semua.
Ini hanya goresan tinta imajinasi seorang lelaki tua yang telat menemukan hasratnya dalam hal menulis.
No Junk.
No Spam.
Pokoknya ikuti Rules dari Kaskus ya.
Cerita ini murni Fiksi, jadi kalau ada kesamaan nama tokoh dan tempat mohon di maklumi.
Terakhir.
Selamat menikmati bacaan ringan ini.
Spoiler for Prolog:
-Jakarta-
UGD RS di jakarta.
"Bagaimana istri saya sus!? " tanya seorang pria kepada suster yang baru saja keluar dari ruang UGD.
"Maaf pak masih kritis saya tidak bisa memberitahu lebih rinci kondisi istri bapak, itu wewenang dokter," jawab suster cepat kemudian dia berlalu meninggalkan lelaki itu.
Lelaki itu pun bersandar di tembok rumah sakit, raut mukanya terlihat lemas dan pucat kedua tangannya gemetar tatkala menutup wajahnya.
"Maafkan aku Naura, hiks, maafkan aku, " gumam lelaki itu sambil terisak menangis tersedu-sedu.
Seberkas cahaya membentuk sosok manusia berjongkok di depan lelaki itu, "jangan menangis sayang, ini memang sudah waktuku, jaga anak kita ya, dia ganteng seperti kamu, cup. " seru sesosok cahaya tersebut sambil mencium kening sang lelaki, dan cahaya itu pun berlalu bersama sesosok laki-laki berjubah putih yang menemaninya.
Lelaki itu mengangguk lesu sambil tersenyum tipis, melihat ruh istrinya menghilang menuju ufuk matahari dikala senja.
"Krieeek" suara pintu UGD terbuka, keluar seorang dokter dan beberapa suster menggendong seorang bayi.
"Pak Bagas, bayi bapak kami bersihkan dulu di ruang bayi ya pak, dokter ingin bicara dengan bapak," jawab suster dengan lemah lembut ke lelaki itu.
Lelaki itu pun berdiri, berjalan pelan menuju dokter yang menundukkan kepala di depan lelaki itu, gurat penyesalan terlihat dari wajah sang dokter.
"Sudah tidak apa-apa dok, saya sudah tahu, sehebat apapun anda tidak bisa melawan takdir, " jawab lelaki itu sambil menepuk pundak sang dokter.
"Ba-bagaimana bapak bisa tahu!? " jawab dokter dengan rona kebingungan.
Lelaki itu kemudian berlalu menuju ruangan bayi, langkah demi langkah terasa berat, tangisan tak terbendung dari kedua matanya, lelaki itu memukul-mukul dadanya agar menyisakan kelegaan saat ia bernafas.
"OOOEeeeK...OOOEEEEK...OOOEEEK," seketika tangis bayi memecah kesunyian lorong rumah sakit, lelaki itu mempercepat langkah demi langkahnya, terlihat seorang bayi sedang di gendong suster, menangis dengan kencangnya.
"Silakan pak di gendong anaknya, sudah saya bersihkan dedek bayinya," jawab suster ke lelaki itu.
Sang lelaki menerima si bayi dari tangan suster, menggendong dengan penuh kehati-hatian, sang bayi yang tadi menangis kencang seketika terdiam di pelukan lembut sang ayah.
"Mau di beri nama siapa pak bayinya?" tanya suster.
"Surya, Surya dikala senja. " jawab bapak Bagas lirih.
Spoiler for Chapter 1 : sang Surya:
Jakarta, 2018.
"TENG!! TENG!! TENG!!" bunyi bel terdengar hingga ujung jalan setapak depan sebuah sekolah, segerombolan anak tunggang langgang berlarian menuju gerbang sekolah tersebut.
Pak Kusni penjaga sekolah, merangkap satpam, merangkap manusia terlihat mendorong gerbang dengan kepayahan, faktor usia seperti menggerogoti tenaganya yang dulu seperti kuda jantan, nafasnya terdengar mengebu-gebu seperti pemain film erotis tahun 80an, padahal gerbang sekolahnya hanya ada satu, bayangkan bila sekolah ini memiliki 7 gerbang layaknya pintu neraka, mungkin senin beliau sudah di kebumikan.
Dari ufuk timur terdengar suara dengan lantang.
"HEI KUSNI!!! HENTIKAN!!! GUA MASIH MAU SEKOLAH KUSNI!!!"
Remaja itu berlari bersama gerombolan murid yang telat bagai babi hutan.
Pak Kusni yang sedang mendorong gerbang terdiam sesaat, lalu melihat asal suara tersebut, matanya melotot melihat remaja tersebut berlari seperti maling BH yang dikejar warga, dengan sisa tenaga tuanya di dorong gerbang itu dengan tergesa-gesa,
"bocah sialan itu tak boleh masuk..! TIDAK BOLEH MASUK..! YOU SHALL NOT PASS..!" gumam lelaki tua itu sambil mengutip kata-kata Gandalf Lord Of The Ring.
"SIALAN KAU KUSNI! GUA TIDAK AKAN KALAH DENGAN TUA BANGKA MACAM KAU KUSNI!!" teriak lagi remaja itu dengan lantang, langkah kakinya semakin kencang ia sampai lupa resleting celananya masih menganga memberikan sensasi cooling breeze di sekujur pangkal pahanya.
Mendengar itu Kusni geram, ia semakin menggebu-gebu mendorong gerbang, akan tetapi, "KREEK!!" suara tulang bergeser bersua, teriakan tertahan mengema di kalbu Kusni.
"AAARRRGGHH!! AMPUN GUSTI!! PINGGANGKU!!" sakit encok strata tiga Kusni kambuh, tubuh kusni tertahan gerbang, tanpa adanya gerbang mungkin tubuh Kusni akan tersungkur ke tanah, ada hubungan simbiosis mutualisme yang ironis antara Kusni dan gerbang.
"Pagi beh, kambuh?! AHAAY!" ejek remaja itu ke pak Kusni sambil berlenggang menuju kelas.
Sakit, malu, vertigo menjadi satu, itulah yang di rasakan Kusni sekarang, melihat murid itu berlalu membuat matanya berkaca-kaca seutas kata terucap dari bibir Kusni.
"Dasar bocah KAMPRET!!" Kusni tertahan mematung sambil menggenggam gerbang sekolah yang masih seperempat terbuka.
Kelas 2-A sudah di penuhi manusia-manusia unggulan, datang setiap pagi untuk mencari ilmu, bersiap-siap menatap masa depan dengan penuh harapan cemerlang, di belakang dua insan lelaki saling bercakap.
"Cok, film bokep yang kemaren elu kirim crash, kirim lagi dong bro," celoteh Bambang ke Ucok di baris belakang.
"BAH!! Handphone kau saza yang zadul Bams, buktinya zalan-zalan zaja tuh di hp ku, makanya beli hape zangan di pasar malam lai," jawab Ucok dengan logat medannya yang kental, sungguh percakapan yang menginspirasi kaum muda mudi INDONESIA.
"Eh eh eh, guru guru guru!" riuh anak-anak kelas 2-a, sesosok lelaki tinggi, atletis nan tampan terlihat di depan pintu, kemudian berlalu, berganti menjadi lelaki pendek, tambun dengan kepala botak di tengah layaknya lapangan bola, sekilas adegan tadi seperti iklan L-men yang gagal.
Pak Hartono masuk ke dalam kelas, melihat sekeliling kelas sambil menyapa.
"Pagi anak-anak!!", sapa pak Hartono.
"PAGI PAK GURUUU!!" Jawab murid-murid dengan serentak dan kompak.
Tiba-tiba seorang anak berdiri di depan pintu kelas, wajahnya terlihat kecapaian dan pucat.
"Yaaah! Telat!" ujar anak itu, pak Hartono menelisik dengan teliti anak yang terlambat itu, kemudian berujar "hei kamu! Berani kamu telat di jam saya! Kesini kamu!" perintah pak Hartono dengan galaknya, anak itu pun maju dengan perlahan, kepalanya menunduk malu tidak bisa menatap pak Hartono, "Push up 25 kali! Jikalau tidak sanggup silakan keluar kelas saya!!" ujar pak Hartono dengan tegas, ketika anak itu mengambil ancang-ancang untuk melakukan push up, sesosok mahkluk mengintip dari balik jendela di barisan pojok kanan belakang, matanya nanar namun tajam melihat situasi kelas.
"oke situasi aman," ujarnya dengan percaya diri, dengan mode silent ia menyelundupkan tasnya dari balik jendela menuju bangku belajar, lalu ia merangsek masuk dari celah jendela, bak ular kadut dengan licinnya ia masuk melewati celah lumayan sempit itu, setengah badannya sudah masuk ke dalam ruang kelas, tangan kirinya menyentuh meja kemudian ia mendorong sisa tubuhnya melalui tembok menggunakan tangan kanan, dengan sangat cepat dan tanpa satu makhluk pun mengetahui ia sudah masuk ke dalam kelas, dengan posisi menungging di atas meja, misi pun berhasil, ia turun dari meja kemudian menikmati pemandangan Budi yang sedang push up.
"Budi, terima kasih ya, tanpa elu sebagai pengalih perhatian gua ngak bisa sampai di dalam kelas, Budi, kamu, numero uno," gumam pria itu di dalam hati.
Iya, pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Surya, anak dari bapak Bagas prakasa yang kalian liat kisah pilunya di prolog, anak ini tumbuh besar menjadi sosok lelaki tampan, pintar dan soleh, itu hanya menurut penuturan bapaknya sendiri.
Push up Budi sudah berada di angka 23 kali, keringat bercucuran dari kening sampai badan Budi, bahkan sampai muncul bercak basah di daerah selangkangannya, pergelangan tangannya mulai goyah, lututnya bergetar 4,5 skala richter, tubuh yang di rancang untuk main warnet seharian itu tidak mampu menerima push up lebih dari 20 kali.
"Pak, sudah ya pak, saya sudah tidak sanggup," nego Budi ke pak Hartono.
Pak Hartono sedikit terenyuh melihat Budi yang kecapaian, "aduh, kasihan kamu nak, ya sudah … tambah lima lagi push upnya, biar genap jadi 30," tutur pak Hartono dengan melepas topeng kesedihannya, mata Budi nanar namun kosong menatap lantai, terlihat raut penyesalan teramat sangat dari wajah Budi.
Pak Hartono mulai menuju meja ia mengambil daftar absensi lalu mulai mengabsen satu per satu muridnya, dimulai dari Ani, Deni dan seterusnya, murid-murid saling bersahutan saat nama mereka disebut pak Hartono, ketika mulut pak Hartono menyebut nama Surya, "HADIR PAK..!" sahut seseorang pemuda dari belakang dengan lantang.
Seisi kelas kaget, terperanga sambil menganga melihat Surya sudah di dalam kelas, pertanyaan dan praduga berkecamuk di hati mereka.
"Bagaimana ia bisa masuk!?"
"Sejak kapan ia ada di kelas?!"
"Kenapa aku ada di kelas ini!!" gumam Ari yang seharusnya masuk kelas 2-d.
semua perhatian itu berbanding terbalik dengan kondisi Budi yang tanpa perhatian satupun dari teman-temannya.
"Sakit, banget, tapi tak berdarah, sungguh biadab temen-temen gua, kata mereka kita teman sejati, selalu di hati, HILIH KINTHIL!!" ujar Budi di dalam hati kesal dengan teman-temannya.
Pelajaran berjalan setelah sesi absensi, pak Hartono mulai menjelaskan di depan kelas, suasana hening terasa, murid-murid mulai mendengarkan dengan seksama, kecuali Surya yang sedang terlelap di mejanya, posisinya yang berada paling belakang dan di tutupi Bambang yang jangkung dan Ucok yang bulat menjadikan tempat duduknya seperti vila di puncak, tempat paling nyaman untuk beristirahat.
"TOK TOK TOK TOK" bunyi ketukan pintu memecah keheningan kelas, pak Zul sang kepala sekolah sedang berdiri dengan seorang gadis cantik nan manis di sebelahnya, "pagi pak, maaf ganggu kelasnya, ini ada murid baru kelas 2-a," ujar pak Zul, "oh iya pak, silakan neng masuk, perkenalkan diri dulu sama teman yang lain," jawab pak Hartono sambil mempersilakan gadis itu masuk.
Sesosok gadis manis memakai hijab putih berjalan perlahan menuju depan kelas, wajah manisnya terlihat malu-malu ketika bertatap muka dengan murid-murid kelas 2-A, "pagi semua, nama aku Naura kelana subhi, panggil saja Naura," jawab Naura sambil tersenyum simpul memperlihatkan lesung pipinya, seketika itu juga rentetan panah asmara menusuk hati para lelaki di kelas 2-A, kecuali Surya yang sedang berkelana di pulau kapuk dan para murid perempuan yang menunjukkan ekspresi tersaingi secara jasmani dan rohani.
"kamu duduk di belakang ya nak Naura, soalnya bangku yang kosong cuman ada di sebelah sana, " ujar pak Hartono sambil menunjuk bangku disebelah Surya.
Naura pun berjalan menuju bangkunya, diiringi tatapan nakal murid laki-laki di kelas itu, ia kemudian duduk sambil mulai mengeluarkan peralatan belajarnya.
Bambang dan Ucok yang duduk di depan Naura pun sontak membalikkan badan untuk berkenalan.
"Hai Naura, namanya cantik secantik orangnya," puji Bambang dengan gaya sok coolnya.
"hei Naura, cantik kali kau, nanti pulang ku antar pakai motor ninja ku mau tak?" goda Ucok sambil menyisir jambul khatulistiwa miliknya.
Melihat gelagat kedua lelaki di depannya naura langsung ilfeel stadium akhir, didalam hatinya ia berteriak "TIDAAAAAAK..!" akan tetapi Naura hanya membalas dengan senyum malu tapi palsu ke kedua orang utan itu.
"ikh amit-amit jabang bayi, masa hari pertama di sekolah baru gua udah di godain cowok alay macem keset kayak gini, Ya tuhan salah apa hambamu ini, " ketus Naura di dalam hati.
"Jangan di anggap serius, mereka cuman bercanda."
"DEG...!!"
Rona wajah Naura terlihat terkejut, sebuah telepati terkirim langsung menuju fikirannya, ia mencari sumber telepati itu, dan matanya tertuju pada punggung lelaki teman sebangkunya, Surya.
Spoiler for Index:
PART 1
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
PART 2
CHAPTER 2.1
CHAPTER 2.2
CHAPTER 2.3
CHAPTER 2.4
CHAPTER 2.5
CHAPTER 2.6
CHAPTER 2.7
CHAPTER 2.8
CHAPTER 2.9
CHAPTER 2.10
CHAPTER 2.11
CHAPTER 2.12
CHAPTER 2.13
CHAPTER 2.14
CHAPTER 2.15
CHAPTER 2.16
CHAPTER 2.17
CHAPTER 2.18
CHAPTER 2.19
CHAPTER 2.20
CHAPTER 2.21
CHAPTER 2.22
CHAPTER 2.23
CHAPTER 2.24
CHAPTER 2.25
CHAPTER 2.26
CHAPTER 2.27
CHAPTER 2.28
CHAPTER 2.29
Diubah oleh ayahnyabinbun 29-05-2022 00:42
namakuve dan 116 lainnya memberi reputasi
115
161.2K
Kutip
916
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•1Anggota
Tampilkan semua post
TS
ayahnyabinbun
#237
Chapter 2.2
Spoiler for Berangkat:
"Tolong … ja-jangan bunuh saya … sa-saya mohon," rintih seorang gadis belia diatas sebuah altar sesembahan berornamen tengkorak dan tulang belulang ditiap sisinya, disebelahnya tengah berdiri Evelin dengan mata sebelah kiri yang berpenutup bagai seorang bajak laut namun masih memperlihatkan kecantikan yang hakiki sangat berbanding terbalik dengan aura gelap nan kelam yang menyeruak dari sekitar tubuhnya.
"Sshhh … tenanglah nak, ini tidak akan sakit," serunya lirih kepada sang gadis yang tangan dan kakinya terikat diatas altar tersebut.
"Am-ampuni saya … saya akan melakukan apapun yang anda minta tapi tolong jangan bunuh say … HURgghgghhh!!"
Belum sempat sang gadis bersua sebuah belati telah menyayat leher gadis tersebut dengan pelan membuat darah segar bercucuran dari tungkai leher hingga jatuh kelantai, seketika energi jiwa sang gadis yang hendak keluar dari raga seakan meresap kedalam tubuh Evelin.
"Hmmm … tumbal kali ini begitu segar, aku merasa lebih muda tiga tahun, Kyahahahahaha," seru Evelin sendiri dengan tawanya yang mengerikan membuat siapa saja yang mendengarkan terjerembab dalam ketakutan.
Perlahan dari pintu depan datang salah satu anak buah Evelin dengan berjalan sedikit menunduk, "Permisi ratu, hamba ingin melaporkan sesuatu," serunya dengan sedikit gemetar.
"Ada apa?" tanya Evelin tanpa menatap bawahannya tersebut.
"Mata-mata kita yang berada di dimensi kedua telah mendapati Surya ditemani seekor genderuwo sedang menuju Pujakerana," seru sang anak buah.
"Hmm … itu berarti Surya telah termakan jebakan kita mentah-mentah, semua telah berjalan sesuai dengan rencanaku, hhmhahahahahaHAHAHAHA."
"Ta-tapi ratu, maaf bila hamba lancang, apa tidak apa-apa bagi Gundara menghadapi Surya seperti itu, Jagal saja dihabisinya dengan sangat mudah," seru sang bawahan.
Evelin menatap nanar sang anak buah dengan tatapan merendahkan, "Gundara adalah mata kananku, dia telah membuktikan kekuatannya dengan menguasai Pujakerana sendirian, apa kau kira Surya yang hanya manusia biasa bisa seorang diri mengalahkan satu kerajaan kera?!" tanya Evelin pada sang anak buah tersebut.
"Ma-maafkan hamba ratu, hamba salah, hamba permisi."
Sedangkan dilain tempat..
-Ting-
Pintu lift terbuka secara perlahan, sepasang gadis tengah berdiri didalam bilik lift tersebut, satu mengenakan setelan jas hitam selaras dengan kacamata hitam miliknya yang ia kenakan sedangkan gadis satunya memakai jaket biru muda dengan hijab putih menutupi puncak kepalanya, mereka berdua berjalan bersamaan keluar dari bilik lift ditemani tatapan-tatapan kagum dari para manusia dilobi markas Other yang melihat kearah mereka.
"Luna mengapa ramai sekali disini? Bukankah terakhir kita kesini tidak seramai ini?" tanya Naura yang keheranan dengan pemandangan di depannya. Dilobi banyak berlalu lalang pemuda pemudi yang sekilas menatap Naura dan Luna yang keluar dari bilik lift, tatapan terpesona banyak tersirat dari para laki-laki tatkala menatap kedua gadis itu, pandangan mereka seakan teralihkan dengan paras manis nan cantik gadis berhijab yang baru saja keluar dari lift.
"Kami para agen Other lebih banyak bertugas dimalam hari sedangkan waktu pagi hari seperti ini kami gunakan untuk beristirahat dimarkas," terang Luna menjelaskan.
"Oh pantas saja banyak yang lalu lalang seperti sekarang, tapi kenapa tatapan mereka seperti itu ya sama kita?" tanya Naura dengan tatapan risih.
"Hmfh … biasalah, efek terlalu lama sendirian dibawah tanah, para lelaki disini jadi jelalatan tiap ada yang bening lewat," geram Luna menatap malas kelakuan para pemuda dilobi.
Dari arah depan datang dengan tergesa-gesa kearah mereka seorang pemuda dengan tubuh tinggi tegap menatap Luna dengan tatapan tajam, "Luna darimana saja kamu? Dimana Devi? Dan kenapa kamu bawa gadis dari luar seenaknya seperti ini!?" tanya sang pemuda bertubi-tubi kepada Luna.
"Santai bli, Devi lagi tugas untuk menggantikan keberadaan gadis ini," jelas Luna.
Sang pemuda berganti menatap Naura, menyelidiki gadis tersebut dari ujung kepala hingga keujung kaki, tatapannya kembali berganti kearah Luna, "lalu siapa gadis ini?" tanyanya kembali pada Luna.
"Dih tanya sendiri lah, punya mulutkan?" cebik Luna pada pemuda didepannya itu.
"Saya Naura, salam kenal," sapa Naura lembut kepada pemuda didepannya.
"Oh, saya Deva kakaknya Devi, salam kenal," seru Deva ramah sambil menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan, belum sempat tangan mereka berjabat Luna segera menepis tangan Deva.
"Bukan muhrim! Asal pegang-pegang! Udah sana jangan ganggu kita," usir Luna dengan rona galak menghiasi wajahnya.
"Iissshh nenek lampir!"
"Apa lu bilang!!" geram Luna kala itu.
"Weee," ledek Deva yang segera berlari menjauhi Luna, Naura hanya bisa tersenyum melihat tingkah kedua manusia itu.
Dengan hati dongkol Luna akhirnya beranjak pergi bersama Naura menuju kearah lorong tengah sepanjang jalan Luna menjelaskan letak-letak kamar dan segala fasilitas didalam markas Other untuk memudahkan Naura berinteraksi disini.
Langkah kaki mereka berhenti disebuah pintu kayu bertuliskan kamar tamu dipapan depan, "Ini kamar sementara kamu, kalau ada apa-apa kamu bisa panggil aku lewat interkom, ada yang mau kamu tanyakan lagi?" tanya Luna kala itu.
"Engh, kapan kita berangkat?"
"Nanti malam, jam delapan tepat, kamu istirahat saja dulu disini, maaf aku tidak bisa menemani kamu seharian," jawab Luna.
"Kenapa tidak berangkat sekarang saja? Bukankah lebih cepat menemukan Surya dan Senja akan lebih baik?" tanya balik Naura.
"Tidak bisa Naura, keadaan disana tidak seperti disini," sesaat Luna melihat kearah jam dipergelangan tangannya, "maaf aku enggak bisa berlama-lama lagi disini ada urusan yang harus aku selesaikan, kau istirahat saja dulu okay? Aku permisi" pamit Luna yang langsung beranjak pergi meninggalkan Naura sendiri didepan daun pintu,
"Ba-baiklah, hmfh …" desal Naura, pada akhirnya Naura memasuki kamar itu dengan langkah malas dan langsung merebahkan tubuhnya diatas kasur single bed dan terlelap untuk sesaat karena lelah yang mendera tubuhnya. Tak lama Naura membuka kedua mata, pandangannya berpendar mencari keberadaan jam, saat itu jarum jam menunjukkan angka satu siang.
"Wah sudah jam satu, aku belum dzuhur," gumamnya dalam hati. Naura segera berdiri dan beranjak keluar dari kamar, ia menengok kanan kiri mencari arah kearah masjid yang tadi ditunjukkan Luna didalam lorong gedung tersebut, langkah kaki Naura segera melaju menyusuri lorong kearah masjid.
"Assalamualaikum," salamnya ketika memasuki pintu masjid gedung Other.
"Waalaikumsalam," salam balik dari seorang wanita berniqab panjang dengan seutas kain menutupi kedua matanya, ia tengah duduk membaca kitab suci di permadani masjid tersebut.
"Permisi kak, mau numpang shalat," celetuk ramah Naura pada wanita itu.
Wanita itu menoleh kearah Naura seraya menunduk sopan, "oh iya silakan, mukenanya ada di lemari ya," seru sang wanita sambil menunjuk kearah lemari di pojok ruangan.
Naura tersenyum menatap wanita tersebut kemudian beranjak kearah tempat wudhu dan langsung menunaikan kewajiban 4 rakaatnya, selesai beribadah Naura berdoa kepada sang pencipta dengan khusyu sembari mengangkat kedua telapak tangannya, selesai berdoa Naura terdiam, ia melamun dengan awan fikiran kalut menggantung di atas ubun-ubunnya. Tiba-tiba sealun suara merdu yang tengah membaca kitab suci berpendar didalam masjid tersebut, Naura yang kala itu sedang melamun langsung tersentak dan tersadar, ia menoleh pelan kearah suara dan mulai bersua.
"Indah," gumamnya pelan, Naura terpesona dengan lantunan ayat suci yang keluar dari mulut wanita tersebut sambil menatap parasnya, ia menelisik sang wanita dari ujung kepala hingga keujung kaki. Tanpa disadari air mata mulai membasahi pipi.
Tak lama sang wanita terdiam kemudian menyudahi membaca kitab suci seraya menutup dengan lembut kitab suci tersebut, ia menoleh kearah Naura sambil tersenyum simpul.
"Hai," sapa wanita tersebut lembut.
Naura terdiam, ia melihat sekeliling kemudian bertanya kepada sang wanita, "sa-saya?"
"Iya, memang ada manusia lain di dalam sini? Kamu agen baru ya?" tanya wanita berpenutup mata itu dengan lembut.
"Bukan, saya hanya tamu disini, oh iya perkenalkan nama saya Naura," seru Naura mulai mendekatkan diri kepada sang wanita.
"Saya Lingga, salam kenal ya, kamu kenapa menangis?"
"Engh, saya terharu mendengar kakak baca kitab, merdu sekali," seru Naura jujur.
Lingga tersenyum sambil berusaha mengenggam tangan Naura, "tangan kamu halus, boleh saya melihat wajah kamu?" tanya Lingga.
"Engh, boleh kok kak, tapi bagaimana caranya? Mata kakakkan tertutup." jawab Naura bingung.
Lingga mengangkat kedua telapak tangannya dan mulai meraba wajah Naura dengan lembut, ia meraba mata, hidung, mulut kemudian kembali mengenggam tangan Naura.
"Kamu cantik sekali Naura, pasti banyak lelaki yang mengejar kamu ya?" tanya Lingga.
"Terima kasih pujiannya kak, tapi enggak kok kak saya cenderung cuek dengan laki-laki," jawab Naura.
"Yakin? Lalu siapa itu Senja?" tanya Lingga yang membuat semburat merah dipipi Naura bersemu rata.
"Ba-bagaimana kakak tahu tentang Senja?"
"Hihi, disini perkumpulan manusia berkemampuan khusus dan melihat secara lebih dalam adalah kemampuan saya," jawab Lingga setengah tertawa.
"Oh, berarti sama seperti Devi ya kak?"
"Ya bisa disamakan seperti itu, soalnya devi salah satu murid saya disini, oh iya, kakak lihat kamu sedang gundah," seru Lingga yang membuat Naura terdiam dengan kata-kata Lingga barusan.
"Kekuatan bukan segalanya sayang, melindungi seseorang dengan segenap jiwa juga merupakan kekuatan," seru Lingga memecah keheningan.
"Maksudnya?" tanya Naura kebingungan.
Lingga menggenggam pergelangan tangan Naura lembut, "sekarang keluarkan kekuatanmu," pinta Lingga pada Naura.
Naura mulai berkonsentrasi dan mulai membuka genggaman telapak tangannya, pijaran api berwarna merah muda berkobar dengan liar hingga menembus langit-langit masjid.
"Sekarang fokuskan api ini agar lebih tenang, mulai atur pernafasanmu" pinta Lingga.
Naura menuruti instruksi Lingga dan mulai mengatur nafas agar lebih selaras dengan pijaran energi sukma miliknya.
"Kekuatanmu berasal dari rasa sayang yang sangat menggebu itu alasan mengapa pijarannya sangat besar, sekarang pikirkan orang yang kamu sayang terluka," pinta Lingga kembali.
Naura mulai memejamkan kedua matanya dan mulai berandai-andai Senja yang sedang terluka diluar sana. Seketika api yang berkobar ditelapak tangan Naura mulai berubah warna menjadi hijau muda. Lingga yang melihat perubahan warna tersebut langsung menaruh tangannya diatas api hijau yang sedang berkobar ditangan Naura.
"Kak Lingga!!" seru Naura kaget.
"Tenanglah Naura, ini tidak sakit malah meregenerasi energi milik kakak," seru Lingga.
"Huh?! mengapa tidak terbakar? Biasanya yang terkena api ini akan terbakar dan mulai kesakitan," tanya Naura heran.
"energi milikmu berpusat diaura yang sekarang berpusat untuk melindungi bukan untuk melukai, energi yang kamu keluarkan sangat berpengaruh dengan pola pikir dan sudut kamu diluar sana," jelas Lingga dengan senyum teduh yang bersandar dibibirnya.
"Jadi api hijau ini bisa menyembuhkan?"
"Secara fisik tidak namun secara tenaga dalam iya, jadi sekarang walaupun kamu tidak begitu kuat kamu bisa menyembuhkan orang-orang yang kamu sayangi."
Naura menatap api hijau yang tengah berkobar di telapak tangannya sambil tersenyum lega. Lingga berdiri dan mengeluarkan sebuah tongkat alat bantu jalan miliknya dari sela baju.
"Naura saya pamit dulu ya, semoga sedikit ilmu yang saya berikan dapat membantu kamu diperjalanan nanti," seru Lingga.
Naura ikut berdiri dan mulai mencium punggung tangan Lingga dengan penuh hormat.
"Terima kasih ya kak Lingga sudah mau berbagi ilmu," seru Naura.
"Oh iya, dan satu hal lagi," celetuk Lingga.
"Apa?"
"Kekuatan kamu bisa jauh lebih besar asal kamu mengikuti jejak saudaranya Senja," seru Lingga.
"Maksud kak Lingga?"
"Nanti kamu juga akan tahu, assalamualaikum," seru Lingga tersenyum penuh arti seraya mengucap salam.
"Walaikumsalam," balas Naura dengan pertanyaan menggantung di fikirannya.
Jam delapan malam.
Luna keluar dari sebuah portal dimensi yang dibatasi bingkai daun pintu ditiap sisinya, disusul Naura yang mengekor dibelakangnya.
"Kamu tidak kenapa-napa Ra?" tanya Luna dengan jaket hitam panjang menutupi tubuhnya.
"Iya, aku hanya sedikit pusing, apa semua yang melewati portal dimensi seperti ini?" tanya Naura dengan tas ransel bertengger dibelakang punggungnya.
"Untuk manusia yang pertama kali melewati portal dimensi memang akan sedikit pusing namun akan terbiasa setelahnya, apa kamu bisa jalan?" tanya Luna kembali.
"Bisa, ayo berangkat."
Langkah kaki mulai ditapaki Naura dan Luna hingga mereka sampai diujung ruangan, Luna membuka pintu kayu besar didepan mereka secara perlahan dan mulai bersuara, "Naura, selamat datang di Batavia."
Bersambung..
"Sshhh … tenanglah nak, ini tidak akan sakit," serunya lirih kepada sang gadis yang tangan dan kakinya terikat diatas altar tersebut.
"Am-ampuni saya … saya akan melakukan apapun yang anda minta tapi tolong jangan bunuh say … HURgghgghhh!!"
Belum sempat sang gadis bersua sebuah belati telah menyayat leher gadis tersebut dengan pelan membuat darah segar bercucuran dari tungkai leher hingga jatuh kelantai, seketika energi jiwa sang gadis yang hendak keluar dari raga seakan meresap kedalam tubuh Evelin.
"Hmmm … tumbal kali ini begitu segar, aku merasa lebih muda tiga tahun, Kyahahahahaha," seru Evelin sendiri dengan tawanya yang mengerikan membuat siapa saja yang mendengarkan terjerembab dalam ketakutan.
Perlahan dari pintu depan datang salah satu anak buah Evelin dengan berjalan sedikit menunduk, "Permisi ratu, hamba ingin melaporkan sesuatu," serunya dengan sedikit gemetar.
"Ada apa?" tanya Evelin tanpa menatap bawahannya tersebut.
"Mata-mata kita yang berada di dimensi kedua telah mendapati Surya ditemani seekor genderuwo sedang menuju Pujakerana," seru sang anak buah.
"Hmm … itu berarti Surya telah termakan jebakan kita mentah-mentah, semua telah berjalan sesuai dengan rencanaku, hhmhahahahahaHAHAHAHA."
"Ta-tapi ratu, maaf bila hamba lancang, apa tidak apa-apa bagi Gundara menghadapi Surya seperti itu, Jagal saja dihabisinya dengan sangat mudah," seru sang bawahan.
Evelin menatap nanar sang anak buah dengan tatapan merendahkan, "Gundara adalah mata kananku, dia telah membuktikan kekuatannya dengan menguasai Pujakerana sendirian, apa kau kira Surya yang hanya manusia biasa bisa seorang diri mengalahkan satu kerajaan kera?!" tanya Evelin pada sang anak buah tersebut.
"Ma-maafkan hamba ratu, hamba salah, hamba permisi."
Sedangkan dilain tempat..
-Ting-
Pintu lift terbuka secara perlahan, sepasang gadis tengah berdiri didalam bilik lift tersebut, satu mengenakan setelan jas hitam selaras dengan kacamata hitam miliknya yang ia kenakan sedangkan gadis satunya memakai jaket biru muda dengan hijab putih menutupi puncak kepalanya, mereka berdua berjalan bersamaan keluar dari bilik lift ditemani tatapan-tatapan kagum dari para manusia dilobi markas Other yang melihat kearah mereka.
"Luna mengapa ramai sekali disini? Bukankah terakhir kita kesini tidak seramai ini?" tanya Naura yang keheranan dengan pemandangan di depannya. Dilobi banyak berlalu lalang pemuda pemudi yang sekilas menatap Naura dan Luna yang keluar dari bilik lift, tatapan terpesona banyak tersirat dari para laki-laki tatkala menatap kedua gadis itu, pandangan mereka seakan teralihkan dengan paras manis nan cantik gadis berhijab yang baru saja keluar dari lift.
"Kami para agen Other lebih banyak bertugas dimalam hari sedangkan waktu pagi hari seperti ini kami gunakan untuk beristirahat dimarkas," terang Luna menjelaskan.
"Oh pantas saja banyak yang lalu lalang seperti sekarang, tapi kenapa tatapan mereka seperti itu ya sama kita?" tanya Naura dengan tatapan risih.
"Hmfh … biasalah, efek terlalu lama sendirian dibawah tanah, para lelaki disini jadi jelalatan tiap ada yang bening lewat," geram Luna menatap malas kelakuan para pemuda dilobi.
Dari arah depan datang dengan tergesa-gesa kearah mereka seorang pemuda dengan tubuh tinggi tegap menatap Luna dengan tatapan tajam, "Luna darimana saja kamu? Dimana Devi? Dan kenapa kamu bawa gadis dari luar seenaknya seperti ini!?" tanya sang pemuda bertubi-tubi kepada Luna.
"Santai bli, Devi lagi tugas untuk menggantikan keberadaan gadis ini," jelas Luna.
Sang pemuda berganti menatap Naura, menyelidiki gadis tersebut dari ujung kepala hingga keujung kaki, tatapannya kembali berganti kearah Luna, "lalu siapa gadis ini?" tanyanya kembali pada Luna.
"Dih tanya sendiri lah, punya mulutkan?" cebik Luna pada pemuda didepannya itu.
"Saya Naura, salam kenal," sapa Naura lembut kepada pemuda didepannya.
"Oh, saya Deva kakaknya Devi, salam kenal," seru Deva ramah sambil menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan, belum sempat tangan mereka berjabat Luna segera menepis tangan Deva.
"Bukan muhrim! Asal pegang-pegang! Udah sana jangan ganggu kita," usir Luna dengan rona galak menghiasi wajahnya.
"Iissshh nenek lampir!"
"Apa lu bilang!!" geram Luna kala itu.
"Weee," ledek Deva yang segera berlari menjauhi Luna, Naura hanya bisa tersenyum melihat tingkah kedua manusia itu.
Dengan hati dongkol Luna akhirnya beranjak pergi bersama Naura menuju kearah lorong tengah sepanjang jalan Luna menjelaskan letak-letak kamar dan segala fasilitas didalam markas Other untuk memudahkan Naura berinteraksi disini.
Langkah kaki mereka berhenti disebuah pintu kayu bertuliskan kamar tamu dipapan depan, "Ini kamar sementara kamu, kalau ada apa-apa kamu bisa panggil aku lewat interkom, ada yang mau kamu tanyakan lagi?" tanya Luna kala itu.
"Engh, kapan kita berangkat?"
"Nanti malam, jam delapan tepat, kamu istirahat saja dulu disini, maaf aku tidak bisa menemani kamu seharian," jawab Luna.
"Kenapa tidak berangkat sekarang saja? Bukankah lebih cepat menemukan Surya dan Senja akan lebih baik?" tanya balik Naura.
"Tidak bisa Naura, keadaan disana tidak seperti disini," sesaat Luna melihat kearah jam dipergelangan tangannya, "maaf aku enggak bisa berlama-lama lagi disini ada urusan yang harus aku selesaikan, kau istirahat saja dulu okay? Aku permisi" pamit Luna yang langsung beranjak pergi meninggalkan Naura sendiri didepan daun pintu,
"Ba-baiklah, hmfh …" desal Naura, pada akhirnya Naura memasuki kamar itu dengan langkah malas dan langsung merebahkan tubuhnya diatas kasur single bed dan terlelap untuk sesaat karena lelah yang mendera tubuhnya. Tak lama Naura membuka kedua mata, pandangannya berpendar mencari keberadaan jam, saat itu jarum jam menunjukkan angka satu siang.
"Wah sudah jam satu, aku belum dzuhur," gumamnya dalam hati. Naura segera berdiri dan beranjak keluar dari kamar, ia menengok kanan kiri mencari arah kearah masjid yang tadi ditunjukkan Luna didalam lorong gedung tersebut, langkah kaki Naura segera melaju menyusuri lorong kearah masjid.
"Assalamualaikum," salamnya ketika memasuki pintu masjid gedung Other.
"Waalaikumsalam," salam balik dari seorang wanita berniqab panjang dengan seutas kain menutupi kedua matanya, ia tengah duduk membaca kitab suci di permadani masjid tersebut.
"Permisi kak, mau numpang shalat," celetuk ramah Naura pada wanita itu.
Wanita itu menoleh kearah Naura seraya menunduk sopan, "oh iya silakan, mukenanya ada di lemari ya," seru sang wanita sambil menunjuk kearah lemari di pojok ruangan.
Naura tersenyum menatap wanita tersebut kemudian beranjak kearah tempat wudhu dan langsung menunaikan kewajiban 4 rakaatnya, selesai beribadah Naura berdoa kepada sang pencipta dengan khusyu sembari mengangkat kedua telapak tangannya, selesai berdoa Naura terdiam, ia melamun dengan awan fikiran kalut menggantung di atas ubun-ubunnya. Tiba-tiba sealun suara merdu yang tengah membaca kitab suci berpendar didalam masjid tersebut, Naura yang kala itu sedang melamun langsung tersentak dan tersadar, ia menoleh pelan kearah suara dan mulai bersua.
"Indah," gumamnya pelan, Naura terpesona dengan lantunan ayat suci yang keluar dari mulut wanita tersebut sambil menatap parasnya, ia menelisik sang wanita dari ujung kepala hingga keujung kaki. Tanpa disadari air mata mulai membasahi pipi.
Tak lama sang wanita terdiam kemudian menyudahi membaca kitab suci seraya menutup dengan lembut kitab suci tersebut, ia menoleh kearah Naura sambil tersenyum simpul.
"Hai," sapa wanita tersebut lembut.
Naura terdiam, ia melihat sekeliling kemudian bertanya kepada sang wanita, "sa-saya?"
"Iya, memang ada manusia lain di dalam sini? Kamu agen baru ya?" tanya wanita berpenutup mata itu dengan lembut.
"Bukan, saya hanya tamu disini, oh iya perkenalkan nama saya Naura," seru Naura mulai mendekatkan diri kepada sang wanita.
"Saya Lingga, salam kenal ya, kamu kenapa menangis?"
"Engh, saya terharu mendengar kakak baca kitab, merdu sekali," seru Naura jujur.
Lingga tersenyum sambil berusaha mengenggam tangan Naura, "tangan kamu halus, boleh saya melihat wajah kamu?" tanya Lingga.
"Engh, boleh kok kak, tapi bagaimana caranya? Mata kakakkan tertutup." jawab Naura bingung.
Lingga mengangkat kedua telapak tangannya dan mulai meraba wajah Naura dengan lembut, ia meraba mata, hidung, mulut kemudian kembali mengenggam tangan Naura.
"Kamu cantik sekali Naura, pasti banyak lelaki yang mengejar kamu ya?" tanya Lingga.
"Terima kasih pujiannya kak, tapi enggak kok kak saya cenderung cuek dengan laki-laki," jawab Naura.
"Yakin? Lalu siapa itu Senja?" tanya Lingga yang membuat semburat merah dipipi Naura bersemu rata.
"Ba-bagaimana kakak tahu tentang Senja?"
"Hihi, disini perkumpulan manusia berkemampuan khusus dan melihat secara lebih dalam adalah kemampuan saya," jawab Lingga setengah tertawa.
"Oh, berarti sama seperti Devi ya kak?"
"Ya bisa disamakan seperti itu, soalnya devi salah satu murid saya disini, oh iya, kakak lihat kamu sedang gundah," seru Lingga yang membuat Naura terdiam dengan kata-kata Lingga barusan.
"Kekuatan bukan segalanya sayang, melindungi seseorang dengan segenap jiwa juga merupakan kekuatan," seru Lingga memecah keheningan.
"Maksudnya?" tanya Naura kebingungan.
Lingga menggenggam pergelangan tangan Naura lembut, "sekarang keluarkan kekuatanmu," pinta Lingga pada Naura.
Naura mulai berkonsentrasi dan mulai membuka genggaman telapak tangannya, pijaran api berwarna merah muda berkobar dengan liar hingga menembus langit-langit masjid.
"Sekarang fokuskan api ini agar lebih tenang, mulai atur pernafasanmu" pinta Lingga.
Naura menuruti instruksi Lingga dan mulai mengatur nafas agar lebih selaras dengan pijaran energi sukma miliknya.
"Kekuatanmu berasal dari rasa sayang yang sangat menggebu itu alasan mengapa pijarannya sangat besar, sekarang pikirkan orang yang kamu sayang terluka," pinta Lingga kembali.
Naura mulai memejamkan kedua matanya dan mulai berandai-andai Senja yang sedang terluka diluar sana. Seketika api yang berkobar ditelapak tangan Naura mulai berubah warna menjadi hijau muda. Lingga yang melihat perubahan warna tersebut langsung menaruh tangannya diatas api hijau yang sedang berkobar ditangan Naura.
"Kak Lingga!!" seru Naura kaget.
"Tenanglah Naura, ini tidak sakit malah meregenerasi energi milik kakak," seru Lingga.
"Huh?! mengapa tidak terbakar? Biasanya yang terkena api ini akan terbakar dan mulai kesakitan," tanya Naura heran.
"energi milikmu berpusat diaura yang sekarang berpusat untuk melindungi bukan untuk melukai, energi yang kamu keluarkan sangat berpengaruh dengan pola pikir dan sudut kamu diluar sana," jelas Lingga dengan senyum teduh yang bersandar dibibirnya.
"Jadi api hijau ini bisa menyembuhkan?"
"Secara fisik tidak namun secara tenaga dalam iya, jadi sekarang walaupun kamu tidak begitu kuat kamu bisa menyembuhkan orang-orang yang kamu sayangi."
Naura menatap api hijau yang tengah berkobar di telapak tangannya sambil tersenyum lega. Lingga berdiri dan mengeluarkan sebuah tongkat alat bantu jalan miliknya dari sela baju.
"Naura saya pamit dulu ya, semoga sedikit ilmu yang saya berikan dapat membantu kamu diperjalanan nanti," seru Lingga.
Naura ikut berdiri dan mulai mencium punggung tangan Lingga dengan penuh hormat.
"Terima kasih ya kak Lingga sudah mau berbagi ilmu," seru Naura.
"Oh iya, dan satu hal lagi," celetuk Lingga.
"Apa?"
"Kekuatan kamu bisa jauh lebih besar asal kamu mengikuti jejak saudaranya Senja," seru Lingga.
"Maksud kak Lingga?"
"Nanti kamu juga akan tahu, assalamualaikum," seru Lingga tersenyum penuh arti seraya mengucap salam.
"Walaikumsalam," balas Naura dengan pertanyaan menggantung di fikirannya.
Jam delapan malam.
Luna keluar dari sebuah portal dimensi yang dibatasi bingkai daun pintu ditiap sisinya, disusul Naura yang mengekor dibelakangnya.
"Kamu tidak kenapa-napa Ra?" tanya Luna dengan jaket hitam panjang menutupi tubuhnya.
"Iya, aku hanya sedikit pusing, apa semua yang melewati portal dimensi seperti ini?" tanya Naura dengan tas ransel bertengger dibelakang punggungnya.
"Untuk manusia yang pertama kali melewati portal dimensi memang akan sedikit pusing namun akan terbiasa setelahnya, apa kamu bisa jalan?" tanya Luna kembali.
"Bisa, ayo berangkat."
Langkah kaki mulai ditapaki Naura dan Luna hingga mereka sampai diujung ruangan, Luna membuka pintu kayu besar didepan mereka secara perlahan dan mulai bersuara, "Naura, selamat datang di Batavia."
Bersambung..
simounlebon dan 19 lainnya memberi reputasi
20
Kutip
Balas