- Beranda
- Stories from the Heart
PURI KERAMAT
...
TS
breaking182
PURI KERAMAT
PURI KERAMAT
Quote:

SINOPSIS
Quote:
Berawal dari kematian Ario Keling seorang keturunan bangsawan di masa kerajaan Mataram. Ke empat anaknya beserta dua menantunya datang ke desa Kemulan untuk menghadiri prosesi pemakaman. Suatu desa terpencil yang terletak di lereng Gunung Merapi dan selalu berselimutan kabut. Inka salah satu menantu Ario Keling merasakan ada keganjilan pada saat akan memasuki pintu gerbang puri. Ia melihat sesosok bangsawan di atas punggung kuda besar dengan dua dayang pengiring. Tidak sampai disitu saja, satu hari sebelum pemakaman Ario Keling. Suaminya yang bernama Nagara atau anak sulung Ario Keling tiba –tiba lenyap tidak berbekas secara misterius. Dari situlah rentetan peristiwa berdarah di mulai. Apakah pelakunya Nagara karena ingin menguasai harta warisan yang tersimpan di dalam puri itu? Dan siapakah yang akan keluar dari puri itu hidup – hidup?
Quote:
INDEKS
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
TAMAT
Diubah oleh breaking182 27-02-2019 10:49
mincli69 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
14.6K
Kutip
71
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#66
PART 23
Quote:
TERTEGUN Inka mendengarnya. Perasaan takut yang dibawanya semenjak dari balkon tadi, bahkan terlecut hilang. la amati keris berluk tiga belas yang teracung di tangan Karta. Pamor keris berpendar –pendar berwarna kehijau –hijauan.
Inka berbisik, cemas:
" Untuk apa keris itu, Pak Karta?"
" Melawan Sang Bahurekso itu Mbak Inka, sebagai penebus kesalahan saya pada Gusti Tumenggung Jayengrono sekaligus menyelamatkan dirimu sebagai keturunannya “, jawab Karta seraya melihat ke arah lorong di lantai atas.
Inka tidak berani melihat ke arah yang sama. Bulu kuduknya meremang. Karta kembali menatap Inka. Pertanda mahluk yang ditakuti Inka itu tidak muncul dari lorong lantai atas di belakang punggung Inka. Suara Karta pun kini lebih tenang dan teratur.
" Dia selalu datang dan selalu pergi. Tanpa kuketahui kapan. Dan sebelum aku sempat menyadari kedatangannya, dia sudah lenyap menghilang meninggalkan satu korban“
“ Anak cucuku pun hilang, atau mati mengerikan. Diambil olehnya, satu persatu.Tetapi belum pernah beruntun seperti sekarang ini ..."
“ Mengapa ?"
Karta pun menjelaskan: " Tidak dapat diragukan lagi, siluman taklukan Gusti Jayengrono kali ini datang bukan sekedar akan menuntaskan kutukannya atas kecerobohanku dulu. Jelas, dia punya maksud lain. Sebuah tujuan akhir'"
Terbuka juga mulut Inka. Gagap.
"Apakah itu?"
"Menyudahi dendam, membawa darah musuh besarnya. Musuh besar rakyatnya ..."
"Tumenggung Jayengrono sudah lama mati, bukan?", desah Inka, tidak mengerti.
"Betul, tetapi darahnya masih hidup. Mengalir segar di dalam tubuhmu!"
"Oh, tidak. Itu tidak benar'", Inka sampai tersentak mundur dengan mata tak lepas dari keris yang terhunus di tangan Karta.
“ Mbak Inka lari lah bawa Jaka bersamamu. Incaran siluman itu adalah semua orang yang masih hidup di puri ini. Dia tidak akan pernah melepaskan orang keluar dari puri ini dengan keadaan masih bernyawa “
" Kau harus bergegas, ia bisa muncul sesewaktu. Firasatku mengatakan, bahkan kini ia tengah menuju ke arah kita. Entah dari arah mana datangnya .....”
Inka menarik nafas panjang. Entah dari mana datangnya tiba –tiba ia merasakan keberanian dan nyalinya yang tadi sempat tercabik –cabik kembali berkobar –kobar.
“ Aku tidak akan lari Pak Karta, aku akan ikut membantu bapak melawan siluman itu ! “
Karta sejenak terperanjat, sedetik kemudian tersungging senyuman tipis di bibirnya yang sudah sangat keriput.
“ Darah Gusti Jayengrono ternyata mengalir deras di tubuhmu, darah seorang ksatria darah seorang pendekar bilih tanding yang gagah berani. Baiklah, Mbak Inka kita kan melawan mahkluk itu tapi sebelumnya ambil keris ini “
Tanpa tahu bagaimana harus menggunakannya, Inka menerima gagang keris dengan bergetar.
“ Keris ini yang dahulu aku pakai bertarung melawan ratusan luwing di perbatasan desa Kemulan bersama Gusti Jayengrono. Pertempuran yang melelahkan “
"Apa yang harus kulakukan, Pak Karta?"
"Kau gugup?!"
" Tidak, hanya merasa tidak tahu harus berbuat apa? "
Lalu tiba – tiba Karta tertegak diam, mendengarkan. Begitu pula Inka. Aneh sekali. Suara suara hujan badai serta angin topan, seakan menjauh hilang. Tinggal kesunyian yang terdengar di luar sana. Kesunyian yang merayap sampai ke ruangan di mana mereka berada. Sunyi sekali yang terdengar hanyalah bunyi nafas mereka berdua. Nafas ditahan.
" Apakah dia sudah pergi?", akhirnya Inka mendesah, pelan namun terdengar mengejutkan.
"Terus terang, aku pun tak tahu," jawab Karta, sama pelannya.
Lalu sunyi kembali. Menyentak. Karta berpikir keras.
Kemudian, "Aku tidak yakin dia pergi begitu saja. Menurutku, dia hanya mempermainkan kita sebentar. Dia ingin berpuas puas melihat kita dicekam ketakutan sebelum melancarkan serangan terakhir “
Karta mengawasi jendela demi jendela .Meyakinkan pintu masuk tertutup rapat. Melihat ke lorong di lantai atas. Ke lorong di lantai bawah, bahkan ke tungku pemanas di belakang mereka. Jelas ia berwaspada ke setiap celah yang mungkin mengancam. Matanya awas dan berkilat tajam. Kecuali sewaktu melihat ke tubuh Jaka di lantai.
Mata itu tampak sayu.
"Tinggal dia seorang yang masih tersisa ", bisiknya samar - samar.
Orangtua itu sejenak tenggelam dalam kekalutan jiwanya. Dan saat melihat kembali wajah Inka, kekerasan hati Karta muncul perlahan-lahan. Di matanya terpancar sinar dendam tersembunyi.
"Kita harap saja dia sudah pergi ", ujar Karta lagi.
"Meski aku lebih suka ia muncul di depan kita ..."
Inka tersentak. "Oh?"
"Pertempuran kali ini adalah yang terakhir, pertaruhan nyawaku yang terakhir kali," Karta berujar tak perduli.
"Itulah yang memenuhi pikiranku setelah Nanda, kemudian Anita, kutemukan mati dalam keadaan menyedihkan. Aku tahu, dia akan mengambil Jaka. Dan terakhir, akulah yang akan diambilnya. Dia tidak tahu, adalah, dia boleh saja mengambilku. Tetapi tidak satu satunya keturunanku, selagi aku masih dapat menyelamatkannya. Karena kedatangan si terkutuk itu kali ini, sudah terang - terangan. Jadi aku pun bisa bersiap diri ..."
Kesunyian di sekitar mereka, terganggu oleh sesuatu. Desah nafas. Nafas berat, tersedak-sedak. Inka dan Karta bertukar pandang. Meyakinkan, bukan satu dari mereka yang mengeluarkan nafas sedemikian ganjil. Desah- desah nafas, yang terdengar mendekat, semakin mendekat. Datangnya tak jelas. Seolah, malah dari semua penjuru.
" Dia sudah datang!", bisik Karta, kelu.
Inka pucat pasi seketika. Tanpa sadar ia mendekat ke Karta, mencari perlindungan.
“ Bersiap –siaplah “
Desah - desah nafas itu makin jelas. Kini, malah mendesing tajam.
Sementara desah - desah nafas berat tersedak itu mendesing semakin keras. Disertai suara-suara lain yang bergerak serempak. Seperti ratusan atau ribuan kaki - kaki berbaris teratur membawa beban berat di atasnya.
Karta melihat ke arah datangnya suara itu. Dan dari mulut lorong di lantai atas, muncullah sepasang titik cahaya kuning kemerahan, lalu tanduk atau sungut yang meliuk-liuk. Karta pun mengerang.
Sang Bahurekso itu mulai menuruni tangga. Merayap di atas entah tangan entah kakinya yang banyak itu. Menyeret perutnya yang merah, berdenyut denyut, menampakkan punggungnya yang berlipat lipat, coklat kehitaman. Punggung yang juga berdenyut-denyut hidup. Sementara dari celah mulutnya yang bergigi bagai mata gergaji itu, terdengar bunyi mendesing yang makin keras saja. Karta melangkah maju menyongsong datangnya roh jahat yang panjangnya bermeter-meter, dan lebar tubuhnya hampir mengisi semua sisi tangga itu.
Karta menghambur menyerang dengan pedang yang ada di dalam genggamannya. Tubuhnya yang kurus melompat menerjang ke depan. Sabetan pedangnya menyerang kepala Sang Bahurekso itu. Terdengar bunyi gedebukan manakala keris yang dipegang Karta beradu dengan kepala luwing raksasa itu. Karta terperanjat.
Lalu ia melompat ke belakang dua tombak, “ Edan, keris ku yang sudah di rajahpun tidak mampu melukai mahkluk itu. Apakah ia selama ini juga menambah ilmu untuk mempersiapkan ujung pembalasan dendam di hari ini ? “
Satu serangan datang lagi, bagian ekor luwing raksasa itu tiba –tiba menyabet ke arah Karta. Sedetik Karta geragapan juga, akan tetapi dengan menjatuhkan diri berguling –guling di lantai serangan bisa dielakkan. Tak pelak lagi barang – barang yang ada di ruangan itu hancur berantakan tercerai berai di lantai.
Karta lantas merangsek ke depan.
“ Apapun hasilnya akan kusudahi penderitaan selama ratusan tahun ini “
Sehabis berkata demikian, Karta menggores telapak tangan kirinya dengan keris. Darah keluar dari bekas luka lalu Karta menggenggam bilah keris dengan telapak tangannya yang terluka. Darah makin banyak keluar karena tekanan genggaman. Terus mengucur membasahi keris. Sedetik kemudian, tubunya yang kurus melompat ke depan, keris di tangan kanan di sabetkan kesana kemari mengincar tubuh Sang Bahurekso. Bintang siluman itu tidak tinggal diam, tubuhnya menjulur – julur meraih tubuh Karta yang tengah menyerangnya.
Satu sabetan mengenai badan Sang Bahurekso yang tebal dan bulat itu. Terdengar suara seperti letusan manakala keris beradu dengan tubuh Sang Bahurekso. Binatang siluman itu menggembor memperdengarkan suaranya yang seperti kerbau disembelih. Dan dengan cepat tubuh luwing itu terayun ke depan. Karta telah siap dengan serangan kedua, tak ayal lagi tubuh Karta terhempas ke belakang membentur tembok dengan keras. belum lagi ia memperbaiki posisi serangan lainnya datang menghampiri.
Garis tipis memanjang di bawah sepasang mata kecil berwarna kuning itu terbuka lebar. Satu terkaman siap merenggut paksa lehar Karta dari badannya. Karta masih sempat menghindar, namun malang tangan kirinya kena tangkap. Satu tarikan saja, tangan itu telepas dari badan. Darah mengucur deras dari kutungan tangan membasahi lantai. Karta terhuyung – huyung sembari membekap luka kutungan di lengan kirinya. Dan Karta tak kuat lagi menahan lututnya yang goyah. Ia pun ambruk, berlutut tanpa daya.
Gerakan Sang Bahurekso itu pun terhenti. Matanya mengawasi sosok kecil dan kerdil di depan kepalanya yang jauh lebih besar. Sepasang mata kuning kemerahan itu, berkilauan gembira. Mengintip lewat pundak Karta, ke arah tubuh Inka.
Nafasnya pun seketika menderu.
Hoshhh..... Hoshhh
Hoshhh..... Hoshhh
Hoshhh..... Hohshh
Tak ubahnya desas - desus lokomotif kereta api. Pelan tetapi pasti, bagian depan tubuh mahkluk itu meliuk terangkat bagai liukan ulat atau lintah raksasa, melewati tubuh Karta yang gagal mengayunkan pedang. Sesaat, moncong roh itu mengendus - endus tubuh Inka. Luwing raksasa itu pun membuka mulut. Siap merajah tubuh Inka dengan deretan gigi –gigi runcingnya.
Lalu bagian tubuh luwing itu meliuk naik menyulur ke arah tubuh Inka itu, tiba -tiba saja melesat mundur ke tempat semula. Karta kembali terlihat, masih berlutut di lantai. Sepasang matanya masih terpentang, masih bersinar hidup. Tubuh Karta pun masih bergetar, bahkan kini terdengar orangtua itu mulai menangis sesenggukan. Nyawa Inka, keturunan terakhir dari Tumenggung Jayengrono yang harus ia tolong dengan rela mengorbankan nyawanya sendiri kini di ujung maut. Tanpa ia bisa berbuat apa –apa.
Inka berbisik, cemas:
" Untuk apa keris itu, Pak Karta?"
" Melawan Sang Bahurekso itu Mbak Inka, sebagai penebus kesalahan saya pada Gusti Tumenggung Jayengrono sekaligus menyelamatkan dirimu sebagai keturunannya “, jawab Karta seraya melihat ke arah lorong di lantai atas.
Inka tidak berani melihat ke arah yang sama. Bulu kuduknya meremang. Karta kembali menatap Inka. Pertanda mahluk yang ditakuti Inka itu tidak muncul dari lorong lantai atas di belakang punggung Inka. Suara Karta pun kini lebih tenang dan teratur.
" Dia selalu datang dan selalu pergi. Tanpa kuketahui kapan. Dan sebelum aku sempat menyadari kedatangannya, dia sudah lenyap menghilang meninggalkan satu korban“
“ Anak cucuku pun hilang, atau mati mengerikan. Diambil olehnya, satu persatu.Tetapi belum pernah beruntun seperti sekarang ini ..."
“ Mengapa ?"
Karta pun menjelaskan: " Tidak dapat diragukan lagi, siluman taklukan Gusti Jayengrono kali ini datang bukan sekedar akan menuntaskan kutukannya atas kecerobohanku dulu. Jelas, dia punya maksud lain. Sebuah tujuan akhir'"
Terbuka juga mulut Inka. Gagap.
"Apakah itu?"
"Menyudahi dendam, membawa darah musuh besarnya. Musuh besar rakyatnya ..."
"Tumenggung Jayengrono sudah lama mati, bukan?", desah Inka, tidak mengerti.
"Betul, tetapi darahnya masih hidup. Mengalir segar di dalam tubuhmu!"
"Oh, tidak. Itu tidak benar'", Inka sampai tersentak mundur dengan mata tak lepas dari keris yang terhunus di tangan Karta.
“ Mbak Inka lari lah bawa Jaka bersamamu. Incaran siluman itu adalah semua orang yang masih hidup di puri ini. Dia tidak akan pernah melepaskan orang keluar dari puri ini dengan keadaan masih bernyawa “
" Kau harus bergegas, ia bisa muncul sesewaktu. Firasatku mengatakan, bahkan kini ia tengah menuju ke arah kita. Entah dari arah mana datangnya .....”
Inka menarik nafas panjang. Entah dari mana datangnya tiba –tiba ia merasakan keberanian dan nyalinya yang tadi sempat tercabik –cabik kembali berkobar –kobar.
“ Aku tidak akan lari Pak Karta, aku akan ikut membantu bapak melawan siluman itu ! “
Karta sejenak terperanjat, sedetik kemudian tersungging senyuman tipis di bibirnya yang sudah sangat keriput.
“ Darah Gusti Jayengrono ternyata mengalir deras di tubuhmu, darah seorang ksatria darah seorang pendekar bilih tanding yang gagah berani. Baiklah, Mbak Inka kita kan melawan mahkluk itu tapi sebelumnya ambil keris ini “
Tanpa tahu bagaimana harus menggunakannya, Inka menerima gagang keris dengan bergetar.
“ Keris ini yang dahulu aku pakai bertarung melawan ratusan luwing di perbatasan desa Kemulan bersama Gusti Jayengrono. Pertempuran yang melelahkan “
"Apa yang harus kulakukan, Pak Karta?"
"Kau gugup?!"
" Tidak, hanya merasa tidak tahu harus berbuat apa? "
Lalu tiba – tiba Karta tertegak diam, mendengarkan. Begitu pula Inka. Aneh sekali. Suara suara hujan badai serta angin topan, seakan menjauh hilang. Tinggal kesunyian yang terdengar di luar sana. Kesunyian yang merayap sampai ke ruangan di mana mereka berada. Sunyi sekali yang terdengar hanyalah bunyi nafas mereka berdua. Nafas ditahan.
" Apakah dia sudah pergi?", akhirnya Inka mendesah, pelan namun terdengar mengejutkan.
"Terus terang, aku pun tak tahu," jawab Karta, sama pelannya.
Lalu sunyi kembali. Menyentak. Karta berpikir keras.
Kemudian, "Aku tidak yakin dia pergi begitu saja. Menurutku, dia hanya mempermainkan kita sebentar. Dia ingin berpuas puas melihat kita dicekam ketakutan sebelum melancarkan serangan terakhir “
Karta mengawasi jendela demi jendela .Meyakinkan pintu masuk tertutup rapat. Melihat ke lorong di lantai atas. Ke lorong di lantai bawah, bahkan ke tungku pemanas di belakang mereka. Jelas ia berwaspada ke setiap celah yang mungkin mengancam. Matanya awas dan berkilat tajam. Kecuali sewaktu melihat ke tubuh Jaka di lantai.
Mata itu tampak sayu.
"Tinggal dia seorang yang masih tersisa ", bisiknya samar - samar.
Orangtua itu sejenak tenggelam dalam kekalutan jiwanya. Dan saat melihat kembali wajah Inka, kekerasan hati Karta muncul perlahan-lahan. Di matanya terpancar sinar dendam tersembunyi.
"Kita harap saja dia sudah pergi ", ujar Karta lagi.
"Meski aku lebih suka ia muncul di depan kita ..."
Inka tersentak. "Oh?"
"Pertempuran kali ini adalah yang terakhir, pertaruhan nyawaku yang terakhir kali," Karta berujar tak perduli.
"Itulah yang memenuhi pikiranku setelah Nanda, kemudian Anita, kutemukan mati dalam keadaan menyedihkan. Aku tahu, dia akan mengambil Jaka. Dan terakhir, akulah yang akan diambilnya. Dia tidak tahu, adalah, dia boleh saja mengambilku. Tetapi tidak satu satunya keturunanku, selagi aku masih dapat menyelamatkannya. Karena kedatangan si terkutuk itu kali ini, sudah terang - terangan. Jadi aku pun bisa bersiap diri ..."
Kesunyian di sekitar mereka, terganggu oleh sesuatu. Desah nafas. Nafas berat, tersedak-sedak. Inka dan Karta bertukar pandang. Meyakinkan, bukan satu dari mereka yang mengeluarkan nafas sedemikian ganjil. Desah- desah nafas, yang terdengar mendekat, semakin mendekat. Datangnya tak jelas. Seolah, malah dari semua penjuru.
" Dia sudah datang!", bisik Karta, kelu.
Inka pucat pasi seketika. Tanpa sadar ia mendekat ke Karta, mencari perlindungan.
“ Bersiap –siaplah “
Desah - desah nafas itu makin jelas. Kini, malah mendesing tajam.
Sementara desah - desah nafas berat tersedak itu mendesing semakin keras. Disertai suara-suara lain yang bergerak serempak. Seperti ratusan atau ribuan kaki - kaki berbaris teratur membawa beban berat di atasnya.
Karta melihat ke arah datangnya suara itu. Dan dari mulut lorong di lantai atas, muncullah sepasang titik cahaya kuning kemerahan, lalu tanduk atau sungut yang meliuk-liuk. Karta pun mengerang.
Sang Bahurekso itu mulai menuruni tangga. Merayap di atas entah tangan entah kakinya yang banyak itu. Menyeret perutnya yang merah, berdenyut denyut, menampakkan punggungnya yang berlipat lipat, coklat kehitaman. Punggung yang juga berdenyut-denyut hidup. Sementara dari celah mulutnya yang bergigi bagai mata gergaji itu, terdengar bunyi mendesing yang makin keras saja. Karta melangkah maju menyongsong datangnya roh jahat yang panjangnya bermeter-meter, dan lebar tubuhnya hampir mengisi semua sisi tangga itu.
Karta menghambur menyerang dengan pedang yang ada di dalam genggamannya. Tubuhnya yang kurus melompat menerjang ke depan. Sabetan pedangnya menyerang kepala Sang Bahurekso itu. Terdengar bunyi gedebukan manakala keris yang dipegang Karta beradu dengan kepala luwing raksasa itu. Karta terperanjat.
Lalu ia melompat ke belakang dua tombak, “ Edan, keris ku yang sudah di rajahpun tidak mampu melukai mahkluk itu. Apakah ia selama ini juga menambah ilmu untuk mempersiapkan ujung pembalasan dendam di hari ini ? “
Satu serangan datang lagi, bagian ekor luwing raksasa itu tiba –tiba menyabet ke arah Karta. Sedetik Karta geragapan juga, akan tetapi dengan menjatuhkan diri berguling –guling di lantai serangan bisa dielakkan. Tak pelak lagi barang – barang yang ada di ruangan itu hancur berantakan tercerai berai di lantai.
Karta lantas merangsek ke depan.
“ Apapun hasilnya akan kusudahi penderitaan selama ratusan tahun ini “
Sehabis berkata demikian, Karta menggores telapak tangan kirinya dengan keris. Darah keluar dari bekas luka lalu Karta menggenggam bilah keris dengan telapak tangannya yang terluka. Darah makin banyak keluar karena tekanan genggaman. Terus mengucur membasahi keris. Sedetik kemudian, tubunya yang kurus melompat ke depan, keris di tangan kanan di sabetkan kesana kemari mengincar tubuh Sang Bahurekso. Bintang siluman itu tidak tinggal diam, tubuhnya menjulur – julur meraih tubuh Karta yang tengah menyerangnya.
Satu sabetan mengenai badan Sang Bahurekso yang tebal dan bulat itu. Terdengar suara seperti letusan manakala keris beradu dengan tubuh Sang Bahurekso. Binatang siluman itu menggembor memperdengarkan suaranya yang seperti kerbau disembelih. Dan dengan cepat tubuh luwing itu terayun ke depan. Karta telah siap dengan serangan kedua, tak ayal lagi tubuh Karta terhempas ke belakang membentur tembok dengan keras. belum lagi ia memperbaiki posisi serangan lainnya datang menghampiri.
Garis tipis memanjang di bawah sepasang mata kecil berwarna kuning itu terbuka lebar. Satu terkaman siap merenggut paksa lehar Karta dari badannya. Karta masih sempat menghindar, namun malang tangan kirinya kena tangkap. Satu tarikan saja, tangan itu telepas dari badan. Darah mengucur deras dari kutungan tangan membasahi lantai. Karta terhuyung – huyung sembari membekap luka kutungan di lengan kirinya. Dan Karta tak kuat lagi menahan lututnya yang goyah. Ia pun ambruk, berlutut tanpa daya.
Gerakan Sang Bahurekso itu pun terhenti. Matanya mengawasi sosok kecil dan kerdil di depan kepalanya yang jauh lebih besar. Sepasang mata kuning kemerahan itu, berkilauan gembira. Mengintip lewat pundak Karta, ke arah tubuh Inka.
Nafasnya pun seketika menderu.
Hoshhh..... Hoshhh
Hoshhh..... Hoshhh
Hoshhh..... Hohshh
Tak ubahnya desas - desus lokomotif kereta api. Pelan tetapi pasti, bagian depan tubuh mahkluk itu meliuk terangkat bagai liukan ulat atau lintah raksasa, melewati tubuh Karta yang gagal mengayunkan pedang. Sesaat, moncong roh itu mengendus - endus tubuh Inka. Luwing raksasa itu pun membuka mulut. Siap merajah tubuh Inka dengan deretan gigi –gigi runcingnya.
Lalu bagian tubuh luwing itu meliuk naik menyulur ke arah tubuh Inka itu, tiba -tiba saja melesat mundur ke tempat semula. Karta kembali terlihat, masih berlutut di lantai. Sepasang matanya masih terpentang, masih bersinar hidup. Tubuh Karta pun masih bergetar, bahkan kini terdengar orangtua itu mulai menangis sesenggukan. Nyawa Inka, keturunan terakhir dari Tumenggung Jayengrono yang harus ia tolong dengan rela mengorbankan nyawanya sendiri kini di ujung maut. Tanpa ia bisa berbuat apa –apa.
Quote:
Terdengar bunyi berderit samar – samar derit pintu kayu yang tinggi, berat dan kokoh, menganga terbuka sendiri. Angin dingin menusuk, berhembus pelan ke dalam ruangan. Roh memalingkan kepala ke arah datangnya angin itu. Demikian pula Karta, menggerakkan kepala karena merasa ada tarikan gaib pada lehernya.
Pintu berhenti berderit. Pintu kini menganga sangat lebar. Dan kesunyian yang menekan. Serta gumpalan kabut di luar sana, yang tampak bergerak semakin mendekati ambang pintu. Lalu dari balik kabut itu terdengarlah bunyi langkah kaki - kaki kuda. Disusul munculnya sosok kuda ,bermata hitam. Di punggung kuda, duduklah seorang lelaki setengah baya. Badannya terlihat tegap dan kukuh dibalut dengan busana Jawa khas bangsawan pada era kerajaan Mataram. Sementara di kepalanya bertengger ikat kepala berwarna coklat selaras dengan pakaian yang dikenakannya.
Bangsawan itu menghentikan kudanya diambang pintu. la mengawasi sekitar ruangan, dan pandangannya berhenti cukup lama di tubuh Inka yang terkulai pingsan. Sepasang mata lelaki paruh baya itu tampak berkilat marah seketika, ketika sasaran pandangnya beralih ke sosok luwing yang tidak mampu lagi menyembunyikan wujudnya itu.
Luwing raksasa itu seketika melolong panjang mengerikan seperti ketakutan. Lalu berusaha menggulung dirinya cepat sekali, sudah berubah bundar pipih. Lalu secepat itu pula wujud bundar pipih menyerupai roda itu melesat dengan gelindingan cepat ke arah tangga yang menuju ke lantai atas. Disertai suara nafas memburu dari mendesing hiruk pikuk.
Terdengar ringkikan marah. Dan kuda di ambang pintu, beserta penunggang nya tahu - tahu menghilang dari pandangan mata Karta. Ketika ringkik keras kuda itu terdengar lagi, Karta berpaling ke arah lain.
Ternyata kuda itu sudah berpindah tempat. Tegak kokoh dengan keempat kakinya di mulut lorong masuk lantai atas puri. Luwing raksasa, menyadari gerak lajunya dihambat. Luwing itu pun berhenti menggelinding. Persis di anak tangga paling atas. Tubuhnya tampak goyah karena pijakan yang kurang pas dengan besar dan bobotnya dirinya sendiri.
Tetapi mahluk itu nekad bertahan. Kepala atau moncongnya yang bertanduk diangkat, siap untuk menerjang ke depan. Sang lelaki paruh baya di atas punggung kuda bertindak pada waktu yang tepat. Cepat sekali gerakan lelaki itu. Tangan kanan diangkat ke atas kepala, sekejap mata sebilah keris sudah tergenggam di tangannya. Keris dengan pamor berwarna biru kebiruan yang memancar dan berpendar pendar menerangi ruangan puri. Persis ketika moncong luwing raksasa menyerbu ke depan, keris di tangan lelaki paruh baya itu melesat, menyambut.
Sehelaan nafas, tak terjadi apa- apa. Pada helaan nafas Karta berikutnya, barulah terdengar bunyi ledakan membahana, sehingga seluruh puri seketika terguncang. Tubuh luwing raksasa itu tiba –tiba berpendar mengeluarkan sinar hijau lalu pelahan –lahan sinar itu redup. Sejurus kemudian tubuh luwing raksasa, pecah berhamburan. Kemudian, pecahan serpihan tubuh mahkluk itu pun lenyap tidak berbekas.
Lelaki paruh baya itu masih duduk tegap di atas kuda putih tunggangannya. Tak ada keris di tangannya. Keris itu, entah lenyap ke mana pula. Kuda putih kelabu itu mendengus samar, kemudian menggerakkan keempat kakinya secara teratur. Menuruni anak tangga demi anak tangga.
Lalu berhenti di depan tubuh Karta, yang seketika bersimpuh mencium lantai, seraya merintihkan kata: "Gusti Tumenggung Jayengrono..."
Lelaki di atas kuda mengurangi senyum di bibirnya yang tipis. Ketika ia berkata, suaranya terdengar lembut menyejukkan hati.
" Aku ucapkan terimakasih, kau telah menyelamatkan keturunan Retno Inten Kartajaya. Lubuk hati ku yang terdalam aku sangat bangga pada mu. Dahulu kala aku yang sebenarnya merenggut kebahagiaan mu “
Karta tidak berani mengangkat kepalanya dari lantai.
"Hamba hanya ingin menebus kesalahan di masa lalu pada Gusti dan pada Gusti Ayu Retno Inten....", Karta mengisak pelan.
"Ampunilah hambamu yang bodoh ini, Gusti...", Karta memohon.
Tak ada sahutan. Yang ada hanya kesunyian belaka. Tetapi Karta tidak juga mengangkat mukanya. Meski ia sudah tahu, bahwa kuda serta penunggangnya sudah menghilang dari hadapannya. Terdengar lagi bunyi pintu kayu berderit menutup. Kemudian, sepi. Teramat sepi.
Pintu berhenti berderit. Pintu kini menganga sangat lebar. Dan kesunyian yang menekan. Serta gumpalan kabut di luar sana, yang tampak bergerak semakin mendekati ambang pintu. Lalu dari balik kabut itu terdengarlah bunyi langkah kaki - kaki kuda. Disusul munculnya sosok kuda ,bermata hitam. Di punggung kuda, duduklah seorang lelaki setengah baya. Badannya terlihat tegap dan kukuh dibalut dengan busana Jawa khas bangsawan pada era kerajaan Mataram. Sementara di kepalanya bertengger ikat kepala berwarna coklat selaras dengan pakaian yang dikenakannya.
Bangsawan itu menghentikan kudanya diambang pintu. la mengawasi sekitar ruangan, dan pandangannya berhenti cukup lama di tubuh Inka yang terkulai pingsan. Sepasang mata lelaki paruh baya itu tampak berkilat marah seketika, ketika sasaran pandangnya beralih ke sosok luwing yang tidak mampu lagi menyembunyikan wujudnya itu.
Luwing raksasa itu seketika melolong panjang mengerikan seperti ketakutan. Lalu berusaha menggulung dirinya cepat sekali, sudah berubah bundar pipih. Lalu secepat itu pula wujud bundar pipih menyerupai roda itu melesat dengan gelindingan cepat ke arah tangga yang menuju ke lantai atas. Disertai suara nafas memburu dari mendesing hiruk pikuk.
Terdengar ringkikan marah. Dan kuda di ambang pintu, beserta penunggang nya tahu - tahu menghilang dari pandangan mata Karta. Ketika ringkik keras kuda itu terdengar lagi, Karta berpaling ke arah lain.
Ternyata kuda itu sudah berpindah tempat. Tegak kokoh dengan keempat kakinya di mulut lorong masuk lantai atas puri. Luwing raksasa, menyadari gerak lajunya dihambat. Luwing itu pun berhenti menggelinding. Persis di anak tangga paling atas. Tubuhnya tampak goyah karena pijakan yang kurang pas dengan besar dan bobotnya dirinya sendiri.
Tetapi mahluk itu nekad bertahan. Kepala atau moncongnya yang bertanduk diangkat, siap untuk menerjang ke depan. Sang lelaki paruh baya di atas punggung kuda bertindak pada waktu yang tepat. Cepat sekali gerakan lelaki itu. Tangan kanan diangkat ke atas kepala, sekejap mata sebilah keris sudah tergenggam di tangannya. Keris dengan pamor berwarna biru kebiruan yang memancar dan berpendar pendar menerangi ruangan puri. Persis ketika moncong luwing raksasa menyerbu ke depan, keris di tangan lelaki paruh baya itu melesat, menyambut.
Sehelaan nafas, tak terjadi apa- apa. Pada helaan nafas Karta berikutnya, barulah terdengar bunyi ledakan membahana, sehingga seluruh puri seketika terguncang. Tubuh luwing raksasa itu tiba –tiba berpendar mengeluarkan sinar hijau lalu pelahan –lahan sinar itu redup. Sejurus kemudian tubuh luwing raksasa, pecah berhamburan. Kemudian, pecahan serpihan tubuh mahkluk itu pun lenyap tidak berbekas.
Lelaki paruh baya itu masih duduk tegap di atas kuda putih tunggangannya. Tak ada keris di tangannya. Keris itu, entah lenyap ke mana pula. Kuda putih kelabu itu mendengus samar, kemudian menggerakkan keempat kakinya secara teratur. Menuruni anak tangga demi anak tangga.
Lalu berhenti di depan tubuh Karta, yang seketika bersimpuh mencium lantai, seraya merintihkan kata: "Gusti Tumenggung Jayengrono..."
Lelaki di atas kuda mengurangi senyum di bibirnya yang tipis. Ketika ia berkata, suaranya terdengar lembut menyejukkan hati.
" Aku ucapkan terimakasih, kau telah menyelamatkan keturunan Retno Inten Kartajaya. Lubuk hati ku yang terdalam aku sangat bangga pada mu. Dahulu kala aku yang sebenarnya merenggut kebahagiaan mu “
Karta tidak berani mengangkat kepalanya dari lantai.
"Hamba hanya ingin menebus kesalahan di masa lalu pada Gusti dan pada Gusti Ayu Retno Inten....", Karta mengisak pelan.
"Ampunilah hambamu yang bodoh ini, Gusti...", Karta memohon.
Tak ada sahutan. Yang ada hanya kesunyian belaka. Tetapi Karta tidak juga mengangkat mukanya. Meski ia sudah tahu, bahwa kuda serta penunggangnya sudah menghilang dari hadapannya. Terdengar lagi bunyi pintu kayu berderit menutup. Kemudian, sepi. Teramat sepi.
Quote:
"STARTER LAGI!"
Jaka berteriak dari bawah kap depan mobil. Di belakang kemudi, Inka memutar kunci kontak. Mesin pun bergerung, garang. Jaka mengeluarkan kepala dari bawah kap, lalu menutupkan kap itu dengan hempasan keras. Secepat itu pula ia sudah berlari masuk, lalu menyelinap di sebelah jok yang ditempati Inka.
"Sekarang ...", katanya bergetar.
Mobil pun meluncur keluar dari samping puri. Disambut oleh kabut tebal yang bergulung-gulung di seantero permukaan halaman puri. Inka menyalakan lampu depan, kemudian lampu kabut. Mobil ia putar hati-hati, kemudian diluncurkan perlahan menuju pintu gerbang jauh di bawah sana. Mulut mereka sama terkunci, tegang menghinggapi keduanya.
Inka mengawasi jalan yang ditelan kabut. Sementara Jaka dengan muka tegang mengawasi ke kiri kanan, melihat samar sama bayang-bayang pepohonan mengintip dari balik kabut. Tak ada suara apa-apa di luar mobil. Terlalu sunyi. Terlalu sepi menekan.
"Awas!", Jaka memperingatkan tiba tiba.
Inka terkejut. Namun kemudi dapat ia kendalikan. Ia berhasil menghindari tubrukan ke seonggok benda di tepi jalan, tak jauh dari garasi yang tinggal reruntuhan menyedihkan.
“Onggokan itu.....”, pikir Inka, bergidik.
Onggokan besi tua mobilnya dengan mayat Anita yang ada di dalamnya. Inka terus meluncurkan mobil mendekati pintu gerbang .Ia sendiri tidak melihat, tetapi yakin bahwa di dalam onggokan itu pasti terdapat lumatan tubuh Anita. Inka yakin. Karena Karta yang mengatakan begitu. Orangtua yang malang. Ketika tadi Inka siuman, ia melihat Karta tak jauh darinya. Tengah berlutut mencium lantai. Tanpa bergerak - gerak.
Sewaktu Inka mendekatinya, orangtua yang sudah renta itu masih juga tak memperlihatkan reaksi. Seketika Inka tertegun, sadar bahwa tubuh itu sudah kaku. Mati. Inka menggoyangkan kepala. Membuang bayangan buruk dan menyedihkan dari akhir hidup si tua renta yang berasal dari masa silam itu. Tanpa sengaja, ekor mata Inka menangkap sesuatu ketika mobil yang dikemudikannya meluncur ke pintu gerbang yang tinggal dua tiga meter di depan.
Ada sosok samar samar berdiri di sebelah dalam ambang pintu gerbang. Sosok yang diam tak bergerak gerak di tepi jalan yang tertutup kabut. Terlihat samar-samar saja. Tetapi karena Inka merasa pernah melihat sosok yang sama, maka dengan cepat ia mengenali apa gerangan yang berdiri di tepi jalan itu. Menghadap ke arah datangnya mobil. Itu adalah seekor kuda putih atau kelabu.
Ada seseorang duduk di atasnya. Berpakaian aneh. Pakaian bangsawan Jawa lengkap dengan surjan, ikat kepala serta keris yang terselip di pinggangnya. Duduknya gagah, tampangnya masih terlihat guratan –guratan ketampanan di masa muda. Ketika di antara kabut, mata mereka sama bertemu, Inka melihat si bangsawan tersenyum ke arahnya.
Lalu terdengar suara memperingatkan: "Kak Inka ! Awas pintu ....”
Seketika Inka mengerem. Mobil terhentak diam, tetapi mesin masih tetap bergerung teratur. Jaka benar. Moncong mobil hanya beberapa senti jaraknya dari ujung pintu besi gerbang yang menganga terbuka itu.
Inka berbisik pelan: "Apakah kau melihatnya, Jaka?"
" Sangat jelas, pintu besi sebesar dan setinggi itu ..."
"Maksudku ....", Inka tidak melanjutkan kata - katanya. Karena ketika ia melirik lagi ke samping kanan, kuda beserta penunggangnya sudah lenyap. Tinggal kabut yang tebal, semakin tebal. Inka menghela nafas panjang.
Mobil ia mundurkan sedikit, kemudian meluncur lagi ke depan, melewati pintu gerbang.
Di sebelahnya, Jaka bertanya tegang: "Apakah yang kakak maksud, kakak melihat hantu si penjaga puri?"
Si penjaga puri?", Inka mengeluh, bingung sendiri. Yang manakah sesungguhnya, si penjaga puri! Bangsawan di atas kuda itu atau luwing raksasa yang sudah banyak menelan korban hari ini?! Di depan sana, semakin banyak pepohonan. Semakin kabut menipis. Jalan aspal tampak jelas dan nyata. Inka menekan pedal gas kuat – kuat dan mobil meluncur cepat meninggalkan puri yang semakin jauh di belakang.
Jaka berteriak dari bawah kap depan mobil. Di belakang kemudi, Inka memutar kunci kontak. Mesin pun bergerung, garang. Jaka mengeluarkan kepala dari bawah kap, lalu menutupkan kap itu dengan hempasan keras. Secepat itu pula ia sudah berlari masuk, lalu menyelinap di sebelah jok yang ditempati Inka.
"Sekarang ...", katanya bergetar.
Mobil pun meluncur keluar dari samping puri. Disambut oleh kabut tebal yang bergulung-gulung di seantero permukaan halaman puri. Inka menyalakan lampu depan, kemudian lampu kabut. Mobil ia putar hati-hati, kemudian diluncurkan perlahan menuju pintu gerbang jauh di bawah sana. Mulut mereka sama terkunci, tegang menghinggapi keduanya.
Inka mengawasi jalan yang ditelan kabut. Sementara Jaka dengan muka tegang mengawasi ke kiri kanan, melihat samar sama bayang-bayang pepohonan mengintip dari balik kabut. Tak ada suara apa-apa di luar mobil. Terlalu sunyi. Terlalu sepi menekan.
"Awas!", Jaka memperingatkan tiba tiba.
Inka terkejut. Namun kemudi dapat ia kendalikan. Ia berhasil menghindari tubrukan ke seonggok benda di tepi jalan, tak jauh dari garasi yang tinggal reruntuhan menyedihkan.
“Onggokan itu.....”, pikir Inka, bergidik.
Onggokan besi tua mobilnya dengan mayat Anita yang ada di dalamnya. Inka terus meluncurkan mobil mendekati pintu gerbang .Ia sendiri tidak melihat, tetapi yakin bahwa di dalam onggokan itu pasti terdapat lumatan tubuh Anita. Inka yakin. Karena Karta yang mengatakan begitu. Orangtua yang malang. Ketika tadi Inka siuman, ia melihat Karta tak jauh darinya. Tengah berlutut mencium lantai. Tanpa bergerak - gerak.
Sewaktu Inka mendekatinya, orangtua yang sudah renta itu masih juga tak memperlihatkan reaksi. Seketika Inka tertegun, sadar bahwa tubuh itu sudah kaku. Mati. Inka menggoyangkan kepala. Membuang bayangan buruk dan menyedihkan dari akhir hidup si tua renta yang berasal dari masa silam itu. Tanpa sengaja, ekor mata Inka menangkap sesuatu ketika mobil yang dikemudikannya meluncur ke pintu gerbang yang tinggal dua tiga meter di depan.
Ada sosok samar samar berdiri di sebelah dalam ambang pintu gerbang. Sosok yang diam tak bergerak gerak di tepi jalan yang tertutup kabut. Terlihat samar-samar saja. Tetapi karena Inka merasa pernah melihat sosok yang sama, maka dengan cepat ia mengenali apa gerangan yang berdiri di tepi jalan itu. Menghadap ke arah datangnya mobil. Itu adalah seekor kuda putih atau kelabu.
Ada seseorang duduk di atasnya. Berpakaian aneh. Pakaian bangsawan Jawa lengkap dengan surjan, ikat kepala serta keris yang terselip di pinggangnya. Duduknya gagah, tampangnya masih terlihat guratan –guratan ketampanan di masa muda. Ketika di antara kabut, mata mereka sama bertemu, Inka melihat si bangsawan tersenyum ke arahnya.
Lalu terdengar suara memperingatkan: "Kak Inka ! Awas pintu ....”
Seketika Inka mengerem. Mobil terhentak diam, tetapi mesin masih tetap bergerung teratur. Jaka benar. Moncong mobil hanya beberapa senti jaraknya dari ujung pintu besi gerbang yang menganga terbuka itu.
Inka berbisik pelan: "Apakah kau melihatnya, Jaka?"
" Sangat jelas, pintu besi sebesar dan setinggi itu ..."
"Maksudku ....", Inka tidak melanjutkan kata - katanya. Karena ketika ia melirik lagi ke samping kanan, kuda beserta penunggangnya sudah lenyap. Tinggal kabut yang tebal, semakin tebal. Inka menghela nafas panjang.
Mobil ia mundurkan sedikit, kemudian meluncur lagi ke depan, melewati pintu gerbang.
Di sebelahnya, Jaka bertanya tegang: "Apakah yang kakak maksud, kakak melihat hantu si penjaga puri?"
Si penjaga puri?", Inka mengeluh, bingung sendiri. Yang manakah sesungguhnya, si penjaga puri! Bangsawan di atas kuda itu atau luwing raksasa yang sudah banyak menelan korban hari ini?! Di depan sana, semakin banyak pepohonan. Semakin kabut menipis. Jalan aspal tampak jelas dan nyata. Inka menekan pedal gas kuat – kuat dan mobil meluncur cepat meninggalkan puri yang semakin jauh di belakang.
TAMAT
pintokowindardi memberi reputasi
5
Kutip
Balas