- Beranda
- Stories from the Heart
Teror Hantu Kos Baru Pejaten (berdasar pengalaman nyata)
...
TS
pakdhegober
Teror Hantu Kos Baru Pejaten (berdasar pengalaman nyata)
Assalamualaikum, semoga agan dan aganwati semua sehat, punya pacar dan enggak kehabisan uang.
Agan pernah, diganggu jin atau sejenis makhluk astral lainnya. Kalau belum, Alhamdulillah. Bagi yang udah pernah, agan berarti nggak sendirian. Karena Ane kali ini mau berbagi cerita tentang pengalaman 7 tahun lalu di sebuah rumah kos di Pejaten, Jakarta Selatan. Sekadar overview, ane sudah lama mau nulis cerita ini, tapi banyak pertimbangan. Yang paling berat karena kos-kosan ini masih ada sampe sekarang. Setahu ane juga rame terus. Semoga kondisinya sudah lebih baik sekarang. Karena itu sebelum membaca ada beberapa rules ya, mohon dimaklumi.
1. Ini beneran cerita nyata gan? Iye ada benernye, tapi ane menulis cerita ini dengan metodologi prosa modern, ambil gampangnya novel. Jadi ane perlu nambahin bumbu buat dramatisasi. Kalau terpaksa dibikin komposisi, kira-kira 50:50 gan.
2. Kos gue juga Pejaten gan! Ini Pejaten sebelah mananya? Udeh ye nikmatin aje, jangan ganggu lapak rejeki orang. Jangan-jangan kos ente yang ane maksud lagi, berabe kan?
3. Gan bagusnya ada foto kali, supaya lebih kentara aslinya, bisa difoto gan? Yah entar ane usahain dah, pura2 nanya kamar kosong, tapi ane bakal ambil foto yang anglenya kelihatan susah ditebak ya. Lagi-lagi ini properti orang gan, mereka punya hak. Tapi entar insya allah ane usahain.
4. Kayanya ane ngerti deh tempatnya di mana, yang di jalan ini kan, sebelah ini kan? Udeh kalo ngerti simpen aja dalem hati.
5. Apdetnya kapan gan? Insya allah paling enggak seminggu sekali, antara malem jumat sampe malem minggu. kalo ada waktu banyak bisa dua kali.
6. Gan, kalo penampakan yang ini asli? suara yang itu juga asli apa rekayasa? Ya udah sih baca aja, ini bukan tayangan fact or fiction.
Nah, gitu aja sih rulesnya. semoga cerita ini menghibur dan bermanfaat. kalau ada kesamaan nama, mohon maaf ya. Buat penghuni kos yang kebetulan baca (soalnya kamarnya banyak banget gan sekarang) semoga gak sadar. Kalopun sadar, ane doain sekarang kondisinya udah nyaman sekarang.
Selamat membaca.
Last Update 13/3/2019
Bersambung....
Agan pernah, diganggu jin atau sejenis makhluk astral lainnya. Kalau belum, Alhamdulillah. Bagi yang udah pernah, agan berarti nggak sendirian. Karena Ane kali ini mau berbagi cerita tentang pengalaman 7 tahun lalu di sebuah rumah kos di Pejaten, Jakarta Selatan. Sekadar overview, ane sudah lama mau nulis cerita ini, tapi banyak pertimbangan. Yang paling berat karena kos-kosan ini masih ada sampe sekarang. Setahu ane juga rame terus. Semoga kondisinya sudah lebih baik sekarang. Karena itu sebelum membaca ada beberapa rules ya, mohon dimaklumi.
1. Ini beneran cerita nyata gan? Iye ada benernye, tapi ane menulis cerita ini dengan metodologi prosa modern, ambil gampangnya novel. Jadi ane perlu nambahin bumbu buat dramatisasi. Kalau terpaksa dibikin komposisi, kira-kira 50:50 gan.
2. Kos gue juga Pejaten gan! Ini Pejaten sebelah mananya? Udeh ye nikmatin aje, jangan ganggu lapak rejeki orang. Jangan-jangan kos ente yang ane maksud lagi, berabe kan?
3. Gan bagusnya ada foto kali, supaya lebih kentara aslinya, bisa difoto gan? Yah entar ane usahain dah, pura2 nanya kamar kosong, tapi ane bakal ambil foto yang anglenya kelihatan susah ditebak ya. Lagi-lagi ini properti orang gan, mereka punya hak. Tapi entar insya allah ane usahain.
4. Kayanya ane ngerti deh tempatnya di mana, yang di jalan ini kan, sebelah ini kan? Udeh kalo ngerti simpen aja dalem hati.
5. Apdetnya kapan gan? Insya allah paling enggak seminggu sekali, antara malem jumat sampe malem minggu. kalo ada waktu banyak bisa dua kali.
6. Gan, kalo penampakan yang ini asli? suara yang itu juga asli apa rekayasa? Ya udah sih baca aja, ini bukan tayangan fact or fiction.
Nah, gitu aja sih rulesnya. semoga cerita ini menghibur dan bermanfaat. kalau ada kesamaan nama, mohon maaf ya. Buat penghuni kos yang kebetulan baca (soalnya kamarnya banyak banget gan sekarang) semoga gak sadar. Kalopun sadar, ane doain sekarang kondisinya udah nyaman sekarang.
Selamat membaca.
Spoiler for Prolog:
Quote:
Last Update 13/3/2019
Bersambung....
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 112 suara
Part bagusnya pake foto ilustrasi apa nggak?
Pake, biar makin ngefeel
42%
nggak usah, ane penakut
11%
terserah TS, yang penting gak kentang
47%
Diubah oleh pakdhegober 14-05-2022 11:55
bebyzha dan 141 lainnya memberi reputasi
128
1.2M
3.4K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
pakdhegober
#2537
Part 53: Mimpi Fani
Udara malam begitu sinis menanggapi kedatanganku di rumah Fani. Untungnya pagar masih dibuka sehingga aku tak perlu menggoda perhatian pemintas jalan dengan cara memanjat. Aku masuk dengan hati-hati, bahkan sedikit mengendap-endap, seperti garong pemula. Minatku adalah mengintai Pak Wi.
Kamarnya berada paling depan sebelah kiri, merangkap gudang galon air. Dari teras depan harus melewati tiga undakan. Kupikir tempat istirahat Pak Wi berbatasan persis dengan kamar Fani di belakang dan kamar Ruben di bawah. Ruangan itu tampak terang. Dengan begitu mungkin saja Pak Wi sedang di dalam. Aku pun mengatur langkah supaya lebih senyap, kalau bisa tidak didengar hantu.
Akhirnya sampai di depan pintunya! Degup jantung otomatis terpacu, mengarah ingin pipis lantaran takut ketahuan. Padahal Pak Wi belum tentu di dalam. Sialnya aku kesusahan mencari lubang intip.
Lalu aku dapat akal. Sebuah kursi plastik. Benda itu berguna untuk mengintip dari lubang ventilasi. Aku tak melihat usulan yang lebih baik daripada memanfaatkannya. Satu…dua…tiga..sampai hitungan sepuluh baru hati ini mantap. Hap! Aku sekarang bisa menembus ke dalam. Namun selanjutnya sepasang mata ini tak mampu berkedip ketika menangkapi pemandangan dalam kamar.
Pak Wi bersemedi! Tubuh itu begitu baku dalam timpuh. Nyaris tidak bergerak. Menghadap pada rupa-rupa sesaji dan yang terutama kembang mawar mengelilingi dirinya sendiri.
Keterangan oknum yang menyerupai Mbak Asih sejauh ini sahih tak bercela. Dan kalau kebenaran ini konsisten, aku harus menunggu sedikit lagi untuk mengungkap kejadian yang dirahasiakan itu. Meski dengkul mulai gemetar aku pantang kendur.
Tiba-tiba Pak Wi berdiri. Anehnya gerakan itu seperti dibimbing bukan oleh dirinya sendiri. Sangat mungkin dia kerasukan jin. Gerak layu nyaris tanpa otot itu pada akhirnya mampu membuat tubuh Pak Wi tegak. Ia tetap pada diamnya sampai beberapa saat lamanya.
Akan tetapi aku melewatkan suatu perkara yang sangat penting. Sebuah cermin besar yang letaknya lurus dari tempat berdirinya Pak Wi. Sedangkan aku pun mengintai tepat di belakangnya. Oleh karena itu Pak Wi mestinya mengetahui perbuatanku sejak tadi bertimpuh. Dan itu bukan tebak-tebakan belaka. Pak Wi sekarang tersenyum. Namun rupanya aku berhadapan dengan perkara yang lebih besar lagi: Pantulan dalam cermin itu dengan cepat berubah menjadi sosok yang lain.
Dua batang kakiku rasanya keropos seketika. Bunyi gedebuk! meramaikan malam yang pendiam. Ambil langkah cepat, melompati pagar balkon untuk kemudian berlari kesetanan menuju kamar Wina.
Namun upaya melarikan diri tertahan.
“Alvin! Mas Alvin!” Seseorang berhasil menghadang. Pintu ruang utama yang terbuat dari logam barusan saja berbunyi amat keras. Bersusah payah aku mengatur napas.
Pak Wi? Orang tua itu ada di depan mata. Bagaimana hal ini bisa dibenarkan?
“Ada apa ini?” ia bertanya, dahinya berlipat. Aku berjuang mengontrol diri secepatnya.
Pak Wi sedang di depan layar, menghibur diri dengan nonton komedi!
Dan terang saja kegaduhan yang kuciptakan talah menunda kesenangannya.
Sepenggalan waktu kemudian Pak Wi beranjak ke dapur untuk segera kembali dengan sebuah gelas. Sedang nafasku masih terengah-engah meski sudah lebih teratur.
“Minum air hangat ini supaya lebih enak.”
Gelas air berpindah tangan. Aku menatap mata Pak Wi. Namun diamnya mengatakan bahwa aku harus minum. Maka air setengah panas itu membasahi tenggorokanku yang rupanya terasa kering.
Beberapa saat sesudah itu Pak Wi mengulangi pertanyaannya. “Ada apa, Alvin? Apa yang kamu lihat?”
Susah percaya apakah ia menginginkan jawabannya. Lebih pastinya, perlukah Pak Wi bertanya demikian. Sebenarnya aku tak lagi lebih percaya pada diriku sendiri. Pikiran dan keyakinanku yang tadinya utuh kini retak, sehingga retakan itu tinggal menunggu waktu agar pecah menjadi kepingan-kepingan.
“Pak Wi…,siang tadi,” suara yang keluar gemetar dan lebih lemah dari perkiraanku, tapi aku perlu mencari kemungkinan yang lain. Jadi harus bicara. “Siang tadi saya bertemu Mbak Asih.”
Tidak ada perubahan pada wajahnya meski aku mengatakan itu. Berkata Pak Wi,
“Asih pulang kampung. Sekarang masih di perjalanan. Yang kamu temui itu hanyalah penyerupaan.”
Ucapan itu lebih baik daripada mengelak. Kuharap sikapnya menjadi lebih terbuka.
“Jika begitu siapa yang menyerupai Mbak Asih?”
Membiak senyum tua itu tetapi ia seperti tidak ingin menahan jawabannya.
“Itu Sukma.”
Daripada meyakininya mentah-mentah, mending mengobrol lebih jauh. Hanya saja aku perlu waktu sedikit lagi supaya merasa lebih tenang.
“Menurut Pak Wi, ada berapa jin di rumah ini?”
Pak Wi melenguh seperti halnya ingin mengejek, “Bukan cuma dia tentu.”
“Lalu apa alasan Pak Wi, bahwa yang tadi siang adalah Sukma?”
“Saya yang tahu rumah ini. Saya hapal. Kecuali…”
“Kecuali?” aku berupaya meyakinkannya agar berkata sejauh-jauhnya.
“Apa maksud kedatangan makhluk itu sesungguhnya.”
Pak Wi tiba-tiba saja memandangku lebih kuat. Ia bertanya, “Apa yang membuat kamu ketakutan?”
“Sosok itu mengikuti saya dari bawah,” terpaksa kusembunyikan kebenarannya.
“Sukma?”
“Makhluk bermata lancip itu. Saya melihatnya berdiri di sudut luar kamar Pak Wi.”
Pak Wi tak menyanggah ucapanku. Yang berarti Sukma juga berkeliaran sampai ke sana.
“Ada yang harus saya tanya, bagaimana mulanya Pak Wi tahu tentang ini?”
Ia terkekeh, “Bukannya saya sudah bilang?”
“Meditasi? Siapa yang menuntun Pak Wi bermeditasi?”
Pak Wi malah tertawa hingga agak lama. Lalu ia berkata setelah hening. “Ibadah saya ya begitu itu!”
Tidak ada pembahasan mendalam tentang tata cara ibadahnya. Aku pun tak peduli. Tiap-tiap orang berhak menuntun dirinya sendiri kepada Sang Pencipta.
“Suatu perkataan datang lagi membisiki saya.” Pak Wi mengangkat sebuah bingkai foto. Memandanginya kemudian berkata, “Saya akan menghubungi orang ini untuk bertemu besok.”
“Siapa orang itu, Pak Wi?”
Orang yang kuajak bicara tetap lekat pada foto tersebut. Berkata, “Ia datang ke sini sekian tahun lalu. Dulu saya kira maksudnya cuma ingin melakukan pekerjaannya.”
“Sepertinya pak tua itu penjaga rumah ini sebelumnya,” kataku menyela sembarangan.
Pak Wi berkata lagi,
“Suatu malam ia bertamu ke sini. Pembawaannya berbeda dari kebanyakan orang. Yang kuingat pertama ialah matanya yang bulat besar, dihiasi bulu mata yang panjang tetapi merunduk, seperti nyiur tua yang batangnya siap patah. Ia membawa sebuah koper dari bahan sejenis kulit kerbau serta tongkat yang ujung bawahnya bisa mengeluarkan gemerincing. Tongkat itu sekali-sekali dipukulkan ke bumi.”
“Lantas tanpa saya perkirakan orang itu mengumumkan, ‘Bangunan ini bisa roboh. Ada kerusakan yang cukup serius pada dasar tulang-tulangnya. Saya tak mengancam, kecuali saya seorang ahli bangunan. Maka segeralah rumah ini diperbaiki. Jangan sampai…’ ucapannya yang mirip omong kosong sampai di situ.”
“Tapi ayahnya Fani waktu itu menanggapi dengan baik. Beliau minta ditunjukkan bukti atas perkataan orang tersebut. Kemudian laki-laki bermata besar itu menyebutkan sekian banyak retakan dinding, dan di mana saja retakan itu bisa ditemukan. Sesudah pertunjukan aneh itu dia pamit dengan meninggalkan nomor telepon.”
“Yang punya rumah ini langsung mengujinya esok hari. Aneh betul, jumlah keretakan yang disebut kemarin persis sama berikut posisi dinding dan ruangannya. Maka tuan rumah memanggil orang itu untuk meminta tolong memperbaiki bangunan ini.”
Aku tertarik menyela omongan Pak Wi.
“Jadi apa hubungannya pria itu dengan maksud Pak Wi ingin menemuinya”
“Kamu ndak dengar kata saya yang tadi?”
Pak Wi mengembalikan gambar itu pada tempat semula, kemudian berdiri dengan tangan disimpan di belakang.
“Meditasi saja, bukan yang lain?” aku menggugat.
“Bisikan dan mimpi saya ndak pernah salah.”
“Tapi saya nggak percaya. Nggak masuk akal, Pak Wi.”
“Urusan kamu.”
“Saya yakin Pak Wi menerima bisikan atau mimpi. Tetapi…, sejak kapan kejadian misterius ini bermula?”
Bola mata Pak Wi membulat. Pasti dia sendiri tidak memperhitungkan hal itu. Kupikir aku berhasil mengganggu nalarnya.
Beberapa lamanya ia tak bergeming untuk berupaya menyanggah.
“Bukankah semuanya berawal sejak rumah ini direnovasi?”
Sekarang indera penglihatan Pak Wi berkejap-kejap. Kesempatan ini pantang aku sia-siakan.
“Bagaimana jika orang tersebutlah yang menjadi penyebab kesulitan di rumah ini!?”
Berubah garis-garis wajah Pak Wi. Dengan cepat ia berusaha mendekat untuk meluapkan emosinya. Aku cukup tenang untuk memberi isyarat agar dia mendengarkan lebih banyak.
“Apa yang Pak Wi dengar dan kira tidak selalu tentang kebenaran.”
“Siapa yang mengajari kamu?”
“Mbak Asih siang tadi.”
“Itu bukan Asih!”
“Juga bukan Sukma.”
“Alvin…hati-hati pada dirimu sendiri.”
“Saya tahu maksud Pak Wi. Tentang niat yang terpendam itu…”
Sekarang juga kelihatan urat-urat wajahnya menonjol. Bukan urusanku lagi. Namun pada saat yang sama aku menyadari telah berbuat amat jauh. Seluruh pengetahuan yang kumiliki tidak semestinya diucapkan.
Pak Wi ambil langkah meninggalkan ruangan ini. Dalam diam aku bertanya-tanya, mengapa Pak Wi tak membantah kalimat yang terakhir. Mungkin saja itu bermakna persetujuan.
Menuju kamar Wina. Kunci kamar ternyata masih menggantung di sisi luar. Ya ampun! dia lupa membawanya. Aku sedikit terhibur mengingat sifatnya yang pelupa.
Ponsel dalam saku depan celana berbunyi. Lebih nyaring saat malam. Hah! Bikin kaget saja. Tetapi antara beberapa detik pikiran langsung cerah. Fani memanggil.
“Hai!” sapaanku begitu bersemangat.
“Aku mimpi buruk barusan ini, ada hubungannya dengan mimpi kemarin malam,” tandasnya tanpa pendahuluan.
“Fani, kamu baik-baik saja di sana?”
“Pasti ada sesuatu di rumahku. Kamu di mana, vin?”
Aku berusaha tidak buru-buru, dan ucapannya mirip-mirip orang mengigau. Namun Fani tak bisa dihentikan. Nafasnya terdengar agak payah.
“Aku melihat makhluk jahat itu berada di kamarku. Ia kemudian keluar. Dalam mimpi aku mengikuti arahnya. Ke kamar Wina. Tampaknya jin itu tak menggubris apa yang ada di sekitarnya. Langkahnya terus ke depan hingga sampai tujuannya. Pintu kamar Wina terbuka setengah…”
“Fani, tolonglah, ada apa sih?” kujegal ceritanya. “Kamu lagi menakut-nakuti aku, ya?”
“Dengar aku, Alvin!” suaranya memuncak. Aku tak berminat membuatnya lebih geram.
Fani meneruskan ocehannya,
“Aku terjaga karena mimpi yang pertama. Tetapi malam ini mimpi itu kembali mengganggu. Makhluk menyeramkan itu berdiri tepat di belakangmu. Kamu sama sekali enggak sadar sedang dibayangi. Dia berusaha mendekat, bunyi berjalannya seperti gesekan. Perlahan demi perlahan.”
“Fani, aku nggak ingin bercanda sekarang.”
“Aku mengintainya dari balik pintu. Sekali lagi wujud itu tak hirau. Kemudian aku melihat sepertinya ia akan berbuat sesuatu terhadap kamu. Perwujudannya tak lain ialah makhluk dengan retak rahang dan bermata lancip yang pernah aku ceritakan itu. Alvin, kamu dengar aku?”
“Aku ingin teriak dalam mimpi tapi mulutku seolah-olah terkunci rapat. Hanya bisa menyaksikan adegan itu. Ketika ia semakin dekat, kamu semakin tidak menyadari. Kamu membuka jendela kamar di malam hari, menghunus pandangan jauh ke depan. Sementara ia terus mendekatimu.”
Beberapa kalimatnya yang terakhir sungguh akrab dalam ingatanku. Aku bersumpah baru saja membuka jendela, mendengar ceritanya sambil memandang jauh-jauh. Bagaimana Fani dapat mengatakan itu?
“Fani, apa yang aku kenakan dalam mimpi kamu?”
“Kaus hitam dan celana jins. Tangan kirimu dilingkari gelang rajut. Dan sepatu boots hitam.”
Saat itu pula aku menjauhkan ponsel. Semua yang disebutnya ialah yang kukenakan sekarang. Maka dengan sendirinya dadaku berdegup tidak karu-karuan, memicu kelenjar keringat lebih deras. Mataku terus memandang jauh ke depan lantaran tidak tahu apa yang bisa diperbuat.
Belakangan aku mendengar sejenis bunyi yang samar. Hanya saja kesunyian malam menyebabkan bunyi itu lebih jelas lagi. Ada yang mendekat. Seperti yang kudengar dari cerita Fani. Lama kelamaan ketakutan teramat itu menghasut supaya diriku lebih berani. Akhirnya dengan setengah pasrah aku membalikkan wajah.
Tidak ada siapa pun.
Suara yang sayup dari seberang memanggil namaku berulang-ulang. Panggilan Fani masih lagi terhubung.
Apa benar Fani yang berbicara denganku?
Kamarnya berada paling depan sebelah kiri, merangkap gudang galon air. Dari teras depan harus melewati tiga undakan. Kupikir tempat istirahat Pak Wi berbatasan persis dengan kamar Fani di belakang dan kamar Ruben di bawah. Ruangan itu tampak terang. Dengan begitu mungkin saja Pak Wi sedang di dalam. Aku pun mengatur langkah supaya lebih senyap, kalau bisa tidak didengar hantu.
Akhirnya sampai di depan pintunya! Degup jantung otomatis terpacu, mengarah ingin pipis lantaran takut ketahuan. Padahal Pak Wi belum tentu di dalam. Sialnya aku kesusahan mencari lubang intip.
Lalu aku dapat akal. Sebuah kursi plastik. Benda itu berguna untuk mengintip dari lubang ventilasi. Aku tak melihat usulan yang lebih baik daripada memanfaatkannya. Satu…dua…tiga..sampai hitungan sepuluh baru hati ini mantap. Hap! Aku sekarang bisa menembus ke dalam. Namun selanjutnya sepasang mata ini tak mampu berkedip ketika menangkapi pemandangan dalam kamar.
Pak Wi bersemedi! Tubuh itu begitu baku dalam timpuh. Nyaris tidak bergerak. Menghadap pada rupa-rupa sesaji dan yang terutama kembang mawar mengelilingi dirinya sendiri.
Keterangan oknum yang menyerupai Mbak Asih sejauh ini sahih tak bercela. Dan kalau kebenaran ini konsisten, aku harus menunggu sedikit lagi untuk mengungkap kejadian yang dirahasiakan itu. Meski dengkul mulai gemetar aku pantang kendur.
Tiba-tiba Pak Wi berdiri. Anehnya gerakan itu seperti dibimbing bukan oleh dirinya sendiri. Sangat mungkin dia kerasukan jin. Gerak layu nyaris tanpa otot itu pada akhirnya mampu membuat tubuh Pak Wi tegak. Ia tetap pada diamnya sampai beberapa saat lamanya.
Akan tetapi aku melewatkan suatu perkara yang sangat penting. Sebuah cermin besar yang letaknya lurus dari tempat berdirinya Pak Wi. Sedangkan aku pun mengintai tepat di belakangnya. Oleh karena itu Pak Wi mestinya mengetahui perbuatanku sejak tadi bertimpuh. Dan itu bukan tebak-tebakan belaka. Pak Wi sekarang tersenyum. Namun rupanya aku berhadapan dengan perkara yang lebih besar lagi: Pantulan dalam cermin itu dengan cepat berubah menjadi sosok yang lain.
Dua batang kakiku rasanya keropos seketika. Bunyi gedebuk! meramaikan malam yang pendiam. Ambil langkah cepat, melompati pagar balkon untuk kemudian berlari kesetanan menuju kamar Wina.
Namun upaya melarikan diri tertahan.
“Alvin! Mas Alvin!” Seseorang berhasil menghadang. Pintu ruang utama yang terbuat dari logam barusan saja berbunyi amat keras. Bersusah payah aku mengatur napas.
Pak Wi? Orang tua itu ada di depan mata. Bagaimana hal ini bisa dibenarkan?
“Ada apa ini?” ia bertanya, dahinya berlipat. Aku berjuang mengontrol diri secepatnya.
Pak Wi sedang di depan layar, menghibur diri dengan nonton komedi!
Dan terang saja kegaduhan yang kuciptakan talah menunda kesenangannya.
Sepenggalan waktu kemudian Pak Wi beranjak ke dapur untuk segera kembali dengan sebuah gelas. Sedang nafasku masih terengah-engah meski sudah lebih teratur.
“Minum air hangat ini supaya lebih enak.”
Gelas air berpindah tangan. Aku menatap mata Pak Wi. Namun diamnya mengatakan bahwa aku harus minum. Maka air setengah panas itu membasahi tenggorokanku yang rupanya terasa kering.
Beberapa saat sesudah itu Pak Wi mengulangi pertanyaannya. “Ada apa, Alvin? Apa yang kamu lihat?”
Susah percaya apakah ia menginginkan jawabannya. Lebih pastinya, perlukah Pak Wi bertanya demikian. Sebenarnya aku tak lagi lebih percaya pada diriku sendiri. Pikiran dan keyakinanku yang tadinya utuh kini retak, sehingga retakan itu tinggal menunggu waktu agar pecah menjadi kepingan-kepingan.
“Pak Wi…,siang tadi,” suara yang keluar gemetar dan lebih lemah dari perkiraanku, tapi aku perlu mencari kemungkinan yang lain. Jadi harus bicara. “Siang tadi saya bertemu Mbak Asih.”
Tidak ada perubahan pada wajahnya meski aku mengatakan itu. Berkata Pak Wi,
“Asih pulang kampung. Sekarang masih di perjalanan. Yang kamu temui itu hanyalah penyerupaan.”
Ucapan itu lebih baik daripada mengelak. Kuharap sikapnya menjadi lebih terbuka.
“Jika begitu siapa yang menyerupai Mbak Asih?”
Membiak senyum tua itu tetapi ia seperti tidak ingin menahan jawabannya.
“Itu Sukma.”
Daripada meyakininya mentah-mentah, mending mengobrol lebih jauh. Hanya saja aku perlu waktu sedikit lagi supaya merasa lebih tenang.
“Menurut Pak Wi, ada berapa jin di rumah ini?”
Pak Wi melenguh seperti halnya ingin mengejek, “Bukan cuma dia tentu.”
“Lalu apa alasan Pak Wi, bahwa yang tadi siang adalah Sukma?”
“Saya yang tahu rumah ini. Saya hapal. Kecuali…”
“Kecuali?” aku berupaya meyakinkannya agar berkata sejauh-jauhnya.
“Apa maksud kedatangan makhluk itu sesungguhnya.”
Pak Wi tiba-tiba saja memandangku lebih kuat. Ia bertanya, “Apa yang membuat kamu ketakutan?”
“Sosok itu mengikuti saya dari bawah,” terpaksa kusembunyikan kebenarannya.
“Sukma?”
“Makhluk bermata lancip itu. Saya melihatnya berdiri di sudut luar kamar Pak Wi.”
Pak Wi tak menyanggah ucapanku. Yang berarti Sukma juga berkeliaran sampai ke sana.
“Ada yang harus saya tanya, bagaimana mulanya Pak Wi tahu tentang ini?”
Ia terkekeh, “Bukannya saya sudah bilang?”
“Meditasi? Siapa yang menuntun Pak Wi bermeditasi?”
Pak Wi malah tertawa hingga agak lama. Lalu ia berkata setelah hening. “Ibadah saya ya begitu itu!”
Tidak ada pembahasan mendalam tentang tata cara ibadahnya. Aku pun tak peduli. Tiap-tiap orang berhak menuntun dirinya sendiri kepada Sang Pencipta.
“Suatu perkataan datang lagi membisiki saya.” Pak Wi mengangkat sebuah bingkai foto. Memandanginya kemudian berkata, “Saya akan menghubungi orang ini untuk bertemu besok.”
“Siapa orang itu, Pak Wi?”
Orang yang kuajak bicara tetap lekat pada foto tersebut. Berkata, “Ia datang ke sini sekian tahun lalu. Dulu saya kira maksudnya cuma ingin melakukan pekerjaannya.”
“Sepertinya pak tua itu penjaga rumah ini sebelumnya,” kataku menyela sembarangan.
Pak Wi berkata lagi,
“Suatu malam ia bertamu ke sini. Pembawaannya berbeda dari kebanyakan orang. Yang kuingat pertama ialah matanya yang bulat besar, dihiasi bulu mata yang panjang tetapi merunduk, seperti nyiur tua yang batangnya siap patah. Ia membawa sebuah koper dari bahan sejenis kulit kerbau serta tongkat yang ujung bawahnya bisa mengeluarkan gemerincing. Tongkat itu sekali-sekali dipukulkan ke bumi.”
“Lantas tanpa saya perkirakan orang itu mengumumkan, ‘Bangunan ini bisa roboh. Ada kerusakan yang cukup serius pada dasar tulang-tulangnya. Saya tak mengancam, kecuali saya seorang ahli bangunan. Maka segeralah rumah ini diperbaiki. Jangan sampai…’ ucapannya yang mirip omong kosong sampai di situ.”
“Tapi ayahnya Fani waktu itu menanggapi dengan baik. Beliau minta ditunjukkan bukti atas perkataan orang tersebut. Kemudian laki-laki bermata besar itu menyebutkan sekian banyak retakan dinding, dan di mana saja retakan itu bisa ditemukan. Sesudah pertunjukan aneh itu dia pamit dengan meninggalkan nomor telepon.”
“Yang punya rumah ini langsung mengujinya esok hari. Aneh betul, jumlah keretakan yang disebut kemarin persis sama berikut posisi dinding dan ruangannya. Maka tuan rumah memanggil orang itu untuk meminta tolong memperbaiki bangunan ini.”
Aku tertarik menyela omongan Pak Wi.
“Jadi apa hubungannya pria itu dengan maksud Pak Wi ingin menemuinya”
“Kamu ndak dengar kata saya yang tadi?”
Pak Wi mengembalikan gambar itu pada tempat semula, kemudian berdiri dengan tangan disimpan di belakang.
“Meditasi saja, bukan yang lain?” aku menggugat.
“Bisikan dan mimpi saya ndak pernah salah.”
“Tapi saya nggak percaya. Nggak masuk akal, Pak Wi.”
“Urusan kamu.”
“Saya yakin Pak Wi menerima bisikan atau mimpi. Tetapi…, sejak kapan kejadian misterius ini bermula?”
Bola mata Pak Wi membulat. Pasti dia sendiri tidak memperhitungkan hal itu. Kupikir aku berhasil mengganggu nalarnya.
Beberapa lamanya ia tak bergeming untuk berupaya menyanggah.
“Bukankah semuanya berawal sejak rumah ini direnovasi?”
Sekarang indera penglihatan Pak Wi berkejap-kejap. Kesempatan ini pantang aku sia-siakan.
“Bagaimana jika orang tersebutlah yang menjadi penyebab kesulitan di rumah ini!?”
Berubah garis-garis wajah Pak Wi. Dengan cepat ia berusaha mendekat untuk meluapkan emosinya. Aku cukup tenang untuk memberi isyarat agar dia mendengarkan lebih banyak.
“Apa yang Pak Wi dengar dan kira tidak selalu tentang kebenaran.”
“Siapa yang mengajari kamu?”
“Mbak Asih siang tadi.”
“Itu bukan Asih!”
“Juga bukan Sukma.”
“Alvin…hati-hati pada dirimu sendiri.”
“Saya tahu maksud Pak Wi. Tentang niat yang terpendam itu…”
Sekarang juga kelihatan urat-urat wajahnya menonjol. Bukan urusanku lagi. Namun pada saat yang sama aku menyadari telah berbuat amat jauh. Seluruh pengetahuan yang kumiliki tidak semestinya diucapkan.
Pak Wi ambil langkah meninggalkan ruangan ini. Dalam diam aku bertanya-tanya, mengapa Pak Wi tak membantah kalimat yang terakhir. Mungkin saja itu bermakna persetujuan.
Menuju kamar Wina. Kunci kamar ternyata masih menggantung di sisi luar. Ya ampun! dia lupa membawanya. Aku sedikit terhibur mengingat sifatnya yang pelupa.
Ponsel dalam saku depan celana berbunyi. Lebih nyaring saat malam. Hah! Bikin kaget saja. Tetapi antara beberapa detik pikiran langsung cerah. Fani memanggil.
“Hai!” sapaanku begitu bersemangat.
“Aku mimpi buruk barusan ini, ada hubungannya dengan mimpi kemarin malam,” tandasnya tanpa pendahuluan.
“Fani, kamu baik-baik saja di sana?”
“Pasti ada sesuatu di rumahku. Kamu di mana, vin?”
Aku berusaha tidak buru-buru, dan ucapannya mirip-mirip orang mengigau. Namun Fani tak bisa dihentikan. Nafasnya terdengar agak payah.
“Aku melihat makhluk jahat itu berada di kamarku. Ia kemudian keluar. Dalam mimpi aku mengikuti arahnya. Ke kamar Wina. Tampaknya jin itu tak menggubris apa yang ada di sekitarnya. Langkahnya terus ke depan hingga sampai tujuannya. Pintu kamar Wina terbuka setengah…”
“Fani, tolonglah, ada apa sih?” kujegal ceritanya. “Kamu lagi menakut-nakuti aku, ya?”
“Dengar aku, Alvin!” suaranya memuncak. Aku tak berminat membuatnya lebih geram.
Fani meneruskan ocehannya,
“Aku terjaga karena mimpi yang pertama. Tetapi malam ini mimpi itu kembali mengganggu. Makhluk menyeramkan itu berdiri tepat di belakangmu. Kamu sama sekali enggak sadar sedang dibayangi. Dia berusaha mendekat, bunyi berjalannya seperti gesekan. Perlahan demi perlahan.”
“Fani, aku nggak ingin bercanda sekarang.”
“Aku mengintainya dari balik pintu. Sekali lagi wujud itu tak hirau. Kemudian aku melihat sepertinya ia akan berbuat sesuatu terhadap kamu. Perwujudannya tak lain ialah makhluk dengan retak rahang dan bermata lancip yang pernah aku ceritakan itu. Alvin, kamu dengar aku?”
“Aku ingin teriak dalam mimpi tapi mulutku seolah-olah terkunci rapat. Hanya bisa menyaksikan adegan itu. Ketika ia semakin dekat, kamu semakin tidak menyadari. Kamu membuka jendela kamar di malam hari, menghunus pandangan jauh ke depan. Sementara ia terus mendekatimu.”
Beberapa kalimatnya yang terakhir sungguh akrab dalam ingatanku. Aku bersumpah baru saja membuka jendela, mendengar ceritanya sambil memandang jauh-jauh. Bagaimana Fani dapat mengatakan itu?
“Fani, apa yang aku kenakan dalam mimpi kamu?”
“Kaus hitam dan celana jins. Tangan kirimu dilingkari gelang rajut. Dan sepatu boots hitam.”
Saat itu pula aku menjauhkan ponsel. Semua yang disebutnya ialah yang kukenakan sekarang. Maka dengan sendirinya dadaku berdegup tidak karu-karuan, memicu kelenjar keringat lebih deras. Mataku terus memandang jauh ke depan lantaran tidak tahu apa yang bisa diperbuat.
Belakangan aku mendengar sejenis bunyi yang samar. Hanya saja kesunyian malam menyebabkan bunyi itu lebih jelas lagi. Ada yang mendekat. Seperti yang kudengar dari cerita Fani. Lama kelamaan ketakutan teramat itu menghasut supaya diriku lebih berani. Akhirnya dengan setengah pasrah aku membalikkan wajah.
Tidak ada siapa pun.
Suara yang sayup dari seberang memanggil namaku berulang-ulang. Panggilan Fani masih lagi terhubung.
Apa benar Fani yang berbicara denganku?
Diubah oleh pakdhegober 15-08-2019 19:09
bebyzha dan 13 lainnya memberi reputasi
14