Kaskus

Story

sabna.tamaraAvatar border
TS
sabna.tamara
Thread Perlombaan COC SFTH Kembalikan Cinta Yang Hilang
Quote:



Thread ini adalah thread perlombaan. Dilarang chit-chat, junk atau apapun disini. Hanya ada cerita yang dilombakan. Jika melanggar akan dikenakan sanksi berupa delete post, reset post atau banned.
emoticon-Jempol



Untuk melihat info selanjutnya atau ingin bertanya jika masih ada yang mengganjal, silahkan dilihat dan ditanyakan di Thread Utama. Terima kasih.
emoticon-Kimpoi
Diubah oleh sabna.tamara 04-02-2019 20:55
anasabilaAvatar border
actandproveAvatar border
terbitcomytAvatar border
terbitcomyt dan 17 lainnya memberi reputasi
18
44K
117
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
gitartua24Avatar border
gitartua24
#133
SUATU PAGI DI BANGKU TAMAN


kaskus-image





Hembusan angin pagi menemaniku saat melangkahkan kaki di jalan setapak yang terbuat dari campuran batu bulat dan semen. Disekelilingnya, rumput-rumput hijau tergelar luas seperti karpet, dengan pohon-pohon rindang yang seolah menyembunyikan bangunan yang ada.

Hari masih menunjukkan pukul delapan pagi, tetapi aku sudah berada disini tanpa seorangpun yang kukenal. Kaos hitam polos yang kupakai sama sekali tidak terlihat karena hoodie hitam dengan warna senada yang kukenakan.

Celana jeans biru indigo dengan beberapa lubang tambalan yang ditutupi oleh sebuah kain bermotif sashikomembuat beberapa orang yang berpapasan denganku menoleh. Ditambah lagi dengan fading pada sudut-sudut celana yang terbuat oleh waktu.

Suara dari sepatu Vans Era suicidal tendencies berwarna biru yang sudah lapuk menemaniku seiring aku melangkahkan kaki menuju bangku panjang yang berada di bawah pohon rindang. Tidak ada seorangpun yang berada di bangku kayu tua yang masih terawat tersebut, tidak juga dengan disekitarnya dimana meja-meja lain saling berdekatan.

Aku mengambil duduk di sudut bangku tersebut, mengeluarkan satu bungkus rokok marlboro merah yang baru kubeli dari sling bagku, menepuk-nepuk bagian atas agar menjadi lebih padat lalu membukanya. Aku mengambil satu batang rokok tersebut, menyelipkannya di mulut sebelum memasukkan bungkus sebelum menaruh kembali bungkusnya kedalam tas.

Pemantik api aku keluarkan dari dalam kantung celana, menyulutkannya pada ujung rokok sebelum menghisapnya dalam-dalam. Asap putih tipis keluar dari mulutku bersamaah dengan hembusan nafas, kunikmati sebatang rokokku dalam kesendirian.

Tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selain menikmati sejuknya angin pagi di tengah-tengah pepohonan sambil ditemani oleh sebatang rokok. Beberapa orang lewat dihadapanku, namun jumlahnya bisa dihitung oleh jari. sementara itu meja dengan bangku lainnya berjarak seratus meter lebih dari tempatku duduk.

Hisapan demi hisapan terus aku lakukan diiringi dengan keluarnya asap putih. Hisap, tarik, lalu buang. Hingga menyisakan puntung yang kubuang ketanah lalu kuinjak.

Aku menarik sedikit pergelangan hoodieku untuk melihat waktu dari jam komono berwarna hitam dengan strap coklat tua. Masih ada satu jam lagi sebelum perkuliahan pertama dimulai. Aku kembali mengambil satu batang rokok, kemudian membakarnya.

"Boleh minjem...." sebuah suara menyadarkanku dari lamunan. Seorang wanita dengan rambut pendek seleher dan wajah bulat. Wanita itu terlihat elegan dengan kemeja putih panjang dan rok hitam selutut. Ditambah lagi dengan flat shoes dan tas jinjingnya.

Pandanganku tertuju pada dada wanita tersebut. meskipun tidak terlalu besar, namun menyembul dari balik kemeja putihnya yang sedikit trasparan sehingga menunjukkan pakaian dalam hitamnya. selain dari kancing atasnya yang terbuka.

Buru-buru aku mengalihkan pandangan ketika wanita tersebut memeragakan gaya seseorang yang sedang menyulut rokok dengan tangannya. Tanpa bicara, aku memberikan pemantik api pada wanita tersebut.

Wanita tersebut mengambilnya, tangan halusnya sempat bersentuhan dengan kulitku ketika ia menerimanya. Kemudian duduk disebelahku sebelum menyulut rokok marlboro mentholnya.

"Makasih." kata wanita tersebut ketika mengembalikan pemantik apiku, diiringi dengan asap putih yang keluar dari mulutnya.

Aku mengambil pemantik apiku, lalu kembali dalam diam.

Tidak ada percakaman sama sekali diantara kami selama beberapa saat. hanya hembusan asap putih yang keluar dari mulut kami dan suara burung di dahan-dahan pohon.

"Ga kelas?" tanya wanita itu di tengah kebisuan. Aku menatapnya ketika ia menatapku.

"Jam 9 nanti..." kataku sambil emnghembuskan asap putih. "Lo?"

"Sama, jam 9 nanti, tapi harus ada urusan dulu sebelum jam sembilan."

Kami kembali terdian selama beberapa saat. Seperti layaknya dua orang yang baru saling mengenal.

"Angkatan berapa?" tanya wanita itu lagi.

"Angkatan berapa yaa, gue lupa. Tapi ini tahun kelima gue."

"Kalo boleh tau, jurusan apa?" wanita itu berbicara seperti tidak ada yang aneh ketika aku mengatakan bahwa ini adalah tahun kelimaku. Tidak ada nada merendahkan dari caranya berbicara, dan aku menghargai hal tersebut.

"IT..." jawabku. "Kalo lo? angkatan berapa?"

Wanita itu tidak langsung menjawab tertanyaanku, melainkan terkekeh sambil menutupi mulutnya. Menambah sifat anggunnya. "Emang gue keliatan kaya anak kuliahan ya?"

Aku tidak bisa untuk tidak terkejut mendengar jawaban wanita tersebut, "Oh, maaf bu, saya gatau." kataku sungkan.

Perkataanku justru membuat wanita itu kembali tertawa. "Santai aja lagi, lagian umur kita juga ga beda jauh. Jadi jangan panggil gue ibu."

Aku tidak berani untuk menanyakan umur wanita tersebut. Namun jika dilihat dari wajah dan postur tubuhnya, mungkin sekitar 27 atau 28 tahun. Umur yang cukup muda untuk menjadi dosen atau pengurus kampus.

"Dara..." kata wanita tersebut sambil menjulurkan tangannya untuk bersalaman.

"Saya Raga, bu..." aku membalas juluran tangan tersebut. Disela-sela kelembutan dan kehangatannya, terselip sensasi dingin dari suatu benda. Cincin emas melingkar di jari manis wanita tersebut.

Wanita itu menatapku sinis ketika kami berjabat tangan, "Jangan panggil gue ibu, emang gue keliatan tua banget apa?"

Aku tersenyum bodoh, kemudian kembali memperkenalkan diri, "Gue Raga..."

"Lo dosen apa kalo boleh tau?" tanyaku membuka pembicaraan kembali.

"Psikologi."

"Oh..."

"Kenapa? Kok keliatannya kaya kaget gitu?"

"Engga, gapapa." kataku mencoba menutupi kegugupanku, "Udah lama jadi dosen?"

"Baru sekitar dua tahun. Gue sempet praktik di salah satu rumah sakit sebelum mutusin jadi dosen." jelas Dara.

"Kalo itungannya pake semester berarti masih tuaan gue dong yaa?" tanyaku bergurau.

"Iya juga yaa, tapi tetep pangkatnya tinggian gue." kami tertawa bersama ketika mendengar perkataannya.

Ada getaran aneh di tubuhku ketika berbicara dengannya. Meskipun ini adalah pertemuan kami sebagai dua individu yang baru saling mengenal, tetapi seperti ada sebuat ikatan yang cepat terhubung ketika aku berbicara dengannya.

Aku sedang melihat jam tanganku ketika Dara juga melakukan hal yang sama. waktu sudah menunjukkan pukul delapan empat puluh lima. Dara bangkit dari duduknya, kemudian memastikan seluruh barang yang dibawanya sudah berada didalam tas.

"Gue duluan yaa, harus ada yang di ambil di ruang dosen." aku menjawabnya dengan anggukan. Dara berjalan meninggalkanku, nemun berhenti untuk sejenak melihat kearahku. "Gue biasa disini jam delapan." kemudian kembali melanjutkan langkahnya, meninggalkanku disini.

Aku mencoba memahami perkataan yang baru saja diucapkan oleh Dara. Hanya ada satu kemungkinan yang ada dipikiranku, yaitu ia berharap aku berada disini, ditempat yang sama esok hari. ketika aku menyadarinya, Dara sudah menghilang dari pandanganku.

Hanya beberapa menit sebelum kelas perkuliahanku dimulai, namun aku memutuskan untuk menghisap satu batang rokok lagi. Sebagai mahasiswa yang telah menjalani perkuliahan selama lima tahun, setidaknya aku tahu kapan waktu yang tepat untuk masuk kekelas tanpa menunggu dosen tiba.

Hari-hari berjalan seperti biasa. Membosanya. Tidak banyak hal yang bisa aku lakukan di dalam kelas selain mencatat-dan mencatat. Setelah kelas usai dan kembali ketempat tinggal akupun hanya berusaha mencari kesibukan sendiri.

*****


Di bawah pohon rindang yang sama, di tempat yang sama, di bangku yang sama, di waktu yang sama, Dara sudah berada disana. Membaca sebuah buku seorang diri tanpa mempedulikan siapapun yang lewat di depannya.

Ada sedikit keraguan ketika aku ingin menyapanya. Hari masih terlalu pagi untuk menuju kelas, dan aku tidak terlalu suka dengan keramaian. Sementara tempat sepi lain terlalu jauh untuk dijangkau.

Dengan pasti, aku berjalan menuju bangku dimana aku berada disana kemarin. Dara masih belum menyadari kehadiranku ketika aku berjalan kerahnya.

"Suka Murakami juga?" tanyaku membuyarkan lamunan Dara pada buku yang sedang dibacanya. Aku mengetahui buku yang ia baca dari samput depan yang sedikit terlihat ketika aku menghampirinya.

"Raga, gue kirain siapa...." kata Dara dengan wajah terkejut. "Gue kira lo ga dateng."

"Maklum, jalanan macet." sahutku dengan jawaban klise.

"Tadi lo nanya apa?" tanya Dara sambil memasukkan kembali buku yang ia baca kedalam tas. Hari ini ia mengenakan kemeja lengan panjang Zara berwarna hitam, dipadukan dengan celana bahan dan sepatu flat berwarna senada.

"Suka Murakami juga?" kataku kembali mengulang pertanyaan, kemudian duduk disebelahnya, mengeluarkan sebatang rokok lalu membakarnya.

"Iya, gue suka banget sama karya-karyanya dia, lo juga?"

Aku menjawabnya dengan anggukan, "Gue ngoleksi beberapa bukunya di tempat gue, masih ada sih yang belom dibaca, tapi punya aja dulu. Susah nyarinya."

"Buat ukuran anak IT selera lo aneh juga, harusnya lo masuk filsafat atau sastra."

"Banyak yang bilang gitu..." kami tertawa bersama mendengar pernyataanku. "Lo paling suka bukunya yang mana?"

"Yang paling baru."

"Tsukuru?"

Dara mengangguk mantap, "Gatau kenapa gue suka aja sama bukunya dia yang itu, kaya segala sesuatu tuh kadang jalan begitu aja."

"Maksud lo?"

"Dari mulai Tsukuru yang ditinggalin temen-temennya tanpa alasan yang jelas selama bertahun-tahun. Kadang kita juga ngeejalanin hidup tanpa harus tau apa yang sebenernya terjadi. Antara lo ga peduli dengan apa yang terjadi dalam hidup lo atau lo siap nerima apapun ketika ngedenger alasan orang-orang yang udah kita kenal selama bertahun-tahun."

"Emang bener sih, gue ga yakin pantes ngomong ini apa engga, tapi semakin kita tambah tua, akhirnya kita cuma ketemu orang kalau emang lagi ada butuhnya. Bukannya jadi temen kalau butuh, tapi emang harus ada yang jadi prioritas dalam hidup kita." Aku membuang asap putih yang kuhisap, mengingat-ingat kejadian yang pernah aku alami.

"Dan emang segala sesuatu ga selalu jalan dengan apa yang kita mau. Kaya kebanyakan buku Murakami, banyak cerita yang ngegantung. Tapi emang itu hidup, ga ada happy endingsebelum kita mati."

"Gue setuju, satu-satunya akhir ceerita manusia emang kematian. Kita ga perlu ngerasain lagi siksaan-siksaan dalam hidup." Aku kembali menghisap rokokku dalam-dalam, kemudian membuang asapnya. "Kadang gue bingung, ketika orang terdekat kita mati, kenapa kita harus sedih dengan kematian mereka. Maksud gue, mereka yang mati ga perlu ngerasain lagi kejamnya kehidupan, sementara kita yang hidup masih harus ngeerasain. Ketika kita nangisin kepergian seseorang, sebenernya kita nangisin sisa-sisa penderitaan kita di dunia."

Dara tersenyum mendengar jawabanku, "Kalo lo sendiri, lo suka bukunya murakami yang mana?"

"1Q84..."

"Karena?"

"Gue ngerasain dimensi yang beda aja, kaya jalan ngelewatin garis tipis antara fiksi dan realita, dan kita gatau yang mana yang asli."

"Terlepas dari hubungan Tengo sama Aomame?"

"Maksud lo waktu adegan terakhir mereka make love?" aku sedikit terperanjat dengan pertnyaanku, tidak seharusnya aku menanyakan hal tersebut pada seseorang yang baru kukenal dua hari. Tetapi dara tampak tidak acuh dengan perkataanku.

"Bisa jadi..." kata Dara sambil terkikih.

"Gue inget kata-kata Murakami di buku Wind, dia salut sama penulis yang ga masukin seks di cerita mereka, meskipun dalam konteks negara jepang. Tapi maksud gue itu hal yang wajar, emang seks kebutuhan dasar setiap manusia, dan seharusnya bukan jadi hal yang tabu ketika diomongin."

"Sama gue suka bukunya dia yang Kafka, sampe-sampe gue pengen kasih nama anak gue Kafka kalo laki-laki." dan kami kembali tertawa.

*****


Hari-hari terus berlanjut dengan pertemuan kami di pagi hari di bangku taman. Tidak terasa sudah melebihi dua bulan, tetapi aku merasa seperti mengenalnya bertahun-tahun lamanya. Tidak tahu kapan waktu ini akan berakhir, mungkin besok? tidak ada yang tahu.

"Lo tau nihilist?" tanyaku ketika Dara menanyakan alasanku mengambil cuti saat tahun keempatku, tahun yang seharusnya menjadi tahun terakhir masa perkuliahanku.

"Anggapan kalo manusia diciptakan tanpa tujuan? Dunia tanpa pencipta? Dan setiap manusia harus punya pegangan masing-masing buat nyari arti hidup mereka?"

Aku mengangguk, kemudian menghembuskan asap dari mulutku. "Waktu pertengahan tahun keempat, gue ngerasa kalo gue ga punya tujuan hidup. Oke kalo gue ngerasa salah ngambil jurusan, tapi itu lebih dari sekedar salah ngambil jurusan. Gue ga tau hidup gue mau dibawa kemana, toh orang-orang disekitar gue nanti juga pasti bakal ngelupain gue ketika gue mati. Menurut gue itu hal yang wajar, setiap orang pasti bakal ngalamin yang namanya dilupakan waktu mereka mati."

"Terus?"

"Gue coba cari, sebenernya apa sih yang gue pengenin dalam hidup gue ini. Gue coba ngelakuin hal yang gue bisa dan gue suka. Tapi masih belom cukup. Sampe gue sadar kalo gue takut ketika gue mati ga ada yang inget lagi sama gue."

"Dan yang lo lakukan untuk itu adalah?"

"Gue coba buat nulis buku, tenang kehidupan yang pengen gue jalanin. Terlepas dari buku-buku yang gue baca dan kartun yang gue tonton waktu kecil. Gue pengen nyari tempat dimana gue seharusnya ada."

"Tanggepan orang-orang di sekitar lo waktu ngambil cuti gimana?"

"Hampir semuanya sama. Sayang tingga sedikit lagi, ini lah, itu lah. Tapi gue anggep itu wajar secara logika, tapi perasaan gue bilang kalo tempat gue bukan di jalan gue yang sekarang."

"Alesan lo nerusin kuliah lagi apa?"

"Kaya yang lo peranah bilang soal buku Tsukuru, kadang emang hidup berjalan seperti seharusnya aja tanpa ada yang tau kedepannya bakal gimana. Toh gue cuman ngambil gelar dan berusaha untuk bikin buku yang pantes buat di terbitin supaya ga jadi budak koorporat."

Dara terdiam selama beberapa saat, seperti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan namun tetahan di mulutnya.

"Kenapa Dar?" tanyaku memecah kebisuan.

"Gue takut kalo hari ini jadi pertemuan terkahir kita."

"Maksud lo? gara-gara ucapan gue barusan?"

"Bukan..." Dara mengangkat tangan kanannya, menunjukkan benda yang melingkar di jari manisnya. "Gue yakin lo pasti paham dari awal kita kenal."

Aku tersenyum mendengar perkataan Dara, namun dalam hatiku menjerit. "Apa yang ngebuat lo ga yakin?"

"Entah lah, kaya yang lo bilang. Gue juga ga tau apa tujuan hidup gue, selama ini gue cuman ngikutin kata-kata orang tua gue selama ini. Termasuk dengan pernikahan gue."

"Lo ga coba buat berontak atau gimana gitu?"

"Berkali-kali, ga cuman sekali. Tapi hasilnya sama, ga ada yang denger kata-kata gue."

"Gue ga tau harus ngomong apa." kataku mencoba bersimpati.

"Cepat atau lambat, setiap pertemuan emang harus ada perpisahan."

"Tapi gue ga nyangka secepet ini."

"Ga ada yang bisa ngelawan waktu Ga, begitu juga dengan takdir. Tapi persetan dengan takdir, kita bahkan ga tau apa surga neraka itu beneran ada."

"Jadi ini terakhir kali kita ketemu?"

Dara tersenyum kepadaku, "Kalo kita ga ketemu lagi, satu hal yang lo harus tau, gue ga akan lupa waktu-waktu kita bareng."

Hari-hari berukutnya Dara tidak pernah datang ke tempat ini lagi. Meninggalkanku sedirian di bangku kayu tua dengan sebatang rokok yang terus aku hisap satu persatu hingga menjadi abu dan asap polusi. Tidak ada kesedihan yang berlebihan, semua memang berjalan seperti seharusnya.

Seperti bab akhir dari setiap novel, setiap tokoh harus terus melanjutkan hidup mereka. Begitu juga denganku yang harus menghabisi beberapa bulan lagi sebelum kelulusan. Satu hal yang aku pelajari, ketika kita menghargai setiap pertemuan yang kita lakukan.


-FIN-

Diubah oleh gitartua24 21-02-2019 10:51
2
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.