- Beranda
- Stories from the Heart
PURI KERAMAT
...
TS
breaking182
PURI KERAMAT
PURI KERAMAT
Quote:

SINOPSIS
Quote:
Berawal dari kematian Ario Keling seorang keturunan bangsawan di masa kerajaan Mataram. Ke empat anaknya beserta dua menantunya datang ke desa Kemulan untuk menghadiri prosesi pemakaman. Suatu desa terpencil yang terletak di lereng Gunung Merapi dan selalu berselimutan kabut. Inka salah satu menantu Ario Keling merasakan ada keganjilan pada saat akan memasuki pintu gerbang puri. Ia melihat sesosok bangsawan di atas punggung kuda besar dengan dua dayang pengiring. Tidak sampai disitu saja, satu hari sebelum pemakaman Ario Keling. Suaminya yang bernama Nagara atau anak sulung Ario Keling tiba –tiba lenyap tidak berbekas secara misterius. Dari situlah rentetan peristiwa berdarah di mulai. Apakah pelakunya Nagara karena ingin menguasai harta warisan yang tersimpan di dalam puri itu? Dan siapakah yang akan keluar dari puri itu hidup – hidup?
Quote:
INDEKS
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
TAMAT
Diubah oleh breaking182 27-02-2019 10:49
mincli69 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
14.6K
Kutip
71
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#53
PART 20
Quote:
Sulastri menunduk di depan Jayengrono, perempuan bekas dayang yang sekarang menjadi istri tumenggung Jayengrono sama sekali tidak berani mengangkat wajah sedikitpun. Sementara Jayengrono memandangi perempuan itu tanpa berkedip. Di wajah lelaki tua ini tampak terlihat memendam rasa marah dan kecewa bertumpuk di hati si orang tua. Menyesal mengapa dia dulu mengambil Sulastri menjadi istri. Kesemuanya itu menumpuk menjadi kemarahan yang meluap.
"Aku harap kau berkata jujur terhadapku Lastri ?"
Sulastri akhirnya mendongak dan memandang wajah suaminya sejenak. Hatinya berdebar. Ada kelainan pada wajah itu kini, juga kelainan pada nada suaranya.
"Mana mungkin saya menduganya Kanda," kata Sulastri pula.
"Sejak beberapa lama ini aku merasa curiga melihat perubahan pada tubuh dan kebiasaan mu. Sudah beberapa pagi ini kau muntah – muntah. Belum lagi kau selalu suruh Karta mencari buah – buahan asam "
Bicara sampai di situ Jayengrono dapat melihat perubahan pada wajah istrinya. Lalu dia melanjutkan:
"Hari ini kupanggil kau karena jelas kulihat ada perubahan pada dirimu. Pada tubuh mu "
"Pe… perubahan apa maksud Kanda…."
Sulastri gugup.
"Saya merasa tidak ada perubahan apa-apa…."
"Kau gugup Lastri…."
"Karena… karena saya terkejut mendengar ucapan Kanda tadi"
Jayengrono tersenyum rawan.
“ Apakah kau hamil Lastri ?”
Sulastri tersenyum, lalu perempuan itu beringsut mendekati Jayengrono kemudian membelai tangan lelaki itu. Sembari tersenyum manis.
“ Saya sebenarnya ingin memberi kejutan pada Kanda perihal itu. Memang benar saya beberapa hari ini muntah –muntah di pagi hari. Kanda sebentar lagi akan punya seorang anak yang akan melanjutkan generasi tumenggung Jayengrono “
Tiba –tiba Jayengrono menepiskan tangan istrinya, lelaki itu lalu berdiri tegak. Wajahnya kelam membesi merah padam. Lastri tersentak kaget.
“ Dengar Lastri, masih ingatkah kau pada saat malam pertama kita? “
Lastri diam seribu bahasa, Jayengrono melanjutkan perkataannya.
“ Aku ini sudah tidak mampu untuk memiliki anak lagi. Tuntutan suatu ilmu yang aku dalami dahulu kala setelah almarhum Galuh Parwati melahirkan puteriku satu –satunya yaitu Retno Inten. Dan jika tiba –tiba kau mengaku kalau kau hamil karena berhubungan dengan ku. Jelas sudah kau telah bermain serong di belakang ku. Katakan siapa lelaki itu ?! “
Sulastri terkejut, ia baru sadar dan teringat perihal itu. Manakala Jayengrono mengatakan kepadanya bahwa ia tidak akan bisa memiliki anak lagi karena tuntutan ilmu yang didalaminya. Sulastri telah melakukan kesalahan fatal, akan tetapi perempuan ini memiliki banyak cara dan cukup licik. Lalu tanpa perasaan bersalah ia berkata,
“ Ampun kanda, anak yang ada di rahim saya ini adalah anak Kanda. Darah daging kanda, demi Tuhan. Bolehlah Kanda mengatakan kalau Kanda tidak mampu lagi memberi anak tetapi kalau Gusti Allah berkata lain. Apapun bisa terjadi dan demi Allah, anak ini anak Kanda “
Jayengrono mendengus.
"Kau pandai bicara sekarang Lastri. Dan pandai serta berani pula berdusta kepadaku. Lebih dari itu kau telah menipu dirimu sendiri. Selama bertahun-tahun kau di sini tak pernah kuajarkan padamu ilmu berdusta dan menipu diri. Kenapa tahu-tahu sekarang kau bisa berbuat begitu? Apakah tengah malam buta kau keluar mengendap –endap dari puri untuk bertemu dengan lelaki itu?"
Sampai di situ mulut Sulastri terkancing rapat. Kepalanya ditundukkan. Sepasang matanya tidak dapat lagi menatap ke arah sang tumenggung. Jayengrono tambah naik pitam.
“ Lekas Lastri katakan kepadaku, jujurlah kepadaku siapa lelaki itu! “
"Perempuan penipu!" bentak Tumenggung Jaynegrono seraya berdiri dari kursi yang didudukinya. Dia menunjuk ke pintu.
"Tidak kusangka akan sekotor itu hatimu. Tidak kusangka kau berani bicara dusta terhadap suami mu! Puri yang kudirikan ini kau nodai dengan perbuatan mesum! Kau betul-betul terkutuk. Mulai hari ini kau tidak kuakui sebagai istri lagi! Kau kuusir dan sini! Pergi!"
"Kanda…!" Sulastri jatuhkan diri.
"Ampuni hamba!"
"Jangan bersujud dihadapanku. Aku bukan Tuhanmu! Jangan minta ampun padaku!”
Sulsatri kembali merengek dan menghiba –hiba. Jayengrono sudah tidak kuasa menahan amarah yang menggelegak. Tangannya terayun. Satu tamparan keras mendarat di pipi Sulastri. Perempuan itu terpekik, kepalanya sampai terdorong ke belakang. Darah mengalir dari sudut bibirnya yang pecah.
“ Aku tidak sudi melihatmu lagi! Aku tidak sudi dalam puri kelak lahir seorang anak haram!"
Sulastri yang tidak tahan lagi mendengar kata-kata suaminya itu menggerung dan lari ke luar puri. tumenggung Jayengrono katupkan rahangnya rapat- rapat. Pelipisnya bergerak-gerak. Lalu dia melangkah ke dalam naik melalui tangga sebentar kemudian terdengar suara pintu yang dibanting dengan keras !
"Aku harap kau berkata jujur terhadapku Lastri ?"
Sulastri akhirnya mendongak dan memandang wajah suaminya sejenak. Hatinya berdebar. Ada kelainan pada wajah itu kini, juga kelainan pada nada suaranya.
"Mana mungkin saya menduganya Kanda," kata Sulastri pula.
"Sejak beberapa lama ini aku merasa curiga melihat perubahan pada tubuh dan kebiasaan mu. Sudah beberapa pagi ini kau muntah – muntah. Belum lagi kau selalu suruh Karta mencari buah – buahan asam "
Bicara sampai di situ Jayengrono dapat melihat perubahan pada wajah istrinya. Lalu dia melanjutkan:
"Hari ini kupanggil kau karena jelas kulihat ada perubahan pada dirimu. Pada tubuh mu "
"Pe… perubahan apa maksud Kanda…."
Sulastri gugup.
"Saya merasa tidak ada perubahan apa-apa…."
"Kau gugup Lastri…."
"Karena… karena saya terkejut mendengar ucapan Kanda tadi"
Jayengrono tersenyum rawan.
“ Apakah kau hamil Lastri ?”
Sulastri tersenyum, lalu perempuan itu beringsut mendekati Jayengrono kemudian membelai tangan lelaki itu. Sembari tersenyum manis.
“ Saya sebenarnya ingin memberi kejutan pada Kanda perihal itu. Memang benar saya beberapa hari ini muntah –muntah di pagi hari. Kanda sebentar lagi akan punya seorang anak yang akan melanjutkan generasi tumenggung Jayengrono “
Tiba –tiba Jayengrono menepiskan tangan istrinya, lelaki itu lalu berdiri tegak. Wajahnya kelam membesi merah padam. Lastri tersentak kaget.
“ Dengar Lastri, masih ingatkah kau pada saat malam pertama kita? “
Lastri diam seribu bahasa, Jayengrono melanjutkan perkataannya.
“ Aku ini sudah tidak mampu untuk memiliki anak lagi. Tuntutan suatu ilmu yang aku dalami dahulu kala setelah almarhum Galuh Parwati melahirkan puteriku satu –satunya yaitu Retno Inten. Dan jika tiba –tiba kau mengaku kalau kau hamil karena berhubungan dengan ku. Jelas sudah kau telah bermain serong di belakang ku. Katakan siapa lelaki itu ?! “
Sulastri terkejut, ia baru sadar dan teringat perihal itu. Manakala Jayengrono mengatakan kepadanya bahwa ia tidak akan bisa memiliki anak lagi karena tuntutan ilmu yang didalaminya. Sulastri telah melakukan kesalahan fatal, akan tetapi perempuan ini memiliki banyak cara dan cukup licik. Lalu tanpa perasaan bersalah ia berkata,
“ Ampun kanda, anak yang ada di rahim saya ini adalah anak Kanda. Darah daging kanda, demi Tuhan. Bolehlah Kanda mengatakan kalau Kanda tidak mampu lagi memberi anak tetapi kalau Gusti Allah berkata lain. Apapun bisa terjadi dan demi Allah, anak ini anak Kanda “
Jayengrono mendengus.
"Kau pandai bicara sekarang Lastri. Dan pandai serta berani pula berdusta kepadaku. Lebih dari itu kau telah menipu dirimu sendiri. Selama bertahun-tahun kau di sini tak pernah kuajarkan padamu ilmu berdusta dan menipu diri. Kenapa tahu-tahu sekarang kau bisa berbuat begitu? Apakah tengah malam buta kau keluar mengendap –endap dari puri untuk bertemu dengan lelaki itu?"
Sampai di situ mulut Sulastri terkancing rapat. Kepalanya ditundukkan. Sepasang matanya tidak dapat lagi menatap ke arah sang tumenggung. Jayengrono tambah naik pitam.
“ Lekas Lastri katakan kepadaku, jujurlah kepadaku siapa lelaki itu! “
"Perempuan penipu!" bentak Tumenggung Jaynegrono seraya berdiri dari kursi yang didudukinya. Dia menunjuk ke pintu.
"Tidak kusangka akan sekotor itu hatimu. Tidak kusangka kau berani bicara dusta terhadap suami mu! Puri yang kudirikan ini kau nodai dengan perbuatan mesum! Kau betul-betul terkutuk. Mulai hari ini kau tidak kuakui sebagai istri lagi! Kau kuusir dan sini! Pergi!"
"Kanda…!" Sulastri jatuhkan diri.
"Ampuni hamba!"
"Jangan bersujud dihadapanku. Aku bukan Tuhanmu! Jangan minta ampun padaku!”
Sulsatri kembali merengek dan menghiba –hiba. Jayengrono sudah tidak kuasa menahan amarah yang menggelegak. Tangannya terayun. Satu tamparan keras mendarat di pipi Sulastri. Perempuan itu terpekik, kepalanya sampai terdorong ke belakang. Darah mengalir dari sudut bibirnya yang pecah.
“ Aku tidak sudi melihatmu lagi! Aku tidak sudi dalam puri kelak lahir seorang anak haram!"
Sulastri yang tidak tahan lagi mendengar kata-kata suaminya itu menggerung dan lari ke luar puri. tumenggung Jayengrono katupkan rahangnya rapat- rapat. Pelipisnya bergerak-gerak. Lalu dia melangkah ke dalam naik melalui tangga sebentar kemudian terdengar suara pintu yang dibanting dengan keras !
Quote:
KARTAJAYA buyar semua lamunannya manakala terdengar suara ribut – ribut dari dalam puri yang tidak berselang lama kemudian seorang perempuan berlari keluar puri sembari menangis berurai air mata. Kartajaya sontak beranjak dari duduknya. Lelaki itu lalu berlari mengejar ke arah perempuan yang tengah berlari sembari menangis itu.
Sulastri mengis tersedu –sedu tanpa menghiraukan suara Kartajaya yang menanggil –manggil namanya.
“ Gusti Putri.. mau kemana?!“
Sulastri terus berlari menyebrangi halaman puri yang luas sesampainya di pintu gerbang yang tertutup seorang penjaga menunduk hormat. Jelas terlihat tanda tanya di wajah penjaga itu melihat Sulastri menangis dan berlari – lari. Tanpa banyak bertanya penjaga itu lalu membukakan pintu gerbang. Sulastri berlalu tanpa sepatah katapun.
Air mata masih bercucuran dari kedua matanya. Ia berlari makin jauh meninggalkan puri sampai di jalan yang menurun Sulastri berteriak tiba-tiba. Rupanya kakinya terkait akar pohon yang menyembul di tanah. la jatuh terjerembap. Baru saja ia akan berdiri sebuah lengan kuat menarik tangannya membantu untuk berdiri. Sulastri menoleh ke belakang siapa gerangan yang memegang tangannya. Kartajaya tampak khawatir melihat keadaan Sulastri.
“ Lastri, sebenarnya ada apa? “
“ Mengapa bibir mu berdarah seperti itu? Kau dipukuli Gusti Jayengrono? “, Kartajaya bertanya sembari tidak mampu menyembunyikan kegeramannya.
Sulastri tidak mejawab, ia langsung memeluk Kartajaya dan menangis tersedu –sedu di dada lelaki itu. Kartajaya membiarkan perempuan yang dicintainya itu menumpahkan segala kesedihan dalam linangan air mata. Manakala Sulastri sudah mampu menguasai diri maka, perempuan itu menceritakan semuanya yang terjadi antara dirinya dan tumenggung Jayengrono. Jantung Kartajaya berdegup keras begitu mengetahui bahwa Jayengrono telah curiga dan tahu bahwa bayi yang dikandung Sulastri bukanlah anaknya.
“ Gawat Lastri, kita harus segera meninggalkan puri. Kalau Gusti Jayengrono tahu bahwa akulah yang ada di balik masalah ini sudah pasti beliau akan membunuh ku. Sementara kau turunlah ke desa Kemulan temui Mbok Dharma dan barang dua hari sampai tiga hari bersembunyilah disana. Katakan saja kau ditugaskan oleh Gusti Jayengrono untuk mengawasi pekerjaan di perkebunan. Kau paham? “
“ Tapi bagaimana dengan rencana kita Karta? Sudah sejauh ini hampir berhasil kurang satu langkah lagi hidup kita akan berubah “
Kartajaya menggelengkan kepalanya berkali –kali. Lalu sesaat kemudian ia berkata,
“ Baiklah jika itu kemauan mu Lastri aku akan melanjutkan rencana mu yang tinggal selangkah itu. Sekarang pergilah! Aku akan kembali ke puri, besok pagi kalau rencana ku berhasil aku segera menjemput mu pulang. Jaga baik –baik anak kita “
Kartajaya lantas merunduk lalu mencium perut Sulastri yang belum begitu buncit. Setelah keduanya berpelukan, Sulastri lalu perlahan meninggalkan Kartajaya yang masih berdiri di tempatnya semula. Ia memandangi Sulastri yang berjalan menuju ke arah Desa Kemulan, lelaki itu baru pergi manakala tubuh Sulastri lenyap di tikungan jalan.
Sulastri mengis tersedu –sedu tanpa menghiraukan suara Kartajaya yang menanggil –manggil namanya.
“ Gusti Putri.. mau kemana?!“
Sulastri terus berlari menyebrangi halaman puri yang luas sesampainya di pintu gerbang yang tertutup seorang penjaga menunduk hormat. Jelas terlihat tanda tanya di wajah penjaga itu melihat Sulastri menangis dan berlari – lari. Tanpa banyak bertanya penjaga itu lalu membukakan pintu gerbang. Sulastri berlalu tanpa sepatah katapun.
Air mata masih bercucuran dari kedua matanya. Ia berlari makin jauh meninggalkan puri sampai di jalan yang menurun Sulastri berteriak tiba-tiba. Rupanya kakinya terkait akar pohon yang menyembul di tanah. la jatuh terjerembap. Baru saja ia akan berdiri sebuah lengan kuat menarik tangannya membantu untuk berdiri. Sulastri menoleh ke belakang siapa gerangan yang memegang tangannya. Kartajaya tampak khawatir melihat keadaan Sulastri.
“ Lastri, sebenarnya ada apa? “
“ Mengapa bibir mu berdarah seperti itu? Kau dipukuli Gusti Jayengrono? “, Kartajaya bertanya sembari tidak mampu menyembunyikan kegeramannya.
Sulastri tidak mejawab, ia langsung memeluk Kartajaya dan menangis tersedu –sedu di dada lelaki itu. Kartajaya membiarkan perempuan yang dicintainya itu menumpahkan segala kesedihan dalam linangan air mata. Manakala Sulastri sudah mampu menguasai diri maka, perempuan itu menceritakan semuanya yang terjadi antara dirinya dan tumenggung Jayengrono. Jantung Kartajaya berdegup keras begitu mengetahui bahwa Jayengrono telah curiga dan tahu bahwa bayi yang dikandung Sulastri bukanlah anaknya.
“ Gawat Lastri, kita harus segera meninggalkan puri. Kalau Gusti Jayengrono tahu bahwa akulah yang ada di balik masalah ini sudah pasti beliau akan membunuh ku. Sementara kau turunlah ke desa Kemulan temui Mbok Dharma dan barang dua hari sampai tiga hari bersembunyilah disana. Katakan saja kau ditugaskan oleh Gusti Jayengrono untuk mengawasi pekerjaan di perkebunan. Kau paham? “
“ Tapi bagaimana dengan rencana kita Karta? Sudah sejauh ini hampir berhasil kurang satu langkah lagi hidup kita akan berubah “
Kartajaya menggelengkan kepalanya berkali –kali. Lalu sesaat kemudian ia berkata,
“ Baiklah jika itu kemauan mu Lastri aku akan melanjutkan rencana mu yang tinggal selangkah itu. Sekarang pergilah! Aku akan kembali ke puri, besok pagi kalau rencana ku berhasil aku segera menjemput mu pulang. Jaga baik –baik anak kita “
Kartajaya lantas merunduk lalu mencium perut Sulastri yang belum begitu buncit. Setelah keduanya berpelukan, Sulastri lalu perlahan meninggalkan Kartajaya yang masih berdiri di tempatnya semula. Ia memandangi Sulastri yang berjalan menuju ke arah Desa Kemulan, lelaki itu baru pergi manakala tubuh Sulastri lenyap di tikungan jalan.
Quote:
Desa Kemulan diselimuti kesunyian. Sesekali hanya terdengar suara dedaunan bergesekan karena dihembus angin malam. Kabut bergumpal –gumpal turun dari puncak gunung, memeluk puncak – puncak bukit, turun ke pepohonan lalu pekat menyelimuti malam. Puri di atas pedataran tinggi kokoh berdiri, bagai istana roh jahat menghitam kelam. Di dalam salah satu bilik yang terletak terpisah dari puri utama tampak Kartajaya belum bisa memejamkan matanya. Pikiran lelaki itu berkecamuk masih segar diingatannya manakala siang tadi Sulastri dimaki –maki dan ditampar oleh Jayengrono.
Bibir wanita yang ia cintai itu pecah mengeluarkan darah, dan beberapa lebam di muka. Kartajaya merintih, menangis tanpa bisa berbuat apa –apa. Hingga akhirnya pilihan itu yang menjadi jalan satu –satunya. Membunuh Jayengrono dengan bantuan sang Bahurekso Desa Kemulan dan kemudian menguasai puri itu dengan kekasih hatinya. Toh, calon jabang bayi yang ada di dalam perut Lastri adalah darah dagingnya sendiri. Dan orang –orang desa juga tidak mungkin tahu hal yang sebenarnya karena mereka yakin kalau istri sang Gusti Tumenggung hamil pastilah dengan suaminya, bukan dengan pembantunya. Tetapi, Retno Inten? Dia gadis yang terlalu baik, tidak mungkin juga kalau curiga jika anak itu adalah anak Kartajaya.
Selimut disingkapkan, Kartajaya turun dari ranjang. Memakai kasut dan berdiri. Tekadnya sudah bulat. Rencana keji ini harus di lakukan. Kartajaya keluar dari biliknya, kegelapan malah serta udara dingin segera menyergap. Sepasang matanya mengawasi ke arah puri utama. Dia melihat ada cahaya pelita suram menerangi bagian salah satu bilik yang dia tahu adalah bilik pribadi Tumenggung Jayengrono. Setelah sekian lama berdiri mengawasi Kartajaya bergerak melangkah cepat menyusuri halaman lalu memutar hingga akhirnya sampai di belakang puri. Kartajaya melangkah ke pintu belakang puri. Di tanah dekat tangga ada sepotong belahan bambu yang memang sengaja dipersiapkannya selama ini. Diambilnya, lalu dimasukkan ke celah pinggiran pintu, dipergunakan untuk membuka kayu kecil pemalang pintu.
Daun pintu mengeluarkan suara berkereket halus ketika didorong. Kegelapan ruangan dapur menyergap tanpa ada pelita yang dinyalakan. Kartajaya melangkah dengan ringan kegelapan seperti tidka menjadi penghalang baginya. Bekerja dengan Jayengrono selama hampir sepuluh tahun di puri ini membuat Kartajaya sangat hafal dan mengenali keadaan dalam puri meski tanpa lampu sedikitpun.
Kartajaya melangkah berjingkat menyusuri lorong ruangan tengah menuju ke arah tangga yang akan membawanya ke lantai atas. Ia arahkan kakinya menuju ke kamar yang letaknya di ujung lorong. Untuk beberapa lama dia berdiri di depan pintu itu. Suasana remang dan temaram. Ia menoleh ke kanan dan kiri memastikan semua penghuni puri itu telah terlelap ke alam mimpi. Daun pintu mengeluarkan suara berkereket halus ketika didorong. Kartajaya tahu persis kebiasaan majikannya itu, Jayengrono tidak pernah mengunci pintu kamar pribadinya.
Sinar terang nyala lampu minyak menyeruak keluar. Karta tak segera masuk, berhenti dulu di ambang pintu. Sepasang matanya berputar cepat, memandang memperhatikan keadaan dalam kamar. Lampu minyak itu terletak di atas sebuah meja kayu jati berukir. Berkelap-kelip pertanda minyaknya tinggal sedikit. Di sudut kiri ada sebuah lemari besar setinggi dua tombak yang bagian atasnya berbentuk rak. Lalu di samping lemari ini, agak terlindung dari cahaya lampu minyak terdapat sebuah balai-balai kayu. Dan di atas ranjang besar dan ditutupi kelambu berwarna biru langit itu terbujur sosok seorang berjubah putih, menghadap ke dinding. Walau tidak melihat wajah orang yang tidur tapi Kartajaya sudah tahu siapa adanya orang itu.
Untuk beberapa lamanya Kartajaya masih tegak tak bergerak di ambang pintu. Telinga dipasang seperti berusaha mendengar baik-baik hembusan nafas orang yang tidur.
Dan perkataan Sang Bahurekso tadi siang menggema di dalam hatinya, “ Cari keris Kelabang Sayuta. Bunuh tua bangka itu menggunakan senjatanya sendiri. Tikam tepat di jantungnya. Dan perlu kau ingat Karta. Setelah kau tikamkan keris itu cabut dan simpan baik –baik atau kau bisa melarungnya di sungai “
“ Kalau sampai hal itu tidak kau lakukan. Kita berdua akan celaka. Satu lagi akibatnya bagi anak cucu mu, aku akan membunuh mereka satu persatu tanpa kau bisa menolongnya”
Kartajaya menelan ludahnya yang terasa pahit di tenggorokan.
“ Apakah aku mampu membunuh orang tua itu ? Ia sangat sakti mandraguna, jika terjadi bentrok aku mungkin akan dengan mudah dikalahkannya dalam dua sampai tiga jurus “
Terdengar geraman dari selarik mulut dengan deretan gigi kecil tajam menyerupai gergaji itu, “ Jangan bodoh, bulatkan tekad mu. Kalau kau masih ragu baiklah, aku akan memberimu sedikit bekal. Mendekatlah kemari Karta lebih dekat padaku“
Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya lelaki itu maju ke depan mendekati Sang Bahurekso. Kini hanya berjarak sekitar dua langkah dari penampakan luwing besar itu.
“ Sekarang pejamkan matamu Karta “
Tanpa bertanya apa –apa lagi sepasang mata Karta mengatup rapat. Tidak lama saat ia menutup mata, dirasakan ada semacam aliran hangat yang menjalari sekujur tubuhnya, masuk ke pori –pori kulit dan menjalar ke pembuluh darah sehingga menimbulkan perasaan yang nyaman.
“ Buka matamu Karta ! “
Karta membuka matanya, “ Apa yang telah kau lakukan kepadaku? “
“ Aku menyalurkan hawa murni ke tubuhmu, sekarang tubuh mu kebal senjata tajam ataupun senjata sakti manapun juga “
Bibir wanita yang ia cintai itu pecah mengeluarkan darah, dan beberapa lebam di muka. Kartajaya merintih, menangis tanpa bisa berbuat apa –apa. Hingga akhirnya pilihan itu yang menjadi jalan satu –satunya. Membunuh Jayengrono dengan bantuan sang Bahurekso Desa Kemulan dan kemudian menguasai puri itu dengan kekasih hatinya. Toh, calon jabang bayi yang ada di dalam perut Lastri adalah darah dagingnya sendiri. Dan orang –orang desa juga tidak mungkin tahu hal yang sebenarnya karena mereka yakin kalau istri sang Gusti Tumenggung hamil pastilah dengan suaminya, bukan dengan pembantunya. Tetapi, Retno Inten? Dia gadis yang terlalu baik, tidak mungkin juga kalau curiga jika anak itu adalah anak Kartajaya.
Selimut disingkapkan, Kartajaya turun dari ranjang. Memakai kasut dan berdiri. Tekadnya sudah bulat. Rencana keji ini harus di lakukan. Kartajaya keluar dari biliknya, kegelapan malah serta udara dingin segera menyergap. Sepasang matanya mengawasi ke arah puri utama. Dia melihat ada cahaya pelita suram menerangi bagian salah satu bilik yang dia tahu adalah bilik pribadi Tumenggung Jayengrono. Setelah sekian lama berdiri mengawasi Kartajaya bergerak melangkah cepat menyusuri halaman lalu memutar hingga akhirnya sampai di belakang puri. Kartajaya melangkah ke pintu belakang puri. Di tanah dekat tangga ada sepotong belahan bambu yang memang sengaja dipersiapkannya selama ini. Diambilnya, lalu dimasukkan ke celah pinggiran pintu, dipergunakan untuk membuka kayu kecil pemalang pintu.
Daun pintu mengeluarkan suara berkereket halus ketika didorong. Kegelapan ruangan dapur menyergap tanpa ada pelita yang dinyalakan. Kartajaya melangkah dengan ringan kegelapan seperti tidka menjadi penghalang baginya. Bekerja dengan Jayengrono selama hampir sepuluh tahun di puri ini membuat Kartajaya sangat hafal dan mengenali keadaan dalam puri meski tanpa lampu sedikitpun.
Kartajaya melangkah berjingkat menyusuri lorong ruangan tengah menuju ke arah tangga yang akan membawanya ke lantai atas. Ia arahkan kakinya menuju ke kamar yang letaknya di ujung lorong. Untuk beberapa lama dia berdiri di depan pintu itu. Suasana remang dan temaram. Ia menoleh ke kanan dan kiri memastikan semua penghuni puri itu telah terlelap ke alam mimpi. Daun pintu mengeluarkan suara berkereket halus ketika didorong. Kartajaya tahu persis kebiasaan majikannya itu, Jayengrono tidak pernah mengunci pintu kamar pribadinya.
Sinar terang nyala lampu minyak menyeruak keluar. Karta tak segera masuk, berhenti dulu di ambang pintu. Sepasang matanya berputar cepat, memandang memperhatikan keadaan dalam kamar. Lampu minyak itu terletak di atas sebuah meja kayu jati berukir. Berkelap-kelip pertanda minyaknya tinggal sedikit. Di sudut kiri ada sebuah lemari besar setinggi dua tombak yang bagian atasnya berbentuk rak. Lalu di samping lemari ini, agak terlindung dari cahaya lampu minyak terdapat sebuah balai-balai kayu. Dan di atas ranjang besar dan ditutupi kelambu berwarna biru langit itu terbujur sosok seorang berjubah putih, menghadap ke dinding. Walau tidak melihat wajah orang yang tidur tapi Kartajaya sudah tahu siapa adanya orang itu.
Untuk beberapa lamanya Kartajaya masih tegak tak bergerak di ambang pintu. Telinga dipasang seperti berusaha mendengar baik-baik hembusan nafas orang yang tidur.
Dan perkataan Sang Bahurekso tadi siang menggema di dalam hatinya, “ Cari keris Kelabang Sayuta. Bunuh tua bangka itu menggunakan senjatanya sendiri. Tikam tepat di jantungnya. Dan perlu kau ingat Karta. Setelah kau tikamkan keris itu cabut dan simpan baik –baik atau kau bisa melarungnya di sungai “
“ Kalau sampai hal itu tidak kau lakukan. Kita berdua akan celaka. Satu lagi akibatnya bagi anak cucu mu, aku akan membunuh mereka satu persatu tanpa kau bisa menolongnya”
Kartajaya menelan ludahnya yang terasa pahit di tenggorokan.
“ Apakah aku mampu membunuh orang tua itu ? Ia sangat sakti mandraguna, jika terjadi bentrok aku mungkin akan dengan mudah dikalahkannya dalam dua sampai tiga jurus “
Terdengar geraman dari selarik mulut dengan deretan gigi kecil tajam menyerupai gergaji itu, “ Jangan bodoh, bulatkan tekad mu. Kalau kau masih ragu baiklah, aku akan memberimu sedikit bekal. Mendekatlah kemari Karta lebih dekat padaku“
Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya lelaki itu maju ke depan mendekati Sang Bahurekso. Kini hanya berjarak sekitar dua langkah dari penampakan luwing besar itu.
“ Sekarang pejamkan matamu Karta “
Tanpa bertanya apa –apa lagi sepasang mata Karta mengatup rapat. Tidak lama saat ia menutup mata, dirasakan ada semacam aliran hangat yang menjalari sekujur tubuhnya, masuk ke pori –pori kulit dan menjalar ke pembuluh darah sehingga menimbulkan perasaan yang nyaman.
“ Buka matamu Karta ! “
Karta membuka matanya, “ Apa yang telah kau lakukan kepadaku? “
“ Aku menyalurkan hawa murni ke tubuhmu, sekarang tubuh mu kebal senjata tajam ataupun senjata sakti manapun juga “
Quote:
Lamunan Kartajaya seketika terusik manakala ada suara dari atas ranjang. Jayengrono seperti gelisah dalam tidurnya. Lelaki tua itu merubah posisi tidurnya. Kartajaya masih berdiri mengawasi dan saat dirasa majikannya itu masih terlelap tidur ia pun kembali mencari keris Kelabang Sayuta.
Didekatinya meja kecil dimana lampu minyak menyala. Kartajaya sudah sering datang ke kamar ini. Dia tahu betul, di sebelah bawah meja kayu ada sebuah laci. Benda yang dicarinya mungkin disimpan dalam laci itu. Sesaat dia berpaling memperhatikan sosok yang tidur diatas ranjang mewah itu. Tidak ada gerakan sama sekali. Masih tertidur pulas.
Lalu hati-hati ditariknya laci di bawah meja. Ada beberapa benda di dalam laci meja.Diantaranya dua bilah pisau berkeluk tanpa sarung. Dia memeriksa lagi sambil membungkuk agar bisa melihat lebih jelas. Benda yang dicarinya tak ada di situ. Perhatiannya kini tertuju pada lemari besar dari kayu jati di samping balai-balai kayu. Tanpa suara dia melangkah mendekati lemari itu. Dalam rak di sebelah atas lemari kosong hanya ada sebuah kendi tua terbuat dari perunggu.
Dipandanginya pintu penutup lemari. Dadanya berdebar. Dia tahu, dia pernah beberapa kali melihat lemari itu dibuka. Setiap dibuka lemari mengeluarkan suara berderik keras. Sesaat hatinya meragu. Tapi kalau lemari itu tidak diperiksa, kawatir keris itu benar-benar berada di dalamnya. Apa boleh buat. Ternyata memang benar. Engsel pintu lemari mengeluarkan suara berderik keras ketika dibuka.
Kartajaya kembali menoleh ke arah ranjang. Sosok yang tidur tidak bergerak. Dia meneruskan membuka lemari. Gelap. Bagian dalam lemari gelap, dia tak bisa melihat jelas. Terpaksa lelaki ini mengambil lampu minyak di atas meja, membawanya ke bagian depan lemari. Tidak ada apa –apa disana. Akan tetapi, mata Kartajaya melihat ada semacam laci tersembunyi di dalam lemari itu. Lampu minyak di letakkan lagi di tempatnya semula.
Perlahan –lahan tangannya menarik laci yang letaknya agak tersamar itu. Ketika laci dibuka, sinar kebiruan yang berasal dari pamor keris merembes keluar. Itulah sinar Keris Kelabang Sayuta yang terletak diatas sehelai kain putih. Entah mengapa keris itu tidak dimasukkan ke dalam warangkanya yang tergeletak tidak jauh dari bilah keris.
Kedua tangan Kartajaya menjadi bergetar sewaktu mengangkat keris Kelabang Sayuta di atas kain putih. Dirasakannya ada satu hawa aneh mengalir dari keris sakti ke lengannya. Hawa itu awalnya hangat kemudian menjadi panas. Dengan membawa senjata itu di tangan, tubuh Kartajaya bergetar hebat. Ia lalu mengerahkan tenaga dalamnya dan tidak lama kemudian getaran itu telah sirna.
Sesaat kemudian baru dia langkahkan kaki menuju ke arah ranjang. Tangan kanannya memegang keris Kelabang Sayuta yang telah terhunus. Dadanya berdebar kencang manakala ia telah sampai di bibir ranjang setelah sebelumnya menyibak tirai kelambu. Hulu keris dipegang erat –erat lalu diangkat siap dihunjamkan. Lalu dengan gerakan cepat keris menukik deras ke arah dada Jayengrono. Menikam dada!
Ketika ujung keris akan menembus dada, Jayengrono menggelit bangun dengan resah. Dan bangunnya itu, justru menyongsong datangnya keris. Tak ampun lagi, keris itu terhunjam ke dalam dada Jayengrono. Keris itu seperti terjepit disela –sela dada Jayengrono sulit untuk di dikeluarkan. Kartajaya seketika panik lalu ia pun melompat mundur. la ketakutan setengah mati, melihat majikannya itu tidak segera mati. Tumenggung Jayengrono memang tangguh. Ia melihat ke arah Kartajaya.
Bertanya heran: "Mengapa kau lakukan ini Karta?"
Kartajaya jatuh berlutut di lantai. Menangis putus asa, mengemis ampunan dari majikannya.
"Duh, Gusti Tumenggung ampunilah hamba. Ini semua bukan karena kemauan hamba. Hamba termakan hasutan jahatnya ..."
Tumenggung Jayengrono tidak dapat dibodohi. Satu senyuman dingin tergambar di sudut bibirnya.
"Entah apa alasannya, kau pasti menaruh dendam padaku Karta. Lalu kau berkomplot dengan siluman penjaga puri itu. Benar?"
"Tolonglah saya, Gusti. Ampuni hamba. Saya tidak bermaksud... "
Kelopak mata Jayengrono pelan-pelan menutup. Tetapi tiba-tiba ia membuka lagi. Dan terlontarlah kutuk dan sumpah serapahnya, “ Manusia hina tidak tahu balas budi! Sekali budak, tetaplah kau jadi budak sepanjang sisa hidupmu yang tidak akan pernah berakhir! Sampai darahku mengampuni dan mengakhiri penderitaanmu!
Nafas Tumenggung Jayengrono mulai tersentak - sentak, menjelang putus. Tumenggung Jayengrono kemudian terkulai. Jatuh di bantalnya.
Mati.
Sejenak, Kartajaya masih bimbang. Baru agak lama kemudian ia beranikan diri mendekati ranjang. Yakin majikannya sudah mati, tangan Kartajaya menggapai untuk mencabut keris dari dada tumenggung Jayengrono. Dan, Kartajaya membelalak sendiri. Sebelum sempat ia sentuh, gagang keris bergerak sendiri. Turun, membenamkan diri di dada pemiliknya. Tanpa meninggalkan bekas luka segores pun juga. Tubuh Tumenggung Jayengrono sudah berubah dingin seketika itu dan langsung membeku!
Didekatinya meja kecil dimana lampu minyak menyala. Kartajaya sudah sering datang ke kamar ini. Dia tahu betul, di sebelah bawah meja kayu ada sebuah laci. Benda yang dicarinya mungkin disimpan dalam laci itu. Sesaat dia berpaling memperhatikan sosok yang tidur diatas ranjang mewah itu. Tidak ada gerakan sama sekali. Masih tertidur pulas.
Lalu hati-hati ditariknya laci di bawah meja. Ada beberapa benda di dalam laci meja.Diantaranya dua bilah pisau berkeluk tanpa sarung. Dia memeriksa lagi sambil membungkuk agar bisa melihat lebih jelas. Benda yang dicarinya tak ada di situ. Perhatiannya kini tertuju pada lemari besar dari kayu jati di samping balai-balai kayu. Tanpa suara dia melangkah mendekati lemari itu. Dalam rak di sebelah atas lemari kosong hanya ada sebuah kendi tua terbuat dari perunggu.
Dipandanginya pintu penutup lemari. Dadanya berdebar. Dia tahu, dia pernah beberapa kali melihat lemari itu dibuka. Setiap dibuka lemari mengeluarkan suara berderik keras. Sesaat hatinya meragu. Tapi kalau lemari itu tidak diperiksa, kawatir keris itu benar-benar berada di dalamnya. Apa boleh buat. Ternyata memang benar. Engsel pintu lemari mengeluarkan suara berderik keras ketika dibuka.
Kartajaya kembali menoleh ke arah ranjang. Sosok yang tidur tidak bergerak. Dia meneruskan membuka lemari. Gelap. Bagian dalam lemari gelap, dia tak bisa melihat jelas. Terpaksa lelaki ini mengambil lampu minyak di atas meja, membawanya ke bagian depan lemari. Tidak ada apa –apa disana. Akan tetapi, mata Kartajaya melihat ada semacam laci tersembunyi di dalam lemari itu. Lampu minyak di letakkan lagi di tempatnya semula.
Perlahan –lahan tangannya menarik laci yang letaknya agak tersamar itu. Ketika laci dibuka, sinar kebiruan yang berasal dari pamor keris merembes keluar. Itulah sinar Keris Kelabang Sayuta yang terletak diatas sehelai kain putih. Entah mengapa keris itu tidak dimasukkan ke dalam warangkanya yang tergeletak tidak jauh dari bilah keris.
Kedua tangan Kartajaya menjadi bergetar sewaktu mengangkat keris Kelabang Sayuta di atas kain putih. Dirasakannya ada satu hawa aneh mengalir dari keris sakti ke lengannya. Hawa itu awalnya hangat kemudian menjadi panas. Dengan membawa senjata itu di tangan, tubuh Kartajaya bergetar hebat. Ia lalu mengerahkan tenaga dalamnya dan tidak lama kemudian getaran itu telah sirna.
Sesaat kemudian baru dia langkahkan kaki menuju ke arah ranjang. Tangan kanannya memegang keris Kelabang Sayuta yang telah terhunus. Dadanya berdebar kencang manakala ia telah sampai di bibir ranjang setelah sebelumnya menyibak tirai kelambu. Hulu keris dipegang erat –erat lalu diangkat siap dihunjamkan. Lalu dengan gerakan cepat keris menukik deras ke arah dada Jayengrono. Menikam dada!
Ketika ujung keris akan menembus dada, Jayengrono menggelit bangun dengan resah. Dan bangunnya itu, justru menyongsong datangnya keris. Tak ampun lagi, keris itu terhunjam ke dalam dada Jayengrono. Keris itu seperti terjepit disela –sela dada Jayengrono sulit untuk di dikeluarkan. Kartajaya seketika panik lalu ia pun melompat mundur. la ketakutan setengah mati, melihat majikannya itu tidak segera mati. Tumenggung Jayengrono memang tangguh. Ia melihat ke arah Kartajaya.
Bertanya heran: "Mengapa kau lakukan ini Karta?"
Kartajaya jatuh berlutut di lantai. Menangis putus asa, mengemis ampunan dari majikannya.
"Duh, Gusti Tumenggung ampunilah hamba. Ini semua bukan karena kemauan hamba. Hamba termakan hasutan jahatnya ..."
Tumenggung Jayengrono tidak dapat dibodohi. Satu senyuman dingin tergambar di sudut bibirnya.
"Entah apa alasannya, kau pasti menaruh dendam padaku Karta. Lalu kau berkomplot dengan siluman penjaga puri itu. Benar?"
"Tolonglah saya, Gusti. Ampuni hamba. Saya tidak bermaksud... "
Kelopak mata Jayengrono pelan-pelan menutup. Tetapi tiba-tiba ia membuka lagi. Dan terlontarlah kutuk dan sumpah serapahnya, “ Manusia hina tidak tahu balas budi! Sekali budak, tetaplah kau jadi budak sepanjang sisa hidupmu yang tidak akan pernah berakhir! Sampai darahku mengampuni dan mengakhiri penderitaanmu!
Nafas Tumenggung Jayengrono mulai tersentak - sentak, menjelang putus. Tumenggung Jayengrono kemudian terkulai. Jatuh di bantalnya.
Mati.
Sejenak, Kartajaya masih bimbang. Baru agak lama kemudian ia beranikan diri mendekati ranjang. Yakin majikannya sudah mati, tangan Kartajaya menggapai untuk mencabut keris dari dada tumenggung Jayengrono. Dan, Kartajaya membelalak sendiri. Sebelum sempat ia sentuh, gagang keris bergerak sendiri. Turun, membenamkan diri di dada pemiliknya. Tanpa meninggalkan bekas luka segores pun juga. Tubuh Tumenggung Jayengrono sudah berubah dingin seketika itu dan langsung membeku!
Diubah oleh breaking182 24-02-2019 18:26
islahfish dan pintokowindardi memberi reputasi
4
Kutip
Balas