Kaskus

Story

sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:
emoticon-Ultah

Cover:


From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)

NB: Sorry Bad Editing


Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter


Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita

Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.

Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.

Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.

Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.

Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.

Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.

Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.

Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.

Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.

Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.

Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.

Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.

***

Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.

“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.

“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.

“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.

Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.

Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.

Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.

Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.

“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.

“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.

“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.

“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.

“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”

Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.

“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.

Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.

“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.

Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.

Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.

***

Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.

Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,

“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.

“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.

Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.

“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.

Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.

Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.

“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.

“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.

“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.

“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.

“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.

Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.

Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.

Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.

Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.

Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.

“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.

“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.

‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.

Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.

Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
santinorefre720Avatar border
blackjavapre354Avatar border
rizetamayosh295Avatar border
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
#73
Bab 18: Detik Penentuan


28 Juni 2016, Pukul 14.00 WIB

Smartphone-ku berdering pelan, ada sebuah pesan singkat dari Tiara.
Quote:


Detik ini tubuhku panas dingin. Jantungku berdegup sangat kencang. Tuhan, apakah aku siap menerima semua keputusan ini nantinya?

Tanganku sedikit gemetar memegang smartphone-ku. Aku membuka website sbmptn.ac.id. Kutatap layar itu dengan tatapan penuh harap. Aku masih deg-degan, kuhirup nafasku perlahan kemudian kulepaskan. Setelah aku merasa rileks, aku mulai mengetik nomor pesertaku ke kolom diwebsite itu. Satu persatu kutekan nomor demi nomor. Sesampainya di nomor terakhir, aku mengucapkan doa sekuat-kuatnya. Ini puncak dari semuanya, aku tak berharap akan gagal. Semua kupertaruhkan disini, demi kedua orangtuaku. Dengan cepat, kutekan tombol untuk melihat pengumuman. Loading sesaat.

Jantungku semakin lama berdetak semakin cepat. Ayolah, c’mon please.

Dilayar itu terpampang jelas….

Spoiler for Hasil Pengumuman:


Sungguh speechless. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Ingin rasanya aku meneteskan airmata haru. Kupanggil ibuku sekeras mungkin, memberi kabar bahwa putranya ini telah lolos seleksi.

Mendengar teriakanku, ibuku segera berlari ke kamarku. Beliau melihat layar smartphone-ku, memastikan sekali lagi bahwa aku benar-benar diterima. Bapakku segera kuberitahu kabar gembira ini. Ibuku mengusap-usap rambutku, matanya berkaca-kaca. Begitu bangga beliau melihatku saat ini.

Aku percaya memang, bahwa ketika orangtua memberikan restu kepada anaknya, semua akan berjalan mudah. Aku juga percaya, setiap malam dan disetiap kesempatan, orangtua akan selalu mendoakan yang terbaik untuk anaknya.

Kuucapkan beribu-ribu syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala anugrah, karunia, dan doa yang Dia perkenankan untukku. Tanpa kehendak-Nya, aku tak mungkin bisa seperti ini. Setelah beberapa saat hening tanpa kata, aku kembali ke aktifitasku semula.

Aku memberitahu Tiara bahwa aku telah diterima. Ia membalas pesanku, mengucapkan sebuah kata selamat untukku. Dia turut senang mendengar bahwa aku telah diterima. Aku membalas pesannya dengan ucapan terimakasih dan emoticon smile.

Dengan cepat, aku pun segera mencari kabar Eru dan Ardan. Aku mengirim pesan kepada mereka berdua. Tak lupa juga aku bertanya kabar kepada Dewi, sungguh aku juga penasaran dengan hasil dari cewek jenius ini.

Mereka semua menjawab pesanku berurutan. Eru masih kalem seperti biasa, ia belum melihat pengumuman di web. Ia masih santai nge-game dirumahnya. Aku memberitahunya bahwa aku lolos, dan membuat janji ngopi bareng nanti malam. Aku juga mengundang Ubed untuk datang.
Kulanjutkan dengan pesan dari Dewi, ia tidak diterima di Universitas Gadjah Mada, akan tetapi ia diterima di Universitas Airlangga dengan pilihannya dokter hewan. Ia bertanya balik kepadaku. Aku pun menjawab jujur bahwa aku diterima di Universitas Negeri Malang di jurusan Pendidikan Bahasa Jerman. Ia sungguh kaget mendengar jawabanku, mengira bahwa aku ini bercanda. But, its okay lah.
Hanya Ardan yang tak menjawab pesanku dari tadi.

***
Malam menjemput, seusai sholat Tarawih seperti biasa aku menuju warung kopi didekat perempatan, markas nongrong kami. Aku sungguh tak sabar bertemu dengan Eru dan yang lainnya. Aku mengemudikan motorku dengan sedikit tergesa-gesa.

Sesampainya disana, aku memarkirkan motorku dibawah pohon dekat warung kopi itu. Kakiku melangkah cepat menuju meja tempat biasa kami duduk lesehan. Kedatanganku disambut hangat oleh Eru dan Ubed. Seperti ada yang janggal malam ini. Kelis dan Ardan belum datang.

Beberapa saat setelah memesan minuman, aku menghampiri meja mereka.
“Woi Er, sialan lo daritadi bikin orang penasaran.” Aku menggerutu kesal. Kuraih sebatang rokok dan kuhisap pelan setelah kunyalakan.
“Santai Megg, tos dulu dong. Jogja bro, I’m coming.” Eru mendekatkan telapak tangannya kearahku. Aku paham maksudnya, segera kusambut telapak tangan itu. Keduanya bertabrakan keras, suara ‘plak’ terdengar samar.
“Lo lolos dimana?” Aku bertanya memastikan.
“Universitas Negeri Yogyakarta bro, Pendidikan Georgrafi.” Tukasnya pelan. Aku mengucapkan sepatah kata selamat, kali ini kutepuk bahunya keras. Ia terbatu-batu karena tersedak asap rokoknya. Mengumpatumpat halus kepadaku. Aku tertawa.
“Btw, lo diterima dimana Megg?” Kali ini Ubed bertanya kepadaku. Wajahnya harap-harap cemas melihat layar laptopnya.
Aku menjelaskan singkat kepada Ubed. Dia terkaget-kaget mendengar pengkuanku. Reaksi seluruh temanku kebanyakan seperti itu ketika mendengar aku diterima dijurusan bahasa Jerman. Pada dasarnya aku memang tidak tahu apa-apa tentang bahasa itu, makanya banyak dari temantemanku yang heran.

Ubed masih menyambungkan laptopnya ke internet dari wifi yang dipancarkan warung kopi. Bibirnya komat-kamit tak jelas.
“Er, tumben Kelis sama Ardan nggak kelihatan batang hidungnya?” Aku bertanya kepada Eru yang tengah asik melukis abstrak tak jelas di rokoknya.
“Gue nggak tahu Megg. Mungkin Kelis sedang ada kegiatan di masjid, kalau Ardan daritadi nggak ada respon sama sekali dari dia.” Jawab Eru pelan.
“Aneh banget, nggak biasanya tuh anak kayak gitu.” Aku berucap lirih, sedikit menggunjing tingkah laku Ardan yang sangat ganjil.
Tiba-tiba aku disentakkan oleh suara Ubed yang cukup keras. Semua mata tertuju kearahnya. Lantas ia tersenyum malu-malu ke meja sekitar.
“Ada apa Bed? Teriak-teriak.” Tanya kami berdua kompak beberapa detik setelah teriakan itu berlangsung.
“Gue diterima di UIN Maliki Ibrahim. Hih, gue nggak nyangka banget. Padahal ini adalah plihan ketiga gue.” Ubed menjelaskan singkat, tangannya mengusap dahinya yang berkeringat. Lantunan lagu dangdut dari speaker warung kopi terdengar keras.
“Emang lo ngambil jurusan apa Bed?” Eru bertanya penasaran. Jurusan yang dipilih Ubed adalah Fisika. Kami berdua menepuk-nepuk
bahunya, memberikan semangat. Sudah bagus ia diterima, padahal masih banyak yang menangis karena gagal seleksi.

Smartphone-ku berdering pelan. Hampir tujuh jam Ardan tidak bisa dihubungi. Kami semua penasaran dengan hasilnya. Ekspektasiku sungguh diluar dugaan. Kukira pesan itu membawa kabar baik, ternyata salah. Ardan dengan singkat menuliskan bahwa ia gagal seleksi. Usahanya sia-sia selama ini. Kami bertiga sedikit berkabung, melihat kegagalan sahabat kami.

Detik ini aku baru sadar bahwa alasan Ardan tidak hadir malam ini adalah bukan karena ia repot atau ada kegiatan lain. Ia sedang merenungi kegagalannya, mungkin ia sedikit minder dengan kami semua yang telah diterima. Ia merasa tidak memiliki muka untuk bertemu kami semua. Kupikir malam ini kami sekawan akan tertawa bahagia, merayakan keberhasilan kami semua. Nyatanya tidak.

Malam ini semua terasa kurang. Acara ngopi yang biasanya dipenuhi gelak tawa, kini hanya hening sesekali diramaikan oleh sepatah dua patah kata. Kami semua pun segera mengakhiri ngopi malam ini.
***

30 Juni 2016,

Pengumuman hasil seleksi masuk Universitas Indonesia dimajukan satu hari. Tepat hari ini pukul 13.00 WIB.

Mungkin terbawa euphoria kemarin, kali ini aku tak terlalu tertekan. Aku sudah tak terlalu berharap banyak. Aku sudah mempersiapkan segala kemungkinan. Aku merasa aku sudah memiliki tempat tujuan, jika kali ini gagal aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali merelakan mimpi itu tak menjadi kenyataan.

Persis diruang keluarga didepan televisi, aku membuka smartphoneku. Membuka website pengumuman, dan prosedurnya hampir sama seperti kemarin. Kumasukkan nomor pesertaku yang hanya beberapa digit itu.

Namun sebelum kutekan tombol untuk melihat hasil, aku mengurungkan niatku. Aku mencoba memasukkan nomor peserta lain dari urutan setelahku ke urutan terakhir diruanganku dulu tempat melaksanakan ujian.

Kucoba satu persatu bergantian. Aku disambut kata gagal, gagal, dan gagal. Kata itu cukup membuatku hening. Sebegitu sulitkah menembus universitas itu. Mereka-mereka yang kukira memiliki peluang tinggi karena pegangannya buku-buku dari bimbingan belajar ternama, namun mereka kalah telak disini. Pepatah masih ada langit diatas langit memang benar adanya. Aku menghela nafas, tentunya aku adalah langit paling bawah.

Setelah semua kuperiksa, kini giliranku melihat hasilku sendiri.

Quote:


Kurelakan mimpi itu dengan tersenyum. Aku belajar banyak dari mimpi itu. Ada banyak hikmah yang bisa kupetik, mungkin bukan saat ini tapi suatu hari nanti. Jika memang aku tidak bisa kuliah disana saat ini, masih ada beberapa tahun lagi jika aku hendak mengambil progam megister.

Tuhan punya rencana yang lebih baik untuku. Semua sudah digariskan. Yang terbaik, untukku dan kedua orangtuaku.

***
Sore ini, aku menjalani aktifitas normalku. Aku belum berani memberitahu Eru terkait hasil ujianku. Lebih baik aku menunggu sampai Eru melihat hasil pengumuman seleksinya yang akan dipublikasikan nanti malam.

Dering dari smartphone-ku menyita perhatianku yang sedang asik tiduran dikursi. Izam mengirim sebuah pesan singkat untukku. Akhir-akhir ini
aku sering mengontak dia untuk berdiskusi seputar dunia blogging yang saat ini kami geluti.

Izam: Megg, gue denger lo ikut SIMAK UI? Btw lolos nggak? Meggy: Belum rejeki Zam, lo sendiri gimana SBMPTN? Izam: Alhamdulillah, keterima. Meggy: Selamat ya bro! Izam: Makasih Megg.

Percakapan singkat itupun berakhir.

Senja yang kelabu itu pun berlalu tersapu malam. Adzan Maghrib menggema merdu dilangit. Aku berbuka puasa dengan keluargaku. Kurang seminggu lagi Idul Fitri, artinya bulan suci akan segera pergi meninggalkan kami umat muslim.

Aku hanya menghabiskan waktuku diteras rumah, menatap langit malam berbTiarag. Dalam keheningan aku melamun tak jelas. Ada lubang kosong dihatiku semenjak aku tahu aku gagal. Semua sudah jelas, aku tak berhak mengelak mencari-cari kegagalan atas kesalahanku. Sulit menerima kenyataan ini, pahit tapi itulah yang terjadi.

Kuyakinkan pada diriku sendiri bahwa kegagalan itu bukan membuatku berhenti melangkah. Aku berdoa semoga saja ini terjadi hanya kepadaku. Semoga Eru dan Dewi sama-sama diterima di universitas terbesar di kota Jogja. Kesedihanku itu hanya sementara. Dalam sekejap aku mulai ceria karena Tiara. Entah keajaiban apa yang ia buat. Hubungan kami hanya terjalin lewat media sosial. Seringkali chatting-an berjam-jam membahas banyak hal. Kata-katanya terangkai seperti mengajakku masuk kedalam dunianya. Sesekali aku memakai fitur voice note ketika chattingan dengan dia.

Sayang, aku tak mungkin membiarkan diriku terlarut terlalu jauh. Dia itu cantik, aku sendiri minder jika memiliki perasaan untuknya. Terlebih dia itu idealis, ia tak ingin mengenal apa itu pacaran. Ia selalu menghindari topik yang menyangkut perasaan dan hubungan, meski sesekali ia terhanyut ketika membahas tentang perasaan.

Apakah ini bisa disebut cinta? Padahal aku sendiri tidak pernah berjalan bersama, berpegangan tangan apalagi. Anehnya aku merasa begitu dekat dengan dia, hatiku terasa hampa jika sehari tak ada kabarnya. Entah, aku belum menemukan jawaban dari pertanyaan tadi.

***

Tepat pukul 20.15 WIB, Eru menghubungiku. Ia menelponku.
“Megg, lo lolos apa nggak? Seharian nggak ada kabar.” Dari telepon itu suaranya menggelegar.
“Lo sendiri gimana?” Aku bertanya balik.
“Nah lo ditanya malah balik tanya. Gue nggak lolos Megg hahahahaha.” Gelak tawa terdengar keras darinya.
“Sama Er gue nggak lolos, yah mungkin ini hasil yang pantas buat kita. Masih ada langit diatas langit.” Aku menjawab pelan.
“Tapi sayang Megg, sayang banget. Gue nggak masalah gagal kali ini, tapi gue sedih lihat Dewi nggak lolos. Padahal orangtuanya berharap banyak kepada dia.” Dari telpon itu Eru menghela nafas, menyesalkan apa yang terjadi.
“Udah yang lalu biarlah berlalu. Emang takdir berjalan seperti ini.” Aku menjawab datar. Beberapa saat kemudian, aku menutup telepon. Percakapan ini telah berakhir.

Memang menyakitkan ketika mengetahui bahwa mimpi harus bertabrakan dengan realita. Sesuatu yang dulu kita banggakan dan kita yakini seketika luntur oleh apa yang disebut realita. Tapi manusia tak bisa berbuat apapun dengan realita itu sendiri kecuali menerima dan mengakuinya.

Quote:
navyjahbura
navyjahbura memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.