- Beranda
- Stories from the Heart
Become True (Kakak)
...
TS
riani14
Become True (Kakak)
Quote:
WARNING!!!
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
Quote:
Jangan Lupa...tinggalkan jejak berupa KRITIK/ SARAN agan2 dan Sista2.



Dan Jangan Lupa






Dan Jangan Lupa



Quote:
Genre:FIKSI

Quote:

Quote:
INDEX
Part 1
Part 2
Part 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40 ( revisi )
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
PART 57
PART 58
PART 59
PART 60
PART 61
PART 62
PART 63
PART 64
PART 65
PART 66
PART 67
PART 68
PART 69
PART 70 + extra part
PART 71
PART 72
PART 73
PART 74
PART 75
EPILOG
ADAM MOMENT
Prolog
Barisan antrian mengular mengisi salah satu sisi toko buku besar yang ada di kawasan mall ibu kota. Antrian terjadi bukan tanpa alasan, kehadiran penulis novel bestseller dengan judul fenomenal 'BECOME TRUE' menjadi pemyebabnya.
Penulis berjilbab itu tampak ramah menyapa para pembacanya sambil membubuhkan tanda tangan di novel karyanya yang selalu ludes di buru penggemar. Berbagai komentar manis dan menyenangkan terlontar dari para pembaca setianya yang berasal dari berbagai kalangan dan usia itu.
Ya ampun kak Medina, aslinya cantik banget.
Iya. Ramah banget lagi.
Nggak heran sih dia bisa sesukses sekarang, orangnya baik gitu
Berbagai celotehan itu samar – samar melewati indra pendengarannya, ia tersenyum sekaligus bersyukur atas apa yaang ia raih saat ini.
Tapi...kebahagiaan yang ia dapatkan sekarang terasa kurang lengkap oleh satu hal. Hal paling penting dalam hidupnya, yang pernah ia tinggalkan.Dan saat ia ingin semuanya kembali, ia malah kehilangan segalanya. Ia kehilangan kepercayaan dan senyuman itu. Bahkan ia kehilangan kesempatan untuk sekedar menyampaikan permintaan maaf.
Lamunan tentang masa lalu, tanpa sadar membuatnya menitikkan air mata. Membuat heran para penggemarnya. Sadar jadi pusat perhatian, lekas ia mengusap air mata yang turut jatuh membasahi buku yang seharusnya ia tanda tangani itu.
" Jangan sedih. Dia nggak pernah ninggalin kamu."
Suara berat seseorang yang sudah lama tidak pernah menyapanya, sontak membuat gadis berlesung pipi ini mengangkat wajah. Air mata yang tadi mulai berhenti mengalir kini kembali tumpah kian deras namun di sertai senyum bahagia mendapati siapa yang berdiri di hadapannya kini.
Dia kembali.
Quote:
PART 1
Derap langkah kaki jenjang seorang gadis terlihat lincah menapaki setiap anak tangga yang berjejer rapi. Bulir keringat terlihat kian membasahi dahi mulusnya. Rambut panjang yang di kuncir ekor kuda kini tampak lepek, tak ada indah – indahnya sama sekali. Ingin sekali rasanya dia memaki orang yang memintanya mendatangi rooftop rumah susun berlantai 15 ini.
Bukan masalah berapa lantai yang harus ia tempuh, melainkan tidak ada akses alternatif menuju rooftop selain melewati tangga. Belum lagi ramainya kawasan rumah susun yang membuat langkahnya semakin tak leluasa. Mata hitamnya sesekali melihat kearah arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.29, itu artinya satu menit lagi ia akan terlambat dari waktu yang di janjikan.
Gadis berlesung pipi ini kian mempercepat langkahnya, ia tidak boleh terlambat ini kesempatan bagus demi mewujudkan mimpinya selama ini. Mimpi yang selama ini hanya jadi bahan lelucon teman – teman satu kampusnya.
Dengan nafas nyaris terputus akhirnya ia tiba di puncak gedung. Naamun apa yang ia temui ternyata sangat jauh dari ekspektasinya. Tak ada siapa – siapa di sana, hanya ada deretan jemuran yang berbaris dan melambai – lambai di hembus angin pengantar senja. Sepasang matanya terlihat sayu memandangi naskah cerita yang sudah di jilid rapi, yang sejak tadi ada dalam genggaman.
Kemana orang yang meneleponnya tadi? Kemana pimpinan penerbitan yang harus ia temui sore ini? Kemana orang yang bisa memberikannya jalan untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang penulis terkenal? Kemana-.
Lamunan itu pecah saat gelak tawa seseorang membentur gendang telinganya, ia menoleh cepat ke sumber suara dengan tangan terkepal. Ia kenal suara itu, seorang bocah yang senang melihatnya seperti ini. Melihatnya jatuh dan kehilangan semangat untuk mimpi – mimpinya. Bukan bocah dalam arti sesungguhnya, melainkan dalam artian sifat laki – laki itu yang menurutnya sangat kekanak – kanakan. Laki – laki jangkung berkacamata yang kini berdiri tepat dihadapannya ini, selalu jadi tersangka utama untuk setiap moment menyebalkan dalam kehidupannya sejak satu tahun terakhir.
“ Jadi ini kerjaan lo?” hardiknya yang di sambut dengan senyum meledek dari laki – laki itu. Ia semakin kesal, bolehkah ia memaki orang yang akan ia temui sekarang?
“ Lo bisa nggak sih, nggak ngusilin gue sehari aja?” kesalnya dengan tatapan marah.
“ Bisa. Asal lo mau jadi pacar gue?”
Lagi. Kata – kata yang sama yang selalu ia dengar sepanjang tahun ini. Membosankan.
“ Jadi pacar lo? Nggak akan pernah, bahkan dalam mimpi lo sekalipun.”
Hening kemudian menguasai keduanya, tak ada yang membuka suara terkecuali tatapan saling mengintimidasi satu sama lain yang mereka layangkan saat ini. Hingga beberapa saat kemudian suara berat seseorang menghentikan kegiatan keduanya.
“ Pada ngapain?” tanya cowok yang punya sorot mata teduh itu, yang kini berdiri tegak persis di antara keduanya. Tumpukan pakaian kering ada dalam dekapan tubuh tegapnya. Iris mata hitam pekatnya melirik ke kiri dan kekanan, menanti jawaban dari dua orang ini.
“ Kak Adam,” seru keduanya kompak dengan mata membelalak kaget. Entah malu atau kesal karena kehadiran Adam yang tiba – tiba, keduanya saling membuang pandangan ke sembarang arah.
Gadis berlesung pipi itu yang terlihat sangat gusar dengan kehadiran Adam, ia memilih berdiri memunggungi Adam daripada harus bertemu tatap dengannya. Terlalu mengerikan dan membuat lidahnya kelu. Kakaknya itu pasti akan sangat, sangat, sangat marah melihat kelakuannya hari ini. Belum lagi apa yaang ia kenakan saat ini, kaos hitam rangkap kemeja kebesaran, topi baseball buluk dikepala serta celana jeans sobek yang membungkus kaki jenjangnya, membuatnya terlihat seperti preman jalanan ketimbang adik satu – satunya seorang Adam Vegar Raditya, yang terkenal cerdas dan berperangai baik bak malaikat. Apa yang ia kenakan saat ini, sudah cukup menjadi alasan untuk Adam mengomelinya habis – habisan.
“ Medina. Pulang,” Itu bukan ajakan, itu perintah.
Medina reflek memutar badannya,” ta-tapi kak, urusan aku sama dia belum kelar,” sela Medina sambil mengarahkan telunjuk dan tatapan melototnya pada cowok berkacamata yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. “ Dia tu...,” Medina menjeda ucapannya, lirikan tajam Adam dan hentakan nafasnya sukses membungkam mulutnya. Jika Adam sudah seperti itu, artinya dia tak ingin di bantah.
“ Iya...iya...aku pulang.”
Dengan kepala tertunduk dan bibir mengerucut, Medina menyusul langkah Adam yang telah berada didepannya. Ia kembali menghentikan langkahnya ketika mendengar cekikikan dari arah belakang. Medina menoleh dan memandangi cowok berkacamata tadi dengan tatapan membunuh, darahnya serasa mendidih, melihat cowok tadi tampak puas menertawainya. Ia kembali ingin mendekat dan memberi pelajaran pada musuh bebuyutannya itu, tapi apa mau di kata, langkahnya tertahan karena Adam telah lebih dulu menarik kerah kemejanya dan menyeretnya persis anak kucing.
“ Ah...kak Adam, aku harus beri dia pelajaran dulu,” rengek Medina.
“ Pelajaran apa? Kamu sendiri masih butuh di ajari.”
“ Kak...,”
“ Diam.”
Medina tahu betul kakaknya itu tidak suka di bantah, tapi entah mengapa ia justru jadi orang yang paling sering membantah perkataan kakaknya. Walau ia bandel dan kakaknya cukup tegas serta over protective terhadap dirinya, ia tetap menyayangi kakak semata wayangnya itu. Bagaimanapun, Adam adalah satu – satunya keluarga yang ia miliki setelah kepergian kedua orang tuanya.
“ Kak, dia itu udah ngebohongin aku, dia harus dapat balasannya.”
“ Salah kamu, kenapa gampang banget di bohongin,” tuding Adam sambil menggedor salah satu pintu rumah yang berada di lantai 10.
“ Bukannya gitu, aku cuma-,” ucapan Medina tertahan saat si empunya rumah keluar dan menerima pakaian kering yang sedari tadi di bawa Adam.
Wanita paruh baya itu juga tampak memberikan beberapa lembar uang lima ribuan pada Adam. Adam menerimanya seraya mengucapkan terima kasih.
“ Kak, Nando itu emang rese’. Aku selalu jadi bahan lelucon dia di kampus. Kakak tahu itu kan? Jadi...apa salahnya aku kasih dia pukulan sedikit biar jera,” Medina kembali buka suara saat ibu berambut sebahu tadi masuk ke rumah dan menutup pintu.
“ Kamu itu cewek. Nggak pantes kayak gitu.”
“ Kakak...cewek itu juga perlu pertahanan diri.”
“ Pertahanan diri buat hal yang penting, bukan buat ngeladenin orang rese’.”
“ Tapi, Kak-,”
“ Kakak nggak pernah ngajarin kamu berkelakuan kayak preman begitu.”
Mereka terus saja berdebat sambil menapaki satu persatu anak tangga menuju ke lantai dasar. Keduanya saling tidak mau mengalah. Keduanya keukeuh mempertahankan argumen masing – masing.
Yang mereka ributkan tentu saja bukan hanya soal kelakuan Medina yang sebelas dua belas sama preman pasar, tapi juga cara berpakaian Medina yang sangat di tentang oleh sang kakak. Adam sudah berulang kali menasehati Medina untuk berpakaian lebih santun dan feminim, tapinpercuma nasehat itu mental duluan sebelum masuk ke telinga adiknya. Medina terlalu keras kepala.
“ Pokoknya mulai besok kakak nggak mau liat kamu berpenampilan kayak gini lagi,” tegas Adam dengan tatapan dingin.
“ Tapi...kak, aku nyaman dengan penampilan aku yang sekarang.”
Adam memijat pelipisnya, ia seperti kehabisan kata – kata untuk menasehati adiknya itu. Terlalu keras di beritahu, Medina akan semakin melawan. Tapi jika bersikap lembut, Medina malah ngelunjak.
Adam menghela nafas kasar, akan lebih baik ia menyudahi perdebatan ini sebelum Medina ngambek dan kabur dari rumah seperti kebiasaannya yang sudah – sudah.
“ Kakak berangkat kerja dulu. Kamu langsung pulang,” titah Adam dan kemudian berlalu pergi meninggalkan pelataran parkir rumah susun serta Medina yang terlihat semringah karena kakaknya tidak lagi berkomentar soal apa yang ia kenakan. Atau...lebih tepatnya belum berkomentar. Entahlah...apapun itu yang penting sekarang Medina tidak harus menuruti kemauan kakaknya untuk mengubah penampilan tomboynya itu.
“ Baru tahu gue, kalau ‘macan kampus’ punya pawang.”
Kalimat bernada meledek itu, menyentil emosi Medina yang kian menggunung. Nando kini berdiri di sisinya dengan melayangkan senyum yang dibuat semanis – manisnya, tapi entah kenapa terlihat begitu menyebalkan bagi Medina.
“ Oh...mulut lo itu kayaknya butuh belaian langsung dari bogem mentah gue ya?” tanya Medina sambil menyingsingkan lengan kemejanya, menantang.
“ Ya elah Na, jangankan bogem mentah. Di cium mesra sama lo aja, gue pasrah,” Nando semakin semringah. Tak gentar menghadapi kemarahan Medina yang sudah sangat sering ia lihat.
Tapi...tingkahnya justru semakin menaikkan kadar kemarahan Medina,” Nando!!”
Medina siap melayangkan tinjunya, Nando reflek menghindar melarikan diri.
Aksi saling kejar – kejaran layaknya Tom and Jerry mengisi pelataran parkir rumah susun yang terlihat sepi. Medina dan Nando sebenarnya telah saling mengenal sejak masih ingusan, tapi karena keusilan Nando, keduanya malah tidak pernah akur.
Walau takdir terus – terusan mempertemukan mereka di tempat yang sama. Sekolah yang sama dari jaman Tk hingga SMA, bahkan kampus yang sama, itu tak membuat keduanya bisa menjalin pertemanan yang baik, apalagi sejak Nando menyatakan cintanya pada Medina satu tahun lalu. Gadis bermata hitam pekat itu seakan kian antipati kepadanya.
Apa sikap antipati itu untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya pada Nando? Atau memang ia ingin membuat Nando menjauh? Entahlah, apapun itu toh usahanya untuk membuat Nando menjauh tak pernah berhasil. Cowok manis berkacamata itu justru kian sering muncul mengisi kehidupannya.
Terkadang, cinta itu keras kepala.
●●●
Diubah oleh riani14 07-10-2023 17:38
efti108 dan tien212700 memberi reputasi
5
76.5K
Kutip
1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
riani14
#1007
Quote:
PART 74
Aroma khas teh hijau yang berada di hadapan Nina, tak membuat gadis itu tergiur untuk mencicipinya walau hanya satu teguk.
Selama sebulan terakhir ia terus saja di rundung kegelisahan yang sama. Bahkan hal itu membuatnya jadi tak berselera makan atau tidur dengan nyenyak.
“ Kan udah gue bilang, lebih baik lo ceritain kejadian yang sebenarnya sama Medina.” Suara Tirta yang kini telah duduk di kursi yang terletak berseberangan dengannya memecah lamunan Nina.
“ Café bokap lo selalu rame gini ya padahal ini masih pagi?” tanya Nina sambil memperhatikan keadaan sekeliling.
Nina mengalihkan topik pembicaraan, membuat Tirta ingin sekali menjitak keras kepalanya. Pasalnya Nina selalu dengan sengaja mengganti topik jika membicarakan masalah tentang Nando. Yah…masalah yang terus memenuhi isi kepala gadis itu sejak satu bulan lalu.
“ Lo kayak baru pertama kali ke sini aja, namanya juga café baru buka wajarlah rame. Orang – orang itu pada penasaran,” jawab Tirta setengah malas.
“ Nggak nyangka ya, bokap lo rela melepas kantor penerbitannya demi sebuah café kecil di dekat kampus. Di luar dugaan banget. Padahal kantor itu udah punya nama besar.”
“ Nin, jangan mulai lagi deh. Gue udah pernah bilangkan sama lo, bokap gue nggak sepenuhnya melepas kantor itu. Dia Cuma memberikan kepercayaan penuh sama Om gue buat ngehandle semuanya. Bokap gue pengen punya waktu lebih banyak aja sama anak semata wayangnya, makanya dia buka café ini dengan gue dan dia sendiri yang kelola.”
“ Hmmm begitu…"
“ By the way, itu jawaban ke 10 gue, jawaban yang sama untuk pertanyaan yang sama yang lo tanyain tadi,” kesal Tirta berusaha mengingatkan Nina.
Yah…mereka sudah terlalu sering membicarakan hal itu, tapi entah kenapa Nina seolah sengaja melupakannya, hingga ia perlu bertanya berkali – kali. Itu menyebalkan.
Nina tak menjawab, ia memilih meneguk teh hijaunya, daripada harus meladeni ocehan Tirta.
“ Nin, mau sampai kapan lo sembunyi’in kenyataan itu dari Medina? Bagaimanapun dia harus tahu tentang keadaan Nando.”
“ Lo tahu Nando nggak ngizinin itu Ta. Gue bisa apa? Apalagi Medina belakangan ini selalu nanyain soal Nando,” keluh Nina dengan wajah memelas.
“ Itu artinya, lo memang harus jujur sama dia. Masa’ bodoh dengan Nando yang ngelarang lo buat cerita. Apa perlu gue yang ngomong sama Medina?”
“ Ta, kita udah sepakatkan buat merahasiakan ini dari Medina. Dan kalopun ada orang yang harus membongkarnya. Orang itu adalah gue.”
“ Ya.. tapi mau sampai kapan Nin? Lo nggak kasihan Medina, dalam pikiran dia Nando itu baik – baik aja.”
“ Lo pikir aja Ta, apa gue sanggup bilang sama Medina, kalau orang yang dia sayang, orang yang dulu selalu ada buat dia, dan ngelakuin apa aja buat dia, sekarang harus duduk di kursi roda dalam keadaan nggak bisa melihat pula,” ungkap Nina dengan mata berkaca – kaca.
Ia ingin menangis jika harus mengingat kondisi sahabatnya itu, tapi kemudian urung lantaran ia di kagetkan oleh kehadiran Medina di hadapannya.
Entah sejak kapan gadis itu berada di sana. Nina rasa sudah cukup lama, melihat raut wajah Medina yang terlihat sangat shock. Ia yakin Medina sudah mengetahui semuanya.
“ Medina, lo sejak kapan ada di sini?” tanya Tirta berusaha mencairkan suasana.
“ Di mana Nando sekarang?” tanya Medina dengan mata yang mulai berkaca – kaca, rasanya tak sanggup jika ia harus membayangkan kondisi Nando sekarang.
“ Na, lo duduk dulu kita bakal jelasin semuanya.” Tirta tetap berusaha menenangkan.
“ Gue tanya di mana Nando sekarang? Lo berdua pasti tahukan ada di mana dia sekarang?” pinta Medina sekali lagi dengan suara lantang hingga memancing perhatian pengunjung café yang lain. Nina beranjak dari tempat duduknya mmenghampiri Medina.
“ Na…tenang dulu, kita bakal bawa lo temuin Nando.”
Medina mengangguk setuju dan kemudian memeluk Nina erat. Nina bisa merasakan betapa kesedihan kini tengah menyelimuti sahabatnya itu,” Gue pengen ketemu dia, Nin. Gue pengen ketemu dia. Gue nggak peduli kondisi dia seperti apa. Gue Cuma pengen ketemu dia,” isak Medina tanpa henti, Nina hanya diam sambil mengusap kepala Medina berusaha meredakan tangisan Medina.
Tirta hanya diam, ia tidak tega melihat Medina yang terus saja menangis. Ia sangat ingin menyeka setiap air mata Medina yang jatuh. Namun ia sadar ia tidak punya hak untuk melakukannya. Ia hanya berharap dengan bertemu Nando, perempuan itu kembali tersenyum. Walau senyuman itu bukan untuknya dan bukan olehnya.
***
Angin dingin penghantar senja mengusap lembut pipi Medina, kaki langit yang kian merona jingga menemani setiap langkah kakinya untuk bertemu seseorang yang belakangan ini menghilang dari kehidupannya.
Beberapa jam perjalanan menuju ke tempat ini tak membuatnya merasa lelah sedikitpun. Keinginannya untuk bertemu Nando menghapus kepenatan yang justru berubah menjadi rasa khawatir.
“ Hari di mana bokap lo meninggal, Nando mengalami kecelakaan Na. Dia bilang waktu itu dia di kejar sama orang yang selama ini mengawal ibunya. Dia Cuma mau bawa ibunya pulang, tapi kejadiannya berbanding terbalik, ibunya sama sekali nggak mau nemuin dia dan yah dia harus mengalami ini semua,” cerita Nina dengan raut wajah sedih.
Tirta yang berada di sampingnya, hanya diam memandangi Medina, seakan ingin memastikan agar Medina tak menangis lagi.
Medina hanya diam mendengarkan sambil tak henti memandangi Nando yang duduk di kursi roda, menikmati senja di balkon villa. Nina bilang, laki – laki itu memilih mengasingkan dirinya di sini, di villa milik ayahnya, karena tak ingin di kasihani oleh siapapun. Keterlaluan, bahkan sekedar mengabarinya saja Nando tak berniat sama sekali.
Medina melangkah pelan mendekati Nando, sangat pelan hingga langkah kakinyapun tak akan bisa di dengar oleh Nando. Tangis Medina kembali luruh mendapati wajah tampan itu tak seceria biasanya. Muram, dan tak tampak segaris senyuman di bibirnya. Keindahan senja yang biasanya selalu sukses mengulas senyum di wajah itu, kini hilang entah kemana.
“ Oranye, ya senja hari ini masih sama dengan senja yang biasa lo lihat. Dan dengar, cicit burung layang – layang yang tengah bersiap kembali ke sarangnya, seakan memberi kode kalau mentari akan pulang sebentar lagi,” terang Medina dengan terisak. Ia tengah mati – matian menahan diri agar air matanya tak mengalir kian deras. Perih rasanya mendapati seseorang yang jadi salah satu bagian terpenting dalam hidupnya harus mengalami ini semua.
“ Medina? Ngapain lo di sini?” tanya Nando dingin setelah menyadari kehadiran Medina di sampingnya.
“ Kenapa lo nggak cerita, Ndo?? Kenapa lo harus sembunyikan ini dari gue?”
“ Apa pentingnya lo tahu? Bukannya lo selama ini nggak pernah peduli sama keberadaan gue? Lebih baik lo pulang sekarang.” Tegas Nando sama tegasnya dengan raut wajah yang ia pamerkan saat ini.
“ Ndo…tapi gue-,”
“ Mang Ujang!!” seru Nando memanggil salah satu asisten rumah tangganya. Tak lama setelah itu seorang bapak paruh baya dengan memakai kopiah di kepalanya berjalan cepat mendekati Nando.
“ Ada apa Mas?”
“ Tolong bantu aku balik ke kamar, dan tolong pastikan perempuan ini pulang secepatnya. Aku nggak mau ada tamu yang tak di undang di sini.” Pinta Nando kian terdengar tajam. Mang Ujang menuruti saja apa maunya Nando dengan perasaan tak enak hati pada Medina. Lelaki dengan rambut mulai memutih ini mendorong kursi roda Nando ke dalam rumah.
Tirta dan Nina, hanya bisa diam dan saling berpandangan. Keduanya bingung kenapa Nando bisa tiba – tiba menjadi semarah itu. Kenapa sikapnya juga seketika dingin pada Medina. Apa karena ia malu dengan keadaannya sekarang? Atau karena memang perasaannya pada Medina telah luruh sepenuhnya?
Medina sendiri mematung deengan tatapan tak percaya melihat perubahan sikap Nando kepadanya. Ia sadar selama ini ia terlalu sering mengabaikan Nando, dan menganggap perasaan Nando hanya sebatas candaan receh bocah itu. Tapi walau begitu bukan berarti Medina tak peduli dan tak punya rasa empati pada Nando.
“ Na…ayo kita pulang, Nando nggak mau kita di sini.” Ajak Nina yang telah berada di samping Medina.
“ Nggak. Gue nggak akan pulang!”
“ Tapi Na, Nando bisa marah besar dan makin benci sama lo kalau lo ngeyel begini.”
“ Nin, lo tahu persis seperti apa Nando. Dan yang tadi itu bukanlah Nando yang kita kenal. Dia nggak sedingin itu. Nggak sama sekali.” Medina keukeuh dengan keputusannya.
Nina terlihat ingin.membantah lagi, tapi Tirta telah lebih dulu memberi kode untuk mengikuti saja kemauan Medina.
Walau dengan berat hati, Nina tetap menurut.
Senja di kaki langit kian berubah warna menjadi gelap. Adzan maghribpun sayup - sayup mulai terdengar menembus setiap dimensi ruang.
Medina menghela nafas panjang, wudhu dan shalat tentu lebih bisa menenangkan pikiran dan jiwanya sekarang. Dan semoga saja Nando akan turut membaik suasana hatinya.
Ya…semoga.
●●●
2
Kutip
Balas