- Beranda
- Stories from the Heart
Thread Perlombaan COC SFTH Kembalikan Cinta Yang Hilang
...
TS
OWNER
sabna.tamara
Thread Perlombaan COC SFTH Kembalikan Cinta Yang Hilang
Quote:
Thread ini adalah thread perlombaan. Dilarang chit-chat, junk atau apapun disini. Hanya ada cerita yang dilombakan. Jika melanggar akan dikenakan sanksi berupa delete post, reset post atau banned.
Untuk melihat info selanjutnya atau ingin bertanya jika masih ada yang mengganjal, silahkan dilihat dan ditanyakan di Thread Utama. Terima kasih.
Diubah oleh sabna.tamara 04-02-2019 13:55
terbitcomyt dan 17 lainnya memberi reputasi
18
43.3K
Kutip
117
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.4KAnggota
Tampilkan semua post
mukamukaos
#105
HUJAN
Spoiler for Hujan:
1.
Tahun 1998
Seminggu lalu menjadi waktu yang tidak terlupakan bagi kota Jakarta dan Indonesia. Kerusuhan tidak berperikemanusiaan terjadi di tiap sudut kota. Teriakan, tangisan, huru-hara membahana. Asap hitam tebal membumbung tinggi ke angkasa. Ruko, gereja, rumah, hancur akibat ulah tangan-tangan tak bertanggung jawab. Rumah sakit kehilangan banyak peralatan akibat dijarah.
Sebuah masa yang kelam bagi Jakarta.
“Om, saya boleh keluar?”
“Kamu berani?”
Arini memandang keluar lewat jendela rumah tetangganya yang retak akibat lemparan batu. Dia menggeleng. Ia ingin bertemu Mama dan Papanya. Sudah 3 hari mereka tak datang menjemput anak perempuannya yang baru menginjak kelas 3 SD. Hanya harap yang ada dalam hatinya.
“Masih takut?”
Arini mengangguk. Siapa yang tak takut melihat rumahnya dimasuki banyak orang asing dan menghancurkan segalanya?
Pak Bambang, tetangga yang menampungnya, tersenyum. Dielusnya kepala Arini. Bersamaan dengan itu istrinya, Bu Mega, datang membawakan sesuatu untuk gadis kecil itu. Sebuah boneka lusuh yang ia temukan saat melintasi rumah Arini.
“Tebak… Ibu bawa apa buat kamu?”
Arini menoleh.
Bu Mega memperlihatkan boneka Teddy Bear dari balik tubuhnya dengan ceria. Arini langsung menyambar boneka tersebut. Senyum yang beberapa hari ini hilang, kembali bersinar.
“Terima kasih, Bu. Ini boneka Arini. Nemu di mana?”
“Di depan rumahmu, Sayang,” jawab Bu Mega.
“Di depan rumah?” Arini tercenung. “Mama sama Papa ada di sana nggak? Arini kangen," ucapnya sedih.
Muncul jeda hening di antara keduanya. Hening yang menyesakkan. Seperti udara mampat yang sulit keluar. Bu Mega mesti berpikir bijak untuk menjawab pertanyaan gadis kecil yang senyumnya memudar ini. Dan dia memutuskan menjawab dengan senyuman.
“Nanti kalau mau keluar, sama Ahmad aja, ya? Biar ada yang nemenin,” kata Bu Mega kemudian. Ahmad adalah anak semata wayangnya.
Kepala Arini mendongak, melempar pandangan jauh ke luar. Dia mengangguk.
****
“Boneka kotor, kok, dibawa-bawa,” cibir Ahmad melihat Arini membawa boneka Teddy Bear-nya kemana-mana.
“Ini boneka kesayangan aku tauk! Dibeliin Mama buat hadiah ulang tahunku yang ke 9,” Arini balas mencibir.
Ahmad memutar kedua bola matanya. “Kalau sayang harusnya dicuci! Bukan dibawa kemana-mana. Aneh!”
Arini menekuk wajahnya.
Mereka sedang menuju ke rumah Arini yang letaknya ada di ujung kompleks. Sebetulnya Ahmad malas menemani Arini. Jika bukan karena dipaksa Ibunya, pasti sekarang dia sudah main sepak bola bareng anak-anak lain atau latihan silat dengan tetangganya. Ahmad seumuran dengan Arini. Hanya saja mereka beda sekolah. Jadi tidak terlalu dekat.
Langkah kaki keduanya berhenti tepat di depan puing-puing sebuah bangunan. Bekas rumah Arini. Ahmad terkejut. Pemandangan di depan matanya sulit dipercaya. Seminggu lalu, Ahmad masih melihat sebuah rumah sederhana di ujung kompleks. Tapi kini lenyap. Berganti reruntuhan penuh noda hitam bekas kebakaran di sana-sini. Kepalanya menoleh, menatap Arini. Ia iba melihat temannya yang hanya diam terpaku.
“Rin,” panggilnya lirih, nyaris tak terdengar. Ingin sekali Ahmad menyentuh pundak temannya. Berusaha menguatkan. Namun tangannya terasa berat.
“Eh, ada dua gembel lagi pacaran!” Sebuah seruan bernada mengejek tiba-tiba muncul.
Arini dan Ahmad menoleh ke belakang. Tampak tiga anak perempuan tak dikenal muncul. Sengak betul mukanya. Tanpa sebab, tahu-tahu si perempuan yang tampak paling tua merebut boneka Arini.
“Kembalikan!” Arini berteriak, berusaha merebut. Namun karena tubuhnya lebih kecil, dengan enteng dia didorong sampai jatuh.
Ahmad tidak terima temannya didorong. Dia gantian mendorong si cewek dan berusaha merebut paksa boneka dari tangannya. Karena terlalu kencang menarik, tangan boneka Arini koyak. Ahmad terkejut, lantas mendorong kuat-kuat si cewek sampai mau melepas bonekanya. Perempuan itu terjatuh dan menangis. Dibantu dua temannya, mereka berlari pergi.
“Rin, bonekamu…” Ahmad kehilangan suaranya saat memberikan boneka yang lengannya nyaris putus.
Arini menerimanya sambil menangis. Boneka kesayangannya koyak. Harta satu-satunya yang tersisa. Ia memeluk boneka itu erat.
Hati Ahmad teriris melihat kawannya menangis. Ia merasa bersalah. Coba saja tadi dirinya lebih hati-hati. Pasti boneka itu tidak akan koyak. Kasihan betul Arini. Keluarganya entah kemana, rumahnya hancur, sekarang barang kesayangannya dirusak.
“Sudah, jangan nangis. Nanti kita betulin di rumah,” tenang Ahmad.
Tangis Arini malah kian kencang.
Ahmad panik. “Rin, jangan nangis, dong! Iya iya, aku minta maaf. Aku yang salah karena bikin tangan bonekamu rusak.”
Arini menggeleng. Sambil terisak, ia menjawab, “Aku tahu kamu nggak bermaksud merusak. Aku nangis karena aku sayang sama bonekaku.”
Ahmad terbengong. “Kok, gitu?”
Arini mengelap air matanya. Sambil terisak, dia menjelaskan, “Kamu bilang, ‘kalau sayang harusnya dicuci!’. Karena nggak ada air, makanya aku nangis. Biar air matanya bisa dipake buat nyuci.” Dia kembali meledakkan tangis.
“Aku boleh bantu?” tawar Ahmad.
Gadis cilik itu terkejut mendengar pernyataan kawannya. Dipandangnya Ahmad. Wajahnya serius. Melihat dan mendapat perlakuan begitu, hati Arini perlahan menjadi hangat. Ia merasa tidak sendiri. Arini mengangguk pelan.
Mereka berdua pun menangis bersama di depan puing-puing rumah, di sore yang sinarnya mulai tenggelam oleh sang waktu.
2.
Awan hitam yang sejak tadi menggantung di langit tak kuasa menahan muatannya. Hujan deras seketika membasahi bumi. Tepat saat Arini tiba di tempat ini. Ia membuka payung, membawa barang bawaannya, dan bergegas pergi ke dalam. Menjenguk Ahmad yang baru sempat ia temui hari ini. Sepanjang perjalanan dari rumahnya, ia teringat kejadian kelam belasan tahun lalu itu. Kejadian pertama yang membuka hatinya bahwa baginya... Ahmad menjadi lebih dari sekedar sahabat.
3.
Tahun 2004
“Rin!” panggil Ahmad melihat Arini sendirian di gapura sekolah, sedang berteduh menunggu hujan reda. Arini melambaikan tangan. Mereka berdua bersekolah di tempat yang sama, kelas 3 SMP, sebentar lagi lulus. Arini sendiri sudah tinggal bersama pamannya yang selamat dari kerusuhan. Sedangkan orangtuanya tidak pernah ditemukan. Sampai sekarang.
“Kok, baru pulang?” tanya Arini setibanya Ahmad di sampingnya.
“Biasa… les," jawab Ahmad sambil menggosok-gosok seragam dan wajahnya yang basah.
Kening Arini mengerut. “Les? Kok, aku nggak tahu?” Tiga detik berikutnya, kepalanya bak digetok dari dalam. Teringat sesuatu. Ia tersenyum remeh. “Oh, iya, sori sori. Kamu, kan, siswa berprestasi. Sibuk lomba melulu!” cibirnya.
Ahmad tertawa. “Iri, ya?”
Arini mendengus.
Tawa Ahmad semakin keras. Dengan gemas, ia coba mengacak rambut Arini. Arini yang tak mau rambutnya berantakan, berusaha menghindar. Karena tak hati-hati, kepala Arini membentur sudut tembok yang berada persis di sisinya. Perempuan itu mengerang kesakitan sambil memegang kening sebelah kirinya.
Ahmad panik. Ia melihat luka di kening Arini. Kepanikannya bertambah melihat darah mengucur dari lukanya.
“Kita ke UKS, yuk!” ajak Ahmad. Tanpa meminta persetujuan, Ahmad menarik lengan Arini dan berlari menerobos hujan menuju UKS sekolah.
Beruntung, UKS belum dikunci oleh penjaga sekolah. Ahmad bergegas mencari obat merah dan perban. Dengan cekatan dia mengobati sahabatnya.
“Tahan, ya?” ucap Ahmad saat memasang perban untuk menutupi luka.
Arini meringis menahan sakit.
“Makanya, Mbak, lain kali hati-hati. Masih sakit?” ujar Ahmad sambil membereskan peralatan.
Arini tidak menjawab. Sedari tadi perempuan itu memperhatikan betapa telaten dan cekatan Ahmad merawat lukanya. Membuat gadis itu mengesampingkan rasa sakit di kening. Karena perlahan, rasa itu mulai terdistorsi oleh debaran dalam dadanya.
"Hoi! Masih sakit?" Ahmad mengulang pertanyaannya.
Arini terkejut. Debaran dalam dadanya kian menggila saat Ahmad mendekatkan wajahnya untuk melihat perban di kening Arini. Dekat sekali.
Arini menelan ludah. Ia berharap Ahmad tak mendengar debaran itu. Dengan gugup, ia menggeleng. Ahmad pun menjauhkan wajahnya. Cowok itu tersenyum. Arini membuang napas pelan-pelan.
****
Sepuluh menit sudah mereka berdiam diri di UKS. Hujan belum kunjung mereda.
“Pulang, yuk?!” ajak Ahmad yang sudah tak sabar ingin pulang.
“Masih hujan, nih.”
“Kau mau di sini sampai kapan?”
Terpaksa, mereka berdua menunggu lagi hingga hujan agak reda. Setelah dirasa aman, kedua remaja tersebut pergi meninggalkan sekolah. Sambil harap-harap cemas supaya hujan tidak bertambah deras.
“Hati-hati,” ucap Arini geli melihat kawannya melompat-lompat menghindari genangan seperti bocah. Ahmad hanya nyengir sambil terus melompat seperti jangkrik. Sesekali ia menepi kalau ada kendaraan melintas.
Tiba di pertigaan, keduanya berdiri berjajar, hendak menyeberang. Mereka menoleh ke kanan dan kiri. Tampak sebuah sepeda motor melaju kencang dari arah barat. Yang tidak mereka sadari, di dekat mereka terdapat genangan air. Jadi saat motor tersebut melintasi genangan… BYUURR!!Arini basah kuyub. Sedang Ahmad hanya basah sepatunya.
“Sialan!” umpat Arini. Seragam osisnya kotor. Ahmad yang berdiri di sampingnya tertawa puas. Arini memukul lengan kawannya.
“Kurang ajar, tuh! Habis ini masih naik angkot. Mana nggak bawa jaket!” kesal Arini.
“Pake ini aja.” Tahu-tahu Ahmad melepas kemeja osisnya yang tidak terlalu basah dan memberikannya kepada Arini. Kini cowok itu hanya mengenakan kaos oblong putih.
“Buat apa?”
“Biar nggak malu. Mau nggak?”
“Nggak, ah! Bau!” jawab Arini ketus.
“Enak aja! Ini bersih tauk! Wangi!” Ahmad mengendus kemejanya. “Kamu mau nggak?! Kalau nggak, aku pake lagi, nih!”
“Ya udah, sini!” Arini menerima kemeja itu dengan muka cemberut.
“Kamu ke masjid dulu, gih! Ganti baju di sana.” Ahmad menunjuk masjid besar yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
Arini mendengus sambil berjalan meninggalkan Ahmad dengan muka masam.
Ketika masuk ke kamar mandi masjid, Arini membuang wajah masamnya jauh-jauh dan berjingkrak-jingkrak seperti orang kesetanan. Dengan cepat, dia memakai baju milik kawannya itu. Sedikit kebesaran tidak masalah, yang penting ia bahagia.
4.
Tahun 2007
“Jadi menurutmu, dia suka sama kamu?” tanya Shinta, sahabat dekat Arini.
Arini mengangkat kedua bahu. Kini usianya 18 tahun. Kelas 3 SMA. Sebentar lagi lulus. Ahmad masih satu sekolah dengannya. Alasannya, “Aku kepingin dekat sama kamu terus.”Alasan itulah yang membuat Arini beranggapan bahwa perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan.
“Kalau beneran suka kok nggak nembak-nembak, sih?” lanjutnya penasaran.
Itulah yang selama ini Arini tunggu. Sejak SD, perasaan suka itu bertumbuh, berkembang menjadi sayang, hingga akhirnya berubah menjadi… cinta. Dan Arini tersenyum salah tingkah.
“Emang dia seromantis itu, ya?”
Pipi gadis itu merona. Tak terhitung banyaknya adegan romantis ala Ahmad yang selalu bikin hati Arini berteriak. Mulai dari mengucap selamat pagi tiap bertemu di sekolah, lalu jika Arini ada masalah, Ahmad siap siaga membantu, bahkan hal se-sepele disenyumin pun efeknya luar biasa bagi Arini.
“Andai aku jadi kamu, aku bakal nembak duluan, Rin. Gak peduli mau dibilang apa. Daripada nyesel? Iya, nggak?”
Pernyataan Shinta membuat Arini tercenung. Itu bukan saran baru. Arini sendiri berulang kali hendak mengutarakan perasannya pada Ahmad. Hanya saja lidahnya menjadi kelu jika berada di dekat cowok itu.
Namun, tahun ini bisa jadi yang terakhir. Karena Ahmad pernah berkata akan kuliah di luar pulau. Betul juga kata Shinta. Daripada menyesal, lebih baik memberanikan diri.
****
Mendung yang menghiasi langit Jakarta tak membuat kemeriahan di SMA luntur. Seluruh murid bersorak-sorai setelah dinyatakan lulus 100%. Akan tetapi, ada yang tidak tersenyum di siang yang membahagiakan tersebut. Tampak Arini tengah kebingungan mencari Ahmad. Jantungnya berdegub kian kencang kala melihat cowok itu melambai dari jauh ke arahnya. Senyumnya yang ceria justru membuat debaran dalam dada Arini kian tak terkendali.
Ahmad berlari menghampiri gadis itu. Tiba di depannya, tiba-tiba cowok itu menarik tangan Arini, mengajaknya ke taman belakang sekolah.
“Kamu lulus?” tanya Ahmad ceria.
Arini mengangguk.
“Rin, ada yang ingin aku bilang. Tapi kamu jangan kaget.”
Arini tercengang. Tidak mungkin.
Ahmad salah tingkah. “Duh, gimana ngomongnya, ya?”
Tanpa sadar, kedua sudut bibir Arini tertarik ke atas. Bilang saja.
Ahmad menarik napas dalam-dalam. Menenangkan diri. “Aku … argh!”
“Hei… hei… tenang. Kamu mau ngomong apa, sih?”
“Aku cinta sama kamu.”
Arini terperangah. Perutnya terasa mulas. Dadanya seperti meledak.]
“Aku… aku udah lama memendam rasa ini saat kita bertemu. Enam tahun kita bareng. Enam tahun kita saling kenal. Enam tahun yang membuatku yakin bahwa kamu adalah perempuan yang aku impi-impikan.”
Mata Arini terasa panas. Air mata perlahan berkumpul di pelupuk mata. Ini bukan mimpi, kan?
Ahmad makin salah tingkah. “Kalau aku bilang kaya gitu di depan dia, kira-kira dia bakal nerima aku apa nggak?”
Petir bergemuruh. Senyum yang tersungging indah di bibir Arini pelan-pelan tergerus. Dia?“Sori. Dia siapa?” ucapnya pelan.
“Shinta. Kalau aku bilang gitu ke dia, aku bakalan ditolak nggak? Soalnya aku cinta banget sama doi.”
Gerimis turun. Tapi Ahmad tidak mengajak Arini pergi. Ia melanjutkan. “Sekarang, aku mau latihan sekali lagi. Kamu bantuin aku, ya? Kamu pura-pura jadi Shinta. Oke?”
Arini mengembangkan senyum palsu. Mengangguk.
“Shin, aku udah lama memendam rasa ini saat kita bertemu. Enam tahun kita saling kenal. Aku tahu kamu, kamu tahu aku. Kamu mau nggak jadi pacarku?”
Arini menunduk. Jadi, kata-kata itu benar bukan untukku?
“Hei! Malah ngelamun! Gimana?” tanya Ahmad penuh harap.
Dengan berat dan sakit,, gadis itu mengangguk. “Aku mau."
"Jadi aku pasti diterima, kan?"
"Kamu pasti diterima! Cepat sana!” ucapnya, tegar. Arini memukul dada Ahmad untuk memberi semangat. Mereka berdua pun berpelukan.
“Aku ikut senang,” lanjut Arini getir dalam dekapan sahabatnya.
“Aku pergi dulu!” Ahmad pun pergi.
Arini terpasung di tempat. Membiarkan sahabatnya pergi untuk menyatakan cinta pada sahabatnya yang lain. Meninggalkan dirinya menangis sendirian di bawah derasnya hujan.
Hujan yang menyedihkan. Hujan yang mengaburkan air matanya.
5.
Hujan sedikit mereda setibanya Arini di tempat ini. Dadanya langsung terasa sesak. Berulang kali ia harus menguatkan diri supaya tidak tumbang. Kedua kakinya pun dia paksa untuk melangkah ke dalam.
Langkah kakinya terhenti. Ia membaca nama Ahmad Suhendra yang terukir indah di batu nisan berwarna hitam. Makam sahabatnya yang meninggal akibat kecelakaan tunggal 1 hari setelah kelulusan. Air matanya langsung meleleh. Luka lama yang selama 10 tahun terpendam, kembali terangkat. Semakin lama ia memandang, semakin dalam pula luka yang terkorek. Sakit sekali.
“Aku datang khusus buat kamu. Maaf ya, baru sekarang aku bisa menemuimu lagi. Tapi... kamu dimana? Kenapa hanya batu bertuliskan namamu saja yang menyambutku?"
Arini terdiam.
"Kamu tahu? Aku masih mencintaimu. Dari dulu, kini, bahkan hingga aku mati.”
Arini membuka plastik yang ia tenteng sejak tadi, mengeluarkan isinya, lalu meletakkannya di samping nisan sahabatnya.
“Ingat ini? Ini boneka yang tangannya dulu kau rusak. Aku sengaja tidak membuangnya. Aku hanya ingin kamu tahu kalau,” suara Arini parau, “apa yang kamu lakukan itu sangat berarti buatku.”
Hujan kembali deras. Dinginnya begitu menusuk. Arini masih membuka payungnya. Namun kedua pipinya basah. Dirinya sedang berharap ada seseorang yang membuat hujan yang dingin ini berubah menjadi hangat. Ia berharap ada seseorang yang membuat air mata yang membasahi pipinya berhenti mengalir. Ia sangat berharap… andai sahabatnya tahu apa yang selama ini dia rasakan.
Tapi itu semua mustahil.
“Andai Tuhan mengijinkan, semoga kita bisa berjumpa di Surga.”
****
Story by Mukamukaos
Diubah oleh mukamukaos 22-02-2019 09:03
11
Kutip
Balas
Tutup