Kaskus

Story

sabna.tamaraAvatar border
TS
sabna.tamara
Thread Perlombaan COC SFTH Kembalikan Cinta Yang Hilang
Quote:



Thread ini adalah thread perlombaan. Dilarang chit-chat, junk atau apapun disini. Hanya ada cerita yang dilombakan. Jika melanggar akan dikenakan sanksi berupa delete post, reset post atau banned.
emoticon-Jempol



Untuk melihat info selanjutnya atau ingin bertanya jika masih ada yang mengganjal, silahkan dilihat dan ditanyakan di Thread Utama. Terima kasih.
emoticon-Kimpoi
Diubah oleh sabna.tamara 04-02-2019 20:55
anasabilaAvatar border
actandproveAvatar border
terbitcomytAvatar border
terbitcomyt dan 17 lainnya memberi reputasi
18
44K
117
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
stef.mjzAvatar border
stef.mjz 
#96
CINTA TIDAK TIDUR
Note ;
Cerpen "Cinta tidak Tidur" ditulis oleh penulis pas lagi gencar-gencarnya susah tidur. Cerita ini sudah saya tulis sejak tahun 2016 (berupa konsep dan draft) yang kemudian saya publish setengah (tidak sampai tamat) di akun wattpad saya.

Hari ini, demi merayakan hari kuasiiih swayang dan berpartisipasi di COC SFTH, saya posting cerita penuhnya di sini. Menang kalah bukan masalah, Brey. emoticon-Malu  Yang penting stay menulis dan keep loving. emoticon-Cool Galau-lah dengan produktif, wahai insani susah moving-on! emoticon-Ngakak (S)

Kupersembahkan cerita ini dengan penuh cinta! Selamat membaca. emoticon-Kiss (S)


CINTA TIDAK TIDUR
Cerita oleh ; stef.mjz
Ilustrasi ; IG @93.minho

kaskus-image

Sore berlalu menghantar petang. Kutelusuri jalan raya dengan lelah. Suara klakson menyela telinga dan mulutku untuk mengumpat. Beginilah keseharianku di ibukota. Pagi buta berangkat kerja, pulang pun harus dihajar kemacetan. Mataku awas kemana saja. Orang berlalu-lalang menawarkan dagangan, motor dan mobil saling menyalip. Kukatupkan mulutku tanda bosan. Aku mencintai negeri ini, hanya saja---sekali tidak macet di kota tercinta, bolehkah dikabulkan? Mengingat hal ini kulalui bertahun-tahun. Penat rasanya. Tapi hal ini tak membuatku surut untuk pulang. Pergi ke tempat aku tinggal, rumah satu petak, berjejeran seperti ruang indekos. Di sanalah ragaku terhempas untuk tidur. Meski tinggal sendiri, namun senyumku melebar bahagia. Seolah-olah kepulanganku disambut, aku tahu setelah ini akan menemui siapa.

Mobilku terparkir tak jauh dari kontrakan. Ibu pedagang gorengan tersenyum menyambutku. Seakan-akan ia tahu setelah ini sebagian dagangannya akan kubawa. Semakin kudekati, beliau spontan mengambil kantong plastik lantas memungut satu-persatu gorengannya.

"Sudah pulang Mas Iyan? Seperti biasa, ya. Pisang goreng empat, tempe dua, tahu isi satu. Cabainya tiga. Gitu ya, mas?"

"Iya, bu. Uang pas, ya." Jawabku sambil memberikan uang sepuluh ribuan.

Senyumku terus mengembang, bukan gorengan yang menyambutku, atau suara berisik anak-anak kampung yang berlarian di sepanjang jalan. Beberapa meter lagi aku tiba di sana, tempatku untuk tidur, tempatku untuk mengasingkan diri dari sumpeknya ibukota.

Napasku tertahan. Aku berdiri di depan kamarku meski mataku menelusuri kamar samping. Aku tahu ia masih tidur. Kumasuki kamarku untuk melepas sepatu dan kemeja. Membasuh muka seperlunya, mengenakan kaos dan celana di atas lutut. Aku ambil sekantong gorengan lantas mengetuk kamarnya.

Hanya ketukan sebagai formalitas, pikirku lucu. Aku buka gagang pintu, menarik tirai jendela selebar mungkin sampai sisa cahaya sore menerangi kamar. Kurapikan baju dan selimut yang berantakan, pemilik kamar hanya membuka sebelah mata. Ketika mencium bau kehadiranku, ia terkekeh, tersenyum dan bangun dari tidurnya.

"Pisang goreng empat, tempe dua, tahu isi satu, cabai tiga." Kataku sembari meletakkan bungkusan di meja.

"Dibayar kredit atau tunai?" Tanyanya mencoba melucu.

"Segeralah bangun dan cuci muka, itu sudah membayar seluruh hutang gorenganmu. Kalau perlu, mandi sekalian. Biar segar dan aku ndak perlu mati bosan karena melihat kamu seperti ini. Setiap hari."

Aku tahu ia tidak akan tersinggung meski kukatai macam-macam. Senyumnya makin lebar, kedua mataku mengerjap salah tingkah. Sumpah. Meski berantakan seperti benang kusut, bagiku ia tetap cantik memesona.

"Iyan, Iyan. Justru aku yang bosan. Kok kamu mau setiap hari ngurusin aku? Heran, deh."

Katanya sambil ngeloyor pergi. Masuk ke dalam kamar mandi demi percikan air di wajah polosnya. Kemudian keluar, duduk di depan meja untuk menyantap gorengan favoritnya. Pisang goreng empat, tempe dua, tahu isi satu, cabe tiga. Harus urut. Harus sesuai jumlah. Tidak lebih tidak kurang.

"Aku kan sahabatmu."

Alasan klise paling sampah, pikirku kecut. Sahabat. Memang benar, aku sahabatnya selama bertahun-tahun. Meski gajiku masih layak sewa apartemen atau bahkan kondominium, entah kenapa---hubungan bergelarkan sahabat menarikku di sini. Kamar petak sempit berdampingan.

"Wajar kalau aku bantu kamu, Cinta."

Cinta menatapku. Senyum tipisnya mengembang. Sambil manggut-manggut sok paham, ia menambah satu buah gorengan untuk dikunyah.

"Makasih banget loh Pak Iyan. Manajer kantoran yang gantengnya mirip David Beckham. Makasih buat gorengan dan saran buat mandi. Makasiiih..."

Perempuan ini teramat sialan, pikirku. Meski sudah kupertanyakan nyaris setiap saat, aku tak pernah menemukan alasan yang tepat kenapa masih di sini. Berdiri di depannya. Berdiri di depan wanita yang rambutnya kusut, hanya memakai piyama, sandal boneka, yang kerjanya hanya tidur dari pagi sampai sore. Malamnya? Jangan tanya. Ia akan melek sambil meneguk secangkir kopi. Mengerjakan pekerjaan serabutan di depan laptop atau terkadang mengajakku naik ke atap indekos. Meski gila, inilah pekerjaannya setiap hari. Setiap malam. Setiap dini hari.

"Nanti ngopi? Besok Minggu, you can stay late up night and you don't have to worry about waking up in the morning."

"Secangkir kopi enggak akan mempan, Cinta. Aku bakal ngantuk...."

"Dua cangkir?"

Cinta berusaha negoisasi. Entah kenapa ia selalu menunggu waktu dimana aku bisa begadang dengannya. Aku benar-benar bosan.

"Boleh."

"Sampai jam berapa?"

"Terserah kamu, Ci---."

"Terserah? Aku enggak tidur sampai jam tujuh pagi. Kamu?"

Gelar sialan ini rasanya kepingin kucopot. Bagaimana bisa aku diam melihat dunia sahabatku kebalik? Cinta tak pernah tidur seperti orang kebanyakan. Insomnia. Begitu katanya. Entah penyakit atau apapun itu, aku tak pernah sudi memberi toleransi kepada orang yang jamnya tidurnya kebalik.

Pernah kubujuk untuk pergi ke psikiater atau mengkonsumsi obat tidur. Tapi ia tak pernah mau. Dengan segala alasan aneh yang menurutku hanya bisa dipahami alien, Cinta tetap kekeuh dengan pendiriannya.

Ia begitu cinta pada dunianya ketika malam hari. Padahal, yang ia lakukan sebatas duduk atau jalan-jalan di sekitar perumahan. Meski ngantuk setengah mati, aku tidak tega membiarkan Cinta kelayapan seorang diri. Harus diakui, meski penampilan nyentriknya dengan piyama dan sandal boneka terlihat seperti bocah SMA, Cinta termasuk perempuan cantik yang rentan cat calling. Di luar nalar jika ia berjalan-jalan seorang diri. Mau tak mau aku ikut menemani, mendengarkan segala ceritanya, entah masuk di akal atau tidak, aku tidak peduli karena diterkam rasa kantuk.

"Aku mau mandi, nih. Habis itu pergi ke toko buku."

Seketika bulu kudukku merinding.

"Cinta.."

"Iya, Iyan?"

"Ini masih sore, belum magrib."

"Iya terus?"

"Mau pergi?" Tanyaku tak percaya.

"Iya. Perlu refillbuku-buku yang sudah habis aku baca. Kenapa, Yan?"

"Serius?"

Mataku melebar seperti balita yang menemukan mainan baru, Cinta mengangguk, menunjukkan keseriusannya untuk pergi keluar.

"Mau mengantar?"

Tanya Cinta sambil tersenyum. Oh, ya ampun. Entah sengatan macam apa ini. Gila rasanya jika menolak permintaan Cinta! Kapan lagi pergi dengannya di jam normal seperti ini? Aku bersyukur karena ia pergi di jam dimana orang-orang masih betah melek. Bukan jam dua belas malam atau dini hari, aku mengangguk bersemangat. Buru-buru keluar dan masuk ke kamar, kucari pakaian paling bagus dan jaket yang baru kubeli. Jantungku berdebar. Barangkali aku adalah satu-satunya laki-laki yang sangat bahagia mengunjungi toko buku.

***


Cinta menepuk-nepuk buku barunya dan tertawa. Entah siapa yang lucu, dia atau aku. Aku sudah bosan setengah mati melihat Cinta melakukan kegiatan di saat orang-orang sudah tertidur. Barusan ia pergi melesat ke toko buku, aku menikmati pemandangan ini dengan bahagia. Melihatnya lembut menelusuri rak buku. Jemarinya seolah-olah menghitung dan menimbang-nimbang, buku mana yang harus ia beli untuk menemaninya.

"Selama kamu ngajak aku di jam seperti ini, aku kasih gratis segratis-gratisnya. Kalau sudah di atas jam sepuluh malam, enggak akan, deh. Selain itu jam berharga buat tidur, toko buku juga sudah pada tutup." Kataku sambil menyeruput kopi.

Namun perkataanku tidak digubris. Cinta sudah larut komat-kamit membaca buku. Garis matanya tertumpu pada setiap kalimat yang ia baca. Seolah-olah dunianya sudah lain. Bukan bersamaku di depan teras indekos. Namun bersama buku-buku itu. Aku tertegun, kutaruh daguku untuk menatap wajahnya. Kubiarkan wajah manis Cinta tenggelam dalam bacaan. Aku menatapi sepuas hati, berusaha tak mengatakan apapun atau mengganggunya.

kaskus-image

Tahukah ia betapa lama kita saling mengenal?

Meski Cinta yang dulu tidak seperti ini, gelar sahabat masih tertancap kuat dalam diriku. Kutemani hari-harinya tanpa keluh. Meski muak rasanya menahan diri untuk tidak berucap padanya---bahwa aku lelah. Lelah hadapi segala polahnya yang kelewat aneh dan menyiksa.

Meski sekali lagi kuresapi sampai otakku dangkal, aku tidak pernah tahu siapa seseorang yang menetap di hidupnya. Siapa manusia sialan yang sudah merubah Cinta menjadi perempuan dengan jam tidur terbalik? Sudah kutelusuri demi temukan jawaban. Namun Cinta selalu bungkam, seolah-olah ia tak pernah bisa berhenti mencintai seseorang. Seseorang yang sudah hilang. Entah bernyawa atau tidak, aku tidak tahu.

Tahukah ia betapa lamanya gelar sahabat ini terpaku?

Seharusnya ia tahu. Dengan lamanya ia menenggelamkan diri dalam selimut saat aku berangkat kerja. Seharusnya ia tahu. Aku menantikan diri untuk segera pulang demi membawa sebungkus gorengan. Empat pisang goreng, dua tempe, satu tahu isi, cabe tiga. Harus urut. Harus sesuai jumlah. Tidak lebih, tidak kurang.

***


"Orang yang aku cintai?"

Keesokan malamnya, kembali pada jam tidur manusia. Cinta menelan pertanyaanku. Aku memberanikan diri bertanya ; Cinta, kamu lagi kasmaran? Sama siapa? Suka sama seseorang?

Rasanya ingin mengutuk diri sendiri. Kenapa aku begitu berani dengan pertanyaan sampahku? Seolah-olah aku ingin namaku masuk pada deretan jawaban.

"Siapapun dan apapun. Siapa yang kutemui, yang akhirnya berpisah denganku, siapa yang berlalu lalang di hidup aku.I mean.. siapapun yang aku kenal, aku mencintai dan menghargai mereka."

Sial. Sepertinya dia salah mengerti pertanyaanku.

"Bukan begitu, Cinta."

"Terus?"

"Yah, maybe secara personal? Kamu suka dan mencintai satu orang. Hanya satu, the one and only."

Sembari menyeruput kopi yang tidak kusentuh, Cinta tertawa.

"Pertanyaan ini setiap hari aku temui, lho."

"Oh yah? Siapa yang tanya?"

Cinta menoleh.

"Kamu, Yan."

"Aku?"

"Ya, kamu bertanya seperti itu setiap hari."

Kali ini aku menelan ludah. Tidak mengerti. Tidak paham.

"Pertanyaan yang enggak terucap tapi jelas tertera di kedua mata kamu."
"Dan setiap aku lihat dan baca pertanyaan itu... Demi apapun, Yan. Aku enggak pernah bisa memberikan jawaban secara lisan atau tertulis. Meski kamu mencoba membaca jawaban itu di kedua mataku. Sekali lagi, maaf. Aku enggak bisa jawab."

"Itu artinya kamu tahu jawabannya, kan? Kamu tahu siapa orang yang kamu cintai---"

"Kalaupun aku tahu, sepertinya itu enggak penting buat dibahas." Sela Cinta dengan cepat.

Aku menangkap maksudnya, buru-buru menyudahi pembahasan ini dan tidak bertanya apa-apa.

"Mau kopi, Yan?" Tawar Cinta lembut.

Seolah-olah ia lupa bahwa besok adalah Senin. Pagi buta aku harus berangkat kerja, dan kembali membawa gorengan.

***

"Berangkat ke kantor?"

Betapa kagetnya aku melihat Cinta masih segar di teras indekos. Menyeruput kopi meski jam menunjukkan sudah pukul enam. Cinta dengan cekatan merapikan dasiku. Kulihat beberapa tumpuk buku masih terhampar di meja. Kalau boleh menebak, ia baru saja menghabiskan dua buku tebal tanpa jeda. Hebat. Keren. Jenius. Tapi sayangnya, Cinta tidak sejenius buku yang ia baca. Menikmati hidup dengan jam tidur terbalik, itu hobinya.

"Mau tidur?" Balasku enteng.

"Iya, sebentar lagi. Nanti bawa gorengan kan?"

"Empat pisang goreng, dua tempe, satu tahu isi, cabai tiga."

"Bagus." Jawabnya sambil terkekeh.

Kemudian, secara tiba-tiba, Cinta menghempaskan tubuhnya untuk memelukku. Aku terpaku tanpa sempat melakukan apa-apa. Cinta memeluk begitu lekat, sangat erat.

kaskus-image

"Selamat kerja, Pak Ardiyan Sugiarta. Semoga hasil kerja kerasmu berbuah seperti nama belakang kamu. Sugiarta. Sugih arta, yang artinya kaya harta. Tapi aku lebih suka kamu yang begini. Iyan, sahabatku yang tinggal di kamar sebelah. Setiap sore pulang bawa mobil, parkirnya jauh, bawa gorengan pula. Makasih, ya?"

Sambil tetap memelukku, Cinta mendongakkan wajahnya dan tersenyum. Matanya sayu. Matanya lelah. Namun aku tahu, sesuatu yang memberatkan hati tengah ia rasakan.
Demi gelar sahabat yang kusandang selama bertahun-tahun, aku membalas pelukannya.

Kemudian kami melepas satu sama lain, tubuhku terhuyung. Hatiku remuk. Dinding pertahananku runtuh bagai tembok Berlin. Setengah terseok aku berjalan, aku tahu Cinta memandangi punggungku dan terisak. Hatiku begitu terusik untuk berbalik dan mendekapnya.

Kemudian bertanya ;
adakah aku sebagai jawaban di malam terjagamu? Adakah aku sebagai satu di antara jutaan kemungkinan yang kamu cintai?

Namun jawaban itu tak pernah ada. Aku berjalan pergi, meratapi nasib cintaku yang antah berantah, tak tersentuh, tak terjadi dan tak mungkin terpatri. Malam ini, Cinta! Demi semesta yang hadirkan kamu di dunia, demi perasaan yang menggantung di langit layang-layang, demi empat pisang goreng, dua tempe, satu tahu isi dan tiga cabai hijau yang selalu kubawa, aku harus tahu jawabannya.

***


Apa yang membuatmu begitu gamang, Ardiyan Sugiarta?

kaskus-image

Aku terkekeh, menggeleng, dan menghela panjang. Meniru lekuk bibir Cinta yang kerap bertanya ;

"Kamu sakit apa, Iyan? Pekerjaanmu berat? Mau kubantu ringankan kepala dengan beberapa pijitan?"

Sial. Aku semakin mual dan mau mati karena merasakan sentuhanmu. Sentuhan yang selamanya tak akan pernah jadi milikku. Mengapa kamu begitu lembut padaku, Cinta? Sedangkan hatiku nyaris gempar karena gelagapan menahan diri untuk tidak bilang ; menepilah bersamaku. Semalam saja, kumohon. Tidurlah dalam dekapanku, beri aku petunjuk untuk memberangus pujaan jiwamu dan menggantinya dengan satu malam tanpa susah tidur.

Oh, oke. Semalam kamu marah dan menuduhku ikut campur urusanmu. Kamu bilang, tidur pagi adalah hak yang mustahil kamu tukar dalam tawar-menawar. Bahkan, kamu mendesis risih ketika aku berniat menjagamu semalaman.

Cinta, jangan berpikir aku bakal menjelajahi tubuhmu dengan serampangan. Tubuh yang kuhormati sebagai anugerah atas kelahiran dari rahim ibumu. Jiwaku terlalu ngeri untuk mengingini tubuhmu. Terpikirkan pun tidak, membayangkan bibirmu menyentuh bibirku adalah sinema yang membelalakkan mata.

Tidak, Cintaku. Pikiranmu terlalu luwes menyamakan aku dengan lelaki berpenis yang kerap ereksiketika bersama wanita. Tapi bagiku, kamu tidak sekadar wanita dan sahabatku. Kamu adalah perempuan yang kuhormati keberadaannya. Jika pun kamu telah bercinta dan memecahkan kesucianmu di atas ranjang, bersama lelaki lain, tak mendendamkan aku untuk terus mengasihimu.

"Iyan, besok kamu kerja, loh! Mau begadang? Kamu makin jago tidur dini hari, ya? Kenapa?"

Aku menggeleng. Mengangkat bahu. Tidak tahu jawabannya, tidak tahu alasannya. Meski tanganku berani menampar dan bersumpah bahwa aku berbohong.

Tidur dini hari adalah cara akurat untuk terus bersamamu. Kukorbankan jam tidurku dan menggantinya dengan kantuk saat kerja. Betapa aku sangat kangen padamu, Cinta. Enggak peduli seberapa sering dimaki karena terus menguap di hadapan Bos Besar, aku katakan saja dengan lantang ; perjuanganku tidak lagi memenuhi target dan deadline. Perjuanganku melebar ke arah begadang. Haruskah kuputar quotes andalan Raja Dangdut ; bahwa begadang tidak boleh dilakukan kalau tidak ada perlunya? Hei, sembarangan! Ini adalah keperluan mendesak yang bisa saja menggilas hatimu.

Bayangkan, hatimu diperdaya dengan kesadaran ; terus bersamamu adalah keindahan yang tak bisa kutebus. Aku menyadari aku butuh bersamamu. Sebentar saja. Meski tidak jadi kekasihmu.

Tapi, kamu terus mengganggap ; halah, nanti juga selesai. Nanti perasaanmu padaku akan hilang. Itu terserah hatimu. Aku tak bisa mengatur. Tapi aku tak butuh hatimu. Jadi, kenapa masih disini?

Duh, Gusti. Nyuwun pangupuro. Seberapa banyak cinta yang musti aku luapkan untukmu, demi memberitahu ; perasaanku tak akan hilang meski doamu merapal supaya rasaku lekas. Aku teramat-sangat mencintai dan mengasihimu, Cinta. Tak peduli berapa banyak kekasih yang antri kau telepon tiap malam. Oh, tak peduli hari ini kamu menikah dan tinggal dengan kekasihmu. Itu tak mengalahkan rasaku yang menggebu-gebu untukmu.

Tidak, Cinta. Tidak.

Kalau aku egois, aku sudah mencari bibirmu dan melumatnya habis-habisan. Aku akan mencari dimanapun kamu tinggal.

Tapi rasaku tabah. Ia memahami kebahagiaanmu adalah yang utama. Kebahagiaanmu adalah tombak akhir supaya rasaku tetap membara. Kalau ternyata, tidak bersamaku adalah pilihan supaya kamu tetap bahagia ; apa dayaku selain melepas dan menerima?

Tapi, Cinta.. Beri aku kesempatan untuk membukakan pintu yang baru. Pintu yang kelak kamu ketuk, bukan karena kekasihmu tak membukakan, atau hatimu lesu karena bosan. Karena kesadaran itu melumerkan hatimu untuk tidak lagi keras. Akan ada masanya, kamu mengetuk dan tinggal sejenak, untuk kemudian pergi dan menutupnya rapat-rapat.

Lakukan itu padaku.

Aku sungguh tidak keberatan.

“Iyan, kamu tahu kenapa seseorang bisa begitu ngeyel mencintai, padahal sudah jelas, kapasitas hatinya enggak cukup?”

Cinta mengibaskan tangan, resmi meredupkan lamunanku. Aku tersenyum. Barangkali Cinta tengah meledekku dengan pertanyaan itu.

“Itu adalah bagian dari pekerjaan hati.” Bisiknya padaku.

“Seseorang sepertiku, Yan, mempercayai bahwa perasaan manusia enggak tidur, meskipun raganya lelap. You know-lah, kamu bisa simpulkan sendiri. Cinta enggak tidur karena ia memompa dirinya sendiri buat terus meluap-luap di hatimu. Makanya, seseorang bisa begitu betah dengan perasaannya.”

Dadaku nyeri. Tiba-tiba, aku takut mendengar Cinta bicara. Namun aku paksakan bertanya ;

"Jadi kamu adalah seseorang yang sampai saat ini, betah mencintai seseorang, meski dia sudah membuatmu terluka dan membuat jam tidurmu terbalik?"

“Ya, Yan. Aku menunggu orang itu sampai benar-benar kembali.”

“---dan enggak membukakan pintu buat orang lain?” tanyaku, hati-hati.

“Enggak, Yan. Aku enggak punya kapasitas buat menerima perasaan orang lain.”

Meskipun untukku?

Punggungku yang semula tegap berdiri, pelan-pelan membungkuk, reda.

"Mau lanjut sampai pukul 7 pagi, pak Iyan?"

Cinta menuang kopi. Aku semakin kalut menatapi matanya.

Lanjutkan sampai pagi.

Sampai kapanpun.

Sampai matahari enggan terbit, karena asik menonton hatiku dipatah-patahkan dengan jawabanmu.


“Oh iya, Yan. Gimana? Katanya malam ini mau ngomong sesuatu sama aku? Ada apa?”

Cinta menopang dagu. Tenggorokanku mendadak kerontang. Dalam batinku, langkahku mundur. Apa yang mau ditanyakan, sedangkan kamu sudah menjawabnya lebih dulu, bahkan sebelum pertanyaanku terlontar?

Dengan kekuatan yang entahlah darimana, kupandangi matamu. Sangat lembut, kubisikkan satu permintaan, yang kuharapkan kamu mampu menurutinya. Sebagaimana aku tanpa lelah menuruti pintamu untuk sekantong gorengan.

kaskus-image

“Cinta..

Cinta boleh saja tidak tidur.

Tapi, kamu harus tidur.”

Diubah oleh stef.mjz 20-02-2019 16:13
doctorkelinci
doctorkelinci memberi reputasi
2
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.