Kaskus

Story

sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:
emoticon-Ultah

Cover:


From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)

NB: Sorry Bad Editing


Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter


Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita

Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.

Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.

Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.

Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.

Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.

Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.

Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.

Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.

Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.

Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.

Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.

Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.

***

Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.

“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.

“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.

“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.

Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.

Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.

Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.

Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.

“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.

“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.

“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.

“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.

“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”

Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.

“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.

Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.

“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.

Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.

Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.

***

Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.

Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,

“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.

“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.

Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.

“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.

Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.

Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.

“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.

“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.

“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.

“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.

“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.

Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.

Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.

Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.

Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.

Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.

“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.

“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.

‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.

Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.

Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
santinorefre720Avatar border
blackjavapre354Avatar border
rizetamayosh295Avatar border
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
#72
Bab 17: Masa - Masa Penantian


Pada bulan suci ini, aku menjalani rutinitasku seperti hewan nokturnal. Di waktu pagi hingga sore, aku menghabiskan hariku dengan tidur, mengikuti sabda Rasul yang menjelaskan bahwa tidur dibulan puasa itu adalah ibadah. Ketika malam hari aku menghabiskan waktuku dengan begadang, efek minum kopi.

Jujur saja, tak ada pekerjaan yang bisa kulakukan untuk mengisi. Seperti pengangguran pada umumnya. Jika aku menonton televisi, itupun juga tidak akan mampu membunuh kebosananku. Banyak acara sampah yang ditayangkan, tak jarang menggoda iman untuk mojok disudut kamar. Astagfirullah, lebih baik tidur membawa berkah sembari menunggu bedug disuarakan.

Ibuku berulang kali menyindirku yang hanya berdiam diri bermalasmalasan. Aku tak bisa berkomentar apa-apa karena memang inilah faktanya. Laptopku masih rusak, parah pula. Tanpa laptop aku tak bisa menyalurkan ide yang membludak dikepalaku. Dunia blogku terhenti untuk sementara waktu. Kehampaan yang kurasakan.
“Meggy, daripada nganggur kayak gitu mending besok kamu bantu ngecat rumah, sebentar lagi kan hari raya.” Suara ibuku membangunkanku sore ini. Aku mengangguk, sedikit sumringah karena ada pelampiasan untuk membunuh kebosananku.
Tadi pagi, ibuku telah membeli tiga cat dinding dengan beragam warna. Warna pink yang paling mendominasi. Itupun sesuai saran dariku. Gejolak-gejolak seni mulai membuatku bergairah.

Sore ini, seorang Meggy berangkat menuju masjid seorang diri untuk menghadiri majlis ilmu. Berkumpul bersama orang-orang yang insyaallah sholeh-sholeh. Hatiku tergerak untuk datang, meskipun kemarin-kemarin aku seringkali bolos.

Keadaan didalam masjid diramaikan oleh para santriwan dan santriwati yang terpisah oleh sebuah tirai sebagai satir. Pak ustad sedang memberikan ceramah rohani kepada para jamaah yang hadir. Semua diam menyimak. Ceramah ini rutin dilakukan selama bulan suci Ramadhan sembari ngabuburit menunggu adzan Maghrib berkumandang. Daripada ngabuburit dengan pacar malah mengundang maksiat, mending ngabuburit di masjid dapat berkah plus ilmu yang bermanfaat.

Topik pembahasan sore ini adalah tentang keajaiban istigfar. Manusia sebagai tempat salah dan lupa dianjurkan untuk senantiasa mengucapkan istigfar. Dengan begitu, hati akan kembali tenang. Rasulullah yang merupakan suri tauladan baik, beliau senantiasa beristigfar minimal seratus kali dalam sehari. Apalagi manusia biasa yang cenderung menumpuk dosa, maka mengucapkan istigfar seharusnya dijadikan sebuah kebiasaan rutin. Itu juga merupakan salah satu bentuk taubat kepada Tuhan.

Jamaah hening mendengarkan, ceramah yang sungguh luar biasa. Sejengkal demi sejengkal kebaikan akan dibalas setimpal oleh Tuhan di akhir nanti. Kalimat doa dilantunkan khusyuk oleh pak ustad sebagai penutup perjumpaan majlis sore ini.

Semburat merah telah terlihat dilangit-langit, matahari bergeser pelan bersiap-siap tenggelam dikaki langit. Hanya tinggal menghitung beberapa menit lagi berbuka. Tahan iman, tahan lapar, meskipun es kolang-kaling yang dibuat ibuku terlihat menggoda didepan mataku. Khilaf sedikit saja, perjuanganku seharian ini sia-sia.

‘Allahuakbar, Allahuakbar’ suara muadzin terdengar lantang menggema dilangit.
Tak lupa aku membaca doa berbuka puasa sebelum menikmati hidangan yang ada didepanku. Menu hari ini adalah pindang tomat dengan acar plus es kolang-kaling.

***

Setelah selesai menunaikan sholat Tarawih di mushola, aku pergi ke warung kopi bersama teman-temanku seperti biasanya. Hampir setiap malam dibulan suci ini aku ngopi bersama mereka. Maklum, kami adalah anak muda luntang-luntung yang masih belum punya pekerjaan tetap. Terlebih kami masih digantung karena belum tahu hasil dari perjuangan kami selama ini.

Malam ini, hanya ada empat anak yang nimbrung diwarung kopi. Termasuk aku. Eru dan yang lain telah duduk manis memulai pembicaraan, aku adalah yang paling akhir datang. Kali ini aku memesan segelas kopi ijo.
“Lagi mbahas apaan nih?” Aku bertanya kepada mereka bertiga. Wajah mereka sepertinya sedikit tegang.
“Gue gagal Megg ditahap yang kemarin.” Kali ini Ardan yang menyahut. Ekspresinya sedikit kecewa ketika ia berujar demikian.
“Tes kedinasan lo gagal?” Spontanitas aku tersentak. Kupikir selama ini tesnya Ardan berjalan lancar. Jika saja dia lolos ditahap ini, dia bisa langsung berangkat ke Bandung untuk tes wawancara.
“Iya Megg, ah sudahlah kita seneng-seneng aja malam ini, nggak usah mikirin gue.” Ardan mencoba mencairkan suasana, Kami segera membicarakan topik lain.

Eru memberikan topik perbincangan yang cukup hangat baru-baru ini. Adalah tentang penggusuran warung makan oleh salah satu aparat kemanan. Berita itu viral dimedia sosial, komentar-komentar negatif dari netizen ramairamai menyudutkan aparat sebagai pihak yang patut dipersalahkan. Terlebih ibu-ibu pemiliki warung itu ketika wajahnya diclose-up oleh salah satu kamera terlihat begitu merana melihat dagangannya disapu habis.
“Yah, gue marah banget Er ketika mendengar kabar itu beberapa waktu yang lalu.” Kelis membuka suara.
“Bener banget Lis, bisa-bisanya aparat bertindak demikian. Banyak banget netizen yang iba, mereka mengumpulkan dana untuk membantu beliau.” Aku menyahut perkataan Kelis. Sedikit geram. Eru hanya diam manggut-manggut, belum saatnya ia berkomentar.
“Tapi kita juga harus kritis sewaktu ngelihat kabar kayak gitu. Lo kayak nggak tau watak media aja.” Ardan menyahut singkat. Aku terhenyak.
“Nah gue setuju sama Ardan. Masalahnya gini bro, dalam persepsi gue itu banyak kasus yang harusnya menjadi sorotan utama. Dan konteksnya jauh lebih parah daripada warung yang disita tadi, contoh saja kemiskinan dan penderitaan rakyat-rakyat kecil yang seharusnya kita bantu. Apa mereka tak punya hak untuk disorot media lantas pemerintah dan masyarakat iba untuk membantu mereka? Ada yang salah disini. Itu kayak ada permainan dan cenderung dilebih-lebihkan. Padahal kalau gue ngeliat dari sisi aparat, mereka melakukan itu untuk penertiban, niatnya pun juga baik. Gue percaya itu akalakalan media.” Eru menjelaskan dengan seksama. Semua hening menyimak.

“Bentar bro, gue coba cari artikel dulu. Apa yang lo katakan benernya, melihat kondisi pers kita yang sekarang, rasa-rasanya susah hanya mempercayai berita dari satu sumber tanpa dikritisi. Mereka bisa dibeli oleh uang, melupakan etika-etika dalam pers yang seharusnya menyajikan berita sesungguhnya bukan berita bohong.” Aku merubah opiniku dengan cepat.

Lagu dari bang Rhoma Irama mengiringi diskusi hangat kami dimalam ini. Sebuah lagu tentang kehidupan seorang gelandangan. Alunan gendang serta seruling khas musik dangdut membuatku seperti ingin bergoyang. Tapi itu tak kulakukan, sungkan sama orang-orang disekitar.
“Nah ini dia ketemu. Faktanya aparat tidak mengambil alih makanan diwarung itu, melainkan hanya disita dan dapat diambil kembali ketika waktu berbuka puasa. Aneh, ibu pemilik warung itu bukan orang tak punya. Ia punya banyak cabang warung. Tapi dia bandel, tetap jualan meskipun dibulan puasa.” Aku berbicara sambil membaca artikel dari salah satu situs web yang mengulik tentang permasalahan itu.
Kelis manggut-manggut, Ardan menyeruput es cappuccino-nya, aku masih meneruskan membaca artikel, sedangkan Eru dengan santainya mengepul-ngepulkan asap rokoknya ke udara.
“Betul banget kan apa yang gue bilang barusan hehe.” Eru menyeringai, lagaknya sedikit sombong. Meja bundar ini dipenuhi gelak tawa kami berempat.

Semakin malam, warung ini semakin ramai pengunjung. Menikmati waktu-waktu santai, Ada beberapa pengunjung yang masih memakai sarung, tak usah berpikir jauh-jauh. Ketiga sahabatku ini, setelah Tarawih mereka langsung datang kesini tanpa perlu berganti pakaian.
“Eh Megg, btw gue pinjem smartphone lo bentar?” Ardan menyahut kearahku.
Tanpa banyak prasangka, aku menyerahkan smartpone-ku secara sukarela. Mungkin hanya ia gunakan untuk browsing atau melihat daftar laguku.
“History-mu keren juga Megg. Tadi pagi lo puasa apa enggak?” Tukas Ardan, ia tertawa jahat kepadaku. Eru dan Kelis yang penasaran segera tertuju ke smartphone-ku yang dikuasai penuh oleh Ardan.
“Woi Megg, bisa-bisanya lo masih lihat situs haram begituan. Sadar woi, nih bulan puasa, hahahaha.” Eru berkata kepadaku dengan gelak tawa yang cukup keras. Tak peduli dengan meja disebelahku yang menatap sinis penuh kecurigaan.
Aku diam sejenak, menghisap rokokku pelan sambil menyusun katakata pamungkas untuk mengembalikan citra baikku yang dirusak beberapa detik lalu oleh Ardan.
“Njirr, lo bisa diem sejenak nggak. Biar gue jelasin, emang gue nih bajingan yang suka sama situs begituan. Kita nih remaja puber bro, akses kesana jaman sekarang itu mudah. Anak kecil yang lo kira masih polos, banyak yang udah nonton porno. Intinya apa, gue nggak ngelakuin hal itu kan beres. Jangan sok suci deh jadi orang, kita pasti punya dosa.” Aku mencoba memberikan argumentasi seyakin mungkin. Meski ujung-ujungnya tetap ditertawakan oleh mereka bertiga. Aku selow saja, setiap perkataan kasar mereka tak terlalu kuambil hati. Aku tahu itu hanya bercanda.

Kelis mulai mengambil alih pembicaraan, petuah-petuah agamanya mulai didengungkan. Sudah menjadi kewajibannya sebagai penenang suasana jika pembicaraan diantara kami telah melenceng jauh dari moral. Sisi pendakwahnya mulai terlihat, aura-aura pak ustad terpancar, maklum ia merupakan jebolan dari salah satu pesantren besar di kota santri. Malah terkesan lucu jika ia tidak bisa berdakwah. Semoga saja dia nanti jadi kiai besar, yang penting bukan pemimpin padepokan sesat. Meskipun Kelis sering menafikkan bahwa menjadi kiai itu bukanlah cita-cita.

Sedikit ia menyinggung tentang hadis Rasulullah SAW tentang esensi cinta sejati yang tercipta lewat pernikahan. Ada banyak hikmah yang diperoleh ketika seseorang itu menikah, salah satunya pertanda kesempurnaan iman. Dengan menikah, seseorang akan lebih mengontrol hawa nafsunya. Kelis bercerita dengan takzim dari kata per kata, kalimat per kalimat. Ceramah singkat itu hanya berlangsung sekitar sepuluh menit. Ia kehabisan kata-kata, jam terbangnya masih rendah.

“Ya gue mau-mau aja Lis nikah sekarang, calon mah gampang. Cuman nggak ada modal. Kasarnya, batiniah gue udah siap cuman secara lahiriah gue belum mapan.” Aku menyahut, bercanda mencairkan suasana. Kelis tertawa kecil mendengar ungkapanku.
“Lo mah paling mikirin malem pertama doang Megg.” Kali ini Ardan menyindirku, memangnya siapa yang tak terbayang-bayang bagaimana suasana di malam pertama yang aduhai itu. Membayangkan seperti apa rasanya saja sudah membuatku merinding.
“Nih gue ada meme lucu bro. Dengerin….. Cowok itu kalau ngumpul bareng, topik yang dibahas pasti tentang bola, game, politik, atau bokep. Nah mereka bisa saja berlama-lama berbicara tentang bola ataupun game, tapi kalau sudah kehabisan topik….kembali lagi ngomongin bokep.” Eru menjelaskan dengan bayolannya yang khas. Meja kembali dipenuhi gelak tawa.

Malam semakin larut, kami kehabisan topik pembicaraan. Minuman masing-masing dari kami telah habis semua. Kini saatnya pulang ke rumah masing-masing. Malam-malam selanjutnya kurang lebih kami jalani seperti malam ini.

***

Detik ini hingga detik pengumuan hasil ujian nanti adalah masa-masa penantianku. Meski hanya tinggal sepuluh hari, tapi rasanya waktu berlalu begitu panjang. Setiap kali aku bangun tidur, aku mencoret tanggal dikalender. Itu artinya satu hari telah terlampaui. Begitu pun seterusnya.

Pukul 07.45 WIB, ibuku membangunkanku. Mataku masih melekat cukup erat, enggan kubuka. Meneruskan tidur sepertinya lebih menyenangkan daripada beraktifitas.
“Bangun woi, kerjaan masih numpuk.” Aku kaget seperti ada yang aneh. Tiba-tiba suara ibuku perlahan menjadi sedikit berat. Ternyata pamanku yang berteriak, aku segera bangkit dan menuju kamar mandi.
Aku segera mengganti bajuku dengan seperangkat pakaian yang siap kotor. Tak lupa memakai kacamata untuk berjaga-jaga jika nanti ada tetesan cat yang jatuh disekitar area mataku. Aku mengambil sebilah galah yang
cukup panjang lantas kutalian erat dengan sebuah roll untuk mengecat dinding ruang belakang..

Sejujurrnya, ada beberapa profesi yang pernah kucoba didunia ini. Aku pernah belajar menjadi tukang sate, belajar memanen padi disawah, atau mengajar matematika dikelas. Aku tak tahu apakah hobiku menulis ini bisa dijadikan sebuah profesi nantinya. Tapi minimal, jika nanti setelah lulus kuliah aku sulit mendapatkan pekerjaan, aku tidak akan sepenuhnya menjadi pengangguran karena aku memilik alternatif profesi sesuai pengalamanku. Menjadi tukang cat juga merupakan pengalaman terbaruku,

Tanpa banyak bicara, tukang cat amatir inipun siap beraksi.

Aku membuka tutup cat yang tersegel rapat secara hati-hati. Setelah terbuka, aku mengaduk-aduk pelan cat itu searah rotasi jarum jam. Kutuangkan ke sebuah tempat cat khusus roll berbentuk persegi panjang lalu kucampurkan dengan air secukupnya.

Roll itu kemudian kuarahkan ke tempat adonan cat berbentuk persegi panjang itu, lantas kuketuk-ketuk pelan agar catnya tidak bercecer kemanamana. Dengan kuat dan cekatan aku menggulung roll itu ke dinding dengan pola teratur hingga cat merata. Begitu seterusnya. Dalam hitungan menit, dinding yang tadi tak berwarna berubah seketika menjadi warna kesukaan semua wanita, pink.

Awalnya ibuku meragukan kemampuanku, takut hasil akhirnya nanti jelek tidak karuan. Namun anggapan itu berubah seketika saat melihat hasil karya seniku.

Puasa-puasa melakukan pekerjaan seperti ini cukup menguras banyak tenaga. Hanya sekitar empat jam melakukan pekerjaan itu, aku pun terkapar kelelahan. Pekerjaan itu pun kutunda, kulanjutkan besok hari. Meskipun tak diberi upah oleh ibuku, bagiku itu bukan jadi permasalahan. Hal ini jauh lebih baik ketimbang aku menganggur tak jelas. Proses cat mengecat mulai dari ruang belakang hingga tembok luar rumah, kurang lebih terselesaikan dalam kurun waktu lima hari dengan bantuan pamanku.
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.