Kaskus

Story

sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:
emoticon-Ultah

Cover:


From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)

NB: Sorry Bad Editing


Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter


Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita

Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.

Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.

Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.

Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.

Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.

Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.

Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.

Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.

Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.

Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.

Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.

Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.

***

Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.

“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.

“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.

“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.

Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.

Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.

Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.

Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.

“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.

“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.

“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.

“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.

“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”

Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.

“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.

Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.

“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.

Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.

Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.

***

Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.

Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,

“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.

“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.

Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.

“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.

Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.

Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.

“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.

“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.

“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.

“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.

“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.

Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.

Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.

Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.

Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.

Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.

“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.

“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.

‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.

Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.

Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
santinorefre720Avatar border
blackjavapre354Avatar border
rizetamayosh295Avatar border
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
#70
Bab 16: You’re Beautiful


14 Juni 2016

Hari ini aku akan melaksanakan ujian untuk yang ketiga kalinya. Ujian memasuki perguruan tinggi yang berbasis keislaman. Alasanku mengikuti ujian ini sederhana, sebagai alternatif jika tesku sebelumsebelumnya gagal. Meskipun aku tak berharap akan gagal nanti. Kebiasaan burukku kulepaskan untuk hari ini saja. Tepat waktu Subuh aku bangun tidur, kemudian mandi beserta sembahyang.

Aku berangkat dengan memakai kemeja warna hitam, celana jeans, serta sepatu warna hitam. Hitam adalah warna favoritku, gelap nan misterius. Aku melaju dijalanan yang masih tertutupi embun pagi dengan motor yang biasa kupakai sehari-hari. Salah satu merk terkenal dari Jepang dengan warna yang selaras dengan kemejaku. Aku menyetir motorku dengan hati-hati, tak sampai menyentuh angka enam puluh kilometer per jam. Jarak pandangku hanya beberapa meter, tertutup embun-embun pagi.

Sekitar setengah jam, aku sampai dilokasi ujianku yang merupakan salah satu perguruan tinggi keislaman terbesar dikotaku. Meskipun masih pagi, kondisi disana telah ramai oleh para peserta ujian. Aku memarkirkan motorku diantara banyaknya kerumunan motor lainnya. Aku berdiri sejenak, mataku menatap fokus smartphone-ku, bertanya posisi pasti Izam sekarang. Kebetulan dia juga ikut ujian ini sebagai alternatif juga.
“Zam lo dimana?” Aku mencoba menelponnya lewat whatsapp, meski sesekali sinyalnya sedikit kacau.

Samar-samar kudengar suara Izam berbicara, namun bisa kupastikan bahwa ia sekarang berada diruangannya. Ruang 57 di lantai empat. Kebetulan ruang ujianku juga berada di lantai empat yaitu ruang 52.

Aku berjalan cepat menuju posisi Izam. Perjalanan melewati embun pagi selama setengah jam itu membuatku sedikit menggigil karena kedinginan. Sembari berjalan, telapak tanganku kugesek-gesek pelan, menciptakan kehangatan. Kaki-kakiku memijaki tangga satu persatu menuju lantai empat. Itu cukup untuk olahraga ringan sebelum ujian, dengan sedikit harapan akan membentuk otot-otot betisku yang terlalu lembek dipenuhi lemak. Aku tak tahu jika ada lift disana.

Sesampainya dilantai empat, aku berjalan disepanjang koridor ruangan. Menatap sekilas ruangan demi ruangan. Hanya beberapa anak yang duduk asik belajar didalam ruang. Izam sedang duduk jongkok sembari bersandar didinding.
“Udah lama disini Zam?” Aku membuka pembicaraan, tanganku menjabat mantap tangannya sebagai simbolisme antar teman ketika bertemu.
“Kira-kira lima belas menit yang lalu Megg.” Wajah dengan paras baby face itu berkata datar. Suaranya sedikit berat ketimbang beberapa tahun yang lalu. Aku duduk tepat disebelah kirinya hanya dengan beralaskan lantai. Kusandarkan punggungku ke dinding ruangan, mencoba sedikit bersantai.
“Btw soal-soal SBMPTN kemarin gimana Megg?” Izam bertanya kepadaku, membicarakan hal-hal yang telah berlalu.
“Lumayan sulit, ada banyak model soal yang bagiku begitu asing kemarin. Awalnya sedikit bingung gue, lama kelamaan gue sedikit terbiasa. Lo sendiri gimana?” Aku kembali bertanya.
“Gue rada pesimis juga Megg. Berhubung pesaing gue banyak, kan kemarin gue ngambil jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Airlangga. Passing grade-nya lumayan tinggi.” Raut wajahnya menyiratkan rasa takutnya. Aku memberikannya sepatah dua patah kata bijak ala golden ways.

Sebagai seorang teman, aku hanya bisa memberikan sugesti bahwa hal terbaik yang dilakukan sekarang adalah berdoa. Masalah hasil biarkan Tuhan yang menentukan.
“Eh Zam, ngomong-ngomong Tiara itu orangnya gimana?” Aku mencoba mengalihkan topik kearah yang lain. Entah mengapa aku tertarik membicakan gadis itu, ia merupakan teman sekelas Izam.
“Cieee naksir Tiara cieeee….” Tukasnya cekikikan mendengar aku menyebutkan nama itu. Aku kusut masam, menahan sedikit malu.
“Yah rese lo, nggak lah! Gue kan cuman pengen tau doang.” Jawabku mengelak.
“Pake acara bohong segala Megg hehe. Ya orangnya cerewet dikelas, supel, dan gitulah.” Ia menjawab ringan. Sepertinya aku bertanya kepada orang yang salah, berhubung ia sendiri konsisten dengan status jomblonya. Status jomblo itu berlandaskan kepercayaan bahwa pacaran itu haram.

Koridor ruangan itu bertambah ramai, berbeda dengan beberapa saat yang lalu. Orang-orang berlalu lalang didepan kami berdua. Beberapa saat lagi ujian akan dimulai. Aku berdiri kemudian bergegas menuju ruanganku.

Aku duduk dibangku nomor dua dari belakang. Menatap sekeliling, tak ada satupun perempuan diruangan ini yang tidak memakai jilbab. Semua itu dikarenan aturan untuk ujian kali ini yang mewajibkan peserta perempuan memakai jilbab dan pakaian sopan khusus.

Kuletakkan tasku dibawah dekat kursiku, kukeluarkan alat-alat tulisku serta berkas-berkas persyaratan ujian. Tanganku memegang sebuah pensil, kuketuk-ketuk pelan ke papan meja untuk membunuh sedikit kebosananku. Bel telah berbunyi, namun pengawas ujian belum datang.
Dari balik pintu muncul seseorang yang tak pernah kuduga sama sekali akan seruang denganku. Perempuan cantik yang pernah mengisi ruang kosong dihatiku dua tahun yang lalu. Orang yang mencuri hatiku pertama kali ketika menginjakkan kaki dibangku SMA. Ia merupakan teman sekelasku.

Aku sedikit deg-degan, pertemuan yang tak pernah kuduga sama sekali. Ia berjalan pelan melewatiku, tempat duduknya persis dibelakangku.
“Apa kabar Tik?” Aku menyapanya ramah, suaraku sedikit bergetar. Teringat bahwa dulu aku sering canggung ketika bertemu dia disetiap kesempatan.
“Baik, lo sendiri gimana Megg?” Ia bertanya balik kepadaku. Parasnya masih sama seperti dulu kala. Pipinya masih tembem hampir seperti bakpao. Membuat tangan geli untuk mencubitnya. Tapi sepertinya sekarang dia sedikit gendutan.
“Ngomong-ngomong kapan lo balik dari Aceh?” Aku bertanya antusias sedikit menata tempat dudukku agar lebih nyaman ngobrol dengan dia.
“Sekitar tiga minggu yang lalu Megg.” Kartika menjawab pelan. Penampilannya hari ini begitu menawan. Tak seperti dua tahun lalu, hatiku tak terlalu bergetar. Perasaan yang lama itu telah sirna.

Detik ini, entah mengapa aku jadi teringat masa lalu yang terjadi antara kami berdua. Saat itu aku masihlah anak kecil. Tak sedewasa seperti sekarang. Semula, aku menyukainya hanya karena sebuah alasan konyol. Kartika mengingatkanku dengan sosok mantanku yang masih kusayangi waktu itu. Dia hanyalah sebuah bayangan dari masa laluku, namun itu pun tak berlangsung lama. Perlahan kusadari, aku menyukainya secara utuh bukan karena cerita masa lalu.

Setiap waktu aku memandanginya dari bangkuku. Entah dia sadar aku sedang memperhatikannya atau tidak. Kebodohanku saat itu ialah aku tak berani mengungkapkan perasaanku sebenarnya.

Hingga suatu ketika, ia harus pindah ke luar kota karena alasan keluarga. Aku belum juga berani mengungkapkannya secara langsung, tapi sepertinya dia mengerti yang sesungguhnya. Tak ada perpisahan berarti. Hambar. Aku juga tak berani menghubunginya, bagiku cukup dengan melihat media sosialnya sebagai pelipur lara. Itu semua kulakukan hanya dalam kurun waktu tertentu, sampai sosok Dinda muncul dalam kehidupanku.

Acara nostalgia itu berlangsung singkat. Kembali ke prioritas. Sekarang waktunya ujian bukan memikirkan kenangan. Aku pun berhenti berimajinasi menjelajahi masa lalu.

(NB: Kalau mau tahu sosok perempuan yang ane ceritakan tadi. Bisa kunjungi thread ane yang satu ini Nirmana Kehidupan: Tentang Cinta Terpendam)

***

Pukul 11.00 WIB, bel tanda ujian selesai berbunyi. Alhamdulillah, aku bisa mengerjakan soal demi soal dengan mudah. Aku keluar dari ruanganku, tersenyum manis kepada Kartika sebelum berpisah. Kuperiksa smartphone-ku sebentar, ada sebuah pesan masuk.
‘Megg, aku tunggu kamu didekat kolam air mancur ya. Aku mau mengembalikan bukumu yang kemarin kupinjam’ sebuah pesan singkat dari Tiara. Aku tersenyum, sepertinya hatiku sedang memasuki saat-saat musim semi.

Aku bergerak cepat menuruni tangga. Sayangnya keadaan tangga itu sesak, banyak orang yang hendak turun. Aku berjalan pelan diantara kerumunan itu. Jantungku berdegup cukup kencang. Teringat senyum kecilnya yang hanya bisa kulihat diparkiran sekolah. Tak berani menyapa seperti halnya orang asing. Sekarang, kesempatan itu terbuka lebar.

Butuh beberapa menit aku keluar dari kerumunan itu. Langkah kakiku bergerak cepat menuju tempat yang dijanjikan. Cuaca semakin terik, dalam kondisi seperti ini aku akan cepat lelah dan kehausan berhubung hari ini aku menjalankan puasa.

Aku menunggu kehadirannya, tepat dibawah teriknya matahari. Melihat orang-orang berlalu lalang sembari berharap Tiara ada dikerumunan
tersebut. Entah dia hari ini berpenampilan seperti apa. Tanganku mengusap peluh yang menetes didahiku. Kulihat smartphone-ku berkali-kali, tak ada pesan lain kecuali pesan singkat tadi. Sekali lagi aku terjebak dalam kegiatan yang paling membosankan didunia ini, menunggu.

Akhirnya dia datang juga. Hari ini dia memakai kerudung pink dengan baju bergaris hitam putih. Ia tersenyum ke arahku, aku membalas dengan senyuman jua. Senyuman yang bagiku sendiri memiliki arti. Ia melangkah pelan mendekatiku. Semakin dekat dan semakin dekat lagi.

Aku berdegup kencang. Lagu dari James Blaunt seakan berputar merdu ditelingaku.
“You’re beautiful, you’re beautiful, you’re beautiful is true. I saw your face, in the crowded place. And I don’t know what to do…”
Sekarang, ia tepat berada dihadapanku. Dia sungguh menawan. Anggun memesona. Cukup beberapa detik ia mencuri hatiku. Aku grogi sekali.
“Ini Megg, makasih banget ya.” Ia menyerahkan buku itu kepadaku dengan melontarkan senyuman indahnya. Waktu seakan terhenti. Bunga yang dulu layu sekarang mekar kembali. Bunga-bunga sempurna tumbuh di musim semi ini..
“Ehm…Eh…. Sama-sama Ra.” Mukaku sedikit memerah, aku malumalu menatap wajahnya. Tak kuat jika harus berhadapan dengannya lamalama. Pasti aku menjadi salah tingkah.
“Aku balik dulu ya Megg, daaaa…” Ia kemudian meninggalkanku yang sedang berdiri mematung. Tangannya melambai gemulai kearahku. Faktanya saat ini aku sedang melayang diudara.

Perlahan ia menghilang diantara kerumunan orang.

Tuhan, sekali lagu kau hadirkan perasaan itu didalam hatiku. Setelah beberapa waktu aku terlalu takut untuk menyimpan perasaan itu lagi karena kenangan pahit itu. Kini semua itu hadir kembali. Lembaran baru telah dibuka.

***

Aku tersenyum-senyum sendiri seperti orang gila mengingat kejadian tadi siang. Sesekali ibuku mengernyitkan dahi melihat tingkahku yang begitu aneh. Duduk sendiri diteras rumah sambil menatap layar smartphone lantas tertawa kecil.
“Meggy, kamu kesambet setan apa?” Suara ibuku mengalihkan perhatianku.
“Ah ibu, biasalah anak muda.” Aku sedikit risih jika disinggung tentang perasaan oleh orangtuaku. Aku lebih senang menyembunyikannya ketimbang berterus terang. Tanpa perlu kuberi kode, ibuku beranjak meninggalkanku. Membiarkanku yang tengah mengingat momen indah itu. Beliau paham betul dengan keadaanku yang dirundung asmara.

Malam ini langit begitu cerah, rembulan bersinar terang ditemani kerlap-kerlip bintang diangkasa. Mereka seolah tau dengan apa yang sedang kurasakan. Aku mencoba mengirim pesan kepada Tiara. Ada sedikit rindu yang tersimpan.

Spoiler for Chat:


Percakapan singkat itu pun berakhir karena adzan Isya telah berkumandang. Aku bersiap-siap mengambil air wudhu lalu bergegas menuju ke mushola. Sebelum berangkat kuperiksa lagi smartphone-ku, barangkali ada pesan singkat dari Eru untuk ngopi bersama malam ini. Dugaanku sedikit meleset. Bukan Eru yang mengajak ngopi malam ini, melainkan Ubed.

Selepas sholat Tarawih, aku bergegas menemui Ubed diwarung kopi biasa dekat perempatan. Imam sholat Tarawih ditempatnya lebih cepat beberapa menit ketimbang ditempatku, makanya dia telah sampai terlebih dahulu.
“Tumben lo ngajak gue ngopi Bed?” Setelah memesan segelas es teh dan sebungkus nasi bantingan, aku duduk didepan Ubed sambil bertanya heran.
“Bosan aja Megg gue dirumah, gue lagi cari temen nongkrong. Makanya gue ngajak lo.” Ia berbicara kepadaku sambil terfokus dengan laptopnya.
“Lah lo bisa-bisanya. Paling-paling kesini cuman cari wifi. Btw download apaan lo? Bokep?” Aku menyeringai. Sindiranku memang pas untuknya.
“Ya nggak lah, emang gue kayak lo doyan begituan.” Ubed mengelak sedikit tertawa.

“Nih rokok Bed.” Aku melemparkan satu pack rokok kearahnya. Seperti yang kuduga, dengan tegas ia akan menolaknya. Aku menghisap satu batang rokok, kuhembuskan pelan. Aku membuka sebungkus nasi bantingan tadi untuk mengganjal perutku yang sedari tadi keroncongan butuh asupan tambahan.
“Gini ya Megg, gue jujur nih rada bingung mau kuliah disini aja apa keluar kota?” Ia mulai mengarahkan pembicaraan ke hal yang cukup serius. Aku masih tetap menikmati nasi bantingan itu. Meski lauknya hanya sederhana, telur goreng dan kentang balado.
“Nah lo napa tanya ke gue! Menurut gue sih lo harusnya musyawarah dulu sama orangtua lo. Ketimbang minta pendapat ke orang yang nggak jelas kayak gue.” Aku mengutarakan pendapatku terus terang setelah menelan makananku. Sesekali kuminum es teh didekatku untuk menghilangkan rasa pedas dari kentang balado yang menyiksa lidahku.
“Orangtua gue juga rada ragu sih Megg kalau gue kuliah keluar kota. Yang jadi kendala adalah biaya. Bapak gue cuman petani, penghasilannya nggak seberapa. Tapi kalau boleh berpendapat nih Megg, menurut gue kuliah dimanapun tempatnya, itu sama aja. Jurusan yang lo ambil itu juga bukan jadi penentu seratus persen lo bakal dapet kerjaan atau nggak nantinya.” Ubed berbicara serius. Aku mengangguk sependapat. Melihat realita di zaman sekarang bahwa ada banyak ratusan atau bahkan ribuan sarjana pengangguran. Kuliah bukan jaminan, tapi minimal itu menjadi pengantar ke dunia kerja.
“Gue kasih contoh aja biar gampang dipahami. Saudara gue dulu jurusannya sewaktu kuliah nggak bagus-bagus amat jika dibandingkan dengan jurusan lain. Tapi sekarang dia sukses bekerja dipabrik terkenal, gajinya pun lumayan.” Ia menghela nafas, hening beberapa detik.
“Satu hal lagi yang perlu dicamkan! Menurut gue rahasia sukses itu adalah tergantung seberapa dekat lo dengan Tuhan. Kalau lo itu patuh sama Tuhan, lo nggak melakukan dosa besar, dan lo taat beribadah gue yakin Tuhan pasti akan meninggikan derajat lo didunia. Nggak mungkin Tuhan akan ngehancurin hidup lo. Lo mesti percaya itu.” Aku bergetar mendengar katakata itu terlontar dari bibir Ubed. Ada sedikit decak kagum untuknya. Katakata itu akan kujadikan pegangan sebagai motivasiku menuju kesuksesan.

Sayangnya, pembicaraan serius itu hanya berlangsung sesaat. Ia kembali terfokus dengan laptopnya dan juga smartphone-nya. Aku pun demikian. Walaupun kuajak bicara kesana kemari, jawabannya tidak nyambung sama sekali. Kata-kataku terkadang tak digubris. Aku tahu dari dulu bahwa Ubed bukanlah pendengar yang baik. Ia lebih senang bercerita panjang lebar daripada mendengarkan penjelasan orang lain. Aku memaklumi sikapnya.

Setelah es teh yang ada didepanku habis, aku pamit pulang duluan. Ubed masih stay ditempat. Menunggu file-filenya telah selesai ter-download. Meski tak seperti ngopi-ngopi dimalam-malam sebelumnya, yang penting ada satu hal yang kupelajari malam ini.

***

Malam semakin larut. Hanya terdengar satu dua suara orang mengaji diluar sana. Didalam kamar, aku mencoba menghubungi Tiara, sepertinya dia belum tidur saat ini. Sesekali kutatap foto gadis itu dari media sosialnya lamatlamat. Aku tersenyum mengingatnya.
Spoiler for Chat lagi:


Pesan terakhir itu membuatku tersenyum lepas. Terngiang-ngiang wajahnya, menggambarkan jika tertawa seperti apa rupanya. Aku melewati malam ini dengan penuh kebahagiaan, memutar lagu James Blaunt berkalikali.

Sebelum tidur aku berdoa kepada Tuhan, semoga Tiara hadir dalam mimpi indahku nanti.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:57
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.