- Beranda
- Stories from the Heart
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)
...
TS
ayahnyabinbun
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)

Assalamualaikum semua.
Ini hanya goresan tinta imajinasi seorang lelaki tua yang telat menemukan hasratnya dalam hal menulis.
No Junk.
No Spam.
Pokoknya ikuti Rules dari Kaskus ya.
Cerita ini murni Fiksi, jadi kalau ada kesamaan nama tokoh dan tempat mohon di maklumi.
Terakhir.
Selamat menikmati bacaan ringan ini.
Spoiler for Prolog:
-Jakarta-
UGD RS di jakarta.
"Bagaimana istri saya sus!? " tanya seorang pria kepada suster yang baru saja keluar dari ruang UGD.
"Maaf pak masih kritis saya tidak bisa memberitahu lebih rinci kondisi istri bapak, itu wewenang dokter," jawab suster cepat kemudian dia berlalu meninggalkan lelaki itu.
Lelaki itu pun bersandar di tembok rumah sakit, raut mukanya terlihat lemas dan pucat kedua tangannya gemetar tatkala menutup wajahnya.
"Maafkan aku Naura, hiks, maafkan aku, " gumam lelaki itu sambil terisak menangis tersedu-sedu.
Seberkas cahaya membentuk sosok manusia berjongkok di depan lelaki itu, "jangan menangis sayang, ini memang sudah waktuku, jaga anak kita ya, dia ganteng seperti kamu, cup. " seru sesosok cahaya tersebut sambil mencium kening sang lelaki, dan cahaya itu pun berlalu bersama sesosok laki-laki berjubah putih yang menemaninya.
Lelaki itu mengangguk lesu sambil tersenyum tipis, melihat ruh istrinya menghilang menuju ufuk matahari dikala senja.
"Krieeek" suara pintu UGD terbuka, keluar seorang dokter dan beberapa suster menggendong seorang bayi.
"Pak Bagas, bayi bapak kami bersihkan dulu di ruang bayi ya pak, dokter ingin bicara dengan bapak," jawab suster dengan lemah lembut ke lelaki itu.
Lelaki itu pun berdiri, berjalan pelan menuju dokter yang menundukkan kepala di depan lelaki itu, gurat penyesalan terlihat dari wajah sang dokter.
"Sudah tidak apa-apa dok, saya sudah tahu, sehebat apapun anda tidak bisa melawan takdir, " jawab lelaki itu sambil menepuk pundak sang dokter.
"Ba-bagaimana bapak bisa tahu!? " jawab dokter dengan rona kebingungan.
Lelaki itu kemudian berlalu menuju ruangan bayi, langkah demi langkah terasa berat, tangisan tak terbendung dari kedua matanya, lelaki itu memukul-mukul dadanya agar menyisakan kelegaan saat ia bernafas.
"OOOEeeeK...OOOEEEEK...OOOEEEK," seketika tangis bayi memecah kesunyian lorong rumah sakit, lelaki itu mempercepat langkah demi langkahnya, terlihat seorang bayi sedang di gendong suster, menangis dengan kencangnya.
"Silakan pak di gendong anaknya, sudah saya bersihkan dedek bayinya," jawab suster ke lelaki itu.
Sang lelaki menerima si bayi dari tangan suster, menggendong dengan penuh kehati-hatian, sang bayi yang tadi menangis kencang seketika terdiam di pelukan lembut sang ayah.
"Mau di beri nama siapa pak bayinya?" tanya suster.
"Surya, Surya dikala senja. " jawab bapak Bagas lirih.
Spoiler for Chapter 1 : sang Surya:
Jakarta, 2018.
"TENG!! TENG!! TENG!!" bunyi bel terdengar hingga ujung jalan setapak depan sebuah sekolah, segerombolan anak tunggang langgang berlarian menuju gerbang sekolah tersebut.
Pak Kusni penjaga sekolah, merangkap satpam, merangkap manusia terlihat mendorong gerbang dengan kepayahan, faktor usia seperti menggerogoti tenaganya yang dulu seperti kuda jantan, nafasnya terdengar mengebu-gebu seperti pemain film erotis tahun 80an, padahal gerbang sekolahnya hanya ada satu, bayangkan bila sekolah ini memiliki 7 gerbang layaknya pintu neraka, mungkin senin beliau sudah di kebumikan.
Dari ufuk timur terdengar suara dengan lantang.
"HEI KUSNI!!! HENTIKAN!!! GUA MASIH MAU SEKOLAH KUSNI!!!"
Remaja itu berlari bersama gerombolan murid yang telat bagai babi hutan.
Pak Kusni yang sedang mendorong gerbang terdiam sesaat, lalu melihat asal suara tersebut, matanya melotot melihat remaja tersebut berlari seperti maling BH yang dikejar warga, dengan sisa tenaga tuanya di dorong gerbang itu dengan tergesa-gesa,
"bocah sialan itu tak boleh masuk..! TIDAK BOLEH MASUK..! YOU SHALL NOT PASS..!" gumam lelaki tua itu sambil mengutip kata-kata Gandalf Lord Of The Ring.
"SIALAN KAU KUSNI! GUA TIDAK AKAN KALAH DENGAN TUA BANGKA MACAM KAU KUSNI!!" teriak lagi remaja itu dengan lantang, langkah kakinya semakin kencang ia sampai lupa resleting celananya masih menganga memberikan sensasi cooling breeze di sekujur pangkal pahanya.
Mendengar itu Kusni geram, ia semakin menggebu-gebu mendorong gerbang, akan tetapi, "KREEK!!" suara tulang bergeser bersua, teriakan tertahan mengema di kalbu Kusni.
"AAARRRGGHH!! AMPUN GUSTI!! PINGGANGKU!!" sakit encok strata tiga Kusni kambuh, tubuh kusni tertahan gerbang, tanpa adanya gerbang mungkin tubuh Kusni akan tersungkur ke tanah, ada hubungan simbiosis mutualisme yang ironis antara Kusni dan gerbang.
"Pagi beh, kambuh?! AHAAY!" ejek remaja itu ke pak Kusni sambil berlenggang menuju kelas.
Sakit, malu, vertigo menjadi satu, itulah yang di rasakan Kusni sekarang, melihat murid itu berlalu membuat matanya berkaca-kaca seutas kata terucap dari bibir Kusni.
"Dasar bocah KAMPRET!!" Kusni tertahan mematung sambil menggenggam gerbang sekolah yang masih seperempat terbuka.
Kelas 2-A sudah di penuhi manusia-manusia unggulan, datang setiap pagi untuk mencari ilmu, bersiap-siap menatap masa depan dengan penuh harapan cemerlang, di belakang dua insan lelaki saling bercakap.
"Cok, film bokep yang kemaren elu kirim crash, kirim lagi dong bro," celoteh Bambang ke Ucok di baris belakang.
"BAH!! Handphone kau saza yang zadul Bams, buktinya zalan-zalan zaja tuh di hp ku, makanya beli hape zangan di pasar malam lai," jawab Ucok dengan logat medannya yang kental, sungguh percakapan yang menginspirasi kaum muda mudi INDONESIA.
"Eh eh eh, guru guru guru!" riuh anak-anak kelas 2-a, sesosok lelaki tinggi, atletis nan tampan terlihat di depan pintu, kemudian berlalu, berganti menjadi lelaki pendek, tambun dengan kepala botak di tengah layaknya lapangan bola, sekilas adegan tadi seperti iklan L-men yang gagal.
Pak Hartono masuk ke dalam kelas, melihat sekeliling kelas sambil menyapa.
"Pagi anak-anak!!", sapa pak Hartono.
"PAGI PAK GURUUU!!" Jawab murid-murid dengan serentak dan kompak.
Tiba-tiba seorang anak berdiri di depan pintu kelas, wajahnya terlihat kecapaian dan pucat.
"Yaaah! Telat!" ujar anak itu, pak Hartono menelisik dengan teliti anak yang terlambat itu, kemudian berujar "hei kamu! Berani kamu telat di jam saya! Kesini kamu!" perintah pak Hartono dengan galaknya, anak itu pun maju dengan perlahan, kepalanya menunduk malu tidak bisa menatap pak Hartono, "Push up 25 kali! Jikalau tidak sanggup silakan keluar kelas saya!!" ujar pak Hartono dengan tegas, ketika anak itu mengambil ancang-ancang untuk melakukan push up, sesosok mahkluk mengintip dari balik jendela di barisan pojok kanan belakang, matanya nanar namun tajam melihat situasi kelas.
"oke situasi aman," ujarnya dengan percaya diri, dengan mode silent ia menyelundupkan tasnya dari balik jendela menuju bangku belajar, lalu ia merangsek masuk dari celah jendela, bak ular kadut dengan licinnya ia masuk melewati celah lumayan sempit itu, setengah badannya sudah masuk ke dalam ruang kelas, tangan kirinya menyentuh meja kemudian ia mendorong sisa tubuhnya melalui tembok menggunakan tangan kanan, dengan sangat cepat dan tanpa satu makhluk pun mengetahui ia sudah masuk ke dalam kelas, dengan posisi menungging di atas meja, misi pun berhasil, ia turun dari meja kemudian menikmati pemandangan Budi yang sedang push up.
"Budi, terima kasih ya, tanpa elu sebagai pengalih perhatian gua ngak bisa sampai di dalam kelas, Budi, kamu, numero uno," gumam pria itu di dalam hati.
Iya, pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Surya, anak dari bapak Bagas prakasa yang kalian liat kisah pilunya di prolog, anak ini tumbuh besar menjadi sosok lelaki tampan, pintar dan soleh, itu hanya menurut penuturan bapaknya sendiri.
Push up Budi sudah berada di angka 23 kali, keringat bercucuran dari kening sampai badan Budi, bahkan sampai muncul bercak basah di daerah selangkangannya, pergelangan tangannya mulai goyah, lututnya bergetar 4,5 skala richter, tubuh yang di rancang untuk main warnet seharian itu tidak mampu menerima push up lebih dari 20 kali.
"Pak, sudah ya pak, saya sudah tidak sanggup," nego Budi ke pak Hartono.
Pak Hartono sedikit terenyuh melihat Budi yang kecapaian, "aduh, kasihan kamu nak, ya sudah … tambah lima lagi push upnya, biar genap jadi 30," tutur pak Hartono dengan melepas topeng kesedihannya, mata Budi nanar namun kosong menatap lantai, terlihat raut penyesalan teramat sangat dari wajah Budi.
Pak Hartono mulai menuju meja ia mengambil daftar absensi lalu mulai mengabsen satu per satu muridnya, dimulai dari Ani, Deni dan seterusnya, murid-murid saling bersahutan saat nama mereka disebut pak Hartono, ketika mulut pak Hartono menyebut nama Surya, "HADIR PAK..!" sahut seseorang pemuda dari belakang dengan lantang.
Seisi kelas kaget, terperanga sambil menganga melihat Surya sudah di dalam kelas, pertanyaan dan praduga berkecamuk di hati mereka.
"Bagaimana ia bisa masuk!?"
"Sejak kapan ia ada di kelas?!"
"Kenapa aku ada di kelas ini!!" gumam Ari yang seharusnya masuk kelas 2-d.
semua perhatian itu berbanding terbalik dengan kondisi Budi yang tanpa perhatian satupun dari teman-temannya.
"Sakit, banget, tapi tak berdarah, sungguh biadab temen-temen gua, kata mereka kita teman sejati, selalu di hati, HILIH KINTHIL!!" ujar Budi di dalam hati kesal dengan teman-temannya.
Pelajaran berjalan setelah sesi absensi, pak Hartono mulai menjelaskan di depan kelas, suasana hening terasa, murid-murid mulai mendengarkan dengan seksama, kecuali Surya yang sedang terlelap di mejanya, posisinya yang berada paling belakang dan di tutupi Bambang yang jangkung dan Ucok yang bulat menjadikan tempat duduknya seperti vila di puncak, tempat paling nyaman untuk beristirahat.
"TOK TOK TOK TOK" bunyi ketukan pintu memecah keheningan kelas, pak Zul sang kepala sekolah sedang berdiri dengan seorang gadis cantik nan manis di sebelahnya, "pagi pak, maaf ganggu kelasnya, ini ada murid baru kelas 2-a," ujar pak Zul, "oh iya pak, silakan neng masuk, perkenalkan diri dulu sama teman yang lain," jawab pak Hartono sambil mempersilakan gadis itu masuk.
Sesosok gadis manis memakai hijab putih berjalan perlahan menuju depan kelas, wajah manisnya terlihat malu-malu ketika bertatap muka dengan murid-murid kelas 2-A, "pagi semua, nama aku Naura kelana subhi, panggil saja Naura," jawab Naura sambil tersenyum simpul memperlihatkan lesung pipinya, seketika itu juga rentetan panah asmara menusuk hati para lelaki di kelas 2-A, kecuali Surya yang sedang berkelana di pulau kapuk dan para murid perempuan yang menunjukkan ekspresi tersaingi secara jasmani dan rohani.
"kamu duduk di belakang ya nak Naura, soalnya bangku yang kosong cuman ada di sebelah sana, " ujar pak Hartono sambil menunjuk bangku disebelah Surya.
Naura pun berjalan menuju bangkunya, diiringi tatapan nakal murid laki-laki di kelas itu, ia kemudian duduk sambil mulai mengeluarkan peralatan belajarnya.
Bambang dan Ucok yang duduk di depan Naura pun sontak membalikkan badan untuk berkenalan.
"Hai Naura, namanya cantik secantik orangnya," puji Bambang dengan gaya sok coolnya.
"hei Naura, cantik kali kau, nanti pulang ku antar pakai motor ninja ku mau tak?" goda Ucok sambil menyisir jambul khatulistiwa miliknya.
Melihat gelagat kedua lelaki di depannya naura langsung ilfeel stadium akhir, didalam hatinya ia berteriak "TIDAAAAAAK..!" akan tetapi Naura hanya membalas dengan senyum malu tapi palsu ke kedua orang utan itu.
"ikh amit-amit jabang bayi, masa hari pertama di sekolah baru gua udah di godain cowok alay macem keset kayak gini, Ya tuhan salah apa hambamu ini, " ketus Naura di dalam hati.
"Jangan di anggap serius, mereka cuman bercanda."
"DEG...!!"
Rona wajah Naura terlihat terkejut, sebuah telepati terkirim langsung menuju fikirannya, ia mencari sumber telepati itu, dan matanya tertuju pada punggung lelaki teman sebangkunya, Surya.
Spoiler for Index:
PART 1
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
PART 2
CHAPTER 2.1
CHAPTER 2.2
CHAPTER 2.3
CHAPTER 2.4
CHAPTER 2.5
CHAPTER 2.6
CHAPTER 2.7
CHAPTER 2.8
CHAPTER 2.9
CHAPTER 2.10
CHAPTER 2.11
CHAPTER 2.12
CHAPTER 2.13
CHAPTER 2.14
CHAPTER 2.15
CHAPTER 2.16
CHAPTER 2.17
CHAPTER 2.18
CHAPTER 2.19
CHAPTER 2.20
CHAPTER 2.21
CHAPTER 2.22
CHAPTER 2.23
CHAPTER 2.24
CHAPTER 2.25
CHAPTER 2.26
CHAPTER 2.27
CHAPTER 2.28
CHAPTER 2.29
Diubah oleh ayahnyabinbun 29-05-2022 00:42
namakuve dan 116 lainnya memberi reputasi
115
161.2K
Kutip
916
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ayahnyabinbun
#207
Chapter 30
Spoiler for Tanpa pamit:
Gelap malam kian temaram menghadirkan keheningan namun tidak di sebuah gudang kosong daerah pinggir ibukota, di gedung tua itu tengah jatuh tersungkur raksasa berwujud genderuwo hitam bermanik mata biru dan disekelilingnya berkerumun para jin yang tengah tersandera oleh pasukan jin berwujud kera.
"Hanya ini saja kekuatanmu wahai genderuwo bermata biru? Cih … menyedihkan!" decih sang kera putih sembari menatap remeh pada lawan bicaranya, ia lanjut melihat sekeliling, "ini yang kalian sebut sebagai pemimpin!!" seru sang kera putih sambil menginjak kepala lawannya tersebut.
"Grrrrrr," geram Raka kala itu dengan kaki dan tangan yang terikat tak berdaya melawan kera putih di depannya.
"Mulai sekarang kalian semua yang ada di sini akan menjadi tahananku dan kau genderuwo pecundang!! Beritahukan kepada Senja … jika ingin mereka kembali aku menunggunya di kerajaanku!! HUAHAHAHAHA..!!!" seru sang kera putih sembari diikuti sorak sorai para bala tentaranya.
Pagi kelam menemani langkah kaki Naura, sudah tiga hari ini dirinya tidak bertemu sang Surya, setiap ia berpapasan dengannya selalu saja ia mengelak untuk bertatap muka, bahkan untuk berbicara Surya enggan untuk melakukannya seakan Surya membuat dinding tinggi diantara mereka berdua tanpa Naura mengetahui alasan dinding itu tercipta.
"Hhmmmfh," desal nafas panjang Naura menapaki jalan setapak menuju sekolah, fikirannya kalut sekalut langit pagi itu, langkah kakinya semakin cepat tatkala awan mendung kian bergemuruh meneteskan titik-titik gerimis air hujan ke bumi.
Dengan sedikit terengah Naura menapaki lorong sekolah, ia membuka pintu kelas dan mendapati ruang kelas yang masih kosong, ia menaruh tas di kursi miliknya dan beranjak keluar untuk duduk di kursi lorong sambil menatap gerimis hujan yang kian deras.
Dari kejauhan Naura mendapati dua tuyul yang ia kenal sedang bermain-main hujan gerimis di tengah lapangan sekolah, dengan menggunakan telepati ia memanggil kedua tuyul tersebut untuk menghadap dirinya.
"Selamat pagi putri Naura," seru Uli dan Ili berbarengan.
"Pagi juga, kalian main hujan enggak takut sakit?" tanya Naura lembut dengan senyum merekah di bibirnya.
"Enggak dong, Uli kan tuyul sehat!" celoteh Uli sembari mengangkat kedua tangannya bak binaragawan.
"Iya putri Naura, lagipula mumpung bos Surya lagi pergi jadi kami bisa main-main sampai ke lapangan," seru Ili semangat.
-PUK-
"WADAW!!" pekik Ili.
Uli menjitak kepala Ili keras yang membuat si empunya kepala kesakitan.
"Sssstttt!! Kita sudah janji sama bos Surya enggak kasih tahu siapa-siapa soal kepergiannya," seru Uli was-was.
"Iya-iya maaf Uli," lirih Ili sembari mengelus-elus puncak kepalanya.
"Surya pergi? Pergi kemana?" tanya Naura selidik.
"Maaf putri itu semua R.A.H.A.S.I.A," seru Uli sembari menyilangkan tangannya di dada.
Naura mengepalkan tangannya, perasaannya tidak mengenakkan saat mengetahui Surya sedang pergi, firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi, "eengh aku punya sesuatu buat Uli dan Ili," seru Naura sembari merogoh kantung seragamnya.
Naura mengeluarkan dua buah permen dan menyodorkannya kedepan wajah Uli dan Ili, dengan manik mata berbinar Uli dan Ili menatap permen tersebut.
"Uli permen Uli, Ili mau," seru Ili dengan air liur menetes dari sela bibirnya.
"Iya Ili, alhamdulillah rejeki tuyul soleh," seru Uli sembari merentangkan tangan ingin mengambil permen tersebut.
Disaat Uli dan Ili hendak mengambil permen tangan Naura tiba-tiba menjauh dan menutup sempurna, "Eits … kasih tahu dulu Surya pergi kemana," seru Naura memancing Uli dan Ili untuk berbicara.
"Aiiissssh," desis Uli dan Ili sambil menatap dingin kearah Naura, mereka berdua mundur beberapa langkah kemudian berdiskusi bagai pemain bola yang mendiskusikan strategi.
Selesai berdiskusi Uli dan Ili menghadap Naura kembali kemudian memasang manik mata selucu mungkin sembari mengedip manja guna meluluhkan hati Naura.
"Cih … enggak mempan," cebik Naura memalingkan wajahnya.
"Ugh gagal kita Uli!" seru Ili
"Kamu sih kurang imuth," balas Uli masih memasang wajah imut.
"Udah ah aku mau balik ke dalam kelas, dadah Uli Ili," seru Naura berdiri kemudian beranjak pergi.
"Tu-tunggu …" pekik kedua tuyul polos itu, langkah Naura pun terhenti dengan senyum tipis tersungging di bibirnya.
"Putri Naura janji ya jangan kasih tahu bos Surya soal kami membocorkan rahasianya," seru Uli gugup.
Naura berjongkok untuk mensejajarkan pandangannya pada kedua tuyul tersebut seraya berkata, "iya aku janji, jadi Surya pergi kemana?" tanya Naura kembali.
"Engh … bos pergi ke dunia kami," terang Uli.
"Dunia kalian?" tanya Naura penasaran.
"Iya dunia kami, disana banyak mahluk-mahluk seperti kami namun jauh lebih menyeramkan, hiiiiiii aku takut Uli," seru Ili memasang wajah ketakutan sambil memeluk saudaranya Uli
"Issh apaan sih, jangan seperti bocah deh Ili!!" seru Uli ikut memeluk Ili sambil gemetar namun memasang wajah sok berani.
"Untuk apa dia kesana?" tanya Naura kembali.
"Kalau itu kami tidak tahu putri Naura, bos hanya menjelaskan ia akan pergi ke dimensi kami untuk mencari sesuatu, itu saja yang ia katakan," terang Uli meyakinkan Naura.
"Jadi permen kami?" sambung Ili sambil meminta dengan tangannya.
"Oh iya, ini ambil."
Naura membuka permen tersebut kemudian membuangnya ke tanah lapang di depannya, Uli dan Ili langsung menyerap sari pati permen tersebut dengan suka cita.
Naura terdiam sesaat kemudian ia melihat jam tangan miliknya, setelah memastikan waktu masih cukup ia berlari meninggalkan tempat ia berdiri tadi, gerimis kecil tak dihiraukan Naura untuk sampai ke rumah pak Kusni yang tidak jauh dari sekolah.
-Tok-
-Tok-
-Tok-
"Assalamualikum," salam Naura di depan pintu rumah.
"Waalaikumsalam," sambut suara bu Juleha dari dalam rumah, "eh neng Naura, ada apa pagi-pagi kesini? Kamu enggak ke sekolah?" tanya bu Juleha lembut.
"Maaf bu ganggu pagi-pagi gini, pak Kusninya ada?" tanya Naura.
"Aduh bapak pergi tuh dari kemarin, semalam nak Senja datang lalu mereka pergi berdua," terang bu Juleha.
"Pergi kemana bu?" tanya Naura.
"Waduh enggak tau tuh neng, bapak enggak kasih tau kemananya sama ibu, memang ada apa?" tanya ibu Juleha.
"Oh … enggak kenapa-napa kok bu, Naura pamit ya bu, assalamualaikum," seru Naura meninggalkan rumah tersebut terburu-buru dan kembali berlari kearah sekolah.
Sesampai di sekolah ia langsung menuju kelasnya, mengambil tas dan langsung berlari keluar dari gerbang sekolah, detak jantungnya bergemuruh, firasat jelek yang tadi ia rasakan semakin menjadi-jadi, di depan gerbang ia bertemu dengan Bambang yang tengah berjalan santai kearah sekolah.
"BAMS!!" teriak Naura kepada pemuda itu.
"Lah mau kemana Ra? Sekolahan disana," tanya Bambang bingung.
"Kamu tau enggak Surya kemana?" tanya Naura dengan nafas terengah-engah.
"Lah bukannya sakit? ini surat izinnya, barusan aja aku ambil dari rumahnya," terang Bambang.
Naura menatap nanar kearah Bambang kemudian mencengkram kerah pemuda itu erat-erat, "Tunjukin aku arah rumahnya!!" perintah Naura kasar.
-tok-
-tok-
-tok-
Suara pintu terketuk bersua hingga terdengar kedalam rumah, "Assalamualaikum," seruan seorang gadis di depan pintu mengagetkan Bagas yang tengah duduk di sofa ruang keluarga.
"Waalaikumsalam, tunggu sebentar," seru Bagas yang kemudian berjalan perlahan menuju kearah pintu depan.
-cklek-
Bagas menatap gadis di depan rumahnya yang tengah kedinginan dengan rona wajah kebingungan.
"Maaf om, apa ini rumahnya Surya?"
"Iya benar, kamu pasti temannya Surya ya?" tanya Bagas.
Naura menatap lelaki di depannya sembari menganggukkan kepala mengiyakan pertanyaan Bagas.
"Ayo masuk dulu, kamu pasti kedinginan," seru Bagas mempersilakan Naura masuk.
Naura mengekor di belakang Bagas kemudian berdiri mematung di ruang tamu, "om buatin coklat hangat dulu ya?" seru Bagas berlalu menuju dapur.
"Engh, om enggak perlu repot-repot, saya kesini hanya …"
"Khawatir sama anak om kan?" potong Bagas dengan senyum tipis di bibirnya.
"I-iya," seru Naura dengan rona merah di pipinya, "kata Bambang Surya sedang sakit, apa benar om?" tanya Naura.
"Kamu tenang dulu, om ambilkan handuk dan baju ganti buat kamu dulu ya?" seru Bagas menenangkan gadis yang tengah gelisah tersebut.
Naura hanya bisa mengangguk kembali mengiyakan permintaan Bagas, Naura lalu duduk sembari melihat-lihat sekeliling ruang tamu tersebut hingga pandangannya tertuju pada satu foto diatas nakas sebelah sofa, difoto itu Bagas sedang bersama dengan seorang perempuan cantik, merangkulnya dengan penuh cinta sembari mengelus perut sang wanita dan dibawah foto itu ada tulisan kecil.
-coming soon si kembar jagoan-
"Itu foto ibunya Surya," seru Bagas dari belakang mengagetkan Naura kala itu.
"Eh iya saya sampai lupa memperkenalkan diri, saya Bagas ayahnya Surya," seru Bagas ramah.
"Saya Naura om, teman sebangkunya Surya, maaf ya om kalau saya tiba-tiba datang dan mengganggu," seru Naura.
"Enggak kenapa-napa kok, ngomong-ngomong nama kamu sama seperti almarhumah istri saya, kebetulan banget ya," seru Bagas yang sedang menaruh minuman hangat di meja ruang tamu dan memberikan sebuah handuk dan beberapa baju ganti untuk Naura.
"Kamu ganti baju dulu di kamarnya Surya ya, itu yang pintunya ada banyak stiker," seru Bagas sambil menunjukkan sebuah pintu kayu.
"Iya om, permisi dulu," seru Naura yang kemudian berlalu menuju kamar Surya.
-Cklek-
Naura masuk dan menutup pintu itu rapat-rapat, Naura tidak menyangka ia akan berada disini dikamarnya Surya dan Senja, kamar yang terlihat seperti kamar remaja pada umumnya dengan kasur dan lemari yang memiliki banyak stiker dan poster menghiasinya, pandangan mata Naura tertuju pada sebuah surat yang tergeletak di atas nakas, matanya membulat sempurna tatkala melihat nama yang tertulis di atas surat tersebut.
-Untuk Naura-
Naura mengambil surat tersebut kemudian langsung membukanya dengan tergesa-gesa dan membacanya.
-teruntuk Naura-
Dasar perempuan keras kepala!! Udah aku bilang jangan temui aku sama Senja lagi!! Aku heran kenapa Senja bisa suka wanita keras kepala kayak kamu, ah sudahlah memang dasar sifat wanita susah diterka, aku sama Senja baik-baik saja untuk sekarang jadi enggak perlu khawatir, kami pergi karena ada urusan di dimensi mereka, para penghuni gudang milik Senja diserang dan penyerangnya kemungkinan besar anak buah dari nenek kami si Evelin terkutuk itu, jadi kami pergi kesana untuk menyelamatkan mereka, aku sih sebenarnya ogah tapi Senja gigih ingin pergi.
Oh iya satu hal lagi, Naura … jangan ikuti kami lagi, dimensi mereka bukan tempat untuk kamu bahkan bukan tempat untuk aku dan Senja, kamu bisa terluka dan aku enggak mau kamu kenapa-napa terlebih karena berusaha mengikuti kami berdua di dimensi mereka, perjalanan kamu hanya sampai disini.
Naura menutup surat itu dan menaruhnya di atas nakas kembali, ia segera berganti seragamnya yang basah kuyup dengan baju pemberian ayah Surya, tak lama ia keluar dari kamar dan kembali menuju ruang tamu.
"Om saya izin pulang saja, semoga Surya cepat sembuh," pamit Naura pada Bagas.
"Loh, enggak diminum dulu coklatnya?" tanya Bagas.
Naura hanya menggeleng-gelengkan kepala sembari menahan gundah dibalik wajahnya yang tertunduk lesu.
"Hmmfh, baiklah om antar sampai depan ya," seru Bagas.
Di teras Bagas memberikan sebuah payung lipat pada Naura, "pakai ini supaya enggak kehujanan lagi," pinta Bagas, Naura hanya mengangguk mengiyakan dengan bibir yang masih terdiam.
Naura berjalan perlahan di tengah hujan, desir angin menerpa tubuhnya dan dedaunan terlihat bergoyah seiring tangis gadis itu yang pecah di antara bulir-bulir air hujan yang jatuh dari langit.
"Hiks … aku ingin membantu mereka namun aku tahu aku hanya akan menjadi beban, andai hiks andai aku lebih kuat," isak Naura di tengah gerimis hujan.
-Ciiiit-
Sebuah sedan hitam terlihat berhenti di depan Naura, pintu depan kendaraan itu terbuka dan seorang gadis keluar sambil membuka payung hitam, ia berjalan perlahan kearah Naura.
"Luna!!" seru Naura sambil menghapus bulir air mata di pelipis matanya.
"Dimana dia?!" tanya Luna serius.
"Siapa?" tanya Naura.
"Jangan berlagak bodoh, dimana dia sekarang!?!" seru Luna menaikkan nada bicaranya.
Naura hanya terdiam seribu bahasa di depan Luna dengan segala pertanyaannya.
"Cih, ikut aku," pinta Luna.
"Ke-kemana?" tanya Naura mulai bersua.
"Bertemu cowok kamu yang menyusahkan itu," seru Luna dengan nada sinis.
Sementara dilain tempat.
Langkah kaki seorang pemuda mantap menapaki jalan setapak menuju sebuah pohon beringin besar nan gagah menjulang, telapak tangannya mengelus kulit pohon itu seraya merapal doa kepada sang pencipta, seketika sebuah portal bagai pusaran air seukuran gawang tercipta di depan dirinya.
"Tidak ada yang lupa kan?" tanya lelaki tua dibelakang sang pemuda.
"Enggak ada beh, thanks ya atas segala bantuannya," seru sang pemuda.
Sang lelaki tua hanya bisa mengeleng-gelengkan kepalanya sembari berkata, "Dasar bocah bodoh, jangan menganggap ini adalah karyawisata, seriuslah sedikit."
"Sip, santai aja beh, oh iya … titip salam bebep Lola disekolah, bilang bahwa murid tersayangnya enggak bakal lama kok perginya," seru pemuda itu berlagak melankolis macam Dilan kw dua.
Lelaki tua yang mendengar itu hanya bisa mengambil nafas panjang sembari bergumam pelan, "ingin aku berkata kasar."
Pada akhirnya pemuda dengan tas ransel berkalung beruang teddy itu berjalan perlahan memasuki pusara portal antar dimensi dan menghilang di gelapnya langit mendung pagi itu.
Part 1 Surya dikala Senja..
selesai...
"Hanya ini saja kekuatanmu wahai genderuwo bermata biru? Cih … menyedihkan!" decih sang kera putih sembari menatap remeh pada lawan bicaranya, ia lanjut melihat sekeliling, "ini yang kalian sebut sebagai pemimpin!!" seru sang kera putih sambil menginjak kepala lawannya tersebut.
"Grrrrrr," geram Raka kala itu dengan kaki dan tangan yang terikat tak berdaya melawan kera putih di depannya.
"Mulai sekarang kalian semua yang ada di sini akan menjadi tahananku dan kau genderuwo pecundang!! Beritahukan kepada Senja … jika ingin mereka kembali aku menunggunya di kerajaanku!! HUAHAHAHAHA..!!!" seru sang kera putih sembari diikuti sorak sorai para bala tentaranya.
Pagi kelam menemani langkah kaki Naura, sudah tiga hari ini dirinya tidak bertemu sang Surya, setiap ia berpapasan dengannya selalu saja ia mengelak untuk bertatap muka, bahkan untuk berbicara Surya enggan untuk melakukannya seakan Surya membuat dinding tinggi diantara mereka berdua tanpa Naura mengetahui alasan dinding itu tercipta.
"Hhmmmfh," desal nafas panjang Naura menapaki jalan setapak menuju sekolah, fikirannya kalut sekalut langit pagi itu, langkah kakinya semakin cepat tatkala awan mendung kian bergemuruh meneteskan titik-titik gerimis air hujan ke bumi.
Dengan sedikit terengah Naura menapaki lorong sekolah, ia membuka pintu kelas dan mendapati ruang kelas yang masih kosong, ia menaruh tas di kursi miliknya dan beranjak keluar untuk duduk di kursi lorong sambil menatap gerimis hujan yang kian deras.
Dari kejauhan Naura mendapati dua tuyul yang ia kenal sedang bermain-main hujan gerimis di tengah lapangan sekolah, dengan menggunakan telepati ia memanggil kedua tuyul tersebut untuk menghadap dirinya.
"Selamat pagi putri Naura," seru Uli dan Ili berbarengan.
"Pagi juga, kalian main hujan enggak takut sakit?" tanya Naura lembut dengan senyum merekah di bibirnya.
"Enggak dong, Uli kan tuyul sehat!" celoteh Uli sembari mengangkat kedua tangannya bak binaragawan.
"Iya putri Naura, lagipula mumpung bos Surya lagi pergi jadi kami bisa main-main sampai ke lapangan," seru Ili semangat.
-PUK-
"WADAW!!" pekik Ili.
Uli menjitak kepala Ili keras yang membuat si empunya kepala kesakitan.
"Sssstttt!! Kita sudah janji sama bos Surya enggak kasih tahu siapa-siapa soal kepergiannya," seru Uli was-was.
"Iya-iya maaf Uli," lirih Ili sembari mengelus-elus puncak kepalanya.
"Surya pergi? Pergi kemana?" tanya Naura selidik.
"Maaf putri itu semua R.A.H.A.S.I.A," seru Uli sembari menyilangkan tangannya di dada.
Naura mengepalkan tangannya, perasaannya tidak mengenakkan saat mengetahui Surya sedang pergi, firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi, "eengh aku punya sesuatu buat Uli dan Ili," seru Naura sembari merogoh kantung seragamnya.
Naura mengeluarkan dua buah permen dan menyodorkannya kedepan wajah Uli dan Ili, dengan manik mata berbinar Uli dan Ili menatap permen tersebut.
"Uli permen Uli, Ili mau," seru Ili dengan air liur menetes dari sela bibirnya.
"Iya Ili, alhamdulillah rejeki tuyul soleh," seru Uli sembari merentangkan tangan ingin mengambil permen tersebut.
Disaat Uli dan Ili hendak mengambil permen tangan Naura tiba-tiba menjauh dan menutup sempurna, "Eits … kasih tahu dulu Surya pergi kemana," seru Naura memancing Uli dan Ili untuk berbicara.
"Aiiissssh," desis Uli dan Ili sambil menatap dingin kearah Naura, mereka berdua mundur beberapa langkah kemudian berdiskusi bagai pemain bola yang mendiskusikan strategi.
Selesai berdiskusi Uli dan Ili menghadap Naura kembali kemudian memasang manik mata selucu mungkin sembari mengedip manja guna meluluhkan hati Naura.
"Cih … enggak mempan," cebik Naura memalingkan wajahnya.
"Ugh gagal kita Uli!" seru Ili
"Kamu sih kurang imuth," balas Uli masih memasang wajah imut.
"Udah ah aku mau balik ke dalam kelas, dadah Uli Ili," seru Naura berdiri kemudian beranjak pergi.
"Tu-tunggu …" pekik kedua tuyul polos itu, langkah Naura pun terhenti dengan senyum tipis tersungging di bibirnya.
"Putri Naura janji ya jangan kasih tahu bos Surya soal kami membocorkan rahasianya," seru Uli gugup.
Naura berjongkok untuk mensejajarkan pandangannya pada kedua tuyul tersebut seraya berkata, "iya aku janji, jadi Surya pergi kemana?" tanya Naura kembali.
"Engh … bos pergi ke dunia kami," terang Uli.
"Dunia kalian?" tanya Naura penasaran.
"Iya dunia kami, disana banyak mahluk-mahluk seperti kami namun jauh lebih menyeramkan, hiiiiiii aku takut Uli," seru Ili memasang wajah ketakutan sambil memeluk saudaranya Uli
"Issh apaan sih, jangan seperti bocah deh Ili!!" seru Uli ikut memeluk Ili sambil gemetar namun memasang wajah sok berani.
"Untuk apa dia kesana?" tanya Naura kembali.
"Kalau itu kami tidak tahu putri Naura, bos hanya menjelaskan ia akan pergi ke dimensi kami untuk mencari sesuatu, itu saja yang ia katakan," terang Uli meyakinkan Naura.
"Jadi permen kami?" sambung Ili sambil meminta dengan tangannya.
"Oh iya, ini ambil."
Naura membuka permen tersebut kemudian membuangnya ke tanah lapang di depannya, Uli dan Ili langsung menyerap sari pati permen tersebut dengan suka cita.
Naura terdiam sesaat kemudian ia melihat jam tangan miliknya, setelah memastikan waktu masih cukup ia berlari meninggalkan tempat ia berdiri tadi, gerimis kecil tak dihiraukan Naura untuk sampai ke rumah pak Kusni yang tidak jauh dari sekolah.
-Tok-
-Tok-
-Tok-
"Assalamualikum," salam Naura di depan pintu rumah.
"Waalaikumsalam," sambut suara bu Juleha dari dalam rumah, "eh neng Naura, ada apa pagi-pagi kesini? Kamu enggak ke sekolah?" tanya bu Juleha lembut.
"Maaf bu ganggu pagi-pagi gini, pak Kusninya ada?" tanya Naura.
"Aduh bapak pergi tuh dari kemarin, semalam nak Senja datang lalu mereka pergi berdua," terang bu Juleha.
"Pergi kemana bu?" tanya Naura.
"Waduh enggak tau tuh neng, bapak enggak kasih tau kemananya sama ibu, memang ada apa?" tanya ibu Juleha.
"Oh … enggak kenapa-napa kok bu, Naura pamit ya bu, assalamualaikum," seru Naura meninggalkan rumah tersebut terburu-buru dan kembali berlari kearah sekolah.
Sesampai di sekolah ia langsung menuju kelasnya, mengambil tas dan langsung berlari keluar dari gerbang sekolah, detak jantungnya bergemuruh, firasat jelek yang tadi ia rasakan semakin menjadi-jadi, di depan gerbang ia bertemu dengan Bambang yang tengah berjalan santai kearah sekolah.
"BAMS!!" teriak Naura kepada pemuda itu.
"Lah mau kemana Ra? Sekolahan disana," tanya Bambang bingung.
"Kamu tau enggak Surya kemana?" tanya Naura dengan nafas terengah-engah.
"Lah bukannya sakit? ini surat izinnya, barusan aja aku ambil dari rumahnya," terang Bambang.
Naura menatap nanar kearah Bambang kemudian mencengkram kerah pemuda itu erat-erat, "Tunjukin aku arah rumahnya!!" perintah Naura kasar.
-tok-
-tok-
-tok-
Suara pintu terketuk bersua hingga terdengar kedalam rumah, "Assalamualaikum," seruan seorang gadis di depan pintu mengagetkan Bagas yang tengah duduk di sofa ruang keluarga.
"Waalaikumsalam, tunggu sebentar," seru Bagas yang kemudian berjalan perlahan menuju kearah pintu depan.
-cklek-
Bagas menatap gadis di depan rumahnya yang tengah kedinginan dengan rona wajah kebingungan.
"Maaf om, apa ini rumahnya Surya?"
"Iya benar, kamu pasti temannya Surya ya?" tanya Bagas.
Naura menatap lelaki di depannya sembari menganggukkan kepala mengiyakan pertanyaan Bagas.
"Ayo masuk dulu, kamu pasti kedinginan," seru Bagas mempersilakan Naura masuk.
Naura mengekor di belakang Bagas kemudian berdiri mematung di ruang tamu, "om buatin coklat hangat dulu ya?" seru Bagas berlalu menuju dapur.
"Engh, om enggak perlu repot-repot, saya kesini hanya …"
"Khawatir sama anak om kan?" potong Bagas dengan senyum tipis di bibirnya.
"I-iya," seru Naura dengan rona merah di pipinya, "kata Bambang Surya sedang sakit, apa benar om?" tanya Naura.
"Kamu tenang dulu, om ambilkan handuk dan baju ganti buat kamu dulu ya?" seru Bagas menenangkan gadis yang tengah gelisah tersebut.
Naura hanya bisa mengangguk kembali mengiyakan permintaan Bagas, Naura lalu duduk sembari melihat-lihat sekeliling ruang tamu tersebut hingga pandangannya tertuju pada satu foto diatas nakas sebelah sofa, difoto itu Bagas sedang bersama dengan seorang perempuan cantik, merangkulnya dengan penuh cinta sembari mengelus perut sang wanita dan dibawah foto itu ada tulisan kecil.
-coming soon si kembar jagoan-
"Itu foto ibunya Surya," seru Bagas dari belakang mengagetkan Naura kala itu.
"Eh iya saya sampai lupa memperkenalkan diri, saya Bagas ayahnya Surya," seru Bagas ramah.
"Saya Naura om, teman sebangkunya Surya, maaf ya om kalau saya tiba-tiba datang dan mengganggu," seru Naura.
"Enggak kenapa-napa kok, ngomong-ngomong nama kamu sama seperti almarhumah istri saya, kebetulan banget ya," seru Bagas yang sedang menaruh minuman hangat di meja ruang tamu dan memberikan sebuah handuk dan beberapa baju ganti untuk Naura.
"Kamu ganti baju dulu di kamarnya Surya ya, itu yang pintunya ada banyak stiker," seru Bagas sambil menunjukkan sebuah pintu kayu.
"Iya om, permisi dulu," seru Naura yang kemudian berlalu menuju kamar Surya.
-Cklek-
Naura masuk dan menutup pintu itu rapat-rapat, Naura tidak menyangka ia akan berada disini dikamarnya Surya dan Senja, kamar yang terlihat seperti kamar remaja pada umumnya dengan kasur dan lemari yang memiliki banyak stiker dan poster menghiasinya, pandangan mata Naura tertuju pada sebuah surat yang tergeletak di atas nakas, matanya membulat sempurna tatkala melihat nama yang tertulis di atas surat tersebut.
-Untuk Naura-
Naura mengambil surat tersebut kemudian langsung membukanya dengan tergesa-gesa dan membacanya.
-teruntuk Naura-
Dasar perempuan keras kepala!! Udah aku bilang jangan temui aku sama Senja lagi!! Aku heran kenapa Senja bisa suka wanita keras kepala kayak kamu, ah sudahlah memang dasar sifat wanita susah diterka, aku sama Senja baik-baik saja untuk sekarang jadi enggak perlu khawatir, kami pergi karena ada urusan di dimensi mereka, para penghuni gudang milik Senja diserang dan penyerangnya kemungkinan besar anak buah dari nenek kami si Evelin terkutuk itu, jadi kami pergi kesana untuk menyelamatkan mereka, aku sih sebenarnya ogah tapi Senja gigih ingin pergi.
Oh iya satu hal lagi, Naura … jangan ikuti kami lagi, dimensi mereka bukan tempat untuk kamu bahkan bukan tempat untuk aku dan Senja, kamu bisa terluka dan aku enggak mau kamu kenapa-napa terlebih karena berusaha mengikuti kami berdua di dimensi mereka, perjalanan kamu hanya sampai disini.
Naura menutup surat itu dan menaruhnya di atas nakas kembali, ia segera berganti seragamnya yang basah kuyup dengan baju pemberian ayah Surya, tak lama ia keluar dari kamar dan kembali menuju ruang tamu.
"Om saya izin pulang saja, semoga Surya cepat sembuh," pamit Naura pada Bagas.
"Loh, enggak diminum dulu coklatnya?" tanya Bagas.
Naura hanya menggeleng-gelengkan kepala sembari menahan gundah dibalik wajahnya yang tertunduk lesu.
"Hmmfh, baiklah om antar sampai depan ya," seru Bagas.
Di teras Bagas memberikan sebuah payung lipat pada Naura, "pakai ini supaya enggak kehujanan lagi," pinta Bagas, Naura hanya mengangguk mengiyakan dengan bibir yang masih terdiam.
Naura berjalan perlahan di tengah hujan, desir angin menerpa tubuhnya dan dedaunan terlihat bergoyah seiring tangis gadis itu yang pecah di antara bulir-bulir air hujan yang jatuh dari langit.
"Hiks … aku ingin membantu mereka namun aku tahu aku hanya akan menjadi beban, andai hiks andai aku lebih kuat," isak Naura di tengah gerimis hujan.
-Ciiiit-
Sebuah sedan hitam terlihat berhenti di depan Naura, pintu depan kendaraan itu terbuka dan seorang gadis keluar sambil membuka payung hitam, ia berjalan perlahan kearah Naura.
"Luna!!" seru Naura sambil menghapus bulir air mata di pelipis matanya.
"Dimana dia?!" tanya Luna serius.
"Siapa?" tanya Naura.
"Jangan berlagak bodoh, dimana dia sekarang!?!" seru Luna menaikkan nada bicaranya.
Naura hanya terdiam seribu bahasa di depan Luna dengan segala pertanyaannya.
"Cih, ikut aku," pinta Luna.
"Ke-kemana?" tanya Naura mulai bersua.
"Bertemu cowok kamu yang menyusahkan itu," seru Luna dengan nada sinis.
Sementara dilain tempat.
Langkah kaki seorang pemuda mantap menapaki jalan setapak menuju sebuah pohon beringin besar nan gagah menjulang, telapak tangannya mengelus kulit pohon itu seraya merapal doa kepada sang pencipta, seketika sebuah portal bagai pusaran air seukuran gawang tercipta di depan dirinya.
"Tidak ada yang lupa kan?" tanya lelaki tua dibelakang sang pemuda.
"Enggak ada beh, thanks ya atas segala bantuannya," seru sang pemuda.
Sang lelaki tua hanya bisa mengeleng-gelengkan kepalanya sembari berkata, "Dasar bocah bodoh, jangan menganggap ini adalah karyawisata, seriuslah sedikit."
"Sip, santai aja beh, oh iya … titip salam bebep Lola disekolah, bilang bahwa murid tersayangnya enggak bakal lama kok perginya," seru pemuda itu berlagak melankolis macam Dilan kw dua.
Lelaki tua yang mendengar itu hanya bisa mengambil nafas panjang sembari bergumam pelan, "ingin aku berkata kasar."
Pada akhirnya pemuda dengan tas ransel berkalung beruang teddy itu berjalan perlahan memasuki pusara portal antar dimensi dan menghilang di gelapnya langit mendung pagi itu.
Part 1 Surya dikala Senja..
selesai...
twiratmoko dan 18 lainnya memberi reputasi
19
Kutip
Balas
Tutup