"Gw cari tempat enak dulu ya, ga nyaman ngobrol serius di mobil," katanya.

Karena gw ga ada gawean, gw ok saja. Diarahkannya si mungil ini ke bukit bersejarah kami. Didit minta waktu untuk menghisap nikotin sebentar. Gw yang alergi asap, berdiri sejauh mungkin dari si kereta ini.

Kelar sebatang, dia mendekat setelah memastikan aroma asap ga begitu pekat lagi di tubuhnya.

"Pi, kenapa lu ga banyak cerita tentang diri lu?," tanyanya setelah mengambil posisi duduk ndeprok di samping gw.
"Cerita bagian mana?," tanya gw.
"Bagian yang Mara ceritakan ke gw," katanya. Alis gw naik pertanda gw kurang paham.
"Dia dongeng apa ke lu?," tanya gw karena Didit g segera menjawab.
"yah...top five, story teller yang lumayan jago, Juara speech.. Masih banyak,sih," katanya.
"lu berharap gimana cara gw cerita? Sambil nunjukin piala? Sambil kalungan medali? Or sambil pamer piagam?," kata gw sinis.
"yah ga gitu juga. Masa gw ga tau apa-apa soal itu," katanya.
"dan apa yang mengharuskan lu untuk tau,sih? Faedahnya untuk hubungan kita apa?lu mau jadi pacar gw atau mau interview kerja?," kata gw lagi. Didit diam, menarik nafas panjang.
"yah gw mau tau aja kenapa lu ga pernah cerita," katanya akhirnya.
"dit...gw bingung loh, kenapa hal printil kaya gitu jadi masalah. Or at least untuk gw,itu bukan masalah, ga tau untuk lu," kata gw sambil menatal wajahnya dari sisi samping.

Lima menit kami hanya diam.
"or...untuk lu jadi masalah,ya?" tanya gw. Lagi-lagi Didit hanya diam.
"Dit...bilang ke gw, setelah Mara cerita, apa ada rasa yang berubah ke gw?," tanya gw.

Dia menoleh, mata kami bertemu. Lama kami hanya diam dalam posisi ini. Dibenahinya rambut gw yang tertiup angin.

"Rasa gw masih sama. Tapi...," katanya menggantung. Alis gw naik minta jawaban sedikit panjang.
"minder gw makin besar...," katanya menunduk. Ok, gw paham kemana ini bermuara.

"Ditya...apa salah kalau gw seperti yang Mara ceritakan?," tanya gw melembut. Gw topangkan dagu gw ke lengannya, dia mengalihkan pandangan ke wajah gw.
"Engga,La. Tapi kok gw malu ya sama diri sendiri," katanya.
"Karena..." tanya gw.
"Karena gw ga merasa cukup untuk lu," katanya. Gw tersenyum.
"Dit...gw memang bukan tipe perempuan yang menerima seseorang apa adanya. Kalau begitu, kita ga akan pernah bertumbuh. Saat sendiri kurang baik, berdua harus lebih baik. Bukan hanya lu kok yang berusaha memperbaiki diri, setiap detik gw berusaha begitu. Tapi mungkin kita beda bahan bakar," kata gw. Sekarang gantian alisnya yang naik.

"Kalau lu berubah untuk katakanlah untuk mematutkan diri lu untuk gw...gw lebih memperbaiki diri karena posisi gw untuk adik gw. I'm a mom plus a dad plus a sister plus a best friend plus a leader...dan banyak peran lain yang lu ga sangka. Kalau gw buruk, gw ga akan bisa protes kalau adik gw juga buruk. Karena contoh di depan matanya buruk. Do you get my point?," tanya gw. Mata itu membesar, seakan info yang gw sampaikan di luar perhitungannya.

"Ya ampun,La...kok gw picik begini ya?," katanya.
"Well...gw juga ga paham. Jadi Dit...kalau hal ini jadi masalah, cuma dua solusinya. Anggaplah analoginya seperti kita lomba lari. Gw yang melambat atau lu yang mengejar," kata gw.
"Tadinya gw berpikir kalau lu ga mau cerita karena lu kasihan sama gw," katanya.
"Dan kenapa gw harus kasihan sama lu?," tanya gw. Absurd banget nih makhluk.
"Yah..karena segala yang kurang di gw," katanya sambil menunduk.
"Gw bosan sama kata kasihan,Dit. Setelah gw menyandang gelar yatim piatu, orang-orang sibuk mengasihani gw dan adik gw. Tiap kali mereka bilang kata terlarang itu, gw hanya jawab..cukuplah Tuhan yang kasihan, ga perlu mereka ikutan. Lama kelamaan kata-kata itu ga terucap,berganti dengan pandangan yang lebih memuakkan buat gw. Gw tau rasanya dikasihanin...ga mungkin gw lakukan hal yang sama ke lu," kata gw sambil memainkan rumput di dekat kaki gw.

"Jangan melambat,Qylla..biar gw yang mengejar..," katanya sambil merangkul bahu gw.

"Great,then..we have a deal...jadi gw ga mau ya,dit..hal begini lu besar-besarin. Apa cerita kalau lu punya cewek kaya Nazwa (inget ga cewek gank SMA gw yang super pintar itu?)," kata gw.
"kenapa dia?," tanyanya.
"dia kelar kuliah tiga tahun aja, summa cum laude, di universitas jempolan di jogja sana...langsung ditarik jadi dosen dan sekarang lagi sibuk urus beasiswa ke Belanda," kata gw.
"Wow...gank lu nyeremin sih memang jaman SMA. Ga populer tapi tokcer," katanya.
"Yah kalau soal popularitas apalah kitaaa dibanding Laura," kata gw.
"Hahaha..masih aja inget dia. Yah, cewek gw dulu-dulu ga ada kaya lu gini,La," kata Didit.
"Kaya gw gimana?," tanya gw.
"yah cewek model Laura gitu,lah. Agresif, casing aduhay...sisanya...gw sendiri ga gitu paham," kata Didit.

Kalau dipikir..iya sih..
Koleksi mantan Didit itu terdiri atas kumpulan cewek seksi berkulit putih dengan bemper yang yah gitulah ya. Ada sih, yang kulitnya eksotis...tapi syarat lain tetap sama. Tinggi minimal 160an, baju yang modis dan tutur lembut menggoda. Nah kaya palung dan langit kan sama gw? Tapi memang kebanyakan "isinya" kosong. Asik diajak jalan, tapi jangan dibawa diskusi. Contohnya Laura. Saat kelas gw diskusi tentang keabsahan negara kolong yang tidak memenuhi syarat suatu negara...dia mlongo aja dan akhirnya berkata...

"negara kolong? Jangan gila,deh..di kolong ada negara,"

Jadi yah mungkin segala cerita Mara yang sebetulnya biasa aja, jadi tamparan untuk Didit. Karena so far...seoneng-onengnya Didit, egonya ga pernah luka karena ceweknya selalu lebih oneng dari dia...

"Lu udah berani ganti selera...udah memilih masuk jalur berbeda..jadi yah be responsible for your decision. Kalau ga siap dengar info, ga usah cari tau. Kalau sudah dengar,jangan dibesar-besarkan. Kalau itu berarti gw beberapa langkah di depan lu, berusahalah untuk mengejar. I will never slow down,Dit..not for you..not this time... Jangan sekarang lu bisa bilang akan mengejar, tapi besok lu tenggelam dengan penyakit minder akut yang lu punya. Bukan gw yang punya masalah di sini, kita tau siapa. Kalau ini bakal terus bikin ga nyaman...we'd better reconsider our future," kata gw. Dia agak terkejut.

Ditariknya nafas panjang.
"Well..i think i have no other choice... I guess i should..."