Kaskus

Story

sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:
emoticon-Ultah

Cover:


From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)

NB: Sorry Bad Editing


Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter


Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita

Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.

Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.

Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.

Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.

Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.

Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.

Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.

Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.

Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.

Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.

Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.

Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.

***

Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.

“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.

“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.

“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.

Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.

Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.

Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.

Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.

“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.

“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.

“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.

“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.

“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”

Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.

“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.

Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.

“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.

Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.

Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.

***

Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.

Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,

“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.

“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.

Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.

“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.

Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.

Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.

“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.

“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.

“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.

“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.

“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.

Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.

Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.

Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.

Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.

Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.

“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.

“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.

‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.

Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.

Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
santinorefre720Avatar border
blackjavapre354Avatar border
rizetamayosh295Avatar border
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
#65
Kenangan Tentang Dinda part 2

Sejak kejadian itu, aku mulai menghindari Dinda. Awalnya dia bingung dengan sikapku ini. Tak sepatah kata pun kusampaikan kepada dia bahwa aku ingin pergi dari dia. Pergi untuk menenangkan diri. Kata cinta itu masih tersendat, belum mampu terucap.

Sulit sekali menerima semua ini. Melihat setiap hari Dinda masih menulis status tentang orang lain di-facebook, bukan tentangku. Tak pernah sekalipun ia menyinggungku. Aku tak tahu apakah dia tahu yang sesungguhnya alasanku pergi darinya.

Tak kuasa aku menahan perasaanku ini yang lama-kelamaan kian menyiksa. Seperti membunuh diriku pelan dalam kesunyian. Semua gara-gara Iren, andai saja kalimat dia di Tangkuban Perahu tidak pernah terucap semua tak akan jadi seperti ini. Aku mengumpat-umpat. Sungguh sakit. Mencintai orang yang tidak mencintaiku.

Hari demi hari aku makin terpuruk, setiap malam kulalui dengan termenung.

Semakin lama kutahan, semakin menyesakkan. Kuputuskan untuk menelpon dia, aku ingin mengucap kata yang sempat tersendat itu.
Kutekan satu persatu nomor ditombol handphone-ku. Tepat dua belas digit nomornya, aku menekan tombol panggilan.
Telepon berdering. Ayolah cepat angkat.
“Halo” Suara halus itu terdengar kembali.
“Dinda, ini aku Meggy.” Aku membuka obrolan.
Disana hening tanpa suara. Tanpa sempat ia berbicara, aku langsung mengutarakan langsung.
“Dinda, aku mencintaimu selama ini. Sejak gurauan dikantin sekolah itu, aku mulai mencintaimu. Tapi aku tak tahu dengan semua ini, aku bingung.” Suaraku bergetar, tak kuasa menahan kata-kata itu.
“Sorry, aku nggak bisa. Aku belum bisa Megg, sorry banget.” Nada halus itu mengakhiri perbincangan kami yang tak lebih dari tiga menit itu.
Lengkap sudah sekarang, luka itu akan bersemayam entah berapa lama. Aku hanya butuh waktu dengan semua ini. Melupakan, itu pilihanku.

***

Hari-hari berlalu, tak ada satupun yang berubah. Semua masih sama, perasaan itu masih terkunci dalam hatiku. Duniaku kelabu, tanpa warna. Melamun, memikirkan segala hal tentang Dinda.

Cerita ini belum usai, takdir masih punya beberapa skenario untukku. Bukan jalan cerita yang indah.

Aku dan Dinda dipertemukan kembali dalam satu stand bazar sekolah. Kali ini sangat berbeda dibandingkan dengan perkenalan kami pertama di aula sekolah beberapa bulan yang lalu. Aku menatapnya diam, sesekali mengajak bicara hal-hal ringan. Seperti tak terjadi apa-apa.
Hal yang mengejutkan pun terjadi. Seorang pria menghampirinya. Dibangku dekat ruang guru, kulihat mereka berdua asik berbicara. Aku tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Kupikir itu hanya perbincangan biasa, tapi melihat ekspresi mereka berdua, ada sesuatu yang terjadi diantara mereka yang aku tak tahu. Kakiku segera melangkah pergi. Aku tak ingin berpikir lebih jauh lagi tentang mereka.

Lama-kelamaan aku terusik. Hampir setiap saat pria itu menghampiri Dinda di stand kami. Aku melihatnya sekilas, memendam kekesalan. Mereka tertawa, tanpa memedulikan keberadaanku. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran Dinda, hubungan kita memang usai, tapi apa dia tak memikirkan bagaimana perasaanku yang masih berharap kepada dia.

Aku pergi meninggalkan bazar itu, mengajak Eru yang baru datang ke sekolahku keluar mencari tempat nongkrong. Warung kopi didekat sekolahku.
“Ada apa Megg, lo tiba-tiba ngajak gue kesini?” Eru bertanya heran.
“Gue sakit hati Er. Nggak kuat gue lihat Dinda dekat-dekat dengan pria itu.” Aku sedikit menahan kekesalanku menjawab pertanyaan Eru.
Eru mencoba menenangkan pikiranku. Dua kopi ijo yang ia pesan tadi sudah berada dimeja kami, diantar oleh mas-mas pemilik warung.
“Nih rokok. Buat menenangkan pikiran lo.” Ia melemparkan sebungkus rokok ke arahku. Aku menerimanya, kuambil satu batang lantas kuhisap pelan. Kunikmati setiap hisapan rokokku, seiring dengan rasa sakitku.
“Gue heran, apa dia nggak punya perasaan? Tega banget dia ngelakuin itu didepan gue. Oke fine, kalau dia memilih orang lain. Tapi ini terlalu cepat, gue seperti pelampiasan sesaat baginya.” Aku berkata kasar, sedikit mengumpat.
“Gini sob, dunia itu luas. Masih ada cewek yang mau sama elo, diluar sana masih banyak selain Dinda. Udahlah santai saja.” Eru menasihatiku. Kata-kata itu tak mempan bagiku.
“Dinda beda Er, gue tulus sama dia. Gua pengen setia sama dia, tapi kenapa harus seperti ini.” Aku meluapkan segala kekesalanku yang bercampur aduk dengan perasaanku yang sesungguhnya. Kuhisap rokokku pelan, dan kunikmati kopi ijo itu yang saat itu terasa hambar menurutku.

“Ngomong-ngomong, lo sendiri gimana sama Dewi?” Aku mencoba mengganti topic pembicaraan. Persetan dengan Dinda dan pria tak jelas itu. Persetan dengan hubungan mereka.
“Ah lo kayak nggak tau aja, gue sama Dewi nggak ada hubungan apaapa. Toh, dia juga udah nganggep gue sahabat sendiri.” Dia menjawab pertanyaanku dengan gurauan. Aku tertawa.
“Aneh lo, harusnya lo kalau suka sama dia bilang saja. Dia nganggep lo sahabat kan cuman diluar, sebatas formalitas. Lo nggak tau kan apa sesungguhnya yang ia rasakan.” Aku mencoba mengambil sudut pandang lain, berbeda dengan apa yang diutarakan Eru tadi.
Hubungan mereka itu aneh. Hampir lima tahun aku mengenal Eru dan Dewi. Mereka cukup dekat, tapi tidak kunjung jadian. Entahlah.
“Atau jangan-jangan lo itu homo Er?” Aku sedikit tertawa, berhubung Eru sendiri sampai sekarang tidak punya pacar.
“Ya nggaklah, gue masih doyanlah sama cewek.” Eru tertawa menjawab pertanyaan konyolku tadi.
Sebungkus rokok yang terletak diatas meja, tanpa terasa telah kami habiskan.
“Eh bro, gue penasaran siapa sih cowok yang lo maksud tadi?” Dengan ekspresi penuh penasaran, Eru bertanya kepadaku.
“Namanya Riki. Anak paskibraka.” Jawabku ketus, aku benci menyebut namanya.
“Astaga, anak itu. Gue kenal bro. Jujur gue nggak pengen cerita ini ke lo. Tapi pas lo dulu pergi dari Dinda, gue seringkali melihat Riki menghampiri Dinda di kantin sekolah.” Aku terkejut dengan penjelasan Eru. Aku tak pernah menduga semua ini.
“Anjing, sialan tuh anak.” Kali ini aku benar-benar marah.
Eru melihatku yang sedang naik pitam mencoba menenangkanku. Aku mencoba mengendalikan diriku.
“Balik aja yuk Megg, kopi dan rokok udah habis.” Eru merapikan tasnya kemudian beranjak pergi meninggalkan warung kopi ini. Aku menyusulnya.
***
Hari mulai sore, aku tak melihat ada tanda-tanda keberadaan mereka berdua disekitar stand. Entahlah, mungkin mereka sedang asik berduaan distand lain atau nonton penampilan didepan panggung.

Keadaan perlahan berubah menjadi tenang. Ramai orang berlalu lalang diantara jejeran stand-stand dengan beragam makanan dan minuman. Bagi sebagian orang mungkin ini adalah moment yang sangat menyenangkan, namun bagiku tidak. Bazar tahun ini berbeda dengan bazar tahun lalu. Tahun lalu tak semenyakitkan ini.

Langit mulai berubah. Semburat merah tampak memenuhi langitlangit yang semula berwarna kekuningan. Matahari mulai tenggelam, malam menjemput. Aktifitas tertunda sejenak karena adzan maghrib mulai dikumandangkan.

Adalah setengah jam, keadaan bazar malam itu mulai ramai kembali. Penampilan dimulai lagi, suara speaker terdengar keras. Alunan gitar dan lagu dari para band undangan memenuhi seluruh sudut area sekolah.

Disalah satu kursi stand, aku duduk menatap smartphone-ku yang sepi. Membuka menu, menutup menu, itu-itu saja yang kulakukan. Tanpa kusadari mataku tertuju pada Dinda yang duduk sendiri didekat pintu masuk stand.

Dia menoleh ke arahku, dengan tatapan sayu. Kulihat gurat wajahnya menunjukkan rasa bersalah. Aku menatapnya lamat-lamat dari jarak yang hanya beberapa meter dari tempatku berada. Sepersekian detik dia memalingkan wajah dariku, menunduk.

Tak kusangka, bedebah itu muncul lagi ditengah-tengah kami berdua. Mendekat kepada Dinda, sesekali mencoba bercanda. Ah, aku sudah sangat bosan dengan pemandangan itu. Pemandangan yang sangat menyakitkan dan menyesakkan.

Kakiku melangkah pergi meninggalkan mereka, menyendiri di bangku yang jauh dari keramaian. Sunyi senyap.

Mataku berkaca-kaca hendak meneteskan air mata. Aku menahannya, belum saatnya air mata itu jatuh. Ini belum seberapa, aku pernah merasakan yang lebih sakit dimasa lalu, ketika hubunganku dengan mantan terindahku
berakhir. Dinda hanyalah cerita baru, tak perlulah air mataku harus jatuh karena dia.

Di kursi itu aku masih tetap merenung. Diam tak bersuara. Tak peduli dengan banyaknya orang yang melintas. Suara-suara dari speaker panggung tak mampu memecah kesunyianku. Ingin rasanya aku segera pulang ke rumah menenangkan diri. Tapi ada keperluan yang harus kuselesaikan malam itu.

Sekitar satu jam aku duduk diam merenung, aku kembali ke standku.

Bukannya membaik keadaanku malah tambah parah. Riki masih tetap berada ditempat tadi, duduk didekat Dinda yang diam mematung. Aku menatap Dinda, gurat wajahku menyimpan kecemburuan yang begitu hebat. Perasaanku kacau balau.

Dinda menatapku balik. Matanya berkaca-kaca, ia sepertinya ingin meneteskan air mata. Tak kuasa melihat kondisiku yang begitu buruk malam itu. Semua perkataan Riki ia jawab sekenanya saja, tatapannya masih tertuju ke arahku. Sepertinya dia tak berdaya, dia terjebak dengan keadaan ini.

Akhirnya, tiba juga pada puncak acara malam itu. Semua berkerumun didepan panggung, merapat dan berdesak-desakkan. Begitu cepat, tangan Riki menggenggam tangan Dinda, lalu mengajaknya merapat kedalam kerumunan tersebut.
Berbagai kembang api dinyalakan. Dengan cepat sumbu kembang api itu terbakar lantas melesat cepat dilangit malam. Beratraksi dengan sangat indah hanya dalam kurun waktu beberapa detik. Hanya itu, indah namun singkat. Bersamaan dengan itu, hatiku telah hangus melihat kenyataan ini. Air mataku yang tertahan jatuh juga, segera kuusap.

Lengkap sudah rasa sakitku malam itu, aku tak punya alasan lagi disini. Aku harus pergi, semua urusan malam itu kuabaikan. Meminta maaf kepada Fatih selaku penanggung jawab stand kami.
Aku berjalan dengan membawa luka, tak tahu kapan luka ini bisa sembuh. Melewati kerumunan orang yang tersenyum gembira dengan beragam alasan.

Dengan cepat aku melangkah menuju parkiran sekolah. Ditengah jalan, aku melihat Dinda bersama Iren. Mereka berdiri. Iren menenangkan Dinda yang menangis tersedak-sedak. Wajahnya sembab, aku tahu alasan dia menangis. Ada kaitannya denganku. Wajah imutnya berubah menjadi sembab.

Aku diam sejenak melihatnya. Air mataku perlahan menetes, kuusap pelan. Kemudian meneruskan langkahku, melewati mereka berdua tanpa sepatah kata terucap. Seperti angin, berlalu begitu saja.

Malam itu, aku merasakan kehilangan. Kehilangan banyak hal, kehilangan harapan. Semua pupus hanya dalam hitungan jam. Cinta memang terkadang berubah menyakitkan. Tak berpihak, tak berperasaan. Itulah yang paling kubenci dari mencintai seseorang.
Dimasa lalu aku berkali-kali merasakan kehilangan. Berkali-kali patah hati. Berkali-kali bangkit dan jatuh lagi. Semua itu mampu kulewati dalam hitungan hari. Namun sekarang, semua berbeda. Mungkin karena aku yang terlalu mencintai Dinda, sehingga cinta itulah yang menyiksaku berpuluh-puluh malam.

Tak terhitung berapa banyak malam yang kulalui, dengan kepingan hati yang hancur berserakan. Tak terhitung berapa banyak waktu yang kubutuhkan untuk bangkit. Tak tahu seberapa banyak air mata ini jatuh menetes mengenang malam itu. Dan tak terukur seberapa sulit dan seberapa besar usahaku melupakan semuanya namun tak kunjung membuahkan hasil.
Namun, patah hati pasti punya tenggang waktu. Punya batas. Akan ada obat yang mampu menyembuhkan. Setelah terlalu lama terpuruk, akhirnya aku bisa bangkit. Menjalani kehidupanku yang sekarang. Bertemu dengan seseorang baru.

“Sometimes it lasts in love but sometimes it hurt instead”
Adele – Someone Like You
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.