- Beranda
- Stories from the Heart
PURI KERAMAT
...
TS
breaking182
PURI KERAMAT
PURI KERAMAT
Quote:

SINOPSIS
Quote:
Berawal dari kematian Ario Keling seorang keturunan bangsawan di masa kerajaan Mataram. Ke empat anaknya beserta dua menantunya datang ke desa Kemulan untuk menghadiri prosesi pemakaman. Suatu desa terpencil yang terletak di lereng Gunung Merapi dan selalu berselimutan kabut. Inka salah satu menantu Ario Keling merasakan ada keganjilan pada saat akan memasuki pintu gerbang puri. Ia melihat sesosok bangsawan di atas punggung kuda besar dengan dua dayang pengiring. Tidak sampai disitu saja, satu hari sebelum pemakaman Ario Keling. Suaminya yang bernama Nagara atau anak sulung Ario Keling tiba –tiba lenyap tidak berbekas secara misterius. Dari situlah rentetan peristiwa berdarah di mulai. Apakah pelakunya Nagara karena ingin menguasai harta warisan yang tersimpan di dalam puri itu? Dan siapakah yang akan keluar dari puri itu hidup – hidup?
Quote:
INDEKS
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
TAMAT
Diubah oleh breaking182 27-02-2019 10:49
mincli69 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
14.6K
Kutip
71
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#31
PART 14
Quote:
Ada sepotong kepala manusia, dari boneka karet. Dan apa yang tergeletak di ambang pintu gerbang, bukanlah sebuah boneka karet semata. Bulu kuduk Bramasta mulai meremang, ketika matanya ia kerjap - kerjapkan lalu dibuka lagi lebih lebar. Dan tampaklah makin jelas di atas genangan air lumpur, sesosok kepala.
Rambutnya panjang, tebal, acak acakan, dan basah kuyup tak karuan. Kepala itu tanpa tubuh. Dan dari leher yang terputus, jelas masih tampak tetes-tetes darah . Lalu, wajah. Jelas sekali, karena wajah itu menghadap lurus ke arah sinar lampu mobil. Itu adalah wajah...
" Nanda," bisik Bramasta, tercekat. Kelu.
Dan Nanda tengah menatap ke arahnya. Dengan pandangan marah dan buas. Bramasta bereaksi seketika. Terdengar bunyi derit berisik dan kasar, sewaktu telapak tangan kiri Bramasta menghentakkan tongkat persnelling. Dipindahkan ke gigi mundur. Hampir bersamaan waktu, kakinya dengan keras menginjak pedal gas.
Mobil yang dikendarai Bramasta seketika itu juga terlompat mundur dengan kecepatan nyaris tidak terkendali. Perhatiannya pun terpecah dua pula. Pada jalan di belakang, untuk melarikan diri.
Dan ke arah pintu gerbang. Jalan menuju puri sedikit menikung ke kanan. Tikungannya panjang. Jalan pun cukup lebar untuk dilalui dengan aman, walaupun mobil dalam posisi mundur. Namun, panik sudah menguasai pikiran dan seluruh panca indera Bramasta. Ia mengambil tikungan terlalu tajam, sehingga ban belakang mobil meluncur ke luar dari garis pinggir jalan. Gerak mundurnya yang cepat, membantu ban untuk melompati parit yang ada di tepi jalan.
Mobil terasa oleng. Bramasta otomatis melepaskan pedal gas dari injakan kaki kanannya. Berpindah ke pedal rem. Ia sedikit terlambat. Mobil terhentak berhenti, menyusul terdengarnya bunyi benturan keras ketika bagian belakang mobil itu menghantam batang pohon terdekat. Bramasta sedikitpun tidak memperhatikan apalagi menyesali kecerobohannya. Di kepalanya hanya ada keinginan dan pikiran untuk melarikan diri. Sejauh mungkin dari kepala Nanda yang mengerikan itu.
Tongkat persnelling ia hentak pindah ke gigi satu, sembari memutar setir sedapat – dapatnya untuk masuk kembali ke badan dan sekaligus melaju ke depan, menuju puri yang tinggal beberapa ratus meter lagi. Saking panik. Ban yang dipaksa berubah arah dan dengan putaran tinggi pula, seketika melejit di rerumputan yang basah berlumpur. Untuk sepersekian detik gerak laju ban masih normal, lalu pada persekian detik berikutnya selip. Dan akhirnya terperosok ke dalam parit dengan sisi - sisi bertembok bebatuan.
Ban belakang yang terperosok itu pun lantas tergantung tanpa daya. Putarannya yang masih tinggi memuncratkan aliran air berlumpur di bawahnya. Suaranya begitu riuh rendah, ditingkahi pula oleh sorak sorai badai yang terus saja membahana. Akal sehat Bramasta lenyaplah sudah. Ia tak mampu lagi menguasai kombinasi tongkat persnelling, gas, dan kopling. Lalu dengan suatu sentakan teramat kasar getaran mobil berhenti.
Mesinpun bungkam mendadak. Yang tinggal hanya uap panas mesin yang masuk ke kabin dalam. Membawa serta sengitnya bau ban yang aus. Setelah itu, disusul oleh kesunyian yang menekan. Bramasta terengah. Ia pentang matanya lebar - lebar. Melihat ke arah pintu gerbang. Kemudian pada kegelapan di sekitarnya. Dan serpihan - serpihan hujan yang menampar nampar kaca, seakan berusaha memecahkannya.
Bramasta tak tahan menunggu. Siksaan mental melecut nalurinya untuk menghambur ke luar dari dalam mobil. Setelah mana ia langsung ambil langkah seribu menuju puri. Sambil menjerit-jerit histeris. Jeritan yang hanya sampai di kerongkongan, akibat lidah yang membeku, kelu. Bramasta berlari, belum pernah secepat itu. Seraya membayangkan, kepala Nanda mengejar di belakangnya. Siap untuk menerkam.
Rambutnya panjang, tebal, acak acakan, dan basah kuyup tak karuan. Kepala itu tanpa tubuh. Dan dari leher yang terputus, jelas masih tampak tetes-tetes darah . Lalu, wajah. Jelas sekali, karena wajah itu menghadap lurus ke arah sinar lampu mobil. Itu adalah wajah...
" Nanda," bisik Bramasta, tercekat. Kelu.
Dan Nanda tengah menatap ke arahnya. Dengan pandangan marah dan buas. Bramasta bereaksi seketika. Terdengar bunyi derit berisik dan kasar, sewaktu telapak tangan kiri Bramasta menghentakkan tongkat persnelling. Dipindahkan ke gigi mundur. Hampir bersamaan waktu, kakinya dengan keras menginjak pedal gas.
Mobil yang dikendarai Bramasta seketika itu juga terlompat mundur dengan kecepatan nyaris tidak terkendali. Perhatiannya pun terpecah dua pula. Pada jalan di belakang, untuk melarikan diri.
Dan ke arah pintu gerbang. Jalan menuju puri sedikit menikung ke kanan. Tikungannya panjang. Jalan pun cukup lebar untuk dilalui dengan aman, walaupun mobil dalam posisi mundur. Namun, panik sudah menguasai pikiran dan seluruh panca indera Bramasta. Ia mengambil tikungan terlalu tajam, sehingga ban belakang mobil meluncur ke luar dari garis pinggir jalan. Gerak mundurnya yang cepat, membantu ban untuk melompati parit yang ada di tepi jalan.
Mobil terasa oleng. Bramasta otomatis melepaskan pedal gas dari injakan kaki kanannya. Berpindah ke pedal rem. Ia sedikit terlambat. Mobil terhentak berhenti, menyusul terdengarnya bunyi benturan keras ketika bagian belakang mobil itu menghantam batang pohon terdekat. Bramasta sedikitpun tidak memperhatikan apalagi menyesali kecerobohannya. Di kepalanya hanya ada keinginan dan pikiran untuk melarikan diri. Sejauh mungkin dari kepala Nanda yang mengerikan itu.
Tongkat persnelling ia hentak pindah ke gigi satu, sembari memutar setir sedapat – dapatnya untuk masuk kembali ke badan dan sekaligus melaju ke depan, menuju puri yang tinggal beberapa ratus meter lagi. Saking panik. Ban yang dipaksa berubah arah dan dengan putaran tinggi pula, seketika melejit di rerumputan yang basah berlumpur. Untuk sepersekian detik gerak laju ban masih normal, lalu pada persekian detik berikutnya selip. Dan akhirnya terperosok ke dalam parit dengan sisi - sisi bertembok bebatuan.
Ban belakang yang terperosok itu pun lantas tergantung tanpa daya. Putarannya yang masih tinggi memuncratkan aliran air berlumpur di bawahnya. Suaranya begitu riuh rendah, ditingkahi pula oleh sorak sorai badai yang terus saja membahana. Akal sehat Bramasta lenyaplah sudah. Ia tak mampu lagi menguasai kombinasi tongkat persnelling, gas, dan kopling. Lalu dengan suatu sentakan teramat kasar getaran mobil berhenti.
Mesinpun bungkam mendadak. Yang tinggal hanya uap panas mesin yang masuk ke kabin dalam. Membawa serta sengitnya bau ban yang aus. Setelah itu, disusul oleh kesunyian yang menekan. Bramasta terengah. Ia pentang matanya lebar - lebar. Melihat ke arah pintu gerbang. Kemudian pada kegelapan di sekitarnya. Dan serpihan - serpihan hujan yang menampar nampar kaca, seakan berusaha memecahkannya.
Bramasta tak tahan menunggu. Siksaan mental melecut nalurinya untuk menghambur ke luar dari dalam mobil. Setelah mana ia langsung ambil langkah seribu menuju puri. Sambil menjerit-jerit histeris. Jeritan yang hanya sampai di kerongkongan, akibat lidah yang membeku, kelu. Bramasta berlari, belum pernah secepat itu. Seraya membayangkan, kepala Nanda mengejar di belakangnya. Siap untuk menerkam.
Quote:
KARTA meluruskan punggungnya di kursi. Kepalanya tegak. Sedikit ditelengkan ke arah jendela. Seraya berdesah samar.
"Suara suara tadi di luar sana!"
"Hanya badai, Pak Karta..."
"Rasanya bukan ..."
Suara-suara aneh yang tadi di dengar Karta di luar sana, sudah menghilang kini. Karta kembali melihat ke arah gadis yang sedang gelisah di depannya.
Karta kembali meluruskan duduknya. Mendengarkan dengan seksama. Muncul lagi suara suara. Yang ini berbeda. Dan terdengar cukup dekat dengan mereka. Itu adalah suara langkah berlari - lari Bramasta yang melompat naik ke beranda. Namun tidak untuk berhenti. Kecuali untuk membanting pintu menutup keras di belakangnya. Setelah itu, kembali ia lari langkah seribu. Menuju ke ruang duduk. Dengan nafas terputus putus, dan wajah masih membayangkan panik campur ngeri.
"Suara suara tadi di luar sana!"
"Hanya badai, Pak Karta..."
"Rasanya bukan ..."
Suara-suara aneh yang tadi di dengar Karta di luar sana, sudah menghilang kini. Karta kembali melihat ke arah gadis yang sedang gelisah di depannya.
Karta kembali meluruskan duduknya. Mendengarkan dengan seksama. Muncul lagi suara suara. Yang ini berbeda. Dan terdengar cukup dekat dengan mereka. Itu adalah suara langkah berlari - lari Bramasta yang melompat naik ke beranda. Namun tidak untuk berhenti. Kecuali untuk membanting pintu menutup keras di belakangnya. Setelah itu, kembali ia lari langkah seribu. Menuju ke ruang duduk. Dengan nafas terputus putus, dan wajah masih membayangkan panik campur ngeri.
Quote:
Di lantai atas, Inka menggeliat di tempat tidurnya. Siapa yang membuka lalu membantingkan pintu begitu kasar. Matanya dipejamkan lagi. Pinggangnya pun masih terasa sakit, sehabis menerima terjangan lutut Anita yang membabi buta.
Mulutnya merintih: "Mas Gara pulanglah dan segera bawa aku pergi dari sini ..."
Di kamar satunya lagi, yang letaknya berseberangan dan dibatasi dua pintu lain, Jakapun menggeliat dalam tidurnya. Ia masih tertidur. Karena shock. Dan di kamar duduk, Karta dan Anita berpaling serempak ke arah pintu masuk. Di ambang pintu, tampak berdiri sesosok tubuh yang penampilannya tidak karuan. Rona di wajahnya, lebih tidak karuan lagi. Sekujur sosok tubuh itu bergemetar hebat. Suaranya hampir-hampir tak jelas, karena saling dahulu mendahului dengan bunyi nafasnya yang terputus-putus.
Bramasta mengerang. "Dia ada di sana ..."
Karta bangkit. Mendatangi.
"Dia siapa, Den Bramasta?"
"Nanda. Dia ...." Bramasta melihat botol minuman di meja dekat Anita.
"Berikan itu padaku. Tolonglah ..."
Anita hanya duduk mematung. Jangankan untuk bergerak. Mengatur nafas saja pun ia hampir tak mampu. Jantungnya sudah terlanjur serasa hampir copot, karena penampilan Bramasta yang begitu mengejutkan. Belum lagi, wajah suaminya itu bak habis dikejar hantu. Seakan semua itu belum cukup. Bramasta meneror pula dengan pemberitahuannya.
" Dia ada di sana. Nanda!"
“ Bukankah mereka bilang, Nanda sudah mati? Kau jangan mengada –ada Bram!"
“ Mari kutolong melepas mantelmu," kata Karta, tenang, sembari mengangsurkan sebotol minuman kepada Bramasta yang bergemetaran.
"Kau telah membuat Anita ketakutan. Kau hanya salah lihat, bukan?"
Bramasta tampaknya ingin menjerit. Namun yang terlontar dari mulutnya hanya keluhan tersedak:
"Dia menungguku. Di pintu gerbang. Dia bahkan ...."
Bramasta bergidik seram, kemudian melangkah terhuyung huyung ke dekat tungku pemanas. Lutut sudah tak kuat lagi menahan bobot tubuhnya. Di depan tungku itu, Bramasta pun jatuh bersimpuh. Bahkan hampir tersuruk ke api tungku yang menyala, jika tangan Karta tak keburu menahan. Bramasta memegangi botol dengan ke dua telapak tangannya, berusaha mendekatkan ke mulutnya.
Tetapi ia gagal.
Karta agaknya yakin Bramasta bukan mengada - ada.
"Aku akan pergi memeriksanya," ia berkata, lalu dengan cepat ia sudah menghilang dari ruangan itu. Lenyapnya orangtua itu menyebabkan Anita pun tersentak gelisah. Sesaat kemudian, ia dengar suara orang mengisak. Anita berpaling. Dan melihat pundak Bramasta terguncang guncang.
Lantas tiba-tiba Anita menyadari, bahwa ia baru dalam taraf mendengar saja. Benar Anita tidak lagi melihat Nanda semenjak Nanda pergi mengantar jenasah ayah mereka ke pemakaman. Tetapi itu belum membuktikan bahwa Nanda sudah mati. Anita harus melihatnya dengan mata kepala sendiri. Selain itu, ia juga terdorong ingin tahu. Jika memang benar Nanda sudah mati, apa pula penyebab kematiannya.
Berpikir sampai di situ, Anita pun bangkit dari duduknya.
"Bodoh benar aku ini!," terlontar gumam tak sadar dari mulutnya.
"Belum apa apa, sudah ketakutan!"
Bramasta mendengar Anita. Ia berpaling cepat.
"Jangan pergi ke sana, Anita ..." ujarnya, cemas.
Anita terus saja menuju pintu.
"Apa perdulimu"!"
"Kau harus tetap di sini. Aku.....," Bramasta melirik ke sekitar ruangan.
Berhenti agak lama, mengawasi jendela, mendengarkan bunyi bunyi berdesah dan bersiutnya hujan badai.
Tetapi ketika ia berpaling lagi, Anita sudah tak tampak di dekatnya. Terdorong panik dan takut, Bramasta menghambur ke pintu. Menutupnya dengan bantingan keras.
Lalu menjerit ke arah menghilangnya Anita:
"Terkutuklah kau, Anita! Semoga saja bukan aku -tetapi kaulah yang diterkamnya! Kau dengar itu, Anita !"
Anita mendengarnya. Dan bukannya ketakutan. Ia malah terhina karenanya. Yang justru menambah keberanian Anita. Dari melangkah, ia kemudian berlari-lari kecil. Menuju pintu depan yang tampak baru saja di tutupkan dari luar oleh seseorang. Anita lebih bersemangat lagi setelah yakin bahwa Karta belum terlalu jauh meninggalkannya.
Cepat - cepat Anita menyambar sebuah mantel yang tergantung pada kapstok dekat pintu. Mantel itu basah. Jelas bekas dipergunakan sebelumnya.
Mulutnya merintih: "Mas Gara pulanglah dan segera bawa aku pergi dari sini ..."
Di kamar satunya lagi, yang letaknya berseberangan dan dibatasi dua pintu lain, Jakapun menggeliat dalam tidurnya. Ia masih tertidur. Karena shock. Dan di kamar duduk, Karta dan Anita berpaling serempak ke arah pintu masuk. Di ambang pintu, tampak berdiri sesosok tubuh yang penampilannya tidak karuan. Rona di wajahnya, lebih tidak karuan lagi. Sekujur sosok tubuh itu bergemetar hebat. Suaranya hampir-hampir tak jelas, karena saling dahulu mendahului dengan bunyi nafasnya yang terputus-putus.
Bramasta mengerang. "Dia ada di sana ..."
Karta bangkit. Mendatangi.
"Dia siapa, Den Bramasta?"
"Nanda. Dia ...." Bramasta melihat botol minuman di meja dekat Anita.
"Berikan itu padaku. Tolonglah ..."
Anita hanya duduk mematung. Jangankan untuk bergerak. Mengatur nafas saja pun ia hampir tak mampu. Jantungnya sudah terlanjur serasa hampir copot, karena penampilan Bramasta yang begitu mengejutkan. Belum lagi, wajah suaminya itu bak habis dikejar hantu. Seakan semua itu belum cukup. Bramasta meneror pula dengan pemberitahuannya.
" Dia ada di sana. Nanda!"
“ Bukankah mereka bilang, Nanda sudah mati? Kau jangan mengada –ada Bram!"
“ Mari kutolong melepas mantelmu," kata Karta, tenang, sembari mengangsurkan sebotol minuman kepada Bramasta yang bergemetaran.
"Kau telah membuat Anita ketakutan. Kau hanya salah lihat, bukan?"
Bramasta tampaknya ingin menjerit. Namun yang terlontar dari mulutnya hanya keluhan tersedak:
"Dia menungguku. Di pintu gerbang. Dia bahkan ...."
Bramasta bergidik seram, kemudian melangkah terhuyung huyung ke dekat tungku pemanas. Lutut sudah tak kuat lagi menahan bobot tubuhnya. Di depan tungku itu, Bramasta pun jatuh bersimpuh. Bahkan hampir tersuruk ke api tungku yang menyala, jika tangan Karta tak keburu menahan. Bramasta memegangi botol dengan ke dua telapak tangannya, berusaha mendekatkan ke mulutnya.
Tetapi ia gagal.
Karta agaknya yakin Bramasta bukan mengada - ada.
"Aku akan pergi memeriksanya," ia berkata, lalu dengan cepat ia sudah menghilang dari ruangan itu. Lenyapnya orangtua itu menyebabkan Anita pun tersentak gelisah. Sesaat kemudian, ia dengar suara orang mengisak. Anita berpaling. Dan melihat pundak Bramasta terguncang guncang.
Lantas tiba-tiba Anita menyadari, bahwa ia baru dalam taraf mendengar saja. Benar Anita tidak lagi melihat Nanda semenjak Nanda pergi mengantar jenasah ayah mereka ke pemakaman. Tetapi itu belum membuktikan bahwa Nanda sudah mati. Anita harus melihatnya dengan mata kepala sendiri. Selain itu, ia juga terdorong ingin tahu. Jika memang benar Nanda sudah mati, apa pula penyebab kematiannya.
Berpikir sampai di situ, Anita pun bangkit dari duduknya.
"Bodoh benar aku ini!," terlontar gumam tak sadar dari mulutnya.
"Belum apa apa, sudah ketakutan!"
Bramasta mendengar Anita. Ia berpaling cepat.
"Jangan pergi ke sana, Anita ..." ujarnya, cemas.
Anita terus saja menuju pintu.
"Apa perdulimu"!"
"Kau harus tetap di sini. Aku.....," Bramasta melirik ke sekitar ruangan.
Berhenti agak lama, mengawasi jendela, mendengarkan bunyi bunyi berdesah dan bersiutnya hujan badai.
Tetapi ketika ia berpaling lagi, Anita sudah tak tampak di dekatnya. Terdorong panik dan takut, Bramasta menghambur ke pintu. Menutupnya dengan bantingan keras.
Lalu menjerit ke arah menghilangnya Anita:
"Terkutuklah kau, Anita! Semoga saja bukan aku -tetapi kaulah yang diterkamnya! Kau dengar itu, Anita !"
Anita mendengarnya. Dan bukannya ketakutan. Ia malah terhina karenanya. Yang justru menambah keberanian Anita. Dari melangkah, ia kemudian berlari-lari kecil. Menuju pintu depan yang tampak baru saja di tutupkan dari luar oleh seseorang. Anita lebih bersemangat lagi setelah yakin bahwa Karta belum terlalu jauh meninggalkannya.
Cepat - cepat Anita menyambar sebuah mantel yang tergantung pada kapstok dekat pintu. Mantel itu basah. Jelas bekas dipergunakan sebelumnya.
Quote:
SUNGGUH, obat yang mujarab! Pening di kepala, perih di tulang pipi, ngilu di pinggang. Semua seakan menghilang begitu Inka melihat Bramasta telah memacu mobil meninggalkan puri untuk menjemput Nagara!
Dari jendela kamarnya, Inka terus mengawasi dengan penuh harap mobil itu berlalu menerobos hujan badai dengan lampu-lampu terpasang. Di belokan dekat garasi, lampu lampu itu tampak menghilang beberapa saat di balik rimbunan mawar dan pepohonan sekitarnya. Pasti Bramasta berhenti sejenak, mengawasi garasi yang masih terbakar. Lalu kelihatan muncul lagi, mendekati pintu gerbang. Di kejauhan, ia lihat lampu - lampu mobil seakan berhenti maju. Apakah Bramasta turun dulu, untuk membuka pintu gerbang?
Inka lebih merapatkan wajah ke jendela. Berusaha melihat lebih jelas di antara cuaca buruk yang nyaris menggelapkan pandang. Lalu tampak olehnya lampu mobil berpendar - pendar tidak menentu. Sepertinya bergerak mundur, untuk kemudian menghilang lagi setiba di belokan tadi. Samar - samar Inka mendengar bunyi mesin mobil bergerung gerung sayup, kemudian suara itu pun lenyap secara aneh.
Inka mengurut dada. Kuatir.
Lalu ia lihat sosok tubuh berlari lari di bawah hujan, menuju pintu depan puri. Ia merasa pasti itu adalah Bramasta. Dan larinya cepat sekali. Mengapa ia kembali?
Barangkali ada sesuatu yang terlupakan olehnya. Tetapi untuk itu Bramasta mestinya tak perlu meninggalkan mobil. Ban selip, itulah jawabannya. Terperosok di selokan, dan Bramasta agaknya membutuhkan bantuan seseorang untuk mengembalikan mobil ke tempat yang semestinya.
Perasaan kuatir Inka, mau tidak mau mempengaruhi apa yang sebelumnya sempat menghilang. Peningnya datang.
Luka baret bekas cakaran Anita di tulang pipinya, berdenyut. Pinggangnya pun bagai enggan dipaksa bergerak, sewaktu Inka berjalan menuju pintu. Ia harus tahu apa yang terjadi. Dan untuk itu ia harus bertemu dengan Bramasta.
Tetapi setelah pintu kamar dibuka dan Inka menunggu sejenak, ternyata Bramasta tidak naik ke lantai atas. Inka pun lantas beranjak menuju tangga di samping balkon. Ia baru saja akan turun ke bawah sewaktu ia dengar suara percakapan yang tak jelas. Inka pun lantas teringat, Anita ada di bawah sana. Anita, yang beberapa saat berselang, berniat menikamnya dengan pisau.
Maka Inka pun memutar langkah menuju tangga satunya lagi, yang turun ke lantai utama. Di sanalah lebih baik ia menunggu. Semoga saja Bramasta muncul sendirian, atau mungkin juga didampingi Karta. Tetapi bagaimana jika Anita memaksa ikut dengan mereka.
Inka sudah tiba di lantai bawah, ketika ia dengar langkah - langkah mendatangi dari arah lorong tengah. Sebelum dapat memastikan siapa yang akan dia hadapi, sewajarnya Inka tidak langsung menampakkan diri. Tetapi untuk naik kembali ke atas, sudah terlambat. Tanpa membuang tempo, Inka pun menyelinap ke samping bawah tangga. Bersembunyi di balik bayangan sebuah guci kuno besar dan tingginya sebatas bahu orang dewasa berdiri.
Inka menggigil karena serbuan angin keras dari pintu depan, yang agaknya lupa ditutupkan kembali oleh Bramasta. Langkah langkah itu kini memutari bawah tangga di seberang tempat persembunyian Inka. Ternyata yang muncul itu Karta.Herannya, ia hanya sendirian. Langkahnya terburu- buru. Dengan wajah tegang pula.
Ke mana Bramasta," Apa yang terjadi sebenarnya?"
Inka masih bingung, ketika Karta sudah berada di luar pintu. Orangtua itu pun sudah akan menutupkan pintu dan luar. Inka belum habis mengerti sewaktu ia dengar lagi langkah kaki yang lain. Yang ini, setengah berlari lari. Lalu dari lorong yang sama, muncullah Anita. Inka semakin mepet ke tembok. Perempuan itu lantas menyambar mantel yang tergantung di kapstok mengenakan dengan cepat lalu ke luar tanpa menutup pintu lagi.
Dari jendela kamarnya, Inka terus mengawasi dengan penuh harap mobil itu berlalu menerobos hujan badai dengan lampu-lampu terpasang. Di belokan dekat garasi, lampu lampu itu tampak menghilang beberapa saat di balik rimbunan mawar dan pepohonan sekitarnya. Pasti Bramasta berhenti sejenak, mengawasi garasi yang masih terbakar. Lalu kelihatan muncul lagi, mendekati pintu gerbang. Di kejauhan, ia lihat lampu - lampu mobil seakan berhenti maju. Apakah Bramasta turun dulu, untuk membuka pintu gerbang?
Inka lebih merapatkan wajah ke jendela. Berusaha melihat lebih jelas di antara cuaca buruk yang nyaris menggelapkan pandang. Lalu tampak olehnya lampu mobil berpendar - pendar tidak menentu. Sepertinya bergerak mundur, untuk kemudian menghilang lagi setiba di belokan tadi. Samar - samar Inka mendengar bunyi mesin mobil bergerung gerung sayup, kemudian suara itu pun lenyap secara aneh.
Inka mengurut dada. Kuatir.
Lalu ia lihat sosok tubuh berlari lari di bawah hujan, menuju pintu depan puri. Ia merasa pasti itu adalah Bramasta. Dan larinya cepat sekali. Mengapa ia kembali?
Barangkali ada sesuatu yang terlupakan olehnya. Tetapi untuk itu Bramasta mestinya tak perlu meninggalkan mobil. Ban selip, itulah jawabannya. Terperosok di selokan, dan Bramasta agaknya membutuhkan bantuan seseorang untuk mengembalikan mobil ke tempat yang semestinya.
Perasaan kuatir Inka, mau tidak mau mempengaruhi apa yang sebelumnya sempat menghilang. Peningnya datang.
Luka baret bekas cakaran Anita di tulang pipinya, berdenyut. Pinggangnya pun bagai enggan dipaksa bergerak, sewaktu Inka berjalan menuju pintu. Ia harus tahu apa yang terjadi. Dan untuk itu ia harus bertemu dengan Bramasta.
Tetapi setelah pintu kamar dibuka dan Inka menunggu sejenak, ternyata Bramasta tidak naik ke lantai atas. Inka pun lantas beranjak menuju tangga di samping balkon. Ia baru saja akan turun ke bawah sewaktu ia dengar suara percakapan yang tak jelas. Inka pun lantas teringat, Anita ada di bawah sana. Anita, yang beberapa saat berselang, berniat menikamnya dengan pisau.
Maka Inka pun memutar langkah menuju tangga satunya lagi, yang turun ke lantai utama. Di sanalah lebih baik ia menunggu. Semoga saja Bramasta muncul sendirian, atau mungkin juga didampingi Karta. Tetapi bagaimana jika Anita memaksa ikut dengan mereka.
Inka sudah tiba di lantai bawah, ketika ia dengar langkah - langkah mendatangi dari arah lorong tengah. Sebelum dapat memastikan siapa yang akan dia hadapi, sewajarnya Inka tidak langsung menampakkan diri. Tetapi untuk naik kembali ke atas, sudah terlambat. Tanpa membuang tempo, Inka pun menyelinap ke samping bawah tangga. Bersembunyi di balik bayangan sebuah guci kuno besar dan tingginya sebatas bahu orang dewasa berdiri.
Inka menggigil karena serbuan angin keras dari pintu depan, yang agaknya lupa ditutupkan kembali oleh Bramasta. Langkah langkah itu kini memutari bawah tangga di seberang tempat persembunyian Inka. Ternyata yang muncul itu Karta.Herannya, ia hanya sendirian. Langkahnya terburu- buru. Dengan wajah tegang pula.
Ke mana Bramasta," Apa yang terjadi sebenarnya?"
Inka masih bingung, ketika Karta sudah berada di luar pintu. Orangtua itu pun sudah akan menutupkan pintu dan luar. Inka belum habis mengerti sewaktu ia dengar lagi langkah kaki yang lain. Yang ini, setengah berlari lari. Lalu dari lorong yang sama, muncullah Anita. Inka semakin mepet ke tembok. Perempuan itu lantas menyambar mantel yang tergantung di kapstok mengenakan dengan cepat lalu ke luar tanpa menutup pintu lagi.
Quote:
KERIUT pintu kayu yang berat dan tinggi itu, menyadarkan Inka dari kejutan mental. Guntur menggemuruh sayup sayup. Tiupan angin ke dalam ruangan, seperti ikut pula menjauh. Namun lewat pintu yang terbuka, tampak hujan di luar masuh terus mengamuk. Inka tidak patut berpangku tangan saja.
Maka Inka pun bergerak meninggalkan tempat persembunyiannya. Cepat ia pergi ke pintu. Tak ada mantel atau payung. Untuk mencarinya, ia tak tahu di mana tersimpan. Dan belum tentu ada yang masih tersisa untuk dipakai.
Sudah, Terobos sajalah !
Kepalang basah.
Maka Inka pun nekad berhujan-hujan. Dan sempat merasa heran. Suhu air hujan yang menerpa sekujur tubuhnya, ternyata tidak semembekukan yang ia perkirakan. Ia kuyup dan dingin, itu sudah jelas. Tetapi curah hujan yang terus tumpah dari langit kelam itu, tidak terlalu dikuatirkan benar lagi oleh Inka. Inka pun berlari.
Tanpa merasa pasti, ke arah mana ia harus berlari. Telusuri.saja jalan yang basah itu dan berharap akan melihat orang orang yang disusulnya, ia temukan di suatu tempat. Mudah mudahan saja, sebelum pintu gerbang .Kesananya, Inka tak yakin akan terus atau tidak. Anita lebih dulu tiba dari Inka. Ia lihat Pak Karta memungut sesuatu dari ambang pintu gerbang yang memang terbuka. Orangtua itu sepertinya tidak tahu kehadiran Anita.
Dan memang Anita pun Tiba - tiba bimbang, apakah ia terus saja atau lebih baik menunggu. Siapa tahu, Nanda memang sudah mati. Dari cara kematiannya. Anita teringat pada gambaran sosok almarhum ayahnya di dalam peti mati. Membuat Anita merinding sendiri.
Ia melirik ke mobil yang ban belakangnya masuk ke selokan. Lampu lampu depannya menyala terang benderang. Agaknya Bramasta lupa memadamkan. Diterangi sinar lampu mobil, Anita melihat Karta bergerak beberapa belas meter di depannya. Dari pintu gerbang menuju ke samping garasi. Ada sebuah benda di sana. Sepertinya sebuah ember kayu, entah apa yang dipungut Pak Karta dari pintu gerbang lalu di bawa ke arahnya. Anita pun sudah mencari cari dengan matanya.
Tak juga ia melihat adanya kehadiran Nanda. Pak Karta pun bergerak kian ke mari seperti tanpa perasaan, tanpa gambaran dukacita. Anita tiba - tiba membuka matanya lebar lebar. Itu terjadi, ketika orangtua itu lewat di atas rerumputan yang kebetulan tertangkap sinar lampu mobil. Dan tentu saja, semuanya tampak menjadi lebih jelas. Terjinjing di genggaman tangan Pak Karta, jelas rambut. Rambut tebal panjang yang melekat pada sebuah kepala. Kepala tanpa tubuh.
Seketika, sekujur tubuh Anita tegang membeku. Ketika Karta memasukkan apa yang ia jinjing ke ember kayu itu, sang kepala sedikit berputar arah. Sekejap cuma. Namun dalam waktu yang sekejap itu, Anita sudah dapat melihatnya .Melihat wajah sepasang mata terpentang, pudar dan mati. Dan mulut ternganga, bagai orang keheranan. Wajah yang seputih kertas itu, mata yang terpentang itu, mulut ternganga itu, semuanya adalah milik Nanda. Anita Cumiik tertahan. Kemudian jatuh terkulai di aspal jalan yang basah oleh genangan air.
Maka Inka pun bergerak meninggalkan tempat persembunyiannya. Cepat ia pergi ke pintu. Tak ada mantel atau payung. Untuk mencarinya, ia tak tahu di mana tersimpan. Dan belum tentu ada yang masih tersisa untuk dipakai.
Sudah, Terobos sajalah !
Kepalang basah.
Maka Inka pun nekad berhujan-hujan. Dan sempat merasa heran. Suhu air hujan yang menerpa sekujur tubuhnya, ternyata tidak semembekukan yang ia perkirakan. Ia kuyup dan dingin, itu sudah jelas. Tetapi curah hujan yang terus tumpah dari langit kelam itu, tidak terlalu dikuatirkan benar lagi oleh Inka. Inka pun berlari.
Tanpa merasa pasti, ke arah mana ia harus berlari. Telusuri.saja jalan yang basah itu dan berharap akan melihat orang orang yang disusulnya, ia temukan di suatu tempat. Mudah mudahan saja, sebelum pintu gerbang .Kesananya, Inka tak yakin akan terus atau tidak. Anita lebih dulu tiba dari Inka. Ia lihat Pak Karta memungut sesuatu dari ambang pintu gerbang yang memang terbuka. Orangtua itu sepertinya tidak tahu kehadiran Anita.
Dan memang Anita pun Tiba - tiba bimbang, apakah ia terus saja atau lebih baik menunggu. Siapa tahu, Nanda memang sudah mati. Dari cara kematiannya. Anita teringat pada gambaran sosok almarhum ayahnya di dalam peti mati. Membuat Anita merinding sendiri.
Ia melirik ke mobil yang ban belakangnya masuk ke selokan. Lampu lampu depannya menyala terang benderang. Agaknya Bramasta lupa memadamkan. Diterangi sinar lampu mobil, Anita melihat Karta bergerak beberapa belas meter di depannya. Dari pintu gerbang menuju ke samping garasi. Ada sebuah benda di sana. Sepertinya sebuah ember kayu, entah apa yang dipungut Pak Karta dari pintu gerbang lalu di bawa ke arahnya. Anita pun sudah mencari cari dengan matanya.
Tak juga ia melihat adanya kehadiran Nanda. Pak Karta pun bergerak kian ke mari seperti tanpa perasaan, tanpa gambaran dukacita. Anita tiba - tiba membuka matanya lebar lebar. Itu terjadi, ketika orangtua itu lewat di atas rerumputan yang kebetulan tertangkap sinar lampu mobil. Dan tentu saja, semuanya tampak menjadi lebih jelas. Terjinjing di genggaman tangan Pak Karta, jelas rambut. Rambut tebal panjang yang melekat pada sebuah kepala. Kepala tanpa tubuh.
Seketika, sekujur tubuh Anita tegang membeku. Ketika Karta memasukkan apa yang ia jinjing ke ember kayu itu, sang kepala sedikit berputar arah. Sekejap cuma. Namun dalam waktu yang sekejap itu, Anita sudah dapat melihatnya .Melihat wajah sepasang mata terpentang, pudar dan mati. Dan mulut ternganga, bagai orang keheranan. Wajah yang seputih kertas itu, mata yang terpentang itu, mulut ternganga itu, semuanya adalah milik Nanda. Anita Cumiik tertahan. Kemudian jatuh terkulai di aspal jalan yang basah oleh genangan air.
Quote:
Inka telah melihat lampu-lampu mobil. Kemudian, mobil itu sendiri. Paling kemudian lagi, ia melihat adanya gerakan seseorang tengah membungkuk di aspal. Ada seseorang tergeletak di situ dan yang membungkuk, jelas Karta. Tetapi yang tergeletak itu, Anita kah atau Nanda?
Inka mempercepat langkahnya. Karta mendengar. Lantas melihat.
Disusul keluhan lirih, " Tak kusangka, Anita akan menyusul ..."
Inka bertanya kembali, "Apayang terjadi Pak Karta?"
"Ia hanya pingsan ...."
Lalu dengan enteng sudah mengangkat tubuh Anita dengan sebelah tangannya, yang kemudian ia panggul dan dibiarkan terkulai di pundak.
"Ayolah, Mbak Inka kita kembali lagi ke puri . . ."
Karta kemudian melihat Inka yang basah kuyup. Si orangtua cepat sekali sudah membungkuk lagi. Tubuh Anita kembali berpindah ke aspal. Cepat sekali Karta sudah melepaskan mantelnya sendiri, ditangkupkan ke belakang Inka.
"Ini, Mbak. Jangan sampai kau masuk angin nanti!"
Ia kembali mengangkat tubuh Anita ke pundak, sementara Inka sempat bimbang, tetapi akhirnya mengenakan iuga mantel ke tubuhnya secara benar. Masih tetap kuyup dan dingin pada tubuh karena gaunnya yang basah , namun mantel itu sedikit memberi kehangatan juga. Terbersit niat untuk menanyakan tentang Nanda. Tetapi Karta sudah berlalu dari sampingnya. Inka pun memutar tubuh. Menyusul.
Ketika mereka jalan beriringan dan lewat di samping mobil yang memang bannya tersuruk masuk selokan, Inka berhenti.
"Mau apa, Mbak?", Karta ikut berhenti.
"Kupadamkan dulu lampu-lampunya. Bisa tekor akinya", jawab Inka seraya membungkuk ke dalam mobil.
Ia padamkan lampu lampu luar. Lampu dalam tetap menyala, karena pintu pintu masih terbuka. Dan lampu otomatis yang tetap menyala itu, telah memperlihatkan keanehan - keanehan yang lebih mengherankan Inka.
Kunci kontak menempel di tempatnya! Itu, belum apa-apa manakala Inka pun menyurukkan tubuh melewati sandaran jok depan.
“ Hei, apa ini ?"
Bingung, Inkah ke luar dari mobil. Lantas bertanya pada Karta: "Apakah Bapak yang menyimpannya ke dalam mobilku?"
"Menyimpan apa, Mbak?"
"Garpu besi. Dan sebuah sekop "
"Lho?"
Dengan Anita tetap terpanggul di pundaknya, Karta mendekati pintu belakang mobil. Inka mundur memberi jalan. Ia lihat orangtua itu cukup membungkuk sedikit saja, sudah tahu apa.yang dimaksud oleh Inka.
Terdengar ia berguman, sama herannya: "Ini 'kan mestinya ada di garasi ? Mengapa pula sudah ada di dalam mobil ini?"
Inka, yang saat itu berdiri cukup dekat dengan kap bagasi, dijalari perasaan tidak enak.
Terpikir seketika: lantas, siapa yang memasukkannya ke dalam mobil, jika bukan Karta Apakah sebelum pingsan, Anita telah .....?
Saat itulah, petir menyambar di langit. Cahaya menyilaukan menerpa sekitarnya. Inka setengah merunduk, menghindari silau secara refleks saja. Tanpa sengaja terlihat olehnya bumper belakang mobil pecah dan penyok tidak karuan. Pintu bagasi sampai setengah terangkat ke atas. Pasti copot dari kuncinya, akibat benturan keras.
Perasaan tak enak pun, lantas menjalar semakin hebat. Bukan karena mobil yang ringsek. Tetapi karena, matanya sempat menangkap sesuatu di antara celah-celah pintu bagasi. Sesuatu yang bentuknya ganjil, namun memberi wujud samar - samar yang seperti dikenali Inka.
"Apa itu di bagasi ", ia berucap tersedak.
"Mari kulihat, Mbak"
Lebih dulu Karta membaringkan Anita di jok mobil. Gadis itu hanya mengeluh sedikit, tetapi belum juga sadarkan diri. Karta menggeleng prihatin, terus bergerak menuju bagasi. Secara naluriah, Inka diam – diam mundur menjauh. Dengan jantung berdebur keras.
Lain halnya Karta. Gerakannya tetap enteng. Hanya dengan sedikit mendorong ke atas, kap penutup bagasi sudah menganga dengan leluasa. Curah hujan segera menyerbu ke bagasi yang terbuka. Pada sesosok tubuh yang meringkuk di dalamnya. Meringkuk dengan posisi terlipat. Kaku dan mati.
Inka mempercepat langkahnya. Karta mendengar. Lantas melihat.
Disusul keluhan lirih, " Tak kusangka, Anita akan menyusul ..."
Inka bertanya kembali, "Apayang terjadi Pak Karta?"
"Ia hanya pingsan ...."
Lalu dengan enteng sudah mengangkat tubuh Anita dengan sebelah tangannya, yang kemudian ia panggul dan dibiarkan terkulai di pundak.
"Ayolah, Mbak Inka kita kembali lagi ke puri . . ."
Karta kemudian melihat Inka yang basah kuyup. Si orangtua cepat sekali sudah membungkuk lagi. Tubuh Anita kembali berpindah ke aspal. Cepat sekali Karta sudah melepaskan mantelnya sendiri, ditangkupkan ke belakang Inka.
"Ini, Mbak. Jangan sampai kau masuk angin nanti!"
Ia kembali mengangkat tubuh Anita ke pundak, sementara Inka sempat bimbang, tetapi akhirnya mengenakan iuga mantel ke tubuhnya secara benar. Masih tetap kuyup dan dingin pada tubuh karena gaunnya yang basah , namun mantel itu sedikit memberi kehangatan juga. Terbersit niat untuk menanyakan tentang Nanda. Tetapi Karta sudah berlalu dari sampingnya. Inka pun memutar tubuh. Menyusul.
Ketika mereka jalan beriringan dan lewat di samping mobil yang memang bannya tersuruk masuk selokan, Inka berhenti.
"Mau apa, Mbak?", Karta ikut berhenti.
"Kupadamkan dulu lampu-lampunya. Bisa tekor akinya", jawab Inka seraya membungkuk ke dalam mobil.
Ia padamkan lampu lampu luar. Lampu dalam tetap menyala, karena pintu pintu masih terbuka. Dan lampu otomatis yang tetap menyala itu, telah memperlihatkan keanehan - keanehan yang lebih mengherankan Inka.
Kunci kontak menempel di tempatnya! Itu, belum apa-apa manakala Inka pun menyurukkan tubuh melewati sandaran jok depan.
“ Hei, apa ini ?"
Bingung, Inkah ke luar dari mobil. Lantas bertanya pada Karta: "Apakah Bapak yang menyimpannya ke dalam mobilku?"
"Menyimpan apa, Mbak?"
"Garpu besi. Dan sebuah sekop "
"Lho?"
Dengan Anita tetap terpanggul di pundaknya, Karta mendekati pintu belakang mobil. Inka mundur memberi jalan. Ia lihat orangtua itu cukup membungkuk sedikit saja, sudah tahu apa.yang dimaksud oleh Inka.
Terdengar ia berguman, sama herannya: "Ini 'kan mestinya ada di garasi ? Mengapa pula sudah ada di dalam mobil ini?"
Inka, yang saat itu berdiri cukup dekat dengan kap bagasi, dijalari perasaan tidak enak.
Terpikir seketika: lantas, siapa yang memasukkannya ke dalam mobil, jika bukan Karta Apakah sebelum pingsan, Anita telah .....?
Saat itulah, petir menyambar di langit. Cahaya menyilaukan menerpa sekitarnya. Inka setengah merunduk, menghindari silau secara refleks saja. Tanpa sengaja terlihat olehnya bumper belakang mobil pecah dan penyok tidak karuan. Pintu bagasi sampai setengah terangkat ke atas. Pasti copot dari kuncinya, akibat benturan keras.
Perasaan tak enak pun, lantas menjalar semakin hebat. Bukan karena mobil yang ringsek. Tetapi karena, matanya sempat menangkap sesuatu di antara celah-celah pintu bagasi. Sesuatu yang bentuknya ganjil, namun memberi wujud samar - samar yang seperti dikenali Inka.
"Apa itu di bagasi ", ia berucap tersedak.
"Mari kulihat, Mbak"
Lebih dulu Karta membaringkan Anita di jok mobil. Gadis itu hanya mengeluh sedikit, tetapi belum juga sadarkan diri. Karta menggeleng prihatin, terus bergerak menuju bagasi. Secara naluriah, Inka diam – diam mundur menjauh. Dengan jantung berdebur keras.
Lain halnya Karta. Gerakannya tetap enteng. Hanya dengan sedikit mendorong ke atas, kap penutup bagasi sudah menganga dengan leluasa. Curah hujan segera menyerbu ke bagasi yang terbuka. Pada sesosok tubuh yang meringkuk di dalamnya. Meringkuk dengan posisi terlipat. Kaku dan mati.
Diubah oleh breaking182 29-01-2019 21:01
pintokowindardi memberi reputasi
1
Kutip
Balas