- Beranda
- Stories from the Heart
PURI KERAMAT
...
TS
breaking182
PURI KERAMAT
PURI KERAMAT
Quote:

SINOPSIS
Quote:
Berawal dari kematian Ario Keling seorang keturunan bangsawan di masa kerajaan Mataram. Ke empat anaknya beserta dua menantunya datang ke desa Kemulan untuk menghadiri prosesi pemakaman. Suatu desa terpencil yang terletak di lereng Gunung Merapi dan selalu berselimutan kabut. Inka salah satu menantu Ario Keling merasakan ada keganjilan pada saat akan memasuki pintu gerbang puri. Ia melihat sesosok bangsawan di atas punggung kuda besar dengan dua dayang pengiring. Tidak sampai disitu saja, satu hari sebelum pemakaman Ario Keling. Suaminya yang bernama Nagara atau anak sulung Ario Keling tiba –tiba lenyap tidak berbekas secara misterius. Dari situlah rentetan peristiwa berdarah di mulai. Apakah pelakunya Nagara karena ingin menguasai harta warisan yang tersimpan di dalam puri itu? Dan siapakah yang akan keluar dari puri itu hidup – hidup?
Quote:
INDEKS
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
TAMAT
Diubah oleh breaking182 27-02-2019 10:49
mincli69 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
14.6K
Kutip
71
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#30
PART 13
Quote:
Gelisah memikirkan sang suami yang belum juga kembali, membuat waktu seperti berhenti berputar. Lama dan sangat menjemukan. Inka bangkit dengan resah. Menyimpan buku yang tadi dibacanya itu di atas meja. Tanpa maksud apa - apa, ia menyingkap tirai jendela dan melihat ke luar. Di antara curah hujan, samar-samar ia melihat adanya nyala sesuatu di kejauhan. Inka membuka lebar - lebar kelopak matanya.
" Oh... Oh. Itu adalah kebakaran. Garasi mobil!”
Inka sudah akan bergerak untuk memberitahu seisi penghuni puri, ketika matanya menangkap dua sosok tubuh lari berhujan-hujan mendekati puri. Inka menempelkan wajah ke jendela, supaya dapat melihat lebih jelas. Yang tinggi kurus, pasti lah Karta. Tetapi sosok satunya lagi.
“ Mas Gara?”
Inka melonjak kegirangan dan hati. Lantas ia pun memutar tubuh. Bergegas ke pintu. Dan sekaligus merenggutnya terbuka. Inka pun terperanjat ketika melihat sesosok tubuh lain berdiri tegak di luar pintu kamarnya dengan pisau terhunus. Siap menikam.
"Anita untuk apa pisau ...."
Inka tidak perlu melanjutkan pertanyaannya. Cukup dengan melihat sinar mata Anita, ia sudah tahu. Inka melangkah mundur. Pada saat gerakan mundurnya terhenti, lidah petir pun menyambar tiba -tiba di luar jendela. Sinarnya yang tajam menerpa ke dalam membuat silau mata.
Anita mengerjap-ngerjap, menghindari sengatan menyilaukan itu. Lalu ketika sengatan itu lenyap, tampak oleh Anita bayangan samar-samar bergerak cepat menuju ke arah tubuhnya. Inka sudah menyerbu ke depan. Memanfaat kan kelengahan Anita. Pergelangan tangan kanan Anita berhasil dicengkeram tangan Inka. Tetapi tubrukannya telah mendorong Anita sampai terjatuh ke lantai lorong. Anita pun terpekik, marah.
Malang bagi Inka. Ia terbawa jatuh. Tetapi sebelum tubuhnya mendarat di atas tubuh Anita, kepala Inka terlebih dahulu nyasar membentur tembok di seberang kamarnya. Kepalanya berdenyut – denyut pening dan pandangannya berkunang-kunang. Tetapi naluri ingin menyelamatkan jiwa tetap mengalir lewat tangannya, ia mencengkeram pergelangan tangan kanan Anita. Dalam keadaan pening akal sehat Inka masih bekerja normal. Cekalan pada pergelangan Anita tidak dilepaskan.
Anita pun kalap dibuatnya. Seraya menyumpah serapah, tangannya yang bebas ia pergunakan sebagai senjata untuk memukul, mencakar, menjambak. la tambah pula dengan gerakan kaki menendang-nendang. Tetapi tubuhnya tak lepas juga dari rangkulan tangan Inka yang lain. Anita pun menyerang membabi buta. Inka menghindar sedapat-dapatnya. Tetapi pukulan dan tendangan Anita membuatnya semakin lemah, kepalanya pun semakin pening pula. Sebaliknya, Anita makin kuat saja memberontak, seraya terus berusaha mendekatkan pisau di tangannya ke leher Inka.
Inka tiba-tiba merasakan sesuatu di pundaknya. Lalu satu tarikan kuat pada tubuhnya, yang kemudian naik menjauhi tubuh Anita. Pukulan maupun tendangan Anita menghilang. Namun sumpah serapahnya masih terdengar jelas.
Lalu terdengar suara lembut di telinganya: "Lepaskanlah tangan Anita, Inka. Kau aman sekarang!"
“ Mas Gara" Inka membuka matanya.
Dan samar-samar melihat ia melihat sesosok tubuh dan sebuah seringai. Seringai khas Bramasta. Inka melepaskan cengkeramannya, cengkeramannya lepas, karena ia sudah kehabisan tenaga. Ia merasakan tubuhnya mengulai. Lalu jatuh ke pelukan seseorang. Iajuga mendengar ada yang menangis tersedu - sedu. Kalau tak salah, yang menangis itu adalah Anita....
Pelan pelan Inka membuka matanya.
Memang Anita yang menangis itu dalam pelukan Karta yang berusaha membujuk dengan kata kata yang tak jelas tertangkap telinga Inka. Inka pun segera sadar ia berada dalam pelukan lelaki yang salah. Reflek ia menjauhkan diri. Bramasta tak keberatan. Seraya melipat lalu memasukkan pisau yang tadi ia rampas dari tangan Anita. diamankan ke saku celana,
Bramasta berkata terengah engah:
"Nanti saja kita bicarakan. Lebih baik masuk sajalah ke kamarmu, Inka. Kau perlu istirahat ..."
Inka menggeleng. Masih shock. Bramasta terpaksa membimbingnya ke dalam kamar. "Ayolah. Semuanya akan beres kembali!," Ujarnya tersenyum menghibur.
"Oh ya. Jangan lupa mengunci ini", seraya Bramasta menunjuk ke pintu, yang kemudian ia tutupkan sendiri dengan hati-hati.
Bramasta masih harus menunggu, sebelum terdengar bunyi terkletak pada lubang kunci. Baru setelah itu ia memutar tubuh. Dan memandang gusar ke arah Anita, yang masih sesenggukan di dada Karta. Bramasta melihat ke arah Karta, lantas berujar ketus:
"Semua ini harus segera dihentikan!"
Karta menjawab tanpa semangat:
"Dengan apa, Den Bram?"
"Begitu badai terkutuk ini mulai reda, kita semua harus meninggalkan puri. Tetapi sebelum itu, aku lebih dulu akan mencari lagi Nagara. Mungkin ia terjebak hujan badai dan bermalam di salah satu rumah penduduk desa Kemulan. Desa itu tidak terlalu luas, penduduknya juga tidak terlalu padat. Aku yakin sangat mudah untuk menemukannya “
"Akan ku jemput dia dengan mobil “
“ Oh ya, Anita. Kau dengar aku, Anita?!”
Terisak di dada Karta, Anita manggut - manggut tak bernafsu.
"Di mana kau menyimpan kunci mobilmu?"
Anita menjawab terbata-bata:
"Di kamar. Dalam laci meja"
Lantas kembali sesenggukan.
Ia cepat - cepat memutar tubuh. Tetapi menghentikannya begitu ia melihat Karta membawa Anita pergi dari tempat itu. Bramasta mengawasi orangtua itu dengan Anita ke tangga yang menuju ruang duduk di bawah. Wajahnya terasa tegang. Dengan perasaan masih tegang, ia meneruskan langkah menuju kamar yang ia tempati bersama Anita. Apa yang tadi ia tanya kan pada Anita, hanyalah sekedar basa basi. Tanpa bertanya pun ia sudah tahu, dan dengan mudah menemukan kunci mobil mereka.
Sebelum berjalan menuju tangga ke lantai utama, ia berhenti sejenak di depan pintu kamar Jaka. Tak terdengar suara apa-apa. Pasti Jaka sudah tertidur pulas. Tanpa mengetahui, sebuah nyawa lain hampir saja melayang sia sia!
" Oh... Oh. Itu adalah kebakaran. Garasi mobil!”
Inka sudah akan bergerak untuk memberitahu seisi penghuni puri, ketika matanya menangkap dua sosok tubuh lari berhujan-hujan mendekati puri. Inka menempelkan wajah ke jendela, supaya dapat melihat lebih jelas. Yang tinggi kurus, pasti lah Karta. Tetapi sosok satunya lagi.
“ Mas Gara?”
Inka melonjak kegirangan dan hati. Lantas ia pun memutar tubuh. Bergegas ke pintu. Dan sekaligus merenggutnya terbuka. Inka pun terperanjat ketika melihat sesosok tubuh lain berdiri tegak di luar pintu kamarnya dengan pisau terhunus. Siap menikam.
"Anita untuk apa pisau ...."
Inka tidak perlu melanjutkan pertanyaannya. Cukup dengan melihat sinar mata Anita, ia sudah tahu. Inka melangkah mundur. Pada saat gerakan mundurnya terhenti, lidah petir pun menyambar tiba -tiba di luar jendela. Sinarnya yang tajam menerpa ke dalam membuat silau mata.
Anita mengerjap-ngerjap, menghindari sengatan menyilaukan itu. Lalu ketika sengatan itu lenyap, tampak oleh Anita bayangan samar-samar bergerak cepat menuju ke arah tubuhnya. Inka sudah menyerbu ke depan. Memanfaat kan kelengahan Anita. Pergelangan tangan kanan Anita berhasil dicengkeram tangan Inka. Tetapi tubrukannya telah mendorong Anita sampai terjatuh ke lantai lorong. Anita pun terpekik, marah.
Malang bagi Inka. Ia terbawa jatuh. Tetapi sebelum tubuhnya mendarat di atas tubuh Anita, kepala Inka terlebih dahulu nyasar membentur tembok di seberang kamarnya. Kepalanya berdenyut – denyut pening dan pandangannya berkunang-kunang. Tetapi naluri ingin menyelamatkan jiwa tetap mengalir lewat tangannya, ia mencengkeram pergelangan tangan kanan Anita. Dalam keadaan pening akal sehat Inka masih bekerja normal. Cekalan pada pergelangan Anita tidak dilepaskan.
Anita pun kalap dibuatnya. Seraya menyumpah serapah, tangannya yang bebas ia pergunakan sebagai senjata untuk memukul, mencakar, menjambak. la tambah pula dengan gerakan kaki menendang-nendang. Tetapi tubuhnya tak lepas juga dari rangkulan tangan Inka yang lain. Anita pun menyerang membabi buta. Inka menghindar sedapat-dapatnya. Tetapi pukulan dan tendangan Anita membuatnya semakin lemah, kepalanya pun semakin pening pula. Sebaliknya, Anita makin kuat saja memberontak, seraya terus berusaha mendekatkan pisau di tangannya ke leher Inka.
Inka tiba-tiba merasakan sesuatu di pundaknya. Lalu satu tarikan kuat pada tubuhnya, yang kemudian naik menjauhi tubuh Anita. Pukulan maupun tendangan Anita menghilang. Namun sumpah serapahnya masih terdengar jelas.
Lalu terdengar suara lembut di telinganya: "Lepaskanlah tangan Anita, Inka. Kau aman sekarang!"
“ Mas Gara" Inka membuka matanya.
Dan samar-samar melihat ia melihat sesosok tubuh dan sebuah seringai. Seringai khas Bramasta. Inka melepaskan cengkeramannya, cengkeramannya lepas, karena ia sudah kehabisan tenaga. Ia merasakan tubuhnya mengulai. Lalu jatuh ke pelukan seseorang. Iajuga mendengar ada yang menangis tersedu - sedu. Kalau tak salah, yang menangis itu adalah Anita....
Pelan pelan Inka membuka matanya.
Memang Anita yang menangis itu dalam pelukan Karta yang berusaha membujuk dengan kata kata yang tak jelas tertangkap telinga Inka. Inka pun segera sadar ia berada dalam pelukan lelaki yang salah. Reflek ia menjauhkan diri. Bramasta tak keberatan. Seraya melipat lalu memasukkan pisau yang tadi ia rampas dari tangan Anita. diamankan ke saku celana,
Bramasta berkata terengah engah:
"Nanti saja kita bicarakan. Lebih baik masuk sajalah ke kamarmu, Inka. Kau perlu istirahat ..."
Inka menggeleng. Masih shock. Bramasta terpaksa membimbingnya ke dalam kamar. "Ayolah. Semuanya akan beres kembali!," Ujarnya tersenyum menghibur.
"Oh ya. Jangan lupa mengunci ini", seraya Bramasta menunjuk ke pintu, yang kemudian ia tutupkan sendiri dengan hati-hati.
Bramasta masih harus menunggu, sebelum terdengar bunyi terkletak pada lubang kunci. Baru setelah itu ia memutar tubuh. Dan memandang gusar ke arah Anita, yang masih sesenggukan di dada Karta. Bramasta melihat ke arah Karta, lantas berujar ketus:
"Semua ini harus segera dihentikan!"
Karta menjawab tanpa semangat:
"Dengan apa, Den Bram?"
"Begitu badai terkutuk ini mulai reda, kita semua harus meninggalkan puri. Tetapi sebelum itu, aku lebih dulu akan mencari lagi Nagara. Mungkin ia terjebak hujan badai dan bermalam di salah satu rumah penduduk desa Kemulan. Desa itu tidak terlalu luas, penduduknya juga tidak terlalu padat. Aku yakin sangat mudah untuk menemukannya “
"Akan ku jemput dia dengan mobil “
“ Oh ya, Anita. Kau dengar aku, Anita?!”
Terisak di dada Karta, Anita manggut - manggut tak bernafsu.
"Di mana kau menyimpan kunci mobilmu?"
Anita menjawab terbata-bata:
"Di kamar. Dalam laci meja"
Lantas kembali sesenggukan.
Ia cepat - cepat memutar tubuh. Tetapi menghentikannya begitu ia melihat Karta membawa Anita pergi dari tempat itu. Bramasta mengawasi orangtua itu dengan Anita ke tangga yang menuju ruang duduk di bawah. Wajahnya terasa tegang. Dengan perasaan masih tegang, ia meneruskan langkah menuju kamar yang ia tempati bersama Anita. Apa yang tadi ia tanya kan pada Anita, hanyalah sekedar basa basi. Tanpa bertanya pun ia sudah tahu, dan dengan mudah menemukan kunci mobil mereka.
Sebelum berjalan menuju tangga ke lantai utama, ia berhenti sejenak di depan pintu kamar Jaka. Tak terdengar suara apa-apa. Pasti Jaka sudah tertidur pulas. Tanpa mengetahui, sebuah nyawa lain hampir saja melayang sia sia!
Quote:
Tiba di samping puri yang di jadikan garasi sementara karena garasi utama telah dibakar dan dilalap api, Bramasta lebih dulu membuka kap mesin mobil milik Anita. Pisau lipat di sakunya ia keluarkan. Diterangi lampu garasi, dengan mudah ia temukan tali kipas mesin. Pisaunya beraksi. Dan putuslah tali kipas itu. Kap mesin ia tutupkan lagi dengan hati hati, seperti ketika membukanya tadi. Suara terbuka dan tertutupnya, dibuat serendah mungkin. Tetapi kemudian ia menyeringai.
Mencemooh diri sendiri.
Tanpa membuang waktu lagi Bramasta pergi meninggalkan garasi dan pergi ke ruang duduk. Anita tampak sudah lebih tenang. Di tangannya ada sloki kosong. Dan sebotol anggur merah di meja.
Ia dengar Anita berkata terisak: "aku hilang akal, Pak Karta. Mula-mula Ayah. Kemudian Nanda dan Jaka terbaring dalam keadaan seperti sekarat juga....."
"Sudah, Mbak. Sudah ...."
Karta melihat Bramasta masuk dengan wajah kusut. Sebelum Karta sempat bertanya, Bramasta
sudah menjelaskan: "Tali kipasnya tak jalan. Ada yang tahu di mana kunci mobii Inka tersimpan?"
Anita menoleh, tak senang.
"Apakah ketika merangkul dia tadi, kau lupa menanyakannya?"
Acuh tak acuh, Bramasta berjalan ke meja. Ia ambil sebotol anggur merah untuk dirinya sendiri. Setelah tutupnya dibuka, dan isinya ditenggak sebagian dari botol langsung, ia kemudian berjalan menuju tangga. Berlalu tanpa sepatah kata pun.
Ia naik dengan cepat ke lantai atas. Pintu kamar tidur Inka di ketuk. Dua tiga kali, belum dibuka juga.
Bramasta memberitahu: " ini aku, Inka.....”
Barulah kemudian pintu dibuka. Inka tampak masih letih dan sakit. Tetapi ia tersenyum juga untuk membalas seringai Bramasta, walau setengah dipaksakan.
"Aku dengar kau akan mencari suamiku lagi "
"Itulah yang terbaik kita lakukan sekarang, bukan"," jawab Bramasta, santai.
"Sayang, tali kipas mobil Anita tak jalan. Mobil mertuamu, aku takut membawa mobil itu setelah apa yang terjadi kemarin. Biasanya roh orang yang meninggal masih ada di tempat pada saat terakhir ia berada. Dan mobil itu......"
Inka tampak kecewa.
Bramasta pun tertawa. Katanya:
" Aku minta maaf sebelumnya tadi mobilmu aku utak-atik pintunya.Kau pernah bilang padaku kalau kunci mobil itu hilang kan? Dan lagi tadi aku juga bersusah payah mendorong mobil itu bersama Karta. Terus terang saja aku terkejut. Karta yang kurus dan kerempeng memiliki tenaga yang kuat sekali. Mobil mu yang seberat itu mampu di dorong sendirian dengan aku memegang setir di dalamnya"
“ Soal menghidupkan mesin, tak usah kuatirkan. Tinggal menyambung nyambungkan kabel. Hanya saja tadi aku terlalu panik sehingga pikiran ku tidak jalan ...."
Harapan pun muncul lagi di wajah Inka.
"Kau bisa?"
Bramasta mengangguk pasti dengan seringai yang selalu ada di bibirnya. Sebenarnya dalam lubuk hati Bramasta ada perasaan terenyuh. Tetapi tak ada yang perlu disesali lagi. Semuanya sudah terjadi. Dan semuanya pun akan berlalu. Bramasta bergegas turun. Ia kenakan lagi mantel hujannya, lalu pergi ke luar. Di bawah siraman hujan dan bunyi gelegar guntur yang menciutkan jantung, Bramasta membungkuk ke pintu depan mobil yang diparkir di sana.
Maka ia pun membuka pintu mobil. Lalu tanpa melihat ke salah satu pun jendela puri di belakangnya maupun di atas sana, ia masuk ke dalam mobil. Berpura - pura sibuk sebentar. Mengutak atik. Sambil diam-diam mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. Yakni, kunci mobil itu sendiri, yang sewaktu di garasi, diambil Bramasta dari tempat ia sembunyikan. Di mana lagi, kalau bukan di bawah kap mesin mobil Anita.
Ia kemudian membungkuk-bungkuk lagi sambil tangannya memasukkan kunci yang sama ke stop kontak. Satu dua menit ia biarkan berlalu. Baru kemudian stop kontak dihidupkan. Ia harus memutar kunci stop kontak dua tiga kali, karena mesin rupanya sudah terlalu dingin. Barulah mesin hidup. Setelah digerung-gerung supaya mesin panas, mobil itu pun ia gerakkan menuruni jalan ke arah pintu gerbang di bawah sana. Garasi masih terbakar. Tetapi curah hujan sudah mulai meredakan kobaran api.
Bramasta menghentikan mobilnya didekat rimbunan mawar. Ia melirik ke arah kobaran api yang semakin mengecil. Sejurus kembali menjalankan kendaraan itu menuju pintu gerbang. Sambil bersiul siul gembira merasa bebas dari puri terkutuk itu.
Tiba –tiba entah mengapa, Bramasta tanpa sadar melambatkan laju mobil. Pikirannya melayang pada apa yang pernah ia dengar, dan ia anggap tahayul semata. Bahwa puri di belakang sana, berhantu. Bahwa roh dan mahluk mahluk gaib yang jahat, berkeliaran di sekitar lembah dan di setiap jurang. Namun belum ada seorangpun yang melihatnya. Kecuali, melihat korban atau kehancuran yang ditinggalkannya. Seperti halnya sisa-sisa tubuh Nanda....
Bramasta tak lagi bersiul.
Ia mulai gelisah. Dan mendekati pintu gerbang, dengan kegelapan di luar sana, serta bayangan pepohonan yang bergoyang-goyang misterius, membuat dirinya merasa tertekan. Lalu sekonyongkonyong saja, kakinya menginjak rem.
Mobil pun berhenti mendadak. Mesin masih hidup. Lampu depan masih menyala. Terang dan jelas, karena ia juga telah menghidupkan lampu kabut dan lampu variasi bervoltase tinggi. Cahaya lampu itu menerangi sesuatu yang tergeletak persis di ambang pintu gerbang. Bramasta mencondongkan wajahnya ke kaca depan. Menyimak. Lantas terkesima.
Mencemooh diri sendiri.
Tanpa membuang waktu lagi Bramasta pergi meninggalkan garasi dan pergi ke ruang duduk. Anita tampak sudah lebih tenang. Di tangannya ada sloki kosong. Dan sebotol anggur merah di meja.
Ia dengar Anita berkata terisak: "aku hilang akal, Pak Karta. Mula-mula Ayah. Kemudian Nanda dan Jaka terbaring dalam keadaan seperti sekarat juga....."
"Sudah, Mbak. Sudah ...."
Karta melihat Bramasta masuk dengan wajah kusut. Sebelum Karta sempat bertanya, Bramasta
sudah menjelaskan: "Tali kipasnya tak jalan. Ada yang tahu di mana kunci mobii Inka tersimpan?"
Anita menoleh, tak senang.
"Apakah ketika merangkul dia tadi, kau lupa menanyakannya?"
Acuh tak acuh, Bramasta berjalan ke meja. Ia ambil sebotol anggur merah untuk dirinya sendiri. Setelah tutupnya dibuka, dan isinya ditenggak sebagian dari botol langsung, ia kemudian berjalan menuju tangga. Berlalu tanpa sepatah kata pun.
Ia naik dengan cepat ke lantai atas. Pintu kamar tidur Inka di ketuk. Dua tiga kali, belum dibuka juga.
Bramasta memberitahu: " ini aku, Inka.....”
Barulah kemudian pintu dibuka. Inka tampak masih letih dan sakit. Tetapi ia tersenyum juga untuk membalas seringai Bramasta, walau setengah dipaksakan.
"Aku dengar kau akan mencari suamiku lagi "
"Itulah yang terbaik kita lakukan sekarang, bukan"," jawab Bramasta, santai.
"Sayang, tali kipas mobil Anita tak jalan. Mobil mertuamu, aku takut membawa mobil itu setelah apa yang terjadi kemarin. Biasanya roh orang yang meninggal masih ada di tempat pada saat terakhir ia berada. Dan mobil itu......"
Inka tampak kecewa.
Bramasta pun tertawa. Katanya:
" Aku minta maaf sebelumnya tadi mobilmu aku utak-atik pintunya.Kau pernah bilang padaku kalau kunci mobil itu hilang kan? Dan lagi tadi aku juga bersusah payah mendorong mobil itu bersama Karta. Terus terang saja aku terkejut. Karta yang kurus dan kerempeng memiliki tenaga yang kuat sekali. Mobil mu yang seberat itu mampu di dorong sendirian dengan aku memegang setir di dalamnya"
“ Soal menghidupkan mesin, tak usah kuatirkan. Tinggal menyambung nyambungkan kabel. Hanya saja tadi aku terlalu panik sehingga pikiran ku tidak jalan ...."
Harapan pun muncul lagi di wajah Inka.
"Kau bisa?"
Bramasta mengangguk pasti dengan seringai yang selalu ada di bibirnya. Sebenarnya dalam lubuk hati Bramasta ada perasaan terenyuh. Tetapi tak ada yang perlu disesali lagi. Semuanya sudah terjadi. Dan semuanya pun akan berlalu. Bramasta bergegas turun. Ia kenakan lagi mantel hujannya, lalu pergi ke luar. Di bawah siraman hujan dan bunyi gelegar guntur yang menciutkan jantung, Bramasta membungkuk ke pintu depan mobil yang diparkir di sana.
Maka ia pun membuka pintu mobil. Lalu tanpa melihat ke salah satu pun jendela puri di belakangnya maupun di atas sana, ia masuk ke dalam mobil. Berpura - pura sibuk sebentar. Mengutak atik. Sambil diam-diam mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. Yakni, kunci mobil itu sendiri, yang sewaktu di garasi, diambil Bramasta dari tempat ia sembunyikan. Di mana lagi, kalau bukan di bawah kap mesin mobil Anita.
Ia kemudian membungkuk-bungkuk lagi sambil tangannya memasukkan kunci yang sama ke stop kontak. Satu dua menit ia biarkan berlalu. Baru kemudian stop kontak dihidupkan. Ia harus memutar kunci stop kontak dua tiga kali, karena mesin rupanya sudah terlalu dingin. Barulah mesin hidup. Setelah digerung-gerung supaya mesin panas, mobil itu pun ia gerakkan menuruni jalan ke arah pintu gerbang di bawah sana. Garasi masih terbakar. Tetapi curah hujan sudah mulai meredakan kobaran api.
Bramasta menghentikan mobilnya didekat rimbunan mawar. Ia melirik ke arah kobaran api yang semakin mengecil. Sejurus kembali menjalankan kendaraan itu menuju pintu gerbang. Sambil bersiul siul gembira merasa bebas dari puri terkutuk itu.
Tiba –tiba entah mengapa, Bramasta tanpa sadar melambatkan laju mobil. Pikirannya melayang pada apa yang pernah ia dengar, dan ia anggap tahayul semata. Bahwa puri di belakang sana, berhantu. Bahwa roh dan mahluk mahluk gaib yang jahat, berkeliaran di sekitar lembah dan di setiap jurang. Namun belum ada seorangpun yang melihatnya. Kecuali, melihat korban atau kehancuran yang ditinggalkannya. Seperti halnya sisa-sisa tubuh Nanda....
Bramasta tak lagi bersiul.
Ia mulai gelisah. Dan mendekati pintu gerbang, dengan kegelapan di luar sana, serta bayangan pepohonan yang bergoyang-goyang misterius, membuat dirinya merasa tertekan. Lalu sekonyongkonyong saja, kakinya menginjak rem.
Mobil pun berhenti mendadak. Mesin masih hidup. Lampu depan masih menyala. Terang dan jelas, karena ia juga telah menghidupkan lampu kabut dan lampu variasi bervoltase tinggi. Cahaya lampu itu menerangi sesuatu yang tergeletak persis di ambang pintu gerbang. Bramasta mencondongkan wajahnya ke kaca depan. Menyimak. Lantas terkesima.
Diubah oleh breaking182 27-01-2019 10:32
pintokowindardi memberi reputasi
1
Kutip
Balas