- Beranda
- Stories from the Heart
PURI KERAMAT
...
TS
breaking182
PURI KERAMAT
PURI KERAMAT
Quote:

SINOPSIS
Quote:
Berawal dari kematian Ario Keling seorang keturunan bangsawan di masa kerajaan Mataram. Ke empat anaknya beserta dua menantunya datang ke desa Kemulan untuk menghadiri prosesi pemakaman. Suatu desa terpencil yang terletak di lereng Gunung Merapi dan selalu berselimutan kabut. Inka salah satu menantu Ario Keling merasakan ada keganjilan pada saat akan memasuki pintu gerbang puri. Ia melihat sesosok bangsawan di atas punggung kuda besar dengan dua dayang pengiring. Tidak sampai disitu saja, satu hari sebelum pemakaman Ario Keling. Suaminya yang bernama Nagara atau anak sulung Ario Keling tiba –tiba lenyap tidak berbekas secara misterius. Dari situlah rentetan peristiwa berdarah di mulai. Apakah pelakunya Nagara karena ingin menguasai harta warisan yang tersimpan di dalam puri itu? Dan siapakah yang akan keluar dari puri itu hidup – hidup?
Quote:
INDEKS
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
TAMAT
Diubah oleh breaking182 27-02-2019 10:49
mincli69 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
14.6K
Kutip
71
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#29
PART 12
Quote:
KARTA lebih mampu menguasai diri. Ia bergerak mendekati Bramasta. Berujar tanpa emosi: "Kau antarkanlah Jaka ke puri!"
Dengan lutut masih gemetar, Bramasta mengangguk susah payah lalu mendatangi Jaka yang masih berlutut di tanah berlumpur. la sentuhkan tangannya ke pundak Jaka. Mulutnya dibuka untuk mengucapkan kalimat membujuk. Namun lidahnya terlalu kelu. Maka ia cengkeram saja lengan Jaka lalu merenggutnya bangkit dengan kasar.
Di belakang mereka, terdengar Karta berseru di antara riuh pikuknya hujan dan badai angin:
"Kembalilah lagi kemari, Den Bram. Ambilkan aku minyak tanah di dapur. Jangan lupa korek apinya sekalian!"
Bramasta hanya mengangguk tak paham. Lain halnya dengan Jaka. Seketika ia renggut lepas lengannya dari cengkeraman tangan Bramasta. Dengan cepat ia sudah berdiri di hadapan Karta. Lalu dengan gusar, kerah baju orangtua itu ia renggut.
"Kau mau apa, Pak Karta?"
"Apa boleh buat, Den Jaka ..."
"Tetapi membakarnya," Jaka berteriak marah.
Karta menjawab dengan tenang.
"Atau kau lebih suka membersihkan sendiri yang di dalam sana. Dan kemudian, memperlihatkannya sebagai tontonan pada adik dan kakak iparmu?!"
Sebelah tangan Jaka sudah terangkat. Akan memukul. Bramasta pun sudah akan bergerak, mencegah. Tetapi Jaka sudah menurunkan tangannya kembali. Terkulai di sisi tubuhnya. Kerah baju Karta ia lepaskan, kemudian ia berdiri mematung. Bramasta mendatanginya, mencengkeram lengannya. Kemudian membimbing Jaka menuju puri. Jaka menurut seperti kerbau dicucuk hidung saja. Tanpa semangat hidup. Ia sempat terhuyung hampir jatuh.
Dengan lutut masih gemetar, Bramasta mengangguk susah payah lalu mendatangi Jaka yang masih berlutut di tanah berlumpur. la sentuhkan tangannya ke pundak Jaka. Mulutnya dibuka untuk mengucapkan kalimat membujuk. Namun lidahnya terlalu kelu. Maka ia cengkeram saja lengan Jaka lalu merenggutnya bangkit dengan kasar.
Di belakang mereka, terdengar Karta berseru di antara riuh pikuknya hujan dan badai angin:
"Kembalilah lagi kemari, Den Bram. Ambilkan aku minyak tanah di dapur. Jangan lupa korek apinya sekalian!"
Bramasta hanya mengangguk tak paham. Lain halnya dengan Jaka. Seketika ia renggut lepas lengannya dari cengkeraman tangan Bramasta. Dengan cepat ia sudah berdiri di hadapan Karta. Lalu dengan gusar, kerah baju orangtua itu ia renggut.
"Kau mau apa, Pak Karta?"
"Apa boleh buat, Den Jaka ..."
"Tetapi membakarnya," Jaka berteriak marah.
Karta menjawab dengan tenang.
"Atau kau lebih suka membersihkan sendiri yang di dalam sana. Dan kemudian, memperlihatkannya sebagai tontonan pada adik dan kakak iparmu?!"
Sebelah tangan Jaka sudah terangkat. Akan memukul. Bramasta pun sudah akan bergerak, mencegah. Tetapi Jaka sudah menurunkan tangannya kembali. Terkulai di sisi tubuhnya. Kerah baju Karta ia lepaskan, kemudian ia berdiri mematung. Bramasta mendatanginya, mencengkeram lengannya. Kemudian membimbing Jaka menuju puri. Jaka menurut seperti kerbau dicucuk hidung saja. Tanpa semangat hidup. Ia sempat terhuyung hampir jatuh.
Quote:
Anita menangis di atas tempat tidurnya. Masih terngiang di telinga Anita apa yang tadi diucapkan Jaka dengan tegas.
"Tidak lagi, Anita tidak akan! Yang dulu itu kita perbuat tanpa sadar ..."
Jaka benar.
Ingatan Anita melayang pada masa lalu. Ketika Anita muncul di tengah keluarga mereka, usia Jaka lebih tua 9 tahun. Begitulah mereka berdua tumbuh dari waktu ke waktu. Menangis bersama. Tertawa bersama. Begitu pula makan, mandi, tidur. Bahkan ketika yang satu sakit maka yang lain pasti akan sakit pula. Ketika pada akhirnya mereka berpikir, segala sesuatunya sudah terlalu lambat untuk dicegah.
Lalu terjadilah musibah itu. Suatu malam, pacar Anita baru saja berlalu. Tinggal Anita sendirian di rumah, ketika Jaka tiba tiba menerobos masuk. Saat itu Anita ada di kamar dan Anita baru saja melepas pakaian untuk diganti dengan gaun tidur. Tanpa memperdulikan membentak dengan wajah memerah.
"Si Johan merangkul dan menciummu di balik pintu!"
"Dia memaksa ...," jawab Anita, setengah membela diri.
"Tetapi kau mau!"
"Aku aku tak mampu menghindar"
"Karena kau mencintai dia! Mengakulah ! "
Sepasang mata Anita pun basah, karena tuduhan yang sangat tidak benar itu.
"Kau tahu betul, pada siapa cinta ku ini aku berikan. Tetapi sayang, dia terlalu pengecut untuk melakukannya!"
"Aku" Pengecut!", Jaka menghambur ke depan, lantas menampar wajah Anita.
"Jangan sekali - kali kau menyebut aku pengecut !"
Mata Anita semakin basah. Jaka tak tahan melihat, lantas merangkul. Entah siapa yang memulai, tahu-tahu bibir mereka pun bertemu. Entah bagaimana pula terjadinya, mereka berdua bergulung –gulung di bawah selimut dengan tubuh seperti bayi yang baru dilahirkan. Telanjang bulat. Tak seorangpun melihat apa yang telah mereka perbuat. Namun kecurigaan lambat laun mulai menjalar. Dan keduanya pun terpaksa dipisahkan.
Jaka dikirim ke Medan, dengan alasan pendidikan. Anita sendiri tak kuat me nanggung siksaan bathin. Lantas lari dari satu ke lain lelaki, sampai akhirnya ia putuskan untuk menikah dengan Bramasta.
Setelaj itu Jaka diperbolehkan pulang ke Jogja dengan lebih memilih hidup sebagai bujangan. Anita kembali terisak. Letih. Dan semakin letih.
"Tidak lagi, Anita tidak akan! Yang dulu itu kita perbuat tanpa sadar ..."
Jaka benar.
Ingatan Anita melayang pada masa lalu. Ketika Anita muncul di tengah keluarga mereka, usia Jaka lebih tua 9 tahun. Begitulah mereka berdua tumbuh dari waktu ke waktu. Menangis bersama. Tertawa bersama. Begitu pula makan, mandi, tidur. Bahkan ketika yang satu sakit maka yang lain pasti akan sakit pula. Ketika pada akhirnya mereka berpikir, segala sesuatunya sudah terlalu lambat untuk dicegah.
Lalu terjadilah musibah itu. Suatu malam, pacar Anita baru saja berlalu. Tinggal Anita sendirian di rumah, ketika Jaka tiba tiba menerobos masuk. Saat itu Anita ada di kamar dan Anita baru saja melepas pakaian untuk diganti dengan gaun tidur. Tanpa memperdulikan membentak dengan wajah memerah.
"Si Johan merangkul dan menciummu di balik pintu!"
"Dia memaksa ...," jawab Anita, setengah membela diri.
"Tetapi kau mau!"
"Aku aku tak mampu menghindar"
"Karena kau mencintai dia! Mengakulah ! "
Sepasang mata Anita pun basah, karena tuduhan yang sangat tidak benar itu.
"Kau tahu betul, pada siapa cinta ku ini aku berikan. Tetapi sayang, dia terlalu pengecut untuk melakukannya!"
"Aku" Pengecut!", Jaka menghambur ke depan, lantas menampar wajah Anita.
"Jangan sekali - kali kau menyebut aku pengecut !"
Mata Anita semakin basah. Jaka tak tahan melihat, lantas merangkul. Entah siapa yang memulai, tahu-tahu bibir mereka pun bertemu. Entah bagaimana pula terjadinya, mereka berdua bergulung –gulung di bawah selimut dengan tubuh seperti bayi yang baru dilahirkan. Telanjang bulat. Tak seorangpun melihat apa yang telah mereka perbuat. Namun kecurigaan lambat laun mulai menjalar. Dan keduanya pun terpaksa dipisahkan.
Jaka dikirim ke Medan, dengan alasan pendidikan. Anita sendiri tak kuat me nanggung siksaan bathin. Lantas lari dari satu ke lain lelaki, sampai akhirnya ia putuskan untuk menikah dengan Bramasta.
Setelaj itu Jaka diperbolehkan pulang ke Jogja dengan lebih memilih hidup sebagai bujangan. Anita kembali terisak. Letih. Dan semakin letih.
Quote:
SETELAH Bramasta mengulangi ketukannya, lebih keras, barulah terdengar bunyi anak kunci berputar di lubangnya. Begitu pintu dibuka dari dalam, Bramasta langsung masuk:
"Mengapa kau mengurung diri?"
Anita diam saja. Lampu kamar tidak dinyalakan. Bramasta jadi tidak melihat kelopak mata Anita yang sembab basah. Lagi pula perasaan Bramasta masih terguncang memikirkan apa yang ia temukan di garasi.
Tetapi sikap Anita yang diam, ditafsirkan Bramasta sebagai sikap dingin. Yang sudah terbiasa ia telan selama hidup dengan Anita. Bramasta membalikkan tubuh kemudian menyeringai.
"Aku punya berita bagus untukmu Anita “
“ Teriakkan ucapan selamat jalan untuk Nanda!"
"Nanda ?" Anita makin bingung.
"Benar. Nanda. Ia tidak akan pernah mengusik mu lagi!"
Setelah berujar demikian, Bramasta kemudian bergegas menuju tangga di dekat balkon. Tetapi langkahnya terhenti manakala Anita telah berdiri menghadang di depannya.
“ Katakan apa yangs ebenarnya terjadi pada Nanda. Apa maksudmu itu Bram? “
“ Nanda mati di bawah sana, di dalam garasi itu “
Anita terbungkam seribu bahasa.
“ Dan kau tahu Anita sekarang Jaka sedang terpukul di kamarnya sana. Seperti orang gila mengisi kepergian kakaknya itu. Giliran mu untuk menenangkan hati pemuda bodoh itu. Aku sangat paham kau masih terlalu mencintainya bukan? “
“ Keinginan menikah dengan ku hanya sebagai kedok dan pelarian saja “
Bramasta menyeringai lagi, lalu maju ke depan meninggalkan Anita yang masih melongo sendiri. Anita tersentak sendiri. Teringat ketika belum lama tadi ia telah mencium Jaka di balik pintu kamar. Anita hampir menangis. Kedua bola matanya berkaca –kaca. Ia merasa sangat bersalah. Dan tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Anita terduduk lemas. Padahal betapa ingin ia menjerit. Meraung. Bagaimana pun. Nanda tetaplah saudaranya. Mereka telah hidup bersama cukup lama kadang-kadang Nanda baik juga terhadapnya. Anita mengerang. Pedih.
Bayangan kacau bermain di pelupuk matanya. Lebih kacau lagi. Di antara bayang bayang itu, tampak berkelabat sekilas wajah.
Dia adalah Inka. Dan Inka sedang tersenyum puas. Senyum kemenangan. Cepat sekali, wajah dan senyum Inka berkelebat hilang. Tetapi ia meninggalkan tawa.
Terbahak –bahak sembari berkata, “ Pada akhirnya aku yang menang, kalian semua yang akan merangkak keluar dari tempat ini tanpa membawa harta dan uang sepeserpun!”
Anita serentak bangkit. Tangannya menyentak terbuka laci meja di dekatnya. Sebuah pisau lipat tergeletak disana. Setelah menemukannya ia kemudian berjalan tegak dan pasti ke pintu. Dengan pisau lipat milik Bramasta, di tangannya. Pisau lipat itu dalam keadaan terhunus. Berkilat-kilat. Tajam.
"Mengapa kau mengurung diri?"
Anita diam saja. Lampu kamar tidak dinyalakan. Bramasta jadi tidak melihat kelopak mata Anita yang sembab basah. Lagi pula perasaan Bramasta masih terguncang memikirkan apa yang ia temukan di garasi.
Tetapi sikap Anita yang diam, ditafsirkan Bramasta sebagai sikap dingin. Yang sudah terbiasa ia telan selama hidup dengan Anita. Bramasta membalikkan tubuh kemudian menyeringai.
"Aku punya berita bagus untukmu Anita “
“ Teriakkan ucapan selamat jalan untuk Nanda!"
"Nanda ?" Anita makin bingung.
"Benar. Nanda. Ia tidak akan pernah mengusik mu lagi!"
Setelah berujar demikian, Bramasta kemudian bergegas menuju tangga di dekat balkon. Tetapi langkahnya terhenti manakala Anita telah berdiri menghadang di depannya.
“ Katakan apa yangs ebenarnya terjadi pada Nanda. Apa maksudmu itu Bram? “
“ Nanda mati di bawah sana, di dalam garasi itu “
Anita terbungkam seribu bahasa.
“ Dan kau tahu Anita sekarang Jaka sedang terpukul di kamarnya sana. Seperti orang gila mengisi kepergian kakaknya itu. Giliran mu untuk menenangkan hati pemuda bodoh itu. Aku sangat paham kau masih terlalu mencintainya bukan? “
“ Keinginan menikah dengan ku hanya sebagai kedok dan pelarian saja “
Bramasta menyeringai lagi, lalu maju ke depan meninggalkan Anita yang masih melongo sendiri. Anita tersentak sendiri. Teringat ketika belum lama tadi ia telah mencium Jaka di balik pintu kamar. Anita hampir menangis. Kedua bola matanya berkaca –kaca. Ia merasa sangat bersalah. Dan tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Anita terduduk lemas. Padahal betapa ingin ia menjerit. Meraung. Bagaimana pun. Nanda tetaplah saudaranya. Mereka telah hidup bersama cukup lama kadang-kadang Nanda baik juga terhadapnya. Anita mengerang. Pedih.
Bayangan kacau bermain di pelupuk matanya. Lebih kacau lagi. Di antara bayang bayang itu, tampak berkelabat sekilas wajah.
Dia adalah Inka. Dan Inka sedang tersenyum puas. Senyum kemenangan. Cepat sekali, wajah dan senyum Inka berkelebat hilang. Tetapi ia meninggalkan tawa.
Terbahak –bahak sembari berkata, “ Pada akhirnya aku yang menang, kalian semua yang akan merangkak keluar dari tempat ini tanpa membawa harta dan uang sepeserpun!”
Anita serentak bangkit. Tangannya menyentak terbuka laci meja di dekatnya. Sebuah pisau lipat tergeletak disana. Setelah menemukannya ia kemudian berjalan tegak dan pasti ke pintu. Dengan pisau lipat milik Bramasta, di tangannya. Pisau lipat itu dalam keadaan terhunus. Berkilat-kilat. Tajam.
Diubah oleh breaking182 27-01-2019 09:24
pintokowindardi memberi reputasi
1
Kutip
Balas