Kaskus

Story

sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:
emoticon-Ultah

Cover:


From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)

NB: Sorry Bad Editing


Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter


Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita

Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.

Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.

Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.

Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.

Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.

Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.

Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.

Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.

Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.

Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.

Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.

Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.

***

Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.

“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.

“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.

“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.

Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.

Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.

Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.

Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.

“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.

“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.

“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.

“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.

“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”

Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.

“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.

Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.

“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.

Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.

Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.

***

Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.

Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,

“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.

“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.

Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.

“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.

Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.

Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.

“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.

“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.

“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.

“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.

“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.

Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.

Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.

Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.

Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.

Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.

“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.

“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.

‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.

Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.

Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
santinorefre720Avatar border
blackjavapre354Avatar border
rizetamayosh295Avatar border
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
#64
Bab 14: Kenangan tentang Dinda Part 1


Ini adalah sebuah cerita dari masa lalu, cerita menyakitkan dari seorang yang baru patah hati. Konon, sebuah cerita cinta tak selalu berakhir indah. Akan ada yang menangis, akan ada yang terluka. Itu pasti. Tragisnya, aku yang berperan sebagai orang yang terluka dalam sandiwara ini. Melihat kebahagiaan dia bersama orang lain.

Tak terhitung sudah berapa malam kulalui sendiri, dengan kepingan hati yang berserakan. Meratap menatap langit, tersayat dan tertatih. Tak terhitung berapa kali aku mengingat dia yang tak mau pergi dari pikiranku. Tak terhitung berapa banyak air mata yang menetes dari mata pria yang hancur ini. Semua berlalu begitu cepat, aku terlambat. Kalah telak.

Gadis yang membuatku seperti itu bernama Dinda……

***
Perkenalanku dengan Dinda terbilang singkat. Aku masih kelas dua SMA, hanya bertutur kata dalam sebuah forum tak resmi. Namun dari sana semua berawal.

Sore itu sepulang sekolah, aku berada di aula sekolah. Ada sebuah rapat dari ekskul yang kuikuti. Rapat itu terbagi menjadi beberapa kelompok sesuai dengan bidang masing-masing.

Aku tak percaya dengan kata kebetulan, merupakan sebuah takdir aku dipertemukan dengan Dinda dalam satu kelompok. Jalan cerita antara aku dan dia juga merupakan guratan takdir.

Suasana dalam rapat itu tak terlalu serius, kebanyakan hanya bercanda antara satu dengan yang lain. Aku pun demikian, tak satupun yang kubicarakan berbau serius.

“Meggy, dicari mbak Mera.” Nada halus itu terdengar ditelingaku, suara Dinda.
Kata-kata itu adalah kata-kata pertama yang keluar dari bibir Dinda. Kalimat yang membuka jalan untuk perbincangan ke depan. Aku memang pernah mengenal Dinda dimasa lalu, dia adalah teman dari Mera, orang yang pernah dekat dengan ku. Hanya dekat, tak lebih.
Wajah polos Dinda terlihat jelas, malu-malu dia berbicara seperti itu. Tak ada satupun perasaan yang hadir saat itu, aku menganggap itu gurauan. Aku tahu dia juga telah memiliki seorang pacar, adik kelasku. Aku kenal baik dengan orang itu.
“Eh Dinda, itu hanya masa lalu, tak perlu dibahas lagi.” Suaraku renyah, sedikit bercanda mencairkan suasana.
Jujur saja waktu itu aku malah tertarik dengan salah satu teman sekelasnya. Tapi itu hanya sebentar, sebelum akhirnya teman sekelasnya Dinda tadi berpacaran dengan salah seorang temanku. Untung aku tak terlalu mengambil hati waktu itu.

Hari-hari terus berlanjut, aku menjalani hariku biasa. Tak terikat janji, tak ada yang spesial, semua berjalan normal. Aku mencoba mengenal dia lebih lanjut lewat salah satu sosial media, bertanya apapun kecuali perasaan. Aku menganggapnya sebatas teman.

Aneh, lama kelamaan rasa nyaman itu mulai muncul. Tanpa kusadari, aku tak tahu apakah dia juga merasa demikian. Merasakan apa yang kurasakan. Sepanjang malam aku menghabiskan waktuku untuk chatting-an sama dia.

Hingga suatu ketika. Salah seorang temanku yang bernama Iren bergurau kepadaku dikantin sekolah.
“Eh Meg, elo dicari sama Dinda.” Dengan santainya dia bergurau seperti itu. Iren adalah temanku sejak kecil, dia juga merupakan teman sekelasnya Dinda.
Dinda yang kebetulan berada didekat Iren, tersipu malu. Mencoba mengelak, mengklarifikasi semua, pipi tembemnya memerah. Lantas, mereka berdua pergi meninggalkanku. Aku masih mematung berdiri didepan ibu-ibu kantin. Ah, sudah lama aku tak merasa bergetar seperti ini.
Dilain kesempatan aku bertanya memastikan kepada Iren.
“Eh Ren, apa yang elo bilang tadi pagi bener nggak?” Aku bertanya memastikan.
“Hemmm, lupakan sajalah. Gue hanya bercanda.” Tanpa dosa, tanpa merasa bersalah ia berkata seperti itu kepadaku. Melupakan. Hanya itu.
Sesaat aku sedikit melayang, benih perasaan mulai muncul. Namun semua itu kuhentikan dalam sekejap, kubunuh pelan. Aku tak ingin perasaan itu nanti menjadi candu.
Hubunganku dengan Dinda masih berjalan normal seperti biasa. Tak ada kesan menghindar, namun tak juga dekat lebih dari teman. Semua berlalu begitu saja.

***
Sebulan berlalu, aku baik-baik saja sejak kejadian itu. Semua sudah kulupakan, kukubur diam-diam. Aku sekarang jarang menghubungi Dinda, aku juga tak tahu mengapa demikian.

Februari, bulan yang menurutku spesial. Sekolahku mengadakan acara Study Tour ke daerah Bandung. Mengunjungi berbagai tempat menarik, tempat yang cukup memberikan kesan dalam hidupku.

Tentunya Dinda ikut juga dalam acara ini.

Salah satu tempat yang cukup mengesankan adalah Tangkuban Perahu. Sebelum kesana, kami semua melewati hutan pinus yang berjejer rapi, hijau nan asri. Kebetulan waktu itu hujan turun tak terlalu deras, tertesan air hujan merambat pelan dikaca jendela. Aku menatap bulir-bulir air tersebut, menenangkan hati.

Sayang, saat itu kondisi kurang mendukung. Kami semua harus memakai masker karena saat itu bau belerang menyeruak dimana-mana. Namun semua itu terbayar oleh pemandangan yang sangat elok, seperti inilah wujud Tangkuban Perahu yang dulu hanya kudengar lewat cerita-cerita legenda ditelevisi.

Berkeliling melihat keadaan sekitar, menuju toko-toko kecil tempat souvenir.
Tiba-tiba Iren datang mendekat kepadaku.
“Eh Megg, gue mau bicara sama elo sebentar?” Iren mengajakku ketempat yang lebih sepi, ada hal serius yang ingin dia sampaikan.
“Emang ada apa sampai elo ngajak gue ke tempat sepi kayak gini?” Aku bertanya heran, penuh tanda tanya.
“Ngomong-ngomong, elo masih inget nggak dengan gurauan gue beberapa waktu yang lalu?” Gurat mukanya berubah, dia seperti ingin menegaskan sesuatu.
Aku hening sejenak.
“Waktu itu dikantin sekolah, pas elo bilang kalau Dinda suka sama gue. Yah Ren, gue udah ngelupain semua itu. Nggak perlu deh ngungkit hal itu lagi.” Aku tertawa kecil, tak tahu apa sebenarnya maksud Iren.
“Dinda beneran suka sama elo.” Iren menegaskan, kali ini tanpa gurauan.
Aku terhenyak tak tahu harus bilang apa lagi. Perasaan yang kukubur itu perlahan bangkit lagi seperti zombie, aku setengah takut dengan diriku sendiri. Tak tahu apa yang kutakutkan.
“Dia beberapa waktu lalu cerita ke gue. Dia kangen masa-masa elo suka chatting-an sama dia. Suka tersenyum saat kalian bertemu. Dia jelas-jelas suka sama elo.” Tanpa jeda waktu ia menjelaskan semua itu begitu cepat.
Kemudian ia pergi begitu saja meninggalkanku. Aku masih setengah tak percaya dengan perkataanya barusan. Semua begitu tiba-tiba.

***

Sore itu semua bergegas meninggalkan Tangkuban Perahu. Sudah saatnya mengucapkan selamat tinggal. Kembali melanjutkan perjalanan pulang.

Kami semua beristirahat sejenak disalah satu restoran di Jawa Barat untuk makan malam. Aku masih mengingat-ingat kejadian tadi. Aku tak ingin terjebak lagi, cukup dengan semua ini. Makananku seperti hambar, perasaanku tak karuan. Setengah bahagia, setengah takut dengan apa yang terjadi nantinya.

Dari tempatku berada, kulihat Dinda berada dibalkon restoran. Dia sedang asik berbicara dengan temannya. Kutatap wajahnya, seperti ada gurat kesedihan yang tersembunyi, aku tak tahu apa itu. Mungkin saja itu adalah ekspresi wajah dari seorang gadis yang masih terjebak dengan masa lalunya.

Suasana malam itu terasa berbeda, aku merasa hening. Waktu seakan berhenti, aku jatuh cinta. Sekali lagi aku jatuh cinta. Suara-suara dari orang disekitarku perlahan menghilang, aku terhanyut dalam keheningan. Tuhan, kenapa aku harus jatuh cinta dengan Dinda. Aku tak menghendaki semua ini, aku tak tahu apa yang akan Engkau gariskan untukku.

Hari masih berlanjut, hari-hari yang indah. Aku semakin dekat dengan dia, tak kusadari aku terlena dengan semua ini. Perasaan yang harusnya tak
pernah terjadi, namun aku membiarkannya sesuka hati memperbudakku. Mengaburkan segala keyakinanku.
Beberapa hari berlalu. Dibangku kantin sekolah aku duduk bersama dia, membicarakan beragam hal.
“Eh Din, besok minggu kita jalan yuk?” Aku membuka pembicaraan, kutatap wajah polosnya itu.
“Boleh, aku juga nggak ada kerjaan hari Minggu nanti.” Dia menyetujuinya.
“Baik nanti aku jemput kamu ya jam delapan pagi.” Aku mengatur jadwal, tersenyum kecil untuknya. Dia tersipu malus setengah mengelak. Wajahnya semakin imut ketika dia seperti itu.

Entah aku tak tahu, sampai sekarang aku belum pernah bilang sekalipun kata cinta kepada dia. Aku tak tahu akan kunamakan apakah hubungan kami berdua ini. Terkadang aku berpikir apakah status itu perlu, apakah semua itu harus.
Jujur dalam hatiku, aku ingin sekali menjalin hubungan yang serius dengan seseorang, termasuk dengan dia. Aku lelah dengan sebuah hubungan yang usianya hanya tinggal menghitung jari. Aku menginginkan sebuah hubungan dengan kepastian, dengan arah yang jelas. Aku bertanya, apakah itu mungkin untukku sekarang, yang masih terbilang labil. Belum kutemukan jawaban atas pertanyaanku itu.

Satu hal yang aku yakini sejak awal hubungan ini dimulai, aku tak akan pernah bersatu dengan Dinda karena suatu alasan. Sehebat apapun aku akan mempertahankan dia nanti, sekuat apapun aku berjuang, aku akan kalah dengan sesuatu yang disebut takdir.
Meskipun belum terjadi, tapi aku yakin hubungan kita akan berpisah ditengah jalan. Akan ada sepucuk rindu yang tertinggal dipersimpangan, dia yang berubah haluan, dan aku yang masih terus berjalan tanpa menoleh kebelakang.

***
Hari Minggu sesuai janji, aku menjemput Dinda ke rumahnya. Aku berpamitan dengan ibunya, kemudian dengan sepeda motorku aku membonceng dia. Melewati jalanan yang cukup ramai kala itu.

Aku mengelilingi bagian tertentu dari keseluruhan kota Tulungagung. Tertawa, bercanda banyak hal. Kemudian kami mampir disalah satu warung makan di pinggir jalan.
“Bu, pesan bakso dua ya. Sama es jeruknya dua juga!” Aku memesan dua porsi bakso untukku dan Dinda.
Aku menatap wajah polosnya, tak tahu apa yang akan terjadi nantinya jika aku membiarkan dia terluka. Cepat atau lambat aku harus memutuskan akan kemanakah arah hubungan ini. Sudah hampir sebulan sejak Iren memberitahuku perasaan Dinda kepadaku.
“Kok diem aja Din. Mikirin apa?” Suaraku memecah keheningan antara aku dan dia. Kulihat dari tadi dia diam saja, seperti memikirkan sesuatu.
“Ah enggak kok Megg.” Dia tersadar dari lamunannya yang hanya sesaat itu.
Beberapa menit berlalu, pesanan kami berdua datang. Tanganku meraih saos tomat lalu kugerak-gerakkan naik turun kearah mangkuk baksoku. Disusul kemudian kecap hitam manis.
“Masih bengong aja Din. Dimakan gih, mumpung masih hangat.” Perlahan perhatiannya teralihkan kearah mangkuk bakso.
Kami berdua menikmati bakso tersebut. Ada yang ganjil saat itu, tak seperti hari-hari sebelumnya. Kulihat Dinda kebanyakan diam setelah memasuki warung ini.

Setelah dua mangkuk bakso tadi habis. Kini giliranku yang diam, memikirkan kata-kata yang musti kukatakan untuk Dinda. Aku ingin mengucapkan apa yang selama ini ingin kuucapkan, aku tak perlu takut dengan kegagalanku dimasa lalu, harus kali ini.
“Ehm Din.” Aku sedikit berdehem.
“Iya.” Jawaban singkat, tak ada satupun tatapan berarti seperti kemarin-kemarin.
Aku mengurungkan niatku, keadaannya kurang tepat.
“Kamu kelihatannya sakit, kita pulang saja yuk.” Aku berkata tenang, meski hatiku sedikit kecewa.
Langkah kaki kami perlahan berjalan keluar warung bakso itu. Kuhidupkan motorku, dia duduk tenang dibelakangku. Dijalan bagiku suasananya hening, meski kendaraan yang melintas cukup bising.
Ditengah jalan aku teringat satu hal. Jujur saja aku tak ingin berpikiran seperti itu, tapi hal itu tiba-tiba terlintas dipikiranku. Mungkin saja alasan Dinda bengong daritadi adalah karena dia masih teringat dengan mantannya. Aku bisa menduga itu karena aku dulu juga pernah berada diposisinya.

Hatiku mendadak mendung, waktu seperti berhenti, hatiku menangis. Aku sungguh kecewa kali ini. Luka lamaku terbuka, inilah yang aku benci dari mencintai seseorang. Kenapa baru kusadari sekarang bahwa hatinya Dinda masih untuk orang lain. Ya Tuhan. Aku sungguh bodoh tak menyadari lebih awal.

Sesampainya di rumah Dinda, kondisinya tak jauh berbeda dengan diperjalanan tadi. Sunyi senyap. Aku berpamitan merekahkan senyum kepahitan, dia membalas senyum itu. Dengan senyum palsu.
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.