- Beranda
- Stories from the Heart
PURI KERAMAT
...
TS
breaking182
PURI KERAMAT
PURI KERAMAT
Quote:

SINOPSIS
Quote:
Berawal dari kematian Ario Keling seorang keturunan bangsawan di masa kerajaan Mataram. Ke empat anaknya beserta dua menantunya datang ke desa Kemulan untuk menghadiri prosesi pemakaman. Suatu desa terpencil yang terletak di lereng Gunung Merapi dan selalu berselimutan kabut. Inka salah satu menantu Ario Keling merasakan ada keganjilan pada saat akan memasuki pintu gerbang puri. Ia melihat sesosok bangsawan di atas punggung kuda besar dengan dua dayang pengiring. Tidak sampai disitu saja, satu hari sebelum pemakaman Ario Keling. Suaminya yang bernama Nagara atau anak sulung Ario Keling tiba –tiba lenyap tidak berbekas secara misterius. Dari situlah rentetan peristiwa berdarah di mulai. Apakah pelakunya Nagara karena ingin menguasai harta warisan yang tersimpan di dalam puri itu? Dan siapakah yang akan keluar dari puri itu hidup – hidup?
Quote:
INDEKS
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
TAMAT
Diubah oleh breaking182 27-02-2019 10:49
mincli69 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
14.6K
Kutip
71
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#22
PART 10
Quote:
Anita terhenyak, pucat.
" Jadi semua warisan ayah tidak akan kita dapatkan? Aku tak percaya”.
"Pada mulanya, aku pun tak percaya," Jaka menyetujui, dengan suara penuh putus asa.
"Baru setelah situasinya kupelajari lebih rinci, aku terkejut. Kepercayaanku pun goyah seketika."
“ Buka matamu lebar - Iebar, dan lihatlah kenyataannya. Semua investasi yang kita miliki, sumbernya berasal dari tanah ini. Tanah di perkebunan di sekitar puri ini dan saham atas nama kita di perkebunan, terancam hilang “
"Aku tak sudi didepak begitu saja!", desis Anita.
"Aku akan berjuang mati-matian untuk mempertahankan apa yang ku miliki!"
"Dengan apa ?”,Jaka bertanya murung. Sambil matanya terus mengawasi ke nyala api di tungku. Wajah Jaka tampak semakin membara.
Dari belakang punggungnya, terdengar suara dalam nafsu amarah: "Akan kusewa sejumlah pengacara terkemuka. Tak perduli berapapun biaya yang harus kukeluarkan untuk itu!"
Mata Jaka menerewang. Jauh. Terbayang wajah ayahnya yang gempar sebelum berangkat ke puri ini. Begitu pula pesannya, yang jelas-jelas membuktikan kegemparan hatinya.
"Kita harus menyelamatkan apa yang masih dapat di selamatkan. Dan berhati-hatilah, Jaka. Jauhkan siapapun juga dari puri, sebelum kita dapat memastikan bahwa segala sesuatunya sudah beres dan aman!"
Lalu ayahnya mati, nama baik keluarga ia pertaruhkan dengan tidak memberitahu orang lainnya lagi, di luar saudara-saudara kandungnya.
"Langkah apa yang akan kau ambil, Jaka?"
"Aku belum tahu," Jaka mengeluh.
"Lebih dulu, kita harus menemukan surat surat tua itu. Aku heran, Mas Gara hilang tadi malam hingga kini belum juga menampakkan diri. Apakah ia membawa dokumen – dokumen itu? "
Anita mendengus sinis: "Maksudnya jelas, Jaka!"
"Oh ya?"
"Mudah saja. Ia menjalin persekongkolan dengan istrinya!"
"Tak masuk diakal. Itu bukan sifat Mas Gara ...."
"Kau pun ragu ragu. Karena, ada kalanya manusia dapat berubah. Inka yang telah merubah Mas Gara!"
"Bagaimana kau sampai berpikir sejauh itu, ?"
"Sederhana sekali, Jaka. Setelah tahu yang sebenarnya perempuan itu sengaja mengatur pertemuan itu dan mereka berdua menikah. Tentu kau juga masih ingat, pernikahan itu seperti terkesan terburu –buru. Tidak ada resepsi, tidak ada pesta. Padahal Mas Gara kalaupun mengadakan resepsi tujuh hari tujuh malam aku yakin sanggup"
"Hanya dengan menikah itulah, ia dapat diterima dengan tangan terbuka di keluarga ini. Lalu dengan leluasa ia mengumpulkan setiap bukti yang ada. Tentu saja, ia pun punya bukti sendiri, paling tidak identitas “
" ....atau, saksi hidup!", sela Jaka, murung.
"Siapa?"
"Pak Karta!"
" Jadi semua warisan ayah tidak akan kita dapatkan? Aku tak percaya”.
"Pada mulanya, aku pun tak percaya," Jaka menyetujui, dengan suara penuh putus asa.
"Baru setelah situasinya kupelajari lebih rinci, aku terkejut. Kepercayaanku pun goyah seketika."
“ Buka matamu lebar - Iebar, dan lihatlah kenyataannya. Semua investasi yang kita miliki, sumbernya berasal dari tanah ini. Tanah di perkebunan di sekitar puri ini dan saham atas nama kita di perkebunan, terancam hilang “
"Aku tak sudi didepak begitu saja!", desis Anita.
"Aku akan berjuang mati-matian untuk mempertahankan apa yang ku miliki!"
"Dengan apa ?”,Jaka bertanya murung. Sambil matanya terus mengawasi ke nyala api di tungku. Wajah Jaka tampak semakin membara.
Dari belakang punggungnya, terdengar suara dalam nafsu amarah: "Akan kusewa sejumlah pengacara terkemuka. Tak perduli berapapun biaya yang harus kukeluarkan untuk itu!"
Mata Jaka menerewang. Jauh. Terbayang wajah ayahnya yang gempar sebelum berangkat ke puri ini. Begitu pula pesannya, yang jelas-jelas membuktikan kegemparan hatinya.
"Kita harus menyelamatkan apa yang masih dapat di selamatkan. Dan berhati-hatilah, Jaka. Jauhkan siapapun juga dari puri, sebelum kita dapat memastikan bahwa segala sesuatunya sudah beres dan aman!"
Lalu ayahnya mati, nama baik keluarga ia pertaruhkan dengan tidak memberitahu orang lainnya lagi, di luar saudara-saudara kandungnya.
"Langkah apa yang akan kau ambil, Jaka?"
"Aku belum tahu," Jaka mengeluh.
"Lebih dulu, kita harus menemukan surat surat tua itu. Aku heran, Mas Gara hilang tadi malam hingga kini belum juga menampakkan diri. Apakah ia membawa dokumen – dokumen itu? "
Anita mendengus sinis: "Maksudnya jelas, Jaka!"
"Oh ya?"
"Mudah saja. Ia menjalin persekongkolan dengan istrinya!"
"Tak masuk diakal. Itu bukan sifat Mas Gara ...."
"Kau pun ragu ragu. Karena, ada kalanya manusia dapat berubah. Inka yang telah merubah Mas Gara!"
"Bagaimana kau sampai berpikir sejauh itu, ?"
"Sederhana sekali, Jaka. Setelah tahu yang sebenarnya perempuan itu sengaja mengatur pertemuan itu dan mereka berdua menikah. Tentu kau juga masih ingat, pernikahan itu seperti terkesan terburu –buru. Tidak ada resepsi, tidak ada pesta. Padahal Mas Gara kalaupun mengadakan resepsi tujuh hari tujuh malam aku yakin sanggup"
"Hanya dengan menikah itulah, ia dapat diterima dengan tangan terbuka di keluarga ini. Lalu dengan leluasa ia mengumpulkan setiap bukti yang ada. Tentu saja, ia pun punya bukti sendiri, paling tidak identitas “
" ....atau, saksi hidup!", sela Jaka, murung.
"Siapa?"
"Pak Karta!"
Quote:
Karta, kaget begitu menyadari sesosok tubuh tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya.
"Gusti Ayu...", ia berdesah.
"Inka..tidak ada Gusti Ayu disini!", sambut Inka diiringi senyuman manis.
" Benarkah Bapak tidak menemukan petunjuk tentang suamiku di luar sana?", Inka langsung bertanya kepada orang tua itu.
Pundak orangtua.itu tergetar seketika.
"Tidak, Mbak!", jawabnya, setengah berisik. Parau.
"Dan ia belum pulang juga. Apakah itu tidak membingungkan?"
"Betul "
" Lalu ..."
"Non lapar, barangkali. Mungkin juga yang lain!", Pak Karta memotong cepat dan mengalihkan pembicaraan.
"Maaf. Aku akan ke dapur untuk menyiapkan makan siang kalian"
Ia pun berlalu ke dapur. Bergegas. Dengan langkahnya yang tersuruk -suruk.
Hilang akal sebentar, Inka akhirnya tersinggung. Lantas memaki sendirian: "Persetan!"
Dan kemarahan Inka kian menjadi-jadi, setelah ia kembali ke kamar dan melihat kehadiran orang lain di sana. Duduk tenang tenang di pinggir tempat tidur. Sambil menyulut sebatang rokok yang terselip di bibirnya.
Ia berpaling ke pintu, tersenyum dipaksakan, lantas:
"Hai, Kak Inka!"
Inka tidak segera menyahut. Karena, telah terjadi beberapa perubahan di dalam kamar. Map-map berisi berkas-berkas pekerjaan suaminya, susunannya sudah tidak rapi. Laci meja sebelah atas setengah terbuka, begitu pula yang di bawahnya. Pintu lemari memang tertutup rapat. Tetapi apa bedanya. Pintu lemari itu sama sekali tidak terkunci.
Tak ayal lagi, Inka menghardik: "Mau apa kau di kamarku ?!"
"Gusti Ayu...", ia berdesah.
"Inka..tidak ada Gusti Ayu disini!", sambut Inka diiringi senyuman manis.
" Benarkah Bapak tidak menemukan petunjuk tentang suamiku di luar sana?", Inka langsung bertanya kepada orang tua itu.
Pundak orangtua.itu tergetar seketika.
"Tidak, Mbak!", jawabnya, setengah berisik. Parau.
"Dan ia belum pulang juga. Apakah itu tidak membingungkan?"
"Betul "
" Lalu ..."
"Non lapar, barangkali. Mungkin juga yang lain!", Pak Karta memotong cepat dan mengalihkan pembicaraan.
"Maaf. Aku akan ke dapur untuk menyiapkan makan siang kalian"
Ia pun berlalu ke dapur. Bergegas. Dengan langkahnya yang tersuruk -suruk.
Hilang akal sebentar, Inka akhirnya tersinggung. Lantas memaki sendirian: "Persetan!"
Dan kemarahan Inka kian menjadi-jadi, setelah ia kembali ke kamar dan melihat kehadiran orang lain di sana. Duduk tenang tenang di pinggir tempat tidur. Sambil menyulut sebatang rokok yang terselip di bibirnya.
Ia berpaling ke pintu, tersenyum dipaksakan, lantas:
"Hai, Kak Inka!"
Inka tidak segera menyahut. Karena, telah terjadi beberapa perubahan di dalam kamar. Map-map berisi berkas-berkas pekerjaan suaminya, susunannya sudah tidak rapi. Laci meja sebelah atas setengah terbuka, begitu pula yang di bawahnya. Pintu lemari memang tertutup rapat. Tetapi apa bedanya. Pintu lemari itu sama sekali tidak terkunci.
Tak ayal lagi, Inka menghardik: "Mau apa kau di kamarku ?!"
Quote:
ATAP GARASI nyaris terkena sambaran petir. Di dalam garasi di sebuah kamar yang letaknya di atas, Nanda mengeluh ketika tubuhnya ditinggalkan tubuh Bramasta begitu saja.
"Mengapa berhenti, Bram?" Tangan Bramasta merayap di keremangan kamar, mencari celananya.
"Kita Sudah terlalu lama di sini!"
"Sebentar lagi, Bram. Aku hampir..."
"Lain kali sajalah!", jawab Bramasta seenaknya.
Ia telah,menemukan pakaiannya dan cepat sekali ia sudah selesai mengenakannya. Kini matanya ganti mencari-cari di mana letaknya tangga turun ke bawah.
Nanda pun memprotes: "Ada apa dengan mu, Bram? Kau egois, kau cari menang mu sendiri !"
"Jangan bodoh Nanda kita harus segera kembali ke puri, sebelum ada yang curiga atau bahkan memergoki apa yang barusan kita perbuat di tempat ini...."
Seketika, Nanda duduk.
"Kau sengaja!"
"Kau sengaja berhenti setengah jalan ", Nanda mendengus marah sambil menahan birahi yang belum tersalurkan sepenuhnya.
Akhirnya Bramasta menemukan apa yang ia cari. Hati hati ia pun mendekati tangga, bermaksud turun ke bawah tanpa menunggu Nanda. Dalam kegelapan garasi, Bramasta menyeringai.
"Apa yang kau inginkan aku tahu, sebenarnya hanyalah melukai hati Anita adik tiri mu"
"Tunggu sebentar, Bramasta!"
Bramasta tak jadi turun. "Apa lagi?"
Nanda mengurut dadanya yang terasa sesak. Sekujur tubuhnya bergemetar hebat. Menahan amarah yang menggelegak.
“ Kau dengarkan baik -baik apa yang akan kukatakan ini, Nanda. Tidak siapapun dari kalian berdua yang aku cintai sepenuhnya. Tidak kau. Tidak juga Anita, meski status kami menikah akan tetapi, aku masih manusia bebas. Bebas menentukan nasib ku sendiri...."
"Apa!"
"Akan kuambilkan payung untukmu ", sahut Bramasta seraya bergegas turun ke bawah.
Histeris, Nanda menggapai apa saja yang dapat ia pergunakan untuk melempar Bramasta yang
sudah pergi membuka pintu garasi.
"Akan kubunuh kau untuk apa yang kau lakukan terhadapku, Bramasta!'', ia melengking nyaring, lalu melemparkan gumpalan bajunya sendiri. Pada saat bersamaan, pintu garasi telah menganga lebar. Bramasta pun berlari menerobos hujan lebat.
Sementara di belakangnya, lidah badai menyerbu ke dalam lewat pintu garasi yang terbuka. Angin keras bercampur butir-butir hujan pun mendorong pulang tumpukan pakaian yang tadi dilemparkan Nanda. Melayang berkibar-kibar. Lalu hinggap dengan deras, seperti menampar, langsung di wajah pemiliknya sendiri.
"Mengapa berhenti, Bram?" Tangan Bramasta merayap di keremangan kamar, mencari celananya.
"Kita Sudah terlalu lama di sini!"
"Sebentar lagi, Bram. Aku hampir..."
"Lain kali sajalah!", jawab Bramasta seenaknya.
Ia telah,menemukan pakaiannya dan cepat sekali ia sudah selesai mengenakannya. Kini matanya ganti mencari-cari di mana letaknya tangga turun ke bawah.
Nanda pun memprotes: "Ada apa dengan mu, Bram? Kau egois, kau cari menang mu sendiri !"
"Jangan bodoh Nanda kita harus segera kembali ke puri, sebelum ada yang curiga atau bahkan memergoki apa yang barusan kita perbuat di tempat ini...."
Seketika, Nanda duduk.
"Kau sengaja!"
"Kau sengaja berhenti setengah jalan ", Nanda mendengus marah sambil menahan birahi yang belum tersalurkan sepenuhnya.
Akhirnya Bramasta menemukan apa yang ia cari. Hati hati ia pun mendekati tangga, bermaksud turun ke bawah tanpa menunggu Nanda. Dalam kegelapan garasi, Bramasta menyeringai.
"Apa yang kau inginkan aku tahu, sebenarnya hanyalah melukai hati Anita adik tiri mu"
"Tunggu sebentar, Bramasta!"
Bramasta tak jadi turun. "Apa lagi?"
Nanda mengurut dadanya yang terasa sesak. Sekujur tubuhnya bergemetar hebat. Menahan amarah yang menggelegak.
“ Kau dengarkan baik -baik apa yang akan kukatakan ini, Nanda. Tidak siapapun dari kalian berdua yang aku cintai sepenuhnya. Tidak kau. Tidak juga Anita, meski status kami menikah akan tetapi, aku masih manusia bebas. Bebas menentukan nasib ku sendiri...."
"Apa!"
"Akan kuambilkan payung untukmu ", sahut Bramasta seraya bergegas turun ke bawah.
Histeris, Nanda menggapai apa saja yang dapat ia pergunakan untuk melempar Bramasta yang
sudah pergi membuka pintu garasi.
"Akan kubunuh kau untuk apa yang kau lakukan terhadapku, Bramasta!'', ia melengking nyaring, lalu melemparkan gumpalan bajunya sendiri. Pada saat bersamaan, pintu garasi telah menganga lebar. Bramasta pun berlari menerobos hujan lebat.
Sementara di belakangnya, lidah badai menyerbu ke dalam lewat pintu garasi yang terbuka. Angin keras bercampur butir-butir hujan pun mendorong pulang tumpukan pakaian yang tadi dilemparkan Nanda. Melayang berkibar-kibar. Lalu hinggap dengan deras, seperti menampar, langsung di wajah pemiliknya sendiri.
Diubah oleh breaking182 23-01-2019 21:24
pintokowindardi memberi reputasi
1
Kutip
Balas