- Beranda
- Stories from the Heart
PURI KERAMAT
...
TS
breaking182
PURI KERAMAT
PURI KERAMAT
Quote:

SINOPSIS
Quote:
Berawal dari kematian Ario Keling seorang keturunan bangsawan di masa kerajaan Mataram. Ke empat anaknya beserta dua menantunya datang ke desa Kemulan untuk menghadiri prosesi pemakaman. Suatu desa terpencil yang terletak di lereng Gunung Merapi dan selalu berselimutan kabut. Inka salah satu menantu Ario Keling merasakan ada keganjilan pada saat akan memasuki pintu gerbang puri. Ia melihat sesosok bangsawan di atas punggung kuda besar dengan dua dayang pengiring. Tidak sampai disitu saja, satu hari sebelum pemakaman Ario Keling. Suaminya yang bernama Nagara atau anak sulung Ario Keling tiba –tiba lenyap tidak berbekas secara misterius. Dari situlah rentetan peristiwa berdarah di mulai. Apakah pelakunya Nagara karena ingin menguasai harta warisan yang tersimpan di dalam puri itu? Dan siapakah yang akan keluar dari puri itu hidup – hidup?
Quote:
INDEKS
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
TAMAT
Diubah oleh breaking182 27-02-2019 10:49
mincli69 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
14.6K
Kutip
71
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#14
PART 6
Quote:
Ruangan perpustakaan itu lumayan luas dengan rak –rak buku dari kayu jati yang kokoh di kanan kiri. Buku –buku itu sudah terlalu tua berderet –deret rapi di setiap rak. Bahkan, ada yang sebagian tertumpuk begitu saja di lantai. Sampul –sampul buku sudah sangat tua umurnya terlihat dari warna dan bahannya yang kasar tetapi kuat dan lunak jika dipegang.
Nagara tampak serius mencermati dan membaca satu persatu sebuah bendel kertas dokumen yang terhampar di atas meja baca itu. Kerutan di keningnya tampak jelas mana kala Jaka berdesah lirih di sebelahnya.
"Dokumen inilah yang menyebabkan kematian Ayah!"
"Bagaimana mungkin, Jaka?"
Nagara bertanya tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan matanya dari kertas – kertas usang yang masih ia cermati satu persatu.
"Mungkin saja. Setelah menemukan dokumen ini, ayah langsung shock. Lalu bertindak kurang hati-hati. Ia memaksa pergi ke Jogja untuk memberitahu kita tentang penemuannya. Mobilnya mogok di tengah jalan itu. Lalu ia nekad jalan kaki . Tak perduli badai sedang menggila ...."
“ Lalu terjadilah peristiwa tragis itu, ayah tergelincir dan menemui ajal begitu mengenaskan terpanggang di tepi jalan “
"Apakah benar Ayah meninggal karena kecelakaan?"
"Menurut polisi iya, itu kecelakaan tunggal. Tidak ditemukan bukti yang otentik kalau misalkan ayah meninggal secara tidak wajar. Di bunuh misalnya....”
“ Tetapi sehari sebelum kejadian itu aku melihat ada seorang tamu datang kesini. Mereka berdua berbicara panjang lebar. Setelah itu Ayah hanya berpesan agar aku segera menghibungi mu di Jakarta. Menyuruhmu segera pulang “
Nagara menyeringai. Kecut.
Sementara Jaka mondar-mandir seperti hilang akal. Satu satunya lampu yang menyala di dalam perpustakaan, hanya lampu baca di meja. Biasnya yang lemah menerpa seantero ruangan menimbulkan remang –remang dan bayang-bayang misterius di lantai dan di dinding tembok. Nagara masih memandangi surat-surat tua di meja.
"Kukira aku lebih baik mempelajari lagi semua ini. Dan memikirkan kemungkinan-kemungkinannya yang bisa terjadi “
Jaka mengangguk sependapat, dan pergi ke pintu.
“ Aku istirahat dulu Mas Gara “
"Jaka?"
Jaka menghentikan langkah. Menatap lurus ke wajah saudaranya yang masih duduk di balik meja baca. Sekali lagi Nagara menarik nafas panjang. Lalu berujar, mantap.
"Aku kira Ayah benar," Nagara mendengus datar.
"Kita harus menyelamatkan apa yang masih dapat kita selamatkan. Pertama, saham milik keluarga. Saham-saham itu sebaiknya kita jual. Beserta puri ini tentunya “
Nagara berhenti lagi. Lalu memandang enggan ke setiap sudut perpustakaan yang tampak remang. Mendengar itu, Jaka menelan ludah. Namun tidak segera memberi jawaban, Sehingga saudaranya berpaling mengawasi.
"Apakah gagasanku ini dapat kau terima Jaka?"
"Oh!," Jaka terengah. "Cukup Menarik...."
Nagara memaksakan senyum di bibir.
“ Jangan lupa memberitahu Nanda dan Anita setelah upacara penguburan besok pagi...."
Berapapun yang nanti kita peroleh, mereka berdua akan mendapatkan bagian yang sama. Sebesar bagianmu. Dan bagianku sendiri. Cukup adil, bukan?"
.Jaka mengangguk puas.
"Aku gembira mendengar Mas Gara menempatkan Anita dalam posisi yang sama dengan kita meski dia hanya......,"
Jaka tidak melanjutkan perkataannya.
"Mengapa pula tidak. Biar Anita dilahirkan oleh lain ibu, tetapi darah yang mengalir di tubuh Anita adalah darah Ayah kita juga "
Nagara menatap tajam ke mata adiknya, kemudian menambahkan dengan nada suara misterius: "Aku pun tahu. Kau menaruh hati padanya Jaka ..."
Sekali lagi, Jaka terengah. Mukanya merah padam. Setelah mengucapkan selamat malam, Jaka meninggalkan perpustakaan. Tak lupa ia tutupkan dulu pintu di belakangnya sebelum berjalan menuju tangga. la sempat tertegun terkejut oleh kegelapan tiba-tiba yang ia hadapi begitu tiba di lantai utama. Entah siapa yang telah memadamkan lampu. Ia tak melihat siapa siapa di lantai ruang utama itu.
Sesaat kemudian ia naik ke lantai atas. Masuk ke kamar. Mencoba tidur. Memejamkan mata.
Nagara tampak serius mencermati dan membaca satu persatu sebuah bendel kertas dokumen yang terhampar di atas meja baca itu. Kerutan di keningnya tampak jelas mana kala Jaka berdesah lirih di sebelahnya.
"Dokumen inilah yang menyebabkan kematian Ayah!"
"Bagaimana mungkin, Jaka?"
Nagara bertanya tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan matanya dari kertas – kertas usang yang masih ia cermati satu persatu.
"Mungkin saja. Setelah menemukan dokumen ini, ayah langsung shock. Lalu bertindak kurang hati-hati. Ia memaksa pergi ke Jogja untuk memberitahu kita tentang penemuannya. Mobilnya mogok di tengah jalan itu. Lalu ia nekad jalan kaki . Tak perduli badai sedang menggila ...."
“ Lalu terjadilah peristiwa tragis itu, ayah tergelincir dan menemui ajal begitu mengenaskan terpanggang di tepi jalan “
"Apakah benar Ayah meninggal karena kecelakaan?"
"Menurut polisi iya, itu kecelakaan tunggal. Tidak ditemukan bukti yang otentik kalau misalkan ayah meninggal secara tidak wajar. Di bunuh misalnya....”
“ Tetapi sehari sebelum kejadian itu aku melihat ada seorang tamu datang kesini. Mereka berdua berbicara panjang lebar. Setelah itu Ayah hanya berpesan agar aku segera menghibungi mu di Jakarta. Menyuruhmu segera pulang “
Nagara menyeringai. Kecut.
Sementara Jaka mondar-mandir seperti hilang akal. Satu satunya lampu yang menyala di dalam perpustakaan, hanya lampu baca di meja. Biasnya yang lemah menerpa seantero ruangan menimbulkan remang –remang dan bayang-bayang misterius di lantai dan di dinding tembok. Nagara masih memandangi surat-surat tua di meja.
"Kukira aku lebih baik mempelajari lagi semua ini. Dan memikirkan kemungkinan-kemungkinannya yang bisa terjadi “
Jaka mengangguk sependapat, dan pergi ke pintu.
“ Aku istirahat dulu Mas Gara “
"Jaka?"
Jaka menghentikan langkah. Menatap lurus ke wajah saudaranya yang masih duduk di balik meja baca. Sekali lagi Nagara menarik nafas panjang. Lalu berujar, mantap.
"Aku kira Ayah benar," Nagara mendengus datar.
"Kita harus menyelamatkan apa yang masih dapat kita selamatkan. Pertama, saham milik keluarga. Saham-saham itu sebaiknya kita jual. Beserta puri ini tentunya “
Nagara berhenti lagi. Lalu memandang enggan ke setiap sudut perpustakaan yang tampak remang. Mendengar itu, Jaka menelan ludah. Namun tidak segera memberi jawaban, Sehingga saudaranya berpaling mengawasi.
"Apakah gagasanku ini dapat kau terima Jaka?"
"Oh!," Jaka terengah. "Cukup Menarik...."
Nagara memaksakan senyum di bibir.
“ Jangan lupa memberitahu Nanda dan Anita setelah upacara penguburan besok pagi...."
Berapapun yang nanti kita peroleh, mereka berdua akan mendapatkan bagian yang sama. Sebesar bagianmu. Dan bagianku sendiri. Cukup adil, bukan?"
.Jaka mengangguk puas.
"Aku gembira mendengar Mas Gara menempatkan Anita dalam posisi yang sama dengan kita meski dia hanya......,"
Jaka tidak melanjutkan perkataannya.
"Mengapa pula tidak. Biar Anita dilahirkan oleh lain ibu, tetapi darah yang mengalir di tubuh Anita adalah darah Ayah kita juga "
Nagara menatap tajam ke mata adiknya, kemudian menambahkan dengan nada suara misterius: "Aku pun tahu. Kau menaruh hati padanya Jaka ..."
Sekali lagi, Jaka terengah. Mukanya merah padam. Setelah mengucapkan selamat malam, Jaka meninggalkan perpustakaan. Tak lupa ia tutupkan dulu pintu di belakangnya sebelum berjalan menuju tangga. la sempat tertegun terkejut oleh kegelapan tiba-tiba yang ia hadapi begitu tiba di lantai utama. Entah siapa yang telah memadamkan lampu. Ia tak melihat siapa siapa di lantai ruang utama itu.
Sesaat kemudian ia naik ke lantai atas. Masuk ke kamar. Mencoba tidur. Memejamkan mata.
Quote:
Sementara itu di perpustakaan, Nagara baru saja mendekatkan lampu pada kertas-kertas yang ia jejerkan secara teratur di meja. Ia sempat tertegun ketika merasakan adanya hembusan angin yang samar - samar menerpa wajahnya. Disusul bunyi berdesir yang aneh, dan nafas berat tertahan. Nagara mengangkat muka. Mengawasi sekitar.
Pada rak - rak besar dan tinggi. Lemari-lemari yang berat dan kokoh. Sebuah lukisan perjamuan pada jaman dahulu menempel di tembok. Udara dingin yang sejuk itu tentulah berasal dari pintu ketika Jaka tadi menutupkannya. Tak ada siapapun di dekatnya. Atau di luar pintu. Tidak seorangpun yang ingin lalu lalang saat ini.
Nagara lantas meneliti kembali kertas - kertas di atas meja. Memilih yang penting-penting, dan memusatkan perhatian pada kalimat-kalimat tertentu dalam dokumen itu. Nagara meluruskan duduknya. Menarik nafas panjang berulang-ulang. Suara bergemeratak itu terdengar. Makin jelas.
Dan tiba –tiba sebuah benda berkilauan tertimpa lampu meja melayang dalam kegelapan. Sedetik dua detik, Nagara masih sempat melihat sesosok bayang bayang bergerak ke arahnya. Ia juga sempat menyadari mengapa ada pisau terangkat dan bisa melayang sendiri. Ujungnya rucing berkilau.
"Apa ..."
Hanya satu ucapan pendek itu saja yang sempat dilontarkan Nagara. Wajahnya memperlihatkan keheranan yang bertambah-tambah saja, manakala ia mendengar bunyi berdesir. Semacam perasaan panas yang memerihkan kemudian menyengat lambung kiri.
Nagara tersadar. Dan terbersit dalam hatinya keinginan menjerit minta tolong. Tetapi ujung pisau yang tajam itu sudah lebih dahulu terbenam semakin dalam. Menoreh lalu menembus jantungnya. Nagara mengeluh pendek dan lemah. Kemudian pandangannya menggelap. Semuanya berubah hitam. Pekat. Dan gelap gulita!
Pada rak - rak besar dan tinggi. Lemari-lemari yang berat dan kokoh. Sebuah lukisan perjamuan pada jaman dahulu menempel di tembok. Udara dingin yang sejuk itu tentulah berasal dari pintu ketika Jaka tadi menutupkannya. Tak ada siapapun di dekatnya. Atau di luar pintu. Tidak seorangpun yang ingin lalu lalang saat ini.
Nagara lantas meneliti kembali kertas - kertas di atas meja. Memilih yang penting-penting, dan memusatkan perhatian pada kalimat-kalimat tertentu dalam dokumen itu. Nagara meluruskan duduknya. Menarik nafas panjang berulang-ulang. Suara bergemeratak itu terdengar. Makin jelas.
Dan tiba –tiba sebuah benda berkilauan tertimpa lampu meja melayang dalam kegelapan. Sedetik dua detik, Nagara masih sempat melihat sesosok bayang bayang bergerak ke arahnya. Ia juga sempat menyadari mengapa ada pisau terangkat dan bisa melayang sendiri. Ujungnya rucing berkilau.
"Apa ..."
Hanya satu ucapan pendek itu saja yang sempat dilontarkan Nagara. Wajahnya memperlihatkan keheranan yang bertambah-tambah saja, manakala ia mendengar bunyi berdesir. Semacam perasaan panas yang memerihkan kemudian menyengat lambung kiri.
Nagara tersadar. Dan terbersit dalam hatinya keinginan menjerit minta tolong. Tetapi ujung pisau yang tajam itu sudah lebih dahulu terbenam semakin dalam. Menoreh lalu menembus jantungnya. Nagara mengeluh pendek dan lemah. Kemudian pandangannya menggelap. Semuanya berubah hitam. Pekat. Dan gelap gulita!
Diubah oleh breaking182 21-01-2019 08:52
pintokowindardi memberi reputasi
1
Kutip
Balas