Kaskus

Story

sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:
emoticon-Ultah

Cover:


From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)

NB: Sorry Bad Editing


Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter


Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita

Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.

Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.

Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.

Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.

Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.

Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.

Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.

Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.

Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.

Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.

Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.

Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.

***

Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.

“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.

“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.

“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.

Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.

Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.

Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.

Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.

“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.

“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.

“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.

“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.

“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”

Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.

“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.

Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.

“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.

Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.

Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.

***

Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.

Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,

“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.

“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.

Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.

“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.

Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.

Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.

“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.

“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.

“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.

“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.

“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.

Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.

Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.

Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.

Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.

Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.

“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.

“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.

‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.

Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.

Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
santinorefre720Avatar border
blackjavapre354Avatar border
rizetamayosh295Avatar border
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
#61
Bab 13: Pulang

Hari mulai sore. Aku dan Ipung berjalan cepat menyusuri sisi jalan. Melihat angkot yang berseliweran didepan kami berdua.

Ditengah perjalanan kami berdua, salah satu angkot berwarna oranye berhenti disebelah kanan kita. Sopir itu menatap kami berdua, berharap kami naik ke angkot tersebut.

“Pak, ke terminal Jayabaya bisa?” Ipung membuka pembicaraan, sopir itu mengangguk. Suasana didalam angkot terbilang cukup padat, semua penumpang berdesak-desakkan. Aku duduk persis didekat pintu masuk angkot, duduk sambil memegang erat gagang pintu.
Terkadang sang sopir setengah ugal-ugalan. Angkotnya melaju kencang, dibelokan aku seperti terdorong keluar. Hampir saja jantungan.
“Eh Megg, nanti diutara Kapolda Jatim berhenti sebentar ya?” Ipung bertanya kepadaku, raut wajahnya berubah. Cemas menunggu jawabanku.
“Emangnya kenapa? Nggak langsung ke terminal saja lalu pulang?” Aku bertanya keheranan. Memang dari kemarin ia ingin sekali mampir disalah satu gedung basket yang cukup terkenal di Surabaya, lokasinya persis di utara Kapolda.
“Gue mau ketemu sama teman lama gue. Dia kerja di apotek dekat sana.” Dia menjawab pelan, raut mukanya sedikit berubah. Seperti ada rindu yang tersimpan diwajahnya. Keinginannya berubah, tak sama dengan apa yang kupikirkan.

Setelah semua ini, aku tak mempermasalahkan permintaannya. Hanya mengangguk. Hitung-hitung aku balas budi terhadap dia karena telah bersedia menemaniku kesini. Sepersekian detik setelah aku menganggukkan kepala, senyumnya langsung melebar. Gurat mukanya yang lesu kembali ceria. Tak sabar ingin segera bertemu dengan teman lamanya.

Angkot warna oranye tersebut masih melaju dijalanan Surabaya yang ramai. Menyusuri gedung-gedung, mall-mall, dan bangunan megah lainnya. Asap kendaraan mengepul, polusi dimana-mana. Aku masih tetap duduk tenang, sesekali mengganti posisiku agar lebih nyaman.
Beberapa saat berlalu, angkot tersebut berhenti disebuah jalan sempit. Di tempat itu, angkot-angkot lain berjejer rapi, menanti para penumpang. Kami berdua turun dari angkot oranye tadi, oper ke angkot yang ada didepan. Kali ini aku mencari posisi tempat duduk yang lebih nyaman ketimbang tadi.

Satu per satu para penumpang memenuhi angkot tersebut. Mesin angkot dihidupkan, getarannya sungguh terasa. Lalu, angkot itu pun melaju.
“Pak, turun di apotek ini bisa nggak?” Ipung membuka pembicaraan dengan sopir angkot tersebut yang sedang fokus mengemudi.
“Ini dimana ya dek?” Sopir itu memastikan lokasi dari apotek yang dimaksud Ipung. Aku diam mendengar pembicaraan mereka.
“Di jalan ini pak, sebelah utara Kapolda.” Ipung menjelaskan lebih lanjut. Sopir angkot itu mendengarkan penjelasan Ipung sambil fokus kepada kemudinya.
“Oh disitu, bisa kok.” Mendengar jawaban sopir angkot itu, Ipung tambah cengar-cengir tak jelas.
“Eh Pung, kan ini lo yang punya rencana. Kali ini gantian lo dong yang bayar ongkos angkot ini. Dari kemarin-kemarin kan udah gue.” Aku menyeringai, menatap wajah Ipung yang ceria itu.
“No problem, kali ini gue yang bayar deh.” Ia masih cengar-cengir memamerkan giginya, janggutnya menari-nari kecil.
Aku tertawa, melihat sikapnya yang pura-pura tampan tersebut.

***

Sopir angkot mulai menurunkan laju angkot itu, menepi dipinggir jalan. Tak butuh satu menit, angkot itu telah berhenti persis dijalan yang Ipung sebut tadi. Kami berdua turun. Dia menepati janjinya, ia mengeluarkan dua lembar lima ribuan lalu menyerahkannya kepada sopir angkot tadi.
Hanya butuh beberapa detik sejak sang sopir menerima ongkos tadi, angkot telah bergerak beberapa meter meninggalkan kami.
“Trus dimana temen yang lo maksud tadi Pung?” Aku penasaran.
“Apoteknya disebelah sana. Kita menyeberang ke sana dulu.” Jawab Ipung, menunjuk arah tempat apotek berada sambil melihat handphone-nya. Menunggu balasan dari temannya.
Sore itu jalanan padat sekali, susah rasanya untuk menyeberang ke sisi jalan yang lain. Tak ada jembatan penyeberangan. Kami berdua pun berjalan lurus mencari zebra cross untuk mempermudah penyeberangan. Tapi ya yang namanya orang Indonesia, ketika ada orang yang hendak menyeberang, tak ada satupun yang berniat berhenti mengurangi kecepatan. Malah yang lebih menyebalkan, bukannya memelankan kendaraan malah dipercepat.

Setengah ragu kami mulai melangkah, karena tak ada ruang kosong sama sekali antara kendaraan yang satu dengan yang lain. Maka kami sedikit nekad berjalan melewati zebra cross, persetan dengan pengendara yang tidak tahu aturan.
Masih satu jalan raya lagi yang harus kami seberangi. Berbeda dengan sebelumnya, jalan raya yang ada persis didepan kami saat ini lebarnya dua kali lipat. Mungkin cukup untuk lewat tiga bus secara bersamaan. Tak ada zebra
cross, tak ada jembatan penyeberangan, kami berdua lebih nekad lagi untuk menyeberang. Para pengendara memacu kendaraannya begitu cepat, tapi memang kondisinya tak sepadat jalan sebelumnya.

Kurang lebih sepuluh menit, kami sudah berada didepan apotek. Ipung menunggu teman lamanya keluar. Wajahnya harap-harap cemas, aku santai saja.
Sekali lagi, bagiku menunggu adalah kegiatan yang paling membosankan didunia ini. Ketika hati dipenuhi rasa cemas, memikirkan ketidakpastian, dan belum tentu juga yang ditunggu itu sesuai dengan apa yang diharapkan. Kupikir, Ipung merasakan hal yang sedemikian rupa.

Aku meninggalkan Ipung sebentar. Langkahku merapat ke salah satu warung kecil didekat apotek itu. Persediaan airku sudah habis, aku membeli sebotol besar air mineral untuk bekal diperjalanan pulang nanti.
Tanpa butuh waktu lama aku kembali menuju tempat Ipung berdiri cemas. Sosok yang ditunggu telah datang, seorang perempuan manis. Mereka begitu antusias dengan pertemuan ini. Entahlah, aku tak tahu detailnya. Yang aku tahu, sudah dua tahun lamanya mereka tak bertemu. Kerinduan yang tertahan diantara mereka berdua, lamat-lamat mulai sirna.
Pembicaraan mereka sepertinya sangat menyenangkan. Membuka kenangan lama, seperti direka ulang kembali. Aku hening menyaksikan kebersamaan mereka.

Sekitar setengah jam berlalu, perbincangan mereka sepertinya telah usai. Ipung sungkan membuatku menunggu terlalu lama, berhubung waktu juga masih terus bergerak. Hari sudah semakin sore. Cuaca dilangit perlahan berganti, kuningnya mulai memudar, rona-rona merah mulai terlihat.

Ipung berpamitan dengan teman lamanya. Bergegas menghampiriku, lalu meninggalkan apotek tersebut. Kembali ke sisi jalan start awal kami berdua. Mencari angkot untuk meneruskan perjalanan menuju terminal Bungurasih.

Sungguh sial, sudah cukup jauh kami berjalan, tak ada satupun angkot yang berhenti. Meskipun ada satu dua angkot yang melintas, tapi tak satupun dari mereka yang memedulikan keberadaan kami. Kakiku mulai ngilu, bibiku sedikit menggerutu.

Tanpa kuduga, sebuah mobil travel butut warna biru tua berhenti didekat kami. Ipung menuju kaca jendela, bertanya kepada sang sopir. Aku tak terlalu menghiraukan apa yang dilakukannya. Kupikir dia berniat untuk naik mobil itu. Spontan saja, aku membuka pintu mobil lalu naik ke mobil itu. Ipung setengah kaget dengan aksi gilaku itu, dia kemudian segera naik.

Mobil travel butut itu melaju. Kami memberitahu sang sopir untuk berhenti di Terminal Bungurasih. Cukup beberapa menit, mobil butut itu berhenti. Sudah sampai. Aku terhenyak, ternyata jaraknya tak terlalu jauh. Tapi kalau ditempuh dengan jalan kaki cukup menguras tenaga.
Meskipun jaraknya hanya segitu, tarifnya sama persis dengan angkot yang kami tumpangi beberapa saat yang lalu. Aku tak begitu mempermasalahkan hal itu.

Kami berdua berjalan disepanjang trotoar, Ipung pun bertanya kepadaku.
“Lo gila Megg, tanpa pikir panjang lo langsung naik aja. Ini Surabaya Megg, dikota besar kriminalitas tinggi, lo nggak berpikir apa? siapa tau mobil yang lo naiki tadi penculik atau perampok atau segala macamlah.” Ipung menggertakku kasar, mukanya merah padam.
Aku diam. Kata-kata tadi sedikit menusukku. Aku baru tersadar bahwa apa yang kulakukan barusan sangat sembrono. Untung saja itu hanya mobil angkutan biasa, bukan mobil penjahat. Aku menundukkan kepalaku, meminta maaf atas kejadian barusan. Semua berlalu begitu saja, Ipung tak memedulikan hal itu lagi.

Sebelum memasuki terminal, kami berdua mampir kesalah satu warung kaki lima disekitar tempat kami berada. Aku membeli dua nasi
bungkus untuk mengisi tenaga sore itu. Kemudian berjalan melewati jembatan penyeberangan, menaiki tangga satu persatu. Disana kulihat ada beberapa pengemis, nenek-nenek tua serta pria gelandangan.

Sungguh miris, aku sedikit muak dengan semua ini. Hampir dua puluh tahun di era reformasi, masih ada orang yang hidupnya kekurangan. Sepertinya ada yang salah dengan semua ini.
Langkah kaki kami masih terus bergerak, melewati celah-celah disisi kiri pagar dalam terminal. Diantara ruko-ruko yang tak berpenghuni, melewati selokan yang baunya sungguh tidak mengenakkan.
“Eh Pung, dari kemarin gue agak bingung. Kenapa air disini rasanya nggak enak sama sekali?” Aku dengan lugu bertanya.
“Nah lo nggak tanya dulu, gue lupa ngasih tau kalau air PDAM disini tuh berasal dari sungai. Lo pikir air sungai berasal dari mana? Dari selokanselokan yang kita lewati ini. Air itu cuman disaring supaya terlihat bersih, soal rasa tak ada yang berubah. Getir-getir gimana gitu.” Ipung menjelaskan dengan santainya, setengah tertawa. Sesekali berakting mual-mual.
Kami melewati segerombolan bapak-bapak yang nongkrong disalah satu bangku dekat kami berada. Tatapannya sangar, layaknya preman. Tak jauh dari situ, ada sebuah bangku kosong. Aku kemudian memanggil Ipung.
“Eh Pung, berhenti. Kita makan disini dulu saja, sambil istirahat.” Dia tak menoleh, tetap lurus berjalan. Aku tak digubris. Sekali lagi aku mengulang perkataanku, meneriaki dia.

Tanpa menatapku sama sekali, dia masih terus berjalan. Aku sedikit kesal, tingkah konyol apalagi yang akan ia buat kali ini. Apa jangan-jangan dia kesurupan setan dimobil travel butut tadi.
Aku terus mengikuti langkah kakinya, berjalan memasuki area terminal. Mengabaikan para pedagang asongan yang menjajakan
dagangannya. Kemudian, dia memasuki lobi terminal, menyepi didekat tembok. Langkah kakinya terhenti. Dia membuka suara,
“Lo tau nggak kenapa gue tadi nggak berhenti sewaktu lo manggil gue?” Ipung bertanya sedikit kesal kepadaku.
“Gue nggak tau, makanya gue mau tanya ke lo?” Aku membalas ketus, sedikit kesal dengan tingkah misteriusnya tadi.
“Nah masalahnya disitu, lo nggak tau kan disini banyak preman. Disini nggak ada tempat yang cukup aman. Terlebih lo tadi ngajak makan dipinggir sana, banyak preman Megg. Makanya gue ajak lo kesini tanpa kujelaskan terlebih dahulu, minimal disini lebih aman.” Ipung menjelaskan, aku belajar banyak hal hari ini
Sekali lagi aku minta maaf. Mungkin aku yang terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan. Mukanya yang merah padam perlahan menghilang, dia maklum dengan sikapku. Kami bedua perlahan duduk, memakan bungkusan nasi yang kubeli tadi.

***

Setelah sholat Ashar, kami berdua mencari bus antar daerah jurusan Tulungagung. Keluar dari lobi, kami disambut oleh para sopir bus serta para kernet yang hendak mencari penumpang. Dari jauh telah kelihatan, bus yang sama dengan yang kami naiki kemarin sedang berdiam ditempat. Kondisi dalam bus masih lengang, belum ramai penumpang.

“Eh Pung, kita langsung naik aja.” Aku mengajaknya naik bus itu.
“Santai dulu kawan, masih cerah kayak gini. Nunggu bus berikutnya saja, bus ini nggak ada AC-nya, jadi kurang nyaman.” Ipung menyeringai, menolak tawaranku.
Masih sore apanya, hari mulai gelap. Matahari telah sempurna tenggelam, rona merah dilangit mulai kentara. Namun aku mengikuti
sarannya, hitung-hitung menyenangkan dia yang telah jauh-jauh menemaniku sampai sini.
Bus tadi melaju pelan, meninggalkan gerbang terminal.
Selang beberapa waktu, bus yang sama datang lagi. Bus jurusan Tulungagung, kali ini kami berdua segera naik bus itu.
Esok, bulan Ramadhan datang menyambut seluruh masyarakat muslim diseluruh dunia. Di sepanjang perjalananan, masjid-masjid ramai dipenuhi oleh para jamaah yang menunaikan sholat Tarawih. Tak ada satupun kegiatan yang kulakukan kecuali menatap kaca jendela bus, menikmati ramainya suasana dijalanan. Namun itu tak berlangsung lama, rasa lelah memaksaku untuk terlelap, sehingga cukup lama aku terlelap saat itu.

Meski singkat dan melelahkan, bagiku ini pengalaman yang mengesankan.
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.