- Beranda
- Stories from the Heart
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
...
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:

Cover:

NB: Sorry Bad Editing
Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter
Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita
Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.
Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.
Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.
Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.
Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.
Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.
Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.
Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.
Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.
Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.
Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.
Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.
***
Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.
“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.
“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.
“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.
Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.
Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.
Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.
Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.
“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.
“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.
“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.
“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.
“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”
Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.
“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.
Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.
“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.
Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.
Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.
***
Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.
Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,
“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.
“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.
Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.
“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.
Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.
Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.
“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.
“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.
“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.
“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.
“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.
Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.
Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.
Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.
Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.
“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.
“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.
‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.
Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.
Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
sandriaflow
#60
Bab 12: Tekad yang Mengambang part 2
Waktu masih menunjukkan pukul 07.30 WIB. Dua porsi nasi pecel dan teh hangat tadi telah kubayarkan. Matahari bergerak beberapa inchi keatas, teriknya lebih menyengat dari beberapa saat lalu.
“Sekarang gimana?” Ipung bertanya kepadaku tentang apa yang akan kami lakukan setelah ini.
“Masih jam segini, jika berangkat sekarang malah kelamaan nunggu nanti. Jujur perasaan gue nggak enak nih, gara-gara ibu tadi yang masih pagi-pagi mencari kotak amal. Bukannya nuduh, tapi jangan-jangan dia mau mencuri kotak amal.” Suaraku sedikit bergetar, sungguh perasaan negatif berkecamuk didalam diriku. Entah apa yang terjadi kalau kotak amal tadi dicuri, bisa saja kami berdua yang dijadikan tersangka utama.
“Kita kembali aja ke masjid tadi. Nunggu beberapa saat sampai salah satu mas-mas yang tadi malem datang.” Aku mengajak Ipung kembali.
Mas-mas yang kumaksud tadi adalah mas-mas yang tadi malem tidur disalah satu ruangan kecil masjid tempat menyimpan barang-barang, hampir mirip seperti gudang. Tadi pagi kami masih melihat mas-mas itu simpang siur di masjid. Maka dari itu lebih baik kami memastikan, dan berpamitan dengan cara baik-baik.
Kami segera kembali ke masjid tersebut, sedikit tergesa-gesa. Butuh beberapa menit untuk sampai kesana. Melewati jalanan gang yang tak seramai jalan raya. Melirik daerah sekitar, rumah-rumah yang berjejeran.
Sesampai disana, masjid begitu sepi dijam-jam ini. Kulihat hanya beberapa orang disitu, kebanyakan orang yang beristirahat. Dari luar terlihat pintu dalam masjid terkunci rapat, aku cukup lega. Asumsiku bahwa kotak amal itu pastinya disimpan ditempat yang aman dan tak bisa dijangkau orang.
Kami berdua duduk bersila diteras masjid, menunggu resah mas-mas yang belum muncul juga dari tadi. Aku membuka smartphone-ku untuk membunuh kebosananku. Membalas satu persatu pesan yang masuk, terutama dari kedua orangtuaku yang dari kemarin khawatir denganku. Takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Aku membalasnya tenang, memberitahukan bahwa aku baik-baik saja.
Hampir setengah jam kami menunggu, akhirnya yang ditunggu datang juga.
“Lho, masnya kok masih disini. Belum berangkat tes?” Mas-mas itu bertanya heran, kukira dia seumuran denganku, ternyata dia lebih tua sedikit dibandingkan denganku.
“Ya ini kita mau pamit mas. Oh iya tadi ada ibu-ibu yang cukup mencurigakan, masih pagi-pagi sudah mencari kotak amal. Kita kan jadi curiga, makanya kesini lagi untuk memastikan.” Ipung yang menjawab pertanyaan tadi.
“Oh begitu, tenang saja. Disini ada orang kok, nggak akan ada apaapa.” Jawaban dari mas-mas itu menenangkan hatiku. Semuanya jelas, tak ada kesalahpahaman. Kami bisa melanjutkan perjalanan.
Adalah setengah jam waktu yang kami habiskan untuk berjalan menuju tempat ujianku. Melewati gerbang luar dimana aku bertemu satpam menyebalkan kemarin, terus menuju ke gerbang dalam.
Aku disambut oleh mata-mata asing, duduk dibangku dekat gerbang. Mereka para petarung yang akan kuhadapi nanti. Semua sibuk dengan amunisinya masing-masing. Mata mereka tertuju pada buku-buku dari berbagai macam penerbit, soal-soal latihan entah darimana mereka dapatkan. Ada juga yang sibuk dengan gadget-nya masing-masing.
Melewati emperan kelas kami berdua berjalan. Aku juga berniat mencari ruang tesku yang kemarin belum sempat kutemukan. Ditengah jalan kami berdua bertemu seorang ibu-ibu yang kelihatannya adalah guru disekolah itu.
“Maaf bu, disini masjid sebelah mana ya?” Aku bertanya kepada ibu itu halus.
“Oh disebelah sana dek, kalian lurus aja lalu belok kiri.” Ibu itu menunjukkan arah masjid sekolah kepada kami.
Kami berdua mengucapkan terimakasih, lalu berjalan sesuai arah yang ditujukan ibu tersebut. Alasanku mencari masjid cukup sederhana, agar sewaktu istirahat aku tidak kebingungan untuk mencari tempat sholat. Selain itu, aku berfikir disana ada toilet, semisal sewaktu-waktu ada tekanan dari dalam yang hendak dikeluarkan aku tidak perlu kebingungan, hehe.
Tak butuh waktu lama untuk menemukan masjid itu. Kukira disana sepi, namun prasangkaku keliru. Masjid itu dipenuhi banyak orang, terutama para peserta ujian sepertiku. Ada dari mereka yang diantar orangtua mereka, malah ada yang sekeluarga mengantar.
Meskipun disini aku hanya ditemani temanku, tanpa keluarga, aku tetap merasakan kehangatan kasih sayang orangtuaku. Demi merekalah aku berjuang, itulah yang aku yakini.
Aku mencari tempat yang kosong diantara banyak tempat yang telah dipenuhi orang-orang. Diserambi masjid aku beristirahat sesekali merebahkan tubuhku. Ipung malah asik mendengarkan musik dengan headset yang kubawa dari rumah, kemudian dia memejamkan matanya. Aku membiarkan saja, tak memedulikan tingkahnya.
Dari kaca jendela masjid, kulihat didalam banyak orang yang melakukan sholat Dhuha. Aku diam melihatnya. Disisi lain, banyak juga yang belajar mempersiapkan materi. Berbeda denganku yang hanya melamun tak tentu arah, modal niat dan juga nekad.
“Pung, bangun sebentar. Aku pinjam handphone-mu.” Dia sedikit kaget, ternyata dia masih setengah tidur.
“Hah buat apa?” Wajahnya yang tampak lesu itu bertanya kebingungan.
“Gue pengen dengerin lagu, buat menenangkan hati. Udah lo tidur aja gak apa-apa, semoga mimpi indah.” Aku menjawab sediki tertawa. Dia tak terlalu merespon ucapanku, namun dengan cepat tangannya melepas headset yang ditelinganya, dan menyerahkan handphone-nya kepadaku.
Untuk melepas kegundahan, akupun mendengarkan lagu dari handphone itu. Kulihat satu persatu list-list lagu yang ada. Hanyalah lagu cinta yang kuputar. Terkadang, aku teringat akan kenangan-kenangan masa lalu. Seolah semua itu direka ulang dalam pikiranku lewat lagu-lagu itu.
***
Pukul 09.45 WIB, aku melepas headset-ku dan kukembalikan handphone tadi kepada Ipung. Aku bergegas menuju ruang ujianku. Sebelum itu, aku membuat janji dengan Ipung bahwa nanti siang disinilah tempat kami nanti berkumpul. Dia mengangguk, lantas pergi entah kemana, berhubung ada pemberitahuan bahwa pendamping peserta tidak boleh berada di area sekolah.
Kini aku berada persis didepan ruangan ujianku. Seperti orang asing yang tak kenal siapapun. Kebanyakan yang kulihat mereka sepertinya anakanak orang berharta. Terlihat dari cara berpakaian mereka, tingkah laku dan gaya mereka seperti kehedon-hedonan. Entah aku sendiri juga tak tahu, mataku hanya menatap sekeliling seperti rusa yang terancam bahaya. Perempuan-perempuan disini juga berpakaian menarik, kuakui mereka cantik-cantik. Sayangnya, mereka hanya berkenan berbicara dengan orang yang sekiranya sederajat dengan mereka. Bukan dengan orang sepertiku.
Abaikan semua itu, kata “tak peduli” tertancap dalam hatiku.
Bel tanda ujian dimulai berbunyi keras, terdengar jelas disetiap sudut ruangan. Aku melangkah memasuki ruang ujian. Bangku paling depan disisi kiri telah menungguku, aku tak tahu ini kebetulan atau tidak, seperti ujian SBMPTN kemarin aku selalu duduk paling depan. Bukan perkara takut, tapi aku tidak suka saja berada paling depan.
Pengawas ujian memasuki ruangan, seorang pria yang bisa usianya cukup muda dan juga ibu-ibu judes memakai jilbab namun juga memakai celana pensil. Seperti lazimnya ujian berlangsung, kami harus melalui prosedur demi prosedur. Soal dibagikan, menunggu beberapa waktu sampai bel tanda dimulainya ujian berbunyi, lalu mengerjakan dengan sungguhsungguh.
Sebelum soal dibagikan, pengawas itu memastikan agar semua gadget ditaruh didalam tas, termasuk juga jam tangan. Kemudian tas diletakkan didepan ruangan.
Ujian pertama adalah ujian Matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Penderitaanku dimulai ketika aku membaca soal-soal matematika. Bohlam yang menyala terang benderang, dalam hitungan detik pecah padam. Soal macam apa ini, susahnya minta ampun, yang jelas ini bukan soal untuk anak sekolah dasar. Maklum ujian masuk universitas ternama di Indonesia pastinya tak semudah yang dibayangkan
Aku meninggalkan soal matematika setelah beberapa saat kuanalisa cepat dan aku sara diri bahwa tak ada satupun yang bisa kukerjakan saat itu. Kubalik halaman lembar soal, menuju soal berikutnya. Soal bahasa Indonesia. Untuk kali ini tak ada satupun kesulitan berarti. Kukerjakan soal-soal itu sebisaku dan seyakinku lantas beralih ke soal bahasa Inggris.
Penderitaanku pun bertambah, bahasa Inggris yang kubaca persis didepanku membuatku melayang-layang. Berulang-ulang kubaca kata per kata tapi tak ada satupun yang bisa kupahami. Isinya tentang bacaan ilmiah dari jurnal-jurnal luar negeri, dengan kalimat formal yang jarang sekali kutemui. Aku pun pasrah, kubiarkan apa adanya.
Ada alasan lain kenapa aku tak bisa konsen mengerjakan soal tersebut. Tepat dibelakangku, ada seorang pria berkacamata yang juga tengah mengerjakan soal. Dari pertama kali ujian berlangsung hingga detik ini, dia selalu batuk-batuk. Bukan hanya sekali, bahkan berkali-kali. Hanya berjeda beberapa detik, hening lalu batuk lagi. Begitu seterusnya. Makanya setiap kali aku mencoba memahami soal demi soal, konsentrasiku langsung dibuyarkan oleh batuk-batuk yang sungguh mengangguku. Tapi itu tidak dapat dijadikan sebuah alasan, aku tetap berusaha sebisa mungkin.
Beberapa menit kemudian, aku kembali ke soal matematika. Kucari soal termudah, barangkali jika ada satu soal yang bisa kujawab itu bisa menyelamatkanku nanti. Sungguh melenceng jauh dari perkiraanku. Ada tiga soal yang mampu kupecahkan dan kutemukan jawabannya. Padahal, bisa menjawab satu soal saja sudah sangat untung. Aku girang bukan main. Senyumku melebar. Tak masalah dengan gangguan tadi, aku masih punya harapan. Ambisiku sepertinya akan terwujud, aku sedikit percaya diri saat itu.
Adalah satu setengah jam waktu yang diberikan untuk mengerjakan soal. Pengawas bergerak mengambil semua lembar jawaban peserta. Seluruh peserta kemudian meninggalkan ruangan. Ada yang ke masjid untuk sholat dzuhur, ada juga yang duduk santai dibangku dekat gerbang tadi.
Kakiku melangkah menuju masjid. Mengambil air wudhu lalu sholat berjamaah diimami oleh salah satu peserta. Lima menit berlalu, aku menyepi diserambi masjid. Istirahat sebentar, menanti bel ujian kedua berbunyi. Kulihat dari balik kaca jendela, Ipung sedang sholat berjamaah.
Sambil menanti, aku meminum sebotol air yang diberikan oleh ibu berjilbab hitam tadi malam.
Awalnya aku tak tahu minuman apa itu. Tapi setelah tegukan pertama aku baru tahu bahwa itu adalah minuman dari kunyit. Salah satu jamu tradisional. Kuminum hampir setengah botol, rasanya memang sungguh enak.
***
Pukul 12.44 WIB, masih empat puluh enam menit lagi sebelum ujian kedua dimulai.
Ipung mengikutiku yang hendak menuju ke ruang ujianku. Ia sedikit bosan karena dari tadi tak ada satupun kegiatan yang mampu membunuh kebosanannya. Berbeda ceritanya jika matanya menatap genit cewek-cewek
cantik. Tak jarang pula ia suka menebar pesona meski kadang tak ada yang menggubrisnya. Aku hanya tertawa.
“Eh Megg, ujian kedua ini apa pelajarannya?” Tanya Ipung dengan nada cukup serius.
“Soshum, ekonomi dan tiga kawan akrabnya.” Aku menyeringai menjawab pertanyaannya.
“Ah, btw lo udah belajar belum? Bisa ngerjain nggak kira-kira?” Dia bertanya setengah meragukanku, tertawa kecil.
“Ya dikit-dikit bisalah, udah dua tahun belajar gituan. Tiap hari makan teori-teori ekonomi Adam Smith, hukum-hukum ekonomi, akuntansi dan semacamnya.” Dengan penuh percaya diri aku tertawa menjawabnya. Sedikit terlihat kesombongan dari dalam diriku.
“Hahahaha, percaya deh gue. Meggy dilawan.”Ipung tertawa lebar.
Sungguh dia begitu percaya diri saat itu, aku sendiri juga heran. Hanya memakai kaos oblong serta celana katun pendek, dia tebar-tebar pesona kepada para perempuan yang lewat didepannya. Aku geleng-geleng kepala melihat aksi konyolnya.
Tanpa kusadari, waktu telah menunjukkan hampir pukul setengah dua. Bel pun berbunyi, semua perlahan memasuki ruang ujian, aku pun demikian. Ipung perlahan meninggalkan ruang tersebut, pergi keluar area sekolah. Duduk manis didekat gerbang yang ada colokannya sembari memainkan gadget-nya.
Deg-degan. Apa yang akan terjadi berikutnya aku tak tahu. Akan seperti apakah wujud soal yang ada didepanku nanti, aku pun tak mampu menggambarkannya.
Semua mengikuti prosedur seperti ujian awal tadi. Aku mulai mengerjakan soal yang ada didepanku. Keadaannya tetap sama. Pria dibelakangku masih terbatuk-batuk. Soal yang kuhadapi kali ini berada pada level yang berbeda, tak seperti soal-soal yang pernah kuhadapi diwaktu lalu. Sungguh rumit, aku hampir putus asa, tak tahu menahu tentang teori dan juga rumus pemecahan soal ekonomi yang tertuang dalam soal. Kata-kataku kepada Ipung beberapa saat yang lalu tak ubahnya seperti bualan, omong kosong tanpa bukti nyata. Ah, pikiranku kacau. Soal-soal tadi kujawab sebarang.
Berlalu menuju soal Sejarah, Alhamdulillah tak sesusah soal ekonomi. Bermodalkan angan-angan dan pengetahuan yang tersisa aku menjawab soal sejarah itu satu persatu. Begitupun seterusnya. Sialnya, ditengah-tengah ujian kantuk berat melandaku. Fokusku hilang total.
Semua berubah drastic. Berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan aku mempersiapkan semuanya. Detik ini, dihari penentuan hanya sejauh inilah usaha yang mampu kulakukan. Sekali lagi, hanya ini. Tak lebih tak kurang. Aku kecewa dengan diriku sendiri, tapi aku masih saja percaya bahwa aku bisa. Pemikiran yang konyol.
Mungkin ini pertanda bahwa Tuhan akan menghendaki aku gagal, berhubung tak ada satupun restu dari orangtuaku.
Waktu pun berlalu. Aku pasrah, kuserahkan lembar jawaban tadi kepada pengawas. Lalu meninggalkan ruang ujian. Kakiku melangkah cepat segera mencari Ipung. Ini adalah hari terakhirku di Surabaya, tak genap dua hari tapi itu hari-hari yang sangat melelahkan.
Dia telah menungguku didepan masjid. Kami berdua pun melangkah keluar meninggalkan area sekolah. Berjalan lagi, mengucapkan selamat tinggal kepada gerbang luar sekolah, tempat dimana satpam menyebalkan itu menyapaku kemarin. Masih kulihat sosok satpam itu berdiri didepan sekolah, mengatur arus lalu lintas yang kebetulan macet oleh banyaknya mobil para orangtua peserta yang hendak menjemput mereka.
“Eh tadi gue denger ada bapak-bapak berbincang-bincang. Dari pembicaraan mereka gue tahu bapak itu berasal dari Kediri. Dia kesini naik mobil mengantar putrinya.” Ipung berkata pelan kepadaku.
Aku setengah tak percaya.
“Serius lo?”
“Iya, gimana kalau kita bareng mereka?” Ipung memberikan tawaran yang cukup menggiurkan.
Beberapa detik aku berpikir. Secepatnya aku membuat keputusan. Aku dengan tegas menolak tawaran Ipung tersebut. Itu adalah keputusan sepihak, belum tentu bapak itu mau memberikan tumpangan kepada kami. Terlebih tampang kita yang lusuh seperti ini, seperti anak jalanan. Dia sedikit mengeluh atas jawabanku, tapi dia mengikuti keputusanku. Kami berjalan meninggalkan sekolah itu. Menuju jalan raya, mencari angkutan kota untuk kembali ke terminal.
Detik ini, satu lagi beban dipundakku hilang. Aku bisa bernafas lega, hanya tinggal menunggu hasilnya nanti. Tepat tiga hari setelah pengumuman SBMPTN.
Waktu masih menunjukkan pukul 07.30 WIB. Dua porsi nasi pecel dan teh hangat tadi telah kubayarkan. Matahari bergerak beberapa inchi keatas, teriknya lebih menyengat dari beberapa saat lalu.
“Sekarang gimana?” Ipung bertanya kepadaku tentang apa yang akan kami lakukan setelah ini.
“Masih jam segini, jika berangkat sekarang malah kelamaan nunggu nanti. Jujur perasaan gue nggak enak nih, gara-gara ibu tadi yang masih pagi-pagi mencari kotak amal. Bukannya nuduh, tapi jangan-jangan dia mau mencuri kotak amal.” Suaraku sedikit bergetar, sungguh perasaan negatif berkecamuk didalam diriku. Entah apa yang terjadi kalau kotak amal tadi dicuri, bisa saja kami berdua yang dijadikan tersangka utama.
“Kita kembali aja ke masjid tadi. Nunggu beberapa saat sampai salah satu mas-mas yang tadi malem datang.” Aku mengajak Ipung kembali.
Mas-mas yang kumaksud tadi adalah mas-mas yang tadi malem tidur disalah satu ruangan kecil masjid tempat menyimpan barang-barang, hampir mirip seperti gudang. Tadi pagi kami masih melihat mas-mas itu simpang siur di masjid. Maka dari itu lebih baik kami memastikan, dan berpamitan dengan cara baik-baik.
Kami segera kembali ke masjid tersebut, sedikit tergesa-gesa. Butuh beberapa menit untuk sampai kesana. Melewati jalanan gang yang tak seramai jalan raya. Melirik daerah sekitar, rumah-rumah yang berjejeran.
Sesampai disana, masjid begitu sepi dijam-jam ini. Kulihat hanya beberapa orang disitu, kebanyakan orang yang beristirahat. Dari luar terlihat pintu dalam masjid terkunci rapat, aku cukup lega. Asumsiku bahwa kotak amal itu pastinya disimpan ditempat yang aman dan tak bisa dijangkau orang.
Kami berdua duduk bersila diteras masjid, menunggu resah mas-mas yang belum muncul juga dari tadi. Aku membuka smartphone-ku untuk membunuh kebosananku. Membalas satu persatu pesan yang masuk, terutama dari kedua orangtuaku yang dari kemarin khawatir denganku. Takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Aku membalasnya tenang, memberitahukan bahwa aku baik-baik saja.
Hampir setengah jam kami menunggu, akhirnya yang ditunggu datang juga.
“Lho, masnya kok masih disini. Belum berangkat tes?” Mas-mas itu bertanya heran, kukira dia seumuran denganku, ternyata dia lebih tua sedikit dibandingkan denganku.
“Ya ini kita mau pamit mas. Oh iya tadi ada ibu-ibu yang cukup mencurigakan, masih pagi-pagi sudah mencari kotak amal. Kita kan jadi curiga, makanya kesini lagi untuk memastikan.” Ipung yang menjawab pertanyaan tadi.
“Oh begitu, tenang saja. Disini ada orang kok, nggak akan ada apaapa.” Jawaban dari mas-mas itu menenangkan hatiku. Semuanya jelas, tak ada kesalahpahaman. Kami bisa melanjutkan perjalanan.
Adalah setengah jam waktu yang kami habiskan untuk berjalan menuju tempat ujianku. Melewati gerbang luar dimana aku bertemu satpam menyebalkan kemarin, terus menuju ke gerbang dalam.
Aku disambut oleh mata-mata asing, duduk dibangku dekat gerbang. Mereka para petarung yang akan kuhadapi nanti. Semua sibuk dengan amunisinya masing-masing. Mata mereka tertuju pada buku-buku dari berbagai macam penerbit, soal-soal latihan entah darimana mereka dapatkan. Ada juga yang sibuk dengan gadget-nya masing-masing.
Melewati emperan kelas kami berdua berjalan. Aku juga berniat mencari ruang tesku yang kemarin belum sempat kutemukan. Ditengah jalan kami berdua bertemu seorang ibu-ibu yang kelihatannya adalah guru disekolah itu.
“Maaf bu, disini masjid sebelah mana ya?” Aku bertanya kepada ibu itu halus.
“Oh disebelah sana dek, kalian lurus aja lalu belok kiri.” Ibu itu menunjukkan arah masjid sekolah kepada kami.
Kami berdua mengucapkan terimakasih, lalu berjalan sesuai arah yang ditujukan ibu tersebut. Alasanku mencari masjid cukup sederhana, agar sewaktu istirahat aku tidak kebingungan untuk mencari tempat sholat. Selain itu, aku berfikir disana ada toilet, semisal sewaktu-waktu ada tekanan dari dalam yang hendak dikeluarkan aku tidak perlu kebingungan, hehe.
Tak butuh waktu lama untuk menemukan masjid itu. Kukira disana sepi, namun prasangkaku keliru. Masjid itu dipenuhi banyak orang, terutama para peserta ujian sepertiku. Ada dari mereka yang diantar orangtua mereka, malah ada yang sekeluarga mengantar.
Meskipun disini aku hanya ditemani temanku, tanpa keluarga, aku tetap merasakan kehangatan kasih sayang orangtuaku. Demi merekalah aku berjuang, itulah yang aku yakini.
Aku mencari tempat yang kosong diantara banyak tempat yang telah dipenuhi orang-orang. Diserambi masjid aku beristirahat sesekali merebahkan tubuhku. Ipung malah asik mendengarkan musik dengan headset yang kubawa dari rumah, kemudian dia memejamkan matanya. Aku membiarkan saja, tak memedulikan tingkahnya.
Dari kaca jendela masjid, kulihat didalam banyak orang yang melakukan sholat Dhuha. Aku diam melihatnya. Disisi lain, banyak juga yang belajar mempersiapkan materi. Berbeda denganku yang hanya melamun tak tentu arah, modal niat dan juga nekad.
“Pung, bangun sebentar. Aku pinjam handphone-mu.” Dia sedikit kaget, ternyata dia masih setengah tidur.
“Hah buat apa?” Wajahnya yang tampak lesu itu bertanya kebingungan.
“Gue pengen dengerin lagu, buat menenangkan hati. Udah lo tidur aja gak apa-apa, semoga mimpi indah.” Aku menjawab sediki tertawa. Dia tak terlalu merespon ucapanku, namun dengan cepat tangannya melepas headset yang ditelinganya, dan menyerahkan handphone-nya kepadaku.
Untuk melepas kegundahan, akupun mendengarkan lagu dari handphone itu. Kulihat satu persatu list-list lagu yang ada. Hanyalah lagu cinta yang kuputar. Terkadang, aku teringat akan kenangan-kenangan masa lalu. Seolah semua itu direka ulang dalam pikiranku lewat lagu-lagu itu.
***
Pukul 09.45 WIB, aku melepas headset-ku dan kukembalikan handphone tadi kepada Ipung. Aku bergegas menuju ruang ujianku. Sebelum itu, aku membuat janji dengan Ipung bahwa nanti siang disinilah tempat kami nanti berkumpul. Dia mengangguk, lantas pergi entah kemana, berhubung ada pemberitahuan bahwa pendamping peserta tidak boleh berada di area sekolah.
Kini aku berada persis didepan ruangan ujianku. Seperti orang asing yang tak kenal siapapun. Kebanyakan yang kulihat mereka sepertinya anakanak orang berharta. Terlihat dari cara berpakaian mereka, tingkah laku dan gaya mereka seperti kehedon-hedonan. Entah aku sendiri juga tak tahu, mataku hanya menatap sekeliling seperti rusa yang terancam bahaya. Perempuan-perempuan disini juga berpakaian menarik, kuakui mereka cantik-cantik. Sayangnya, mereka hanya berkenan berbicara dengan orang yang sekiranya sederajat dengan mereka. Bukan dengan orang sepertiku.
Abaikan semua itu, kata “tak peduli” tertancap dalam hatiku.
Bel tanda ujian dimulai berbunyi keras, terdengar jelas disetiap sudut ruangan. Aku melangkah memasuki ruang ujian. Bangku paling depan disisi kiri telah menungguku, aku tak tahu ini kebetulan atau tidak, seperti ujian SBMPTN kemarin aku selalu duduk paling depan. Bukan perkara takut, tapi aku tidak suka saja berada paling depan.
Pengawas ujian memasuki ruangan, seorang pria yang bisa usianya cukup muda dan juga ibu-ibu judes memakai jilbab namun juga memakai celana pensil. Seperti lazimnya ujian berlangsung, kami harus melalui prosedur demi prosedur. Soal dibagikan, menunggu beberapa waktu sampai bel tanda dimulainya ujian berbunyi, lalu mengerjakan dengan sungguhsungguh.
Sebelum soal dibagikan, pengawas itu memastikan agar semua gadget ditaruh didalam tas, termasuk juga jam tangan. Kemudian tas diletakkan didepan ruangan.
Ujian pertama adalah ujian Matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Penderitaanku dimulai ketika aku membaca soal-soal matematika. Bohlam yang menyala terang benderang, dalam hitungan detik pecah padam. Soal macam apa ini, susahnya minta ampun, yang jelas ini bukan soal untuk anak sekolah dasar. Maklum ujian masuk universitas ternama di Indonesia pastinya tak semudah yang dibayangkan
Aku meninggalkan soal matematika setelah beberapa saat kuanalisa cepat dan aku sara diri bahwa tak ada satupun yang bisa kukerjakan saat itu. Kubalik halaman lembar soal, menuju soal berikutnya. Soal bahasa Indonesia. Untuk kali ini tak ada satupun kesulitan berarti. Kukerjakan soal-soal itu sebisaku dan seyakinku lantas beralih ke soal bahasa Inggris.
Penderitaanku pun bertambah, bahasa Inggris yang kubaca persis didepanku membuatku melayang-layang. Berulang-ulang kubaca kata per kata tapi tak ada satupun yang bisa kupahami. Isinya tentang bacaan ilmiah dari jurnal-jurnal luar negeri, dengan kalimat formal yang jarang sekali kutemui. Aku pun pasrah, kubiarkan apa adanya.
Ada alasan lain kenapa aku tak bisa konsen mengerjakan soal tersebut. Tepat dibelakangku, ada seorang pria berkacamata yang juga tengah mengerjakan soal. Dari pertama kali ujian berlangsung hingga detik ini, dia selalu batuk-batuk. Bukan hanya sekali, bahkan berkali-kali. Hanya berjeda beberapa detik, hening lalu batuk lagi. Begitu seterusnya. Makanya setiap kali aku mencoba memahami soal demi soal, konsentrasiku langsung dibuyarkan oleh batuk-batuk yang sungguh mengangguku. Tapi itu tidak dapat dijadikan sebuah alasan, aku tetap berusaha sebisa mungkin.
Beberapa menit kemudian, aku kembali ke soal matematika. Kucari soal termudah, barangkali jika ada satu soal yang bisa kujawab itu bisa menyelamatkanku nanti. Sungguh melenceng jauh dari perkiraanku. Ada tiga soal yang mampu kupecahkan dan kutemukan jawabannya. Padahal, bisa menjawab satu soal saja sudah sangat untung. Aku girang bukan main. Senyumku melebar. Tak masalah dengan gangguan tadi, aku masih punya harapan. Ambisiku sepertinya akan terwujud, aku sedikit percaya diri saat itu.
Adalah satu setengah jam waktu yang diberikan untuk mengerjakan soal. Pengawas bergerak mengambil semua lembar jawaban peserta. Seluruh peserta kemudian meninggalkan ruangan. Ada yang ke masjid untuk sholat dzuhur, ada juga yang duduk santai dibangku dekat gerbang tadi.
Kakiku melangkah menuju masjid. Mengambil air wudhu lalu sholat berjamaah diimami oleh salah satu peserta. Lima menit berlalu, aku menyepi diserambi masjid. Istirahat sebentar, menanti bel ujian kedua berbunyi. Kulihat dari balik kaca jendela, Ipung sedang sholat berjamaah.
Sambil menanti, aku meminum sebotol air yang diberikan oleh ibu berjilbab hitam tadi malam.
Awalnya aku tak tahu minuman apa itu. Tapi setelah tegukan pertama aku baru tahu bahwa itu adalah minuman dari kunyit. Salah satu jamu tradisional. Kuminum hampir setengah botol, rasanya memang sungguh enak.
***
Pukul 12.44 WIB, masih empat puluh enam menit lagi sebelum ujian kedua dimulai.
Ipung mengikutiku yang hendak menuju ke ruang ujianku. Ia sedikit bosan karena dari tadi tak ada satupun kegiatan yang mampu membunuh kebosanannya. Berbeda ceritanya jika matanya menatap genit cewek-cewek
cantik. Tak jarang pula ia suka menebar pesona meski kadang tak ada yang menggubrisnya. Aku hanya tertawa.
“Eh Megg, ujian kedua ini apa pelajarannya?” Tanya Ipung dengan nada cukup serius.
“Soshum, ekonomi dan tiga kawan akrabnya.” Aku menyeringai menjawab pertanyaannya.
“Ah, btw lo udah belajar belum? Bisa ngerjain nggak kira-kira?” Dia bertanya setengah meragukanku, tertawa kecil.
“Ya dikit-dikit bisalah, udah dua tahun belajar gituan. Tiap hari makan teori-teori ekonomi Adam Smith, hukum-hukum ekonomi, akuntansi dan semacamnya.” Dengan penuh percaya diri aku tertawa menjawabnya. Sedikit terlihat kesombongan dari dalam diriku.
“Hahahaha, percaya deh gue. Meggy dilawan.”Ipung tertawa lebar.
Sungguh dia begitu percaya diri saat itu, aku sendiri juga heran. Hanya memakai kaos oblong serta celana katun pendek, dia tebar-tebar pesona kepada para perempuan yang lewat didepannya. Aku geleng-geleng kepala melihat aksi konyolnya.
Tanpa kusadari, waktu telah menunjukkan hampir pukul setengah dua. Bel pun berbunyi, semua perlahan memasuki ruang ujian, aku pun demikian. Ipung perlahan meninggalkan ruang tersebut, pergi keluar area sekolah. Duduk manis didekat gerbang yang ada colokannya sembari memainkan gadget-nya.
Deg-degan. Apa yang akan terjadi berikutnya aku tak tahu. Akan seperti apakah wujud soal yang ada didepanku nanti, aku pun tak mampu menggambarkannya.
Semua mengikuti prosedur seperti ujian awal tadi. Aku mulai mengerjakan soal yang ada didepanku. Keadaannya tetap sama. Pria dibelakangku masih terbatuk-batuk. Soal yang kuhadapi kali ini berada pada level yang berbeda, tak seperti soal-soal yang pernah kuhadapi diwaktu lalu. Sungguh rumit, aku hampir putus asa, tak tahu menahu tentang teori dan juga rumus pemecahan soal ekonomi yang tertuang dalam soal. Kata-kataku kepada Ipung beberapa saat yang lalu tak ubahnya seperti bualan, omong kosong tanpa bukti nyata. Ah, pikiranku kacau. Soal-soal tadi kujawab sebarang.
Berlalu menuju soal Sejarah, Alhamdulillah tak sesusah soal ekonomi. Bermodalkan angan-angan dan pengetahuan yang tersisa aku menjawab soal sejarah itu satu persatu. Begitupun seterusnya. Sialnya, ditengah-tengah ujian kantuk berat melandaku. Fokusku hilang total.
Semua berubah drastic. Berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan aku mempersiapkan semuanya. Detik ini, dihari penentuan hanya sejauh inilah usaha yang mampu kulakukan. Sekali lagi, hanya ini. Tak lebih tak kurang. Aku kecewa dengan diriku sendiri, tapi aku masih saja percaya bahwa aku bisa. Pemikiran yang konyol.
Mungkin ini pertanda bahwa Tuhan akan menghendaki aku gagal, berhubung tak ada satupun restu dari orangtuaku.
Waktu pun berlalu. Aku pasrah, kuserahkan lembar jawaban tadi kepada pengawas. Lalu meninggalkan ruang ujian. Kakiku melangkah cepat segera mencari Ipung. Ini adalah hari terakhirku di Surabaya, tak genap dua hari tapi itu hari-hari yang sangat melelahkan.
Dia telah menungguku didepan masjid. Kami berdua pun melangkah keluar meninggalkan area sekolah. Berjalan lagi, mengucapkan selamat tinggal kepada gerbang luar sekolah, tempat dimana satpam menyebalkan itu menyapaku kemarin. Masih kulihat sosok satpam itu berdiri didepan sekolah, mengatur arus lalu lintas yang kebetulan macet oleh banyaknya mobil para orangtua peserta yang hendak menjemput mereka.
“Eh tadi gue denger ada bapak-bapak berbincang-bincang. Dari pembicaraan mereka gue tahu bapak itu berasal dari Kediri. Dia kesini naik mobil mengantar putrinya.” Ipung berkata pelan kepadaku.
Aku setengah tak percaya.
“Serius lo?”
“Iya, gimana kalau kita bareng mereka?” Ipung memberikan tawaran yang cukup menggiurkan.
Beberapa detik aku berpikir. Secepatnya aku membuat keputusan. Aku dengan tegas menolak tawaran Ipung tersebut. Itu adalah keputusan sepihak, belum tentu bapak itu mau memberikan tumpangan kepada kami. Terlebih tampang kita yang lusuh seperti ini, seperti anak jalanan. Dia sedikit mengeluh atas jawabanku, tapi dia mengikuti keputusanku. Kami berjalan meninggalkan sekolah itu. Menuju jalan raya, mencari angkutan kota untuk kembali ke terminal.
Detik ini, satu lagi beban dipundakku hilang. Aku bisa bernafas lega, hanya tinggal menunggu hasilnya nanti. Tepat tiga hari setelah pengumuman SBMPTN.
1