Awal Nopember 2006, ijin penelitian gw turun. Dengan alasan efisiensi, gw memang mengajukan penelitian di sekolah tempat gw praktek lapangan dulu. Selain karena sudah tau medannya, gw ga perlu melakukan pra penelitian karena saat gw praktek dulu, try out soal dan segala tetek bengeknya sudah gw lakukan. Gw berharap akhir Nopember, data sudah kelar diolah dan bimbingan lancar jaya, so awal Desember bisa seminar hasil. Ngebet banget ya...hehehe.

Urusan pengumpulan data ini berbarengan dengan persiapan pernikahan Tante gw tersayang. Jadi gw kudu pintar-pintar bagi energi, karena stamina gw memang ga sebaik semangat gw. Melihat ijin penelitian gw sudah turun, Didit ga mau kalah. Dia makin rajin kuliah. Ga mau munafik, gw happy kedekatan kami membawa efek positif untuk dia.

Gw bersyukur teman-teman gw adalah orang-orang luar biasa ringan tangan. Memang hampir semua yang dekat dengan gw, kenal dengan Tante gw. Hmmm kecuali New Gank. Kedekatan gw dengan mereka sebenarnya sebatas kongkow bareng dan ngobrol basi. Apalagi Adam sebel berpangkat-pangkat sama mereka. Jadi ya kedekatan kami sebatas kampus dan mall, ga sampai kenal keluarga.

Saat ini, wayah ribet-ribetnya karena acara makin dekat, semua mengulurkan bantuan. Via yang mamanya punya salon mempermudah proses searching tata rias dan set pengantin. Risa dengan senang hati jadi MC. Adam sudah pasti seksi perlengkapan. Didit yang hobi fotografi jadi dokumentasi. Lika rekomendasikan omnya untuk urusan undangan. Sisanya tante gw bisa handle. Jadi, ga ribet lagi lah ya.

Hari H berlangsung dengan sederhana namun kerasa lah suasana harunya. Gw berusaha ga sedikitpun menitikkan air mata, walau semua mungkin ga akan sama dengan dulu. Loosing a mom for the second time seems damn hard for me, especially because she is a much better one. Tapi khawatir berlebihan soal masa depan ga akan mengubah masa depan itu sendiri, ga mempermudah atau memperindah. Jadi ya jalani aja lah.

Seminggu setelah acara, tante gw diboyong ke rumah barunya. Sekitar lima belas menit dari rumah gw kok, jadi ya bisa main kapan saja. Supaya rumah ga kosong-kosong amat, sepupu gw pindah untuk tinggal bareng gw dan adik gw. Mereka dua orang cewek yang ga jauh usianya dari gw dan adik gw. Desi, 20 tahun, kuliah di salah satu PTS yang ada di sini. Adiknya Linda masih kelas satu SMA, sama dengan adik gw. Orangtua mereka tinggal di kabupaten lain sehingga sebelumnya mereka kos.

Proses pengumpulan dan pengolahan data lebih lancar dari yang gw perkirakan. Begitupun dengan proses bimbingan. Akhir Nopember gw sudah mengajukan pendaftaran seminar hasil yang semoga disetujui untuk dilaksanakan sebelum UTS. Kelas gw di lembaga pun bertambah, dan salah satu dosen minta gw jadi asistennya. Mata kuliah terjemahan. Jadilah gw kaya gasing, jungkir balik bagi waktu dan energi.

"La...lu kurus banget sekarang," kata Didit saat jemput gw pulang ngajar di Sabtu sore. Santai banget kostumnya hari itu. Celana pendek army selutut, polo shirt putih dan sandal jepit.
"Masa,sih? Perasaan sama aja deh," kata gw.
"Lu malas makan,ya?" tanyanya lagi.
"Gak kok, kurang tidur aja," jawab gw.
"Malam ini cape ga kalau jalan?," tanyanya.
"Jalan kemana? Kalau ke Liwa lu ajak jalan kaki ya gempor gw," jawab gw asal.
"Dodol...makan kek, nonton kek..." jawabnya.
"Ooowh..boleh deh, suntuk gw juga," jawab gw.
"penelitian apa kabar?," tanyanya sambil fokus ke jalan raya.
"Alhamdulillah lancar. Kalau acc ya bulan depan seminar. Doain ya?," kata gw.
"Ga perlu diminta,kali," katanya yang otomatis menerbitkan senyum di bibir gw.
"Gw suka lihat lu senyum," katanya.
"Hahaha, ya kali lu suka lihat gw ngupil," kata gw asal.
"Lom pernah yang itu sih. Lesung pipi lu tuh ya kok bisa cuma sebelah aja," katanya.
"Gw belinya separo harga soalnya," jawab gw asal. Dia ga menjawab,hanya senyum saja.

Didit mengantar gw pulang dulu karena gw berkostum resmi, sementara dia santai sekali. Setelah mandi, shalat maghrib dan rapi-rapi, kami meluncur ke PKOR yang ga jauh dari rumah gw. Judulnya PKOR, tapi lebih seperti pasar malam. Segala jajanan dan permainan seperti yang ada di pasar malam tersedia di sini. Sebetulnya agak malas kemari, karena banyak gubuk-gubuk yang disalahgunakan abg alay jaman itu. Tapi itu sebelum dirapikan seperti sekarang ini.

Malam minggu, wilayah ini padat manusia. Ada yang berpasangan, ada keluarga cemara, ada yang rombongan kaya tawuran, ada juga yang jomblo. Kursi-kursi ditebar seperti layaknya lapak kaki lima, bedanya atap kami langsung langit malam. Gw dan Didit duduk di lapak yang menjual nasgor,mie goreng dan teman-temannya. Sambil menunggu orderan,kami ngobrol sedikit. Ga ada yang penting sih obrolannya.

Ga lama, pesanan kami datang. Baru sesuap, tiba-tiba...
"Permisi bapak,ibu, kami seniman jalanan menjual suara bukan menjual diri. Mohon perhatiannya, jangan dicaci maki..jreng..." biasaaa...pengamen...

Gw rada malas sama yang namanya pengamen. Entah di kota lain ya..kalau di Lampung biasanya satu genjreng, nyanyi ga nyambung sama genjrengan, lalu ya tamat. Tapi yang ini...

Dia laki-laki seperempat abad. Seperti pengamen lainnya, menggendong gitar. Sebuah topi fedora putih ada di kepalanya. Kostumnya rapi, perawakannyapun bersih. Ok, give him a chance.

Sebuah lagu didendangkannya. You're still the one miliknya Shania Twain. Pronunciationnya lumayan, petikan gitarnya OK..dan suaranya...it was the best voice from a busker i have ever heard. Sedikit mirip judika, walau ga semantap itu. Mungkin di tangan orang yang tepat dia bisa se OK beliau. Lagu itu ga berhenti di situ. Ada sebuah lagi yang dinyanyikan. Heaven miliknya Brian Adams. Mantap deh pokoknya. Kalau yang model gini kasih lima puluh ribupun ga rugi rasanya.

Saat mas pengamen itu menghampiri kami, dia tersenyum melihat Didit.
"Oy,Dit. Tumben lihat lu di sini?," katanya.
"Iya. Kenalin, nih," kata Didit menunjuk gw.
"Hallo, Qylla. Nyanyinya bagus banget,mas," kata gw.
"Boris. Haha bisa aja. Wait..Qylla..oooh iyaa..Didit suka bocorin tentang lu," kata mas Pengamen yang ternyata namanya Boris ini.
"Duduk deh bro, gw traktir," kata Didit menarik bangku yang ada di sampingnya.
"Gak ah, gw lagi gawe. Ganggu pula," katanya.
"Gak kok,mas. Gabung aja," kata gw. Tapi Boris tetap menolak.
"Tapi request gw lu ga boleh nolak,ya," kata didit.
"Oooh yang itu? Sekarang nih?," tanyanya. Didit hanya mengangguk. Borispun bangkit.

"terimakasih Bapak Ibu atas atensinya. Satu lagu lagi istimewa untuk teman saya di sebelah sana...,"

Dan mengalunlah Mr. Big dengan indahnya. Dan tatapan Didit ga lepas dari mata gw selama lagu ini mengalun. Tanpa dia harus bicara..i knew..it was for me...